Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS DAN MAKALAH REFREAT

ANESTESI UMUM PADA OPERASI MASTEKTOMI


CA MAMAE SINISTRA
Nama: Beby Pricilia Tanesia
NIM: 112014073

Pembimbing: dr. Ketut, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REAMINASI


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD TARAKAN
PERIODE 29 MARET 18 APRIL 2015

KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
JL. TERUSAN ARJUNA NO. 6 KEBON JERUK JAKARTA BARAT
STATUS ANESTESI
SMF ILMU ANESTESI DAN REAMINASI
RSUD TARAKAN JAKARTA

Nama : Beby Pricilia Tanesia

Tanda Tangan

NIM : 112014073

Dokter Pembimbing : dr. Ketut, Sp. An

(..)

STATUS ANESTESI

I.

IDENTITAS PASIEN

Nama
Umur
Jenin Kelamin
Pekerjaan
Alamat
Tanggal Pemeriksaan
II.

Ny. N
47 tahun
Perempuan
IRT
---8 April 2015

ANAMNESIS

Dilakukan dengan autoanamnesis pada Ny. N, tanggal 8 April 2015 jam 12.08 di kamar operasi
RSUD Tarakan
Keluhan Utama
Benjolan pada payudara kiri kurang lebih sejak 3 tahun SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 3 tahun SMRS, OS mengeluhkan ada benjolan sebesar biji jagung pada payudara
kiri. Benjolan tersebut semakin lama dirasakan semakin membesar, sampai sekarang ukurannya
kurang lebih seperti ukuran bola pimpong. Pasien mengatakan saat ia menekan benjolan, tidak
terasa sakit, tidak mengeluarkan cairan dari puting hanya rasanya keras dan terasa menempel di
dada. OS juga mengeluh sering merasa pegal pada ketiak kiri. OS tidak mengingat dengan jelas
kapan muncul rasa pegal pegal tersebut. Pada ketiak kiri tidak terdapat benjolan. Riwayat
demam, infeksi dan sesak napas disangkal.
Riwayat haid OS teratur. OS memiliki 3 anak dan menurut pengakuan OS,OS
memberikan ASI sampai anaknya berusia 2 tahun. OS tidak menggunakan alat KB dan
dikeluarga OS ada yang memiliki riwayat tumor payudara.

Riwayat Penyakit Penyerta


DM ( - )
Hipertensi ( - )
Asma ( - )
Alergi ( - )
TB ( - )

Kebiasaan
Makanan siap saji ( - )
Riwayat kebiasaan merokok ( - )
Alkohol ( - )
Obat obatan terlarang ( - )

Riwayat Operasi Sebelumnya


Tidak ada

III.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda Tanda Vital : Tekanan Darah

Kulit

: 110/70 mmHg

Frekuensi Nadi

: 82x/menit

Frekuensi Napas

: 18x/menit

Suhu

: 36C

: Akral hangat, tidak ada keringat dingin, tidak ada tanda infeksi di region
vertebra lumbalis maupun sakralis.

Kepala

: Normocephali

Mata

: Konjungtiva anemis ( - / - )
Ikterik ( - / - )

Mulut dan gigi

: Buka mulut > 2 jari, tidak ada gigi palsu, tidak ada gigi goyang, tidak ada
gigi menonjol. Higiene mulut baik.

Mandibula

: Tidak ada fraktur. Bentuk dagu normal, tidak ada trismus.

Hidung

: Tidak ada obstruksi jalan napas oleh polip, tonsil, adenoid hipertrofi,
tidak ada pendarahan maupun deviasi septum.

Leher

: Tidak pendek, tidak terdapat sikatriks, tidak teraba adanya pembesaran


kelenjar getah bening.

Toraks

: Simetris, tidak ditemukan kelainan. BJ I dan II regular, gallop ( - ),


murmur ( - ), suara napas vesikuler ( - ), wheezing ( - ), rhonki ( - ).

Abdomen

: Datar, nyeri tekan ( - ), tidak ada bekas luka operasi, bising usus ( + )
normal.

Ektremitas

IV.

: Akral hangat, nadi kuat angkat, tidak edema.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 26 Februari 2015


USG:
Mamae dextra: Tidak ada retraksi papilla, kutis dan subkutis normal, jaringan dan glandula
normal, tidak tampak massa atau nodul atau kista.
Mamae sinistra: Tidak ada retraksi papilla, tampak massa bulat hipoechoic pada kuadran
laterosuperior berukuran 1,10 cm x 1,34 cm.
Kesan: FAM sinistra

Tanggal 14 Maret 2015


PA:
Makroskopik: Diterima satu kantong dengan keterangan Suspect Ca Mamae Sinistra. Keping
keeping jaringan berbentuk benang 1 cc; coklat kenyal
Makroskopik: Sediaan berasal dari mamae sinistra menunjukan jaringan payudara dengan massa
tumor epiteliel infiltrative. Sel tumor bulat/oval/agak pleomorfik, hiperkromatik, sebagian
beranak inti, sitoplasma eosonofilik/ bervakuol, batas tidak tegas. Mitosis ditemukan
Kesan: Invasive carcinoma of no special type
Invasive lobular carcinoma

Tanggal 7 April 2015

Laboratorium:
Hb

: 14,3 gr/dL

Ht

: 42,5%

Eritrosit

: 4,78 juta/uL

Leukosit

:8435/mm3

Trombosit

: 213.500 ribu/mm3

APTT

: 35,6

GDS

:129

INR

: 0,90

V.

STATUS FISIK (ASA)

ASA 1

VI.

DIAGNOSIS KERJA

Ca mamae sinistra ( T1 N0 M0)

VII.

RENCANA TINDAKAN BEDAH

Modified Radical Mastectomy

VIII. RENCANA TINDAKAN ANESTESI


Anestesi Umum

IX.

TINDAKAN ANESTESI DAN OPERASI

Preoperatif
Anamnesis:
1. Benjolan pada payudara kiri sejak 3 tahun SMRS. Benjolan semakin membesar dan
terasa pegal pada ketiak kiri
2. Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat obatan maupun makanan.
3. Pasien tidak memilik penyakit jantung, DM, hipertensi, penyakit paru serta penyakit
ginjal.
4. Pasien tidak memiliki kebiasaan seperti merokok, minum alcohol dan obat obatan
terlarang.
5. Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik:
1.
2.
3.
4.
5.

Airway paten, napas spontan, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing.
Malampati 2 ( uvula dan palatum mole terlihat)
Leher ekstensi maksimal.
Buka mulut >2 jari.
Tidak ada gigi goyang dan gigi palsu.

Tindakan Anestesi
Prosedur:

Pasien dipersiapkan di ruang operasi dengan tidur terlentang pada meja operasi.
Mempersiapkan mesin anestesi, monitor dan ventilator.
Pasien dipasang manset, oxymeter pulse, EKG lead dan kateter urin.
Persiapan STATICS: Stetoskop, laringoskop, ETT 3 ukuran (biasanya disiapkan
nomor 7;7,5; 8 untuk dewasa), LMA, sungkup muka, gudel 3 ukuran ( merah, kuning,
hijau), plester, stilet ( kawat guide saluran napas), xylocain gel, connector ke mesin

anestesi dan suction untuk mengeluarkan sputum.


Menyiapkan obat obatan anestesi umum seperti fentanyl dan midazolam untuk

premedikasi, propofol dan rocuronium sebagain induksi.


Menyediakan obat obat emergency seperti atropine, epinefrin, dobutamin, dopamine
serta obat obatan lain seperti ranitidine, ketorolac, ondansetron dan asam

tranesksamat.
Suntikan premedikasi fentanyl 100 mcg, midazolam 2 mg.
Letakkan sungkup mendekati mulut dan hidung pasien.
Berikan preoksigenasi dengan oksigen 5 10L/ menit pada pasien melalui sungkup.

Menyuntikan propofol 100 mg sebagai induksi anestesi dan rocuronium 50 mg.


Setelah pasien tertidur periksa refleks bulu mata dan perhatikan napasnya.
Bila refleks bulu mata telah hilang pasang masker dengan posisi yang benar (Jaw

thrust, chin lift, tekan masker dengan ibu jari dan telunjuk).
Berikan oksigenasi
Setelah 2 - 3 menit setelah propofol dan rocuronium bekerja, lakukan intubasi.

Gunakan Laringoskopi Intubasi

Laringoskop dinyalakan
Buka mulut dengan tangan pasien, gerakan menyilang (ibu jari menekan

mandibula kebawah, jari telunjuk menekan maksila ke atas)


Pegang laringoskop dengan tangan kiri
Masukan mulai dari sisi kanan kemudian menyingkirkan lidah kekiri.
Cari epiglottis. Tempatkan ujung bilah laringoskop di valekula ( pertemuan

epiglottis dan pangkal lidah ).


Angkat epiglottis dengan elevasi laringoskop keatas untuk melihat plica vokalis.
Bila tidak terlihat, minta bantuan asisten untuk melakukan BURP Manuever

( Back , Up, Right Pressure ) pada cartilage cricoids sampai terlihat plica vokalis.
Masukan ET sampai ujung proksimal cuff ETT melewati plica vokalis.
Kembangkan cuff ET secukupnya ( sampai tidak ada kebocoran udara ).
Cek dengan cara memberikan VTP. Pada pasien cek dengan auskultasi

menggunakan stetoskop, bandingkan suara napas paru kanan dan paru kiri.
Setelah pasti diletakkan di trakea, pasang OPA supaya tidak tergigit oleh pasien.
Fiksasi supaya tidak lepas = mulai dari sisi sebelah atas kemudian memutar dan
menyilang kesebelah bawah.

Intraoperatif
Lama Pembiusan

: 3 jam

Lama Pembedahan

: 2 jam 35 menit

Keadaan prabedah

TB

: 165 cm

BB

: 60kg

TD

: 110/70 mmHg

Nadi

: 82x/menit

Napas : 18x/menit
Suhu : 36C

Medikasi selama operasi:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Fentanyl 100mcg, midazolam 2 mg sebagai premedikasi


Propofol 100mg dan rocuronium 5 mg sebagai induksi
Sevofluran 2 %
Fentanyl 50 mcg dan propofol 100 mg sebagai rumatan
Ondansteron 4 mg sebagai antiemetic
Ketorolak 30 mg sebagai anti nyeri

Cairan:
1.
2.
3.
4.

HES 500 ml
Ringer fundin 1500 ml
Urine ditampung 200 ml
Pendarahan 210 ml

Post operatif
1. Pasca bedah diruang pulih sadar dengan kesadaran belum pulih sempurna.
2. Aldrete Score :
- Kesadaran
: 1 (memberi respon bila dipanggil)
- Respirasi
: 2 (sanggup bernapas dalam dan batuk)
- Sirkulasi
: 2 (tekanan darah naik atau turun berkisar < 20%)
- Warna Kulit
: 2 (merah muda, crt <2 detik)
- Aktivitas
: 2 ( 4 ektremitas dapat digerakkan)
VAS: 4 6 (sakit sedang)
Tekanan darah: 122/63 mmHg
CRT

: < 2detik

Nadi

: 75x/menit

SpO2

: 100%

Terapi Pacsa Bedah


1. Awasi jalan napas, cegah terjadinya obstruksi.
2. Infuse Ringer Asering dalam 24 jam
3. Analgetik ketorolak 30 mg IV

TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI UMUM

Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran,
analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien. 1
Secara umum komponen yang ada dalam anesthesia umum adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Hypnosis (hilangnya kesadaran)


Analgesia (hilangnya rasa sakit)
Arefleksia (hilangnya refleks refleks motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien)
Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasu intubasi trakea.
Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur)

Adapun keuntungan dan kerugian penggunaan anesthesia umum.


Keuntungan:
1. Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung.
2. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didappat akibat ansietas dan
berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan trauma psikologis.
3. Memungkinkan dilakukkannya prosedur yang memakan waktu lama.
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Kerugian:
1. Sangat mempngaruhi fisiologi. Hamper semua regulasi tubuh menjadi tumpul dibawah
2.
3.
4.
5.

anesthesia umum.
Memerlukan pemantauan yang lebih holistic dan rumit.
Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat , misalnya perubahan kesadara.
Resiko komplikasi pascabedah besar.
Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum

Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus).

Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan
berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika,
sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi.
Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
Konsentrasi zat anestesika yang dihirup atau diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya

tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.


Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena

Faktor-faktor yang mempengaruhi:

1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran
darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus,
konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang

dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.


Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika,
kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah: otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-organ
ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika
ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14%
curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah : relative tidak ada aliran darah : ligament

dan tendon.
Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk
menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration
atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam
udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap
rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesika
tersebut.1,3

Periode Prabedah
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan dalam
anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu
sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.

Anamnesis. Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya


sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa
lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga

jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya


Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh

pasien.
Pemeriksaan laboratorium. Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat
sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa

pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan

EKG dan foto thoraks.


Masukan oral. Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam.
Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman
bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.2

Klasifikasi Status Fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang
berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak
samping pembedahan.
Kelas I

: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III

: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.

Kelas IV

: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan

penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V

: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak

akan lebih dari 24 jam.2


Stadium Anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak terlalu
dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi.
Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman
anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil,
tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether.
1. Stadium I
Disebut juga stadium induksi. Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya
kesadaran. Ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.
2. Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta ronta, pernafasan
irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi
(+), tonus otot meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,
kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks
menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini
membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi
dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi
yang halus dan tepat. Keadaan emergency delirium juga dapat terjadi pada fase pemulihan
dari anestesi.
3. Stadium III
Disebut juga stadium operasi atau pembedahan. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise
otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane:
-

Plane I: mata berputar kemudian terfiksasi

4.

Plane II: refleks kornea dan refleks laring hilang

Plane III: dilatasi pupil, refleks cahaya hilang

Plane IV: kelumpuhan otot intercostal , pernafasan menjadi abdominal dan dangkal.

Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over dosis atau
stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi
respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.2

Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1 2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia, diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Mengurangi nyeri
Meminimalkan obat anestetik
Mengurangi sekresi kelenjar air ludah dan bronkus
Menciptakan amnesia
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflex yang membahayakan2

Obat obat yang digunakan untuk premedikasi, antara lain:

Anxiolisis
Obat anxiolisis adalah obat yang digunakan untuk mengurangi rasa cemas dan takut, yang
membuat pasien mengantuk dan merasa nyaman. Obat yang biasa digunakkan berasal dari

golongan benzodiazepine (diazepam oral, midazolam iv) dan beta bloker ( atenolol oral)
Amnesia
Obat golongan benzodiazepine (lorazepam oral;midazolam iv/im) dapat memberikan efek
amnesia anterograde dan efek seddatif hipnotik dan anti konvulsan.
Midazolam: dosis 0,1 0,5 mg/kgBB/IV
Onset 40 70 detik
Manfaat: sedasi, hipnotik, anti konvulsan dan amnesia anterograde.

Efek samping: bingung, depresi napas ringan sampai berat (jika kombinasi dengan
opioid), depresi minimal pada kontraksi dan denyut jantung, hipotensi akibat dilatasi
pembuluh darah (jika diberikan dalam dosis besar), dan penurunan tonus otot lurik.

Anti Emetik
Obat anti emetic adalah obat yang digunakan untuk mencegah mul muntah selama
periode preoperative. Pemberian anti emetik menggunakan prinsip multimodal
(penggunaan dua atau lebih jenis obat) untuk menghambat dua atau lebih jenis reseptor
mual muntah di otak. Obat yang biasa digunakan berasal dari golongan antagonis
dopamine D2 (metoklorpromide iv), antihistamin (difenhidramin iv), antagonis serotonin

5-HT3 (ondasetron iv; granistreon iv) dan kortikosteroid (deksametason iv).


Antasida
Obat antasida adalah obat yang digunakan untuk mengurangi produksi dan derajat
keasaman asam lambung. Obat yang biasa di gunakan berasal dari golongan antagonis H2

(ranitidine iv), PPI (esomeprazole iv, pantoprazole iv).


Anti Kolinergik
Obat anti kolinergik adalah obat yang digunakana untuk menghambat aktivitas
parasimpatis, sehingga akan mengurangi sekresi kelenjar, mencegah spasme laring dan
bronkus, mencegah bradikardi, mengurangi motilitas usus da mengurangi efek depresi

opioid pada pusat pernapasan. Obat yang biasa di gunakan adalah atropine (iv/im)
Analgetik Opioid
Obat opioid yang digunakan dalam anestesi adalah morphine (analgetik opium, natural)
dan derivatnya sintetiknya (fentanyl iv, pethidine iv/im). Sebagai analgetik, opioid bekerja
di 4 reseptor yaitu : reseptor mu (analgesia, depresi napas, euphoria), reseptor kappa
( analgesia, sedasi), reseptor sigma (disforia, halusinasi, midriasis, stimulasi napas),
reseptor delta ( analgesia, konvulsi, ketergantungan, anti depresi, modulasi reseptor mu).
Morphine dan pethidinesering digunakan sebagai medikasi praoperatid sedangkan
fentanyl sering digunakan sebagai adjuvant anestesi.
Efek samping dari obat opioid adalah sedasi, depresi napas, dilatasi bronkus, kontriksi
bronkus akibat pelepasan histamine, depresi minimal pada sistem kardiovaskular,
melewati sawar darah uri, merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme sphincter
kandung empedu dan rasa gatal pada hidung dan seluruh tubuh.
Morphine : rute iv/im/it/epidural. Dosis IV 0,2mg/kgBB, IM 10mg/6jam, IT 0,05 02 mg
untuk 24 jam , epidural 2 mg untuk 12 jam. Antagonis naloxone 0,04mg/kgBB

Pethidine : rute iv/im. Digunakan juga sebagai anti shierving (menggigil) dengan dosis 25
75 mg/iv pelan.
Fentanyl : rute iv/it/epidural. Dosis IV 02 0,5 mcg/kgBB, IT 25 mcg untuk 6 jam,
epidural 50 100 mcg untuk 6 jam.3

Induksi Anestesia
Induksi anesthesia merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara
intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope

Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih

bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube

Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun

dengan balon (cuffed).


A : Airway

Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-

tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape

Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

penyedot secret saluran napas, darah, lendir, ludah.2

S : Suction
Intubasi Trakea3

a) Indikasi Intubasi Trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan napas,
dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
b) Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat ( Klasifikasi Mallampati)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas

Gambar 1. Klasifikasi Mallampati

c) Komplikasi intubasi
Selama intubasi: Trauma gigi geligi, laserasi bibir, gusi, laring, merangsang saraf
simpatis, intubasi bronkus, intubasi esophagus, aspirasi, spasme bronkus
Setelah ekstubasi: Spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis-subglotis,
infeksi laring, faring, trakea.
Ekstubasi: Tindakan mengelurakan pipa trakea dari saluran napas. Sebelum dilakukan ektubasi,
harus dipastikan pasien dalam kondisi sudah bernapas spontan dan adekuat, kemudian suction
secret yang ada pada jalan napas, lalu lakukan intubasi.
Prosedur Intubasi:

Pasien dipersiapkan di ruang operasi dengan tidur terlentang pada meja operasi.
Mempersiapkan mesin anestesi, monitor dan ventilator.
Pasien dipasang manset, oxymeter pulse, EKG lead dan kateter urin.
Persiapan STATICS: Stetoskop, laringoskop, ETT 3 ukuran (biasanya disiapkan
nomor 7;7,5; 8 untuk dewasa), LMA, sungkup muka, gudel 3 ukuran ( merah, kuning,
hijau), plester, stilet ( kawat guide saluran napas), xylocain gel, connector ke mesin

anestesi dan suction untuk mengeluarkan sputum.


Menyiapkan obat obatan anestesi umum seperti fentanyl dan midazolam untuk

premedikasi, propofol dan rocuronium sebagain induksi.


Menyediakan obat obat emergency seperti atropine, epinefrin, dobutamin, dopamine
serta obat obatan lain seperti ranitidine, ketorolac, ondansetron dan asam

tranesksamat.
Suntikan premedikasi fentanyl 100 mcg, midazolam 2 mg.
Letakkan sungkup mendekati mulut dan hidung pasien.
Berikan preoksigenasi dengan oksigen 5 10L/ menit pada pasien melalui sungkup.
Menyuntikan propofol 100 mg sebagai induksi anestesi dan rocuronium 50 mg.
Setelah pasien tertidur periksa refleks bulu mata dan perhatikan napasnya.
Bila refleks bulu mata telah hilang pasang masker dengan posisi yang benar (Jaw

thrust, chin lift, tekan masker dengan ibu jari dan telunjuk).
Berikan oksigenasi
Setelah 2 - 3 menit setelah propofol dan rocuronium bekerja, lakukan intubasi.

Gunakan Laringoskopi Intubasi

Laringoskop dinyalakan

Buka mulut dengan tangan pasien, gerakan menyilang (ibu jari menekan

mandibula kebawah, jari telunjuk menekan maksila ke atas)


Pegang laringoskop dengan tangan kiri
Masukan mulai dari sisi kanan kemudian menyingkirkan lidah kekiri.
Cari epiglottis. Tempatkan ujung bilah laringoskop di valekula ( pertemuan

epiglottis dan pangkal lidah ).


Angkat epiglottis dengan elevasi laringoskop keatas untuk melihat plica vokalis.
Bila tidak terlihat, minta bantuan asisten untuk melakukan BURP Manuever

( Back , Up, Right Pressure ) pada cartilage cricoids sampai terlihat plica vokalis.
Masukan ET sampai ujung proksimal cuff ETT melewati plica vokalis.
Kembangkan cuff ET secukupnya ( sampai tidak ada kebocoran udara ).
Cek dengan cara memberikan VTP. Pada pasien cek dengan auskultasi

menggunakan stetoskop, bandingkan suara napas paru kanan dan paru kiri.
Setelah pasti diletakkan di trakea, pasang OPA supaya tidak tergigit oleh pasien.
Fiksasi supaya tidak lepas = mulai dari sisi sebelah atas kemudian memutar dan
menyilang kesebelah bawah.

Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu
diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak,
tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O 2 .
Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

Propofol (diprivan, recofol). Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. Onset 30
45 detik. Durasi 4 7 menit. Efek klinis yang hilangnya kesadaran, depresi refleks jalan napas
dan anti emetic. Efek samping yang ditimbulkan hipotensi, depresi napas hingg apnea, nyeri pada
saatpenyuntikam, pergerakan involunter, cegukan dan propofol infusion syndrome ( asidosis
metabolic, kardiomiopati akut, dan miopati skeletal.
Ketamin (ketalar). Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur
dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan
sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100
mg). Efek klinisnya menghilangkan kesadaran dan sebagai analgesic tanpa mendepresi napas dan
kardiovaskular.
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil). Diberikan dosis tinggi. Tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mcg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mcg/kg/menit.3-5
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskulardengan dosis
5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.4
Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk gas, tak
berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus

disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian,
tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan). Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup
dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi
refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan
insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
Enfluran (etran, aliran). Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
Isofluran (foran, aeran). Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,
sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner. Kecepatn induksi 2 3 menit, jarang digunakan tunggal karena
iritatif terhadap mukosa saluran napas. Konsentrasi induksi 5%, konsentrasi pemeliharaan 1
1,5%.
Desfluran (suprane). Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran
dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane). Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Kecepatan induksi 2 3 menit. Konsentrasi induksi 6 7 %,
konsentrasi pemeliharaan 2 3%. 3-5
Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.4

Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka
tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai
pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.4
Pelumpuh otot nondepolarisasi
Pelumpuh otot menyebabkan paralisis semua otot volunteer, serta termasuk oto respirasi. Oleh
Karena itu, pasien sudah harus tidak sadar dan dapat diventilasi sebelum pemberian obat ini.
Rocuronium. Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat
bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit,
kecepatan efek kerjanya -2 menit. Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot: Cegukan
(hiccup),dinding perut kaku, ada tahanan pada inflasi paru. Efek samping nyeri pada saat
pemberian, takikardi dan reaksi alergi.3,4
Rumatan Anestesi
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi
otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis
tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total
intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.2

Monitoring Perianesthesia2
Monitoring adalah segala usaha untuk memperhatikan, mengawasi dan memeriksa pasien
dalam anestesi untuk mengetahui keadaan dan reaksi fisiologis pasien terhadap tindakan anestesi
dan pembedahan. Tujuan utama monitoring anestesi adalah diagnosa adanya permasalahan,
perkiraan kemungkinan terjadinya kegawatan, dan evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk
efektivitas dan adanya efek tambahan.
Monitoring Sistem Kardiovaskuler. Monitoring sistem kardiovakuler dapat dilakukan dengan
memantau hal-hal berikut ini:
a. Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan sirkulasi sering terjadi
selama anestesi. Pemantauan frekuensi dan irama nadi dapat dilakukan dengan mudah, misalnya
dengan meraba arteri temporalis, arteri radialis, arteri femoralis atau arteri karotis. Dengan
meraba nadi, kita mendapat informasi tentang kuat lemahnya denyut nadi, teratur tidaknya irama
nadi, frekuensi denyut nadi. Makin bradikardi makin menurunkan curah jantung. Monitoring nadi
secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan elektronik seperti EKG atau oksimeter yang
disertai dengan alarm.
b. Tekanan darah
Tindakan anestesi umum atau regional adalah indikasi mutlak untuk dilakukannya
pengukuran tekanan darah. Teknik dan macam pengukuran tekanan darah tersebut sangat
bergantung pada kondisi pasien dan jenis tindakan pembedahan. Pada banyak kasus, pengukuran
setiap 3 sampai 5 menit dengan cara auskultasi dianggap sudah memenuhi syarat. Tetapi dalam
kasus pasien dengan kegemukan, pasien anak, atau pasien syok, akan lebih baik menggunakan
teknik Doppler atau oskilometer. Pengukuran harus dihindari pada anggota gerak tubuh dengan
abnormalitas (misalnya dialysis shunts) atau dengan jalur intravena.
Selain memperhatikan sistole dan diastole, perlu juga diperhatikan mean arterial preassure
(MAP). MAP dapat dihitung dengan rumus tekanan diastole + 1/3 (tekanan sistole tekanan
diastole) atau { (tekanan sistole + 2 tekanan diastole) : 3 }.
Perlengkapan yang digunakan untuk mengukur tekanan darah secara non invasif yang
sederhana antara lain adalah manset (kaf), manometer dan stetoskop. Yang perlu diperhatikan
adalah ukuran kaf tidak boleh terlalu kecil atau terlalu besar, karena akan mempengaruhi nilai
pembacaan tekanan darah. Apabila kaf yang digunakan terlalu kecil, maka tekanan darah yang

terbaca akan lebih tinggi dari seharusnya dan begitu pula sebaliknya. Dianjurkan lebar manset
adalah 2/3 panjang lengan atau 20% - 50% lebih besar dari diameter lengan. Manometer standar
yang baik digunakan adalah manometer air raksa. Namun dapat juga digunakan manometer
aneroid, tetapi harus dikalibrasi dulu dengan manometer air raksa. Untuk saat ini, penggunaan
manometer dan stetoskop telah banyak ditinggalkan, karena telah terdapat monitor elektronik
yang secara teknis lebih praktis digunakan.
Pengukuran Tekanan Darah Secara Non Invasif

Metode palpasi.

Sebelum melakukan pengukuran, kita harus menentukan terlebih dahulu denyut arteri
perifer yang dapat dirasakan. Setelah itu, kita kembangkan kaf sampai denyut nadi tidak teraba.
Perlahan-lahan kaf kita kempeskan sampai teraba kembali denyut nadi. Tekanan sistolik terbaca
saat arteri terasa berdenyut untuk pertama kali. Tetapi oleh karena ketidaksensitifan perabaan kita
dan adanya perbedaan waktu antara aliran dibawah kaf dan pulsasi pada sebelah distal, maka kita
tidak dapat menentukan tekanan diastolik dan tekanan arteri rerata.

Metode auskultasi

Teknik yang digunakan pada metode Korotkoff atau auskultasi hampir sama dengan
metode palpasi, hanya ditambah stetoskop yang ditempatkan di sekitar arteri brakialis. Tekanan
sistolik ditunjukkan saat pertama kali bunyi nadi terdengar dan tekanan diastolik adalah saat
bunyi tersebut menghilang. Bunyi Korotkoff biasanya sulit didengarkan jika terjadi keadaan
hipotensi atau vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

Metode Doppler

Metode ini sangat baik digunakan pada pasien dengan kegemukan, pasien anak-anak atau
pasien yang dalam keadaan syok. Prinsip dari alat ini adalah pulsasi dari dinding arteri atau
pergerakan darah yang melalui suatu transduser memancarkan suatu gelombang ultrasonik. Mulamula kaf dipompa sampai melewati batas tekanan sistolik. Perlahan-lahan kaf dikempeskan dan
setelah melalui batas tekanan sistolik, dinding arteri akan berpulsasi dan akan diteruskan melalui
transduser. Penempatan probe harus tepat diatas arteri. Pada metode Doppler, tekanan yang dapat
diukur hanyalah tekanan sistolik saja.

Gambar 2. Probe Doppler harus selalu tepat di atas arteri agar pengukuran tekanan darah akurat.

Oskilometer

Pulsasi arteri akan menyebabkan oskilasi pada tekanan kaf. Oskilasi ini kecil apabila kaf
dikembangkan diatas tekanan sistolik. Saat tekanan kaf turun sampai tekanan sistolik, pulasai
akan dihantarkan ke seluruh kaf dan oskilasi akan meningkat. Oskilasi maksimal terjadi saat
mencapai tekanan arteri rerata, setelah itu akan turun kembali. Monitor tekanan darah elektronik
akan secara otomatis mencatat perubahan gelombang oskilasi ini. Monitor oskilometer sebaiknya
tidak digunakan pada pasien yang menjalani pembedahan bypass kardiovaskuler. Sampai
sekarang ini, peralatan oskilometer ini masih terus dikembangkan, dan di Amerika Serikat
menjadi pilihan dalam pemantauan tekanan darah noninvasive.

Gambar 3. Gambaran perubahan gelombang pada oskilometer


Pengukuran Tekanan Darah Secara Invasif

Kateterisasi arteri

Indikasi dari pemantauan tekanan darah dengan menggunakan kateterisasi arteri adalah
tindakan anestesi dengan hipotensi buatan, antisipasi pada tindakan pembedahan dengan
perubahan tekanan darah yang cepat, tindakan pembedahan yang memerlukan pemantauan
tekanan darah dengan tepat secara cepat dan pemantauan analisa gas darah secara berkala selama
tindakan pembedahan. Tindakan kateterisasi arteri ini dikontraindikasikan pada pembuluh darah
yang tidak terdapat kolateral atau pada pasien yang sebelumnya dicurigai adanya insufisiensi
pembuluh darah pada anggota gerak tubuh (misalnya Raynauds phenomenon).
Arteri radialis merupakan arteri yang sering untuk pelaksanaan kanulasi. Selain letaknya
yang superfisial juga karena memiliki banyak kolateral. Arteri lain yang dapat digunakan untuk
kanulasi adalah arteri ulnaris, arteri brakialis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis dan arteri
tibialis posterior serta arteri aksilaris.

Gambar 4. Cara melakukan kanulasi arteri radialis.

Kateterisasi vena sentral

Indikasi dari kateterisasi vena sentral adalah untuk pemantauan tekanan vena sentral pada
penatalaksanaan cairan pada keadaan hipovolemi dan syok, infus nutrisi parenteral dan obatobatan, aspirasi emboli udara, insersi transcutaneous pacing leads, dan pada pasien dengan akses
vena perifer yang tidak baik.

Kontraindikasi dari kateterisasi vena sentral termasuk didalamnya adalah penyebaran sel
tumor ginjal yang masuk ke atrium kanan atau fungating tricuspid valve vegetations.
Kontraindikasi lainnya adalah yang berhubungan dengan tempat kanulasi. Sebagai contoh
kanulasi vena jugularis interna dikontraindikasikan (relatif) pada pasien yang mendapatkan terapi
antikoagulan atau yang pernah dilakukan ipsilateral carotid endarterectomy, oleh karena
kemungkinan terjadinya penusukan arteri karotis yang tidak disengaja.
Komplikasi yang dapat terjadi selama tindakan kanulasi vena sentral termasuk
didalamnya adalah infeksi, emboli udara atau trombus, disritmia (jika ujung kateter masuk ke
atrium kanan atau ventrikel), hematom, pneumotoraks, hidrotoraks, chylothorax, perforasi
jantung, tamponade jantung, trauma pembuluh darah atau nervus dan trombosis. Komplikasi ini
dapat terjadi bila kita tidak menggunakan teknik yang benar.

Gambar 5. Cara pemasangan kanulasi vena jugularis interna

c. Elektrokardiografi
Semua

pasien

yang

menjalani

anestesi

harus

selalu

dipantau

gambaran

elektrokardiogramnya. Tidak ada kontraindikasi dalam pelaksanaan tindakan ini. Gambaran EKG
menunjukkan aktivitas listrik dari jantung. Selama tindakan anestesi, EKG dipakai untuk
pemantauan kejadian disritmia kordis, iskemia miokard, perubahan elektrolit, henti jantung dan
aktivitas alat pacu jantung. Besarnya gambaran gelombang yang muncul, akan berkurang dengan
peningkatan ketebalan dinding dada atau elektroda yang digunakan tidak baik. Gambaran ini juga
dapat dipengaruhi oleh aktivitas peralatan listrik (misalnya elektro kauter) yang digunakan
selama tindakan pembedahan.
Dalam EKG, potensial listrik yang diukur adalah kecil, sehingga artefak merupakan masalah
yang sering timbul. Pergerakan dari pasien atau kabel lead, penggunaan elektrokauter, 60-cycle
interference dan elektroda yang kualitasnya tidak baik akan dapat memberikan gambaran seperti
disritmia

Gambar 6. Konfigurasi penempatan 3 lead EKG pada pasien.

d. Banyaknya Perdarahan.
Dalam tindakan pembedahan besar, kehilangan darah menjadi masalah yang penting.
Selama tindakan anestesi dan pembedahan, kita harus menghitung jumlah perdarahan, baik itu
dari tabung suction, dari kasa operasi yang mengandung darah, dari kain penutup pasien, dari
baju ahli bedah, maupun dari darah yang mungkin ada di lantai. Pada anak-anak atau bayi,
jumlah perdarahan sedikit sudah dapat mengakibatkan anemia.
Monitoring Respirasi
a. Oksimetri Denyut.
Oksimeter denyut mengukur denyut nadi dan tingkat saturasi oksigen hemoglobin dengan
menggunakan metode penyerapan gelombang cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Hasil
yang didapatkan dengan menggunakan oksimeter denyut ini dapat dipercaya dalam mengukur
frekuensi denyut nadi dan tingkat saturasi oksigen hemoglobin secara noninvasive, sehingga alat
ini digunakan sebagai peralatan standar dalam pemantauan selama anestesi. Komplikasi
penggunaan oksimeter denyut sangat jarang terjadi, tetapi bila probe dipasang pada ekstremitas
untuk jangka waktu yang lama, akan dapat menimbulkan kerusakan kulit. Sayangnya, kelemahan
dari pulse oksimeter ini adalah tanda yang diterima apabila terjadi kegagalan oksigenasi biasanya
terlambat, yaitu setelah pasien mengalami hipoksemia yang mungkin terjadi beberapa menit
sebelumnya, contohnya pada terputusnya sistem pernafasan dari mesin anestesi ke pasien.
b. Kapnometer
Kapnometer adalah alat non invasif untuk mengukur kadar CO2 pada satu siklus respirasi di
dalam sirkuit napas. Alat ini menggambarkan kadar CO2 pada fase inspirasi dan ekspirasi serta
menunjukkan kadar CO2 pada akhir ekspirasi (End Tidal CO 2 atau ETCO2). Pengukuran kadar
CO2 dalam sirkuit nafas ini berguna untuk menilai ventilasi yang adekuat, deteksi intubasi
esofageal, diskoneksi sirkuit nafas atau ventilator, problem sirkulasi dan deteksi hipertermia
maligna.
Kapnografi adalah pemeriksaan gold standard pada intubasi esofageal, dimana tidak ada
atau sangat kecil CO2 terdeteksi bila dilakukannya pemasangan intubasi esofageal. Peningkatan
tekanan intrakranial dengan menurunkan PaCO2 dapat dengan mudah dipantau dengan
menggunakan analisa ETCO2. Penurunan secara cepat ETCO2 adalah indikator yang sensitif
terhadap terjadinya emboli udara yang sering terjadi pada kraniotomi dengan posisi duduk.

Monitoring Suhu Tubuh. Selama tindakan anestesi, terutama dalam waktu yang lama atau pada
bayi dan anak kecil, tempertur pasien harus selalu dipantau. Alat yang digunakan untuk
memantau temperature adalah termistor atau thermocouple.
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran suhu sangat
penting pada anak terutama bayi, karena bayi mudah sekali kehilangan panas secara radiasi,
konveksi, evaporasi dan konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis,
pulih anestesia lambat.
Monitoring Ginjal. Dalam tindakan anestesi pemantauan produksi urin menjadi hal yang
penting. Produksi urin menggambarkan fungsi system urogenital dan secara tidak langsung
menunjukkan keadaan curah jantung, volume intravaskuler dan aliran darah ke ginjal.
Indikasi untuk dilakukan pemasangan kateter urin adalah pada pasien dengan penyakit
jantung kongestif, gagal ginjal, penyakit hati lanjut, atau pasien syok. Selain itu kateterisasi urin
merupakan tindakan yang rutin dilakukan pada pembedahan jantung, bedah aorta atau pembuluh
darah ginjal, kraniotomi, bedah abdomen mayor, pembedahan dengan waktu lama dan
pembedahan yang kemungkinan memerlukan cairan yang banyak serta pemberian obat diuretika
selama pembedahan.
Jumlah urin yang keluar menggambarkan fungsi dan perfusi dari ginjal. Semua ini adalah
peunjuk keadaan fungsi ginjal, kardiovaskular dan volume cairan. Urin yang keluar dianggap
baik apabila volumenya lebih atau sama dengan 0,5 ml/kgBB/jam, dan bila kurang dari jumlah
tersebut perlu mendaptkan perhatian.
Monitoring Blokade Neuromuskular. Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot
sudah cukup baik atau sebaliknya
setelah selesai anestesia apakah tonus otot sudah kembali normal.
Monitoring Sistem Saraf. Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien dalam keadaan tidak sadar,
monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan memeriksa respons pupil terhadap cahaya, respon
terhadap trauma pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.

Tatalaksana Pasca Operatif3

Pasca anestesia merupakan periode kritis, yang segera dimulai setelah pembedahan dan anestesia
diakhiri sampai pasien pulih dari pengaruh anesthesia. Resiko pasca anestesia berdasarkan
masalah yang akan dihadapi ,pasien pasca anestesia dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
Kelompok I : Pasien yang mempunyai resiko tinggi gagal nafas dan goncangan kardiovaskular
pasca anestesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali pasca anestesia/bedah. Pasien ini langsung
dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah tanpa menunggu pemulihan diruang pulih.
Kelompok II: Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk kelompok ini. Tujuan
perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga
keadekuatan respirasinya
Kelompok III: Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Tujuan pasca operatif
adalah bebas dari rasa kantuk, mual muntah, dan nyeri sehingga pasien dapat kembali pulang.
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk
menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di
ruang Recovery room (RR). Hal yang dinilai menurut Aldrete Score:
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1

Tidak bergerak, 0

DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Michail MS, Muray MJ. Clinical anesthesiology. 5th ed. New York: Lange;
2013.
2. Soenarto R, Chandra S. Buku ajar anestesiologi. Jakarta: Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia; 2012.
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MW. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi kedua.
Jakarta: Departemen Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Univesitas
Indonesia; 2002
4. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan terapi. Jakarta: FK UI; 2000.
5. Katzung, Betram G.Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2002.

Anda mungkin juga menyukai