EPILEPSI
Disusun Oleh :
Haura Deast Ning Tiarani
1061050162
KEPANITERAAN NEUROLOGI
PERIODE 25 JANUARI 2016 27 FEBRUARI 2016
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
neuron kortikal secara berlebihan. Epilepsi gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan yang bersifat spontan dan berkala.1
Epilepsi berasal dari bahasa yunani yang berarti serangan atau penyakit yang
timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi di masyarakat.
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak, yang
menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh
kembang, dan menentukan kualitasi hidup anak. Insidensi epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbaai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada deasin
peneliatian dan kelompok umur populasi.2
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 40%-50% terjadi pada anak anak. Sebagian besar epilepsi bersifat
idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurollogi seperti retardasi mental, palsi
serebral , dan sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat.3
Data dari WHO menyebutkan bahwa dari banyak studi menunjukan rata-rata
prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per
100.000 penduduk. Meskipun di indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi dan
insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau
membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang.2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi epilepsi
Epilepsi berasal dari kata kerja yunani kuno epilambanien yang berarti menguasai
memiliki, atau menimpa epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuronneuron secara paroksismal, dan disebkan oleh berbagai etiologi.1,2
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas llistrik sekelompok sel saraf di otak, bukan
disebabknan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama sma yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis
bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.3
Klasifikasi
Kejang telah dikelompokkan dalam beberapa cara: berdasarkan kemungkinan
etiologi, seperti idiopatik (primer) atau simptomatik (sekunder); daerah asal lesi; bentuk
gambaran klinis (generalisata atau lokal); frekuensi (terisolasi, siklik, atau berulang, atau
mendekati status epileptikus); atau kaitan dengan elektrofisiologi khusus. Perbedaan harus
dibuat antara klasifikasi kejang (gejala klinis epilepsi: tonik klonik generalisata (grand
mal), absence (petit mal), myoklonik, parsial, atau lainnya), dan klasifikasi epilepsi, atau
sindroma epilepsi, yang mana merupakan penyakit spesifik, kebanyakan dapat memunculkan
gejala beberapa tipe kejang. Perbedaan lebih lanjut dapat dibuat dengan aspek klinis dan
EKG. Pendekatan ini memberikan prediksi dari respon terhadap pengobatan spesifik dan jika
memungkinkan, prediksi prognosis. Pada dasarnya, klasifikasi ini membagi kejang menjadi
dua tipefokal (sebelumnya dengan istilah parsial), yang mana onset lokal atau fokal dapat
dibedakan baik secara klinis atau EEG, dan generalisata, yang mana kejang muncul secara
bilateral.3
Gambar 1.1 proposal ILAE untuk revisi terminologi pengelompokan kejang dan
epilepsi dari klasifikasi kejang 2010
KEJANG FOKAL
Kejang Lobus Frontalis (Kejang Fokal Motorik dan Jacksonian)
Kejang motorik fokal atau parsial merupakan manifestasi dari lesi lobus frontalis.
Tipe yang paliing sering ditemukan, berasal dari area motorik suplementari, dengan pola
kepala menoleh dan mata bergerak ke arah berlawanan fokus, sering diikuti dengan perluasan
tonik dari ekstremitas, juga pada sisi kontralateral dari hemisfer yang terkena. Lobus frontal,
yang sangat besar, dapat memunculkan banyak tipe kejang. Kejang Jacksonian diawali
dengan deviasi kepala dan mata, dan terkadang seluruh tubuh, yang disebut
dengan versive dan adversive. Karena pergerakan menoleh biasanya ke sisi berlawanan dari
fokus iritatif, contraversive dan ipsiversive merupakan istilah yang dapat digunakan.
Kejang motorik Jacksonian juga dapat dimulai dengan kontraksi tonik dari jari pada
satu tangan, sebelah wajah, atau otot dari sebelah kaki. Kejang ini akan bertransformasi
menjadi pergerakan klonik dalam hal ini analog dengan yang terjadi pada kejang kloniktonik-klonik generalisata.
Setelah kejang dengan memiliki karakteristik motorik fokal, akan timbul paralisis
transien dari ekstremitas yang terkena. Paralisis Todds ini berlangsung dalam beberapa menit
atau terkadang beberapa jam setelah kejang, biasanya sebagai proporsi dari durasi kejang.
Paralisis fokal berkelanjutan setelah periode ini biasanya menunjukkan munculan lesi otak
fokal sebagai penyebab yang mendasari kejang atau yang menimbulkan kejang pada bentuk
nonkonvulsif. Fenomena Todd serupa juga ditemukan pada kasus epilepsi fokal yang
melibatkan area bahasa, somestetik, atau visual; defisit yng menetap akan berhubungan
dengan area otak yang terkena.
Kejang Somatosensori, Visual, dan Tipe Lain dari Kejang Sensorik
Kejang somatosensorik, baik fokal atau awalnya fokal lalu menjalar ke bagian tubuh
lain pada satu sisi, biasanya menunjukkan fokus pada atau dekat konvolusi postrolandik dari
hemisfer serebri kontralateral. Penfield dan Kristiansen menemukan fokus kejang pada
konvolusi presentral dan postsentral pada 49 dari 55 kasus. Kelainan sensorik biasanya
digambarkan dengan rasa kebas atau pins-and-needles dan sensasi merayap (formikasi),
rasa sengatan listrik, atau pergerakan bagian tubuh.
Etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatk, kriptogenik
dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah idiopatik yang tidak
membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor,
diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron
sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik
berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar
neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistemsistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak. 1,2,6,7
Gambar 2.1Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat
menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal. Pada sklerosis
hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan molekular dalam (karena
sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori
yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya.
Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara
normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus.
Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif
gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya
terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi
perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa
terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi
neuron dengan cara mengalirkan ion klorida.
Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel
granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat
dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat
diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera
di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA
reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada
plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga
tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.
3. Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi.
Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun
tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron
yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan
(fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga
terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi(focus ) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa
mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan
retardasi mental.
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.
Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR
ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal
ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya
mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.9 Berbicara mengenai kanal ion maka peran
natrium, kalium dan kalsium merupakan ion- ion yang berperan dalam sistem komunikasi
neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan
dalam komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion
tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi.
Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.
Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric
acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai
sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di
hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.7,8
Gejala
Kejang parsial simplek
Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:
deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih
tertentu.
Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
Halusinasi
Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.2,8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis
menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan
tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal
atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. emeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.
Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna
jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
b. Rekaman EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan.
Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti,
serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial
dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
Diagnosis Banding
Diagnosi banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umut penderita.
1. Pada neonatus dan bayi
a. Jittering
b. Apneic spell
2. Pada anak
a. Breath holding spells
b. Sinkope
c. Migren
d. Bangkitan psikogenik/konversi
e. Prolonged QT syndrome
f. Night terror
g. Tic
h. Hypersianotic attack
3. Pada dewasa
a. Sinkope
b. Serangan iskemik sepintas
c. Vertigo
d. Transient global amnesia
e. Narkolepsi
f. Bangkitan panic, psikogenik
g. Sindrom menier
h. Tics
Penatalaksanaan2,8,9
Tatalaksana epilepsi meliputi tiga bidang:
1.
2.
Terapi
3.
Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan penderita dari serangan epilepsi, tanpa
mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat menjalani kehidupannya
tanpa gangguan. Terapi dapat dibagi dalam dua golongan:
a.
Terapi kausal6
Terapi kausal dapat dilakukan pada epilepsi simtomatik yang sebabnya dapat ditemukan,
misalnya:
Pada infeksi susunan saraf pusat dan selaputnya, diberikan antibiotik atau obat-obat lain
tindakan operatif
b.
Pada gangguan peredaran darah otak pemberian oksigen mungkin dapat membantu
Terapi medikamentosa1,2,3,5,6
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma
epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya. Penggunaan terapi
tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh
harga dan efek samping OAE yang timbul Antikonvulsan Utama
1. Fenobarbital
2. Phenitoin
3. Karbamasepin
4. Valproate
1.
Golongan Hidantoin
Fenitoin
Merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat ini antara lain penghambatan
penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak.
Indikasi: epilepsi umum khususnya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal dan dapat juga untuk
epilepsi lobus temporalis.
Dosis: dewasa 300-600 mg/hari, anak 4-8 mg/hari, maks. 300 mg/hari
Golongan Barbiturat
Fenobarbital
Merupakan golongan baribiturat yang bekerja lama (long acting). Kerjanya membatasi
penjalaran aktivitas serangan dengan menaikkan ambang rangsang.
Indikasi: epilepsi umum khusus epilepsi Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal.
Dosis: dewasa 200 mg / hari, anak 3-5 mg/kgBB/hari
1. Golongan Benzodiazepam
Diazepam
Dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama untuk
status epileptik.
Dosis: dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang setiap 4 jam. Anak > 5 tahun 5-10 mg
im/iv, anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv.
2. Golongan Suksinimid
Etosuksimid
Sodium valproat
Indikasi: epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus temporalis
yang refar akter, sebagai kombinasi dengan obat lain.
Dosis: anak 20-30 mg/kgBB/har i, dewasa 0,8-1,4 gr/hari dimulai dengan 600
mg/hari.
Asetazolamid
Dikenal sebagai diuretik, tetapi pada pengobatan epilepsi mempunyai cara kerja
menstabilkan keluar masuknya natrium pada sel otak.
Indikasi: Dapat dipakai pada epilepsi Petit Mal, dan pada epilepsi Grand Mal dimana
serangannya sering datang bethubungan dengan siklus menstruasi.
Dosis: sehari total 8-30 mg/kgBB
Karbamazepin
Tindakan:
1. Operasi2,9
Indikasi operasi :
a. Fokal epilesi yang intraktabel terhadap obat obatan
b. Sindroma Epilepsi fokal simptomatik Kontraindikasi:
Kontraindikasi absolut
a. Penyakit neurologik yang progresif (baik metabolic maupun
degeneratif.
b. Sindroma epilepsi yang benigna, dimana diharapkan terjadi remisi
dikemudian hari
Kontraindikasi relatif:
a. Ketidak patuhan terhadap pengobatan
b. Psikosis interiktal
c. retardasi mental
Jenis jenis operasi:
a. Operasi reseksi; pada mesial temporal lobe, neokortikal
b. Diskoneksi : korpus kalosotomi, multiple supial transection
c. Hemispherektomi
2. Stimulasi Nervus vagus2.9
PENYULIT Prognosis pengobatan pada kasus-kasus baru pada umumnya
baik, pada 70-80% kasus bangkitan kejang akan berhenti dalam beberapa tahun
pertama. Setelah bangkitan epilepsi berhenti, kemungkinan rekurensinya rendah, dan
pasien dapat menghentikan OAE. Prognosis epilepsi akan menjadi lebih buruk bila
terdapat hal-hal sebagai berikut:
a. Terdapat lesi struktural otak
b. Bangkitan epilepsi parsial
c. Sindroma epilepsi berat
d. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
e. Frekuensi bangkitan tonik-klonik yang tinggi sebelum dimulainya
pengobatan
f. Terdapat kelainan neurologis maupun psikiatris
Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan
berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama.
Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam process
kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang epilepsi mungkin juga karena
genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum
diketahui.
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Nn. T N
Umur
21 tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Alamat
Agama
Katholik
Status perkawinan
Belum Menikah
Pekerjaan
Pegawai swasta
Tanggal Masuk RS
25 Januari 2016
Medical Record
03104961
II. ANAMNESIS
: Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tanda Vital
Tekanan darah
: 100/70mmHg
Denyut nadi
: 88 x/mnt
Suhu
: 36,3 C
Pernapasan
: 19 x/mnt
Kepala
Bentuk
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
: Normocephali
: Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
: Septum deviasi(-), sekret(-)
: Normotia, serumen +/+
: Mukosa tidak hiperemis, pucat (-), sianosis (-),
Oral hygiene baik.
Leher
Thorax
Jantung
Paru
Abdomen
: Datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal, Ekstremitas
: Akral hangat, tidak ada oedem
B. STATUS NEUROLOGIK
GCS : E4 M6 V5
Tanda Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), laseque (-),kernig (-),
burdzinski I (-), burdzinski II (-).
SARAF KRANIAL
1) N. I (Olfactorius )
Normosmia
2) N.II (Opticus)
Kanan
Kiri
Keterangan
Daya penglihatan
dbn
dbn
Lapang pandang
dbn
dbn
Pengenalan warna
Tidak dilakukan
3) N.III (Oculomotorius)
Kanan
Kiri
Keterangan
(-)
(-)
Normal
Bentuk
Bulat
Bulat
Normal
Ukuran
3 mm
3 mm
Normal
Baik
Baik
Normal
Langsung
(+)
(+)
Normal
Tidak langsung
(+)
(+)
Normal
Ptosis
Pupil
4) N. IV (Trokhlearis)
Kanan
Kiri
Keterangan
(+)
(+)
Normal
5) N. V (Trigeminus)
Kanan
Kiri
Motorik
5555
5555
Sensibilitas
dbn
dbn
Refleks kornea
Keterangan
6) N. VI (Abduscens)
Kanan
Kiri
Keterangan
(+)
(+)
Normal
Strabismus
(-)
(-)
Normal
Deviasi
(-)
(-)
Normal
7) N. VII (Facialis)
Kanan
Kiri
- Sudut mulut
Baik
Baik
- Mengerutkan dahi
Baik
Baik
- Mengangkat alis
Baik
Baik
- Lipatan nasolabial
Simetris
Simetris
- Meringis
Baik
Baik
Motorik:
8) N. VIII (Akustikus)
Kanan
Kiri
Keterangan
Pendengaran
Dbn
dbn
Tidak
terdapat
penurunan pendengaran
9) N. IX (Glossofaringeus)
Arkus farings
Kanan
Simetris
Kiri
Simetris
Keterangan
Normal
Daya perasa
dbn
dbn
Normal
Refleks muntah
Normal
10) N. X (Vagus)
Keterangan
Bicara
Baik
Menelan
Baik
11) N. XI (Assesorius)
Kanan
Kiri
Keterangan
m. trapezius
Kuat
Kuat
m. sternokleidomastoideus
Kuat
Kuat
Kiri
Keterangan
Pergerakan lidah
Baik
Baik
Artikulasi
Baik
Baik
Deviasi Lidah
Kekuatan
5555 5555
5555
5555
V. SISTEM SENSORIK
Raba
Nyeri
Tidak dilakukan
Suhu
Tidak dilakukan
Propioseptif
Tidak dilakukan
VI. REFLEKS
Kanan
Kiri
Keterangan
Biseps
(+)
(+)
Normal
Triseps
(+)
(+)
Normal
KPR
(+)
(+)
Normal
APR
(+)
(+)
Normal
Fisiologis
Patologis
Hoffman
(-)
(-)
Tromer
(-)
(-)
Babinski
(-)
(-)
Chaddock
(-)
(-)
schaefer
(-)
(-)
Oppenheim
(-)
(-)
Gordon
(-)
(-)
Kanan
Baik
Kiri
Baik
Baik
Baik
Tandem
Baik
Baik
Romberg
(-)
(-)
Defekasi
: (+)
Fungsi hati
o SGOT : 17 U/L
o SGPT : 28 U/L
FUNGSI GINJAL
o Ureum : 17 mg/dl
o Kreatinin : 0.87 mg/dl
Kesan :
Parenkim otak tidak tampak infark / perdarahan/ SOL
Tidak tampak serebral atrofi
Cerebellum dan batang otak baik.8
V. RESUME
Pasien perempuan atas nama Nn. T usia 21 tahun datang dengan keluhan kejang
kurang lebih 5 jam SMRS, kejang dirasakan selama 5 menit, setelah kejang pasien langsung
tertidur. Keluhan ini sudah berkali kali terjadi tetapi dengan jangka waktu tidak menentu. Keluhan
ini pertama kali muncul saat pasien kelas 3 SMP, pasien sudah mencoba mengobati keluhan
tersebut dengan berobat ke dokter, dan diberi obat venitoin, tetapi obat tidak diminum secara rutin.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 88 kali/menit, laju napas 19 kali/ menit, suhu
36,3 C. Status generalis dalam batas normal. Pada status neurologis, ditemukan keadaan pasien
sebagai berikut :
GCS
: E4M6V5
Pupil
TRM
Nervus cranialis
Motorik
: 5555 5555
5555 5555
Refleks fisiologis
Refleks patologis
: Ekstremitas atas
: Biseps
: +/+
Triseps
: +/+
: +/+
Achilles
: +/+
: negatif
Diagnosa topis
bed rest
IVFD
Ringer Laktat / 12 jam
NaCl 100 cc + phenitoin 2 amp
Medikamentosa
Phenition 3 x 100 mg
Folic acid 2 x1mg
Pamol 3 x1 tab
Defacort 1 x 250 g
Pumpitor inj. 1 x 1
Ceftizoxim inj.
Phenitoin inj 1 amp jika kejang
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanasionam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad malam
Daftar Pustaka
1. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT
Dian Rakyat; 2009.
2. Harsono, kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Edisi KE-3. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia; 2008.
3. Misbach J. Patofisiologi Epilepsi. Dalam: Simposium Updates in
epilepsy. Jakarta; 2002.
4. Anonim. Epilepsi. [Online]. 2008 April 20 [cited 2012 March 12; 14
screens]. Available from: URL:
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/51092442
5. Sirven JI, Waterhouse E. Management of status epilepticus. [Online].
2003 August 01 [cited 2012 March 13; 7 screens].
6. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2005.
7. Guyton AC, Hall JE. Sistem saraf. In: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(textbook of medical physiology). Jakarta: Edisis ke-9. Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1996.
8. Bazil CW, mMonrell MJ, Pedley TA. Epilepsi. In : Rowland LP, Editor.
Merritts neurology. 11th ed. New york: Lippincott Williams&Wilkins,
2005.
9. Standar Pelayanan Medik, PERDOSSI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia); 2010.