Anda di halaman 1dari 18

0

Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Meningitis TB dengan Penerapan Range Of Motion
(ROM) dan Pelaksanaan Patient Safety : Pengurangan Resiko Pasien Jatuh di Ruang HCU
Irna Kebidanan Anak Rsup Dr. M. Djamil Padang
Tahun 2015
Rizki Kurniadia, Dwi Novrianda, Deswita, Hermalindab, Yeni Sukic
a. Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Andalas
b. Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Andalas
c. Staf RS Dr. M. Djamil Padang
Korespondensi : Rizki Kurniadi
Tuberculosis Meningitis is a medical emergency that gives the risk of disability and
mortality is quite high. Anyone can infected by bacterial meningitis, but is most common in infants
and children. One of the independent action of nurses in addressing the problem is an exercise
Range Of Motion (ROM) is done to maintain or improve the level of perfection ability of the joints
move normally and complete to increase muscle mass and muscle tone. Services in the room HCU
always prioritize patient safety, especially in the implementation of the risk assessment of patient
falls. The purpose of writing this final scientific report presents the results of nursing care to clients
with TB meningitis with Range Of Motion application and implementation of patient safety: Fall
Risk Reduction Patients. Writing method used is a case study. Procedures performed starting from
the assessment, data analysis, determine a diagnosis, plan, and evaluate the results of the
implementation. Nursing care carried out for 7 days to major nursing diagnosis Risk of Cerebral
Perfusion Network Ineffective. The final evaluation conducted on nursing problems obtained
attainment of the objectives of each nursing problems. The main issues raised management of
nursing services is the implementation of patient safety: Reduction in Patients at Risk of Falling
HCU space Midwifery Children IRNA. After implementation obtained increased application of
nurses in the assessment of risk of patient falls. This report can be input in the provision of nursing
care, especially in patients with TB meningitis hemiparese extremity problems and the
implementation of patient safety: the reduction of the risk of patient falls.
Keyword : Tuberculosis Meningitis, Range Of Motion (ROM),, Fall Risk Patients
Meningitis Tuberkulosis merupakan salah satu kegawatdaruratan medik yang memberi
resiko kecacatan dan kematian yang cukup tinggi. Siapapun bisa terkena bakteri meningitis, tetapi
paling umum pada bayi dan anak-anak. Salah satu tindakan mandiri perawat dalam mengatasi
masalah adalah latihan Range Of Motion (ROM) yang dilakukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot. Pelayanan di ruang HCU selalu
mengutamakan patient safety, terutama dalam pelaksanaan assessment resiko pasien jatuh. Tujuan
dari penulisan laporan ilmiah akhir ini adalah memaparkan hasil asuhan keperawatan pada klien
dengan Meningitis TB dengan penerapan Range Of Motion dan pelaksanaan patient safety:
Pengurangan Pasien Risiko Jatuh. Metode penulisan yang dipakai adalah case study. Prosedur yang

1
dilakukan dimulai dari pengkajian, analisis data, menentukan diagnosis, menyusun rencana, dan
mengevaluasi hasil implementasi. Asuhan keperawatan dilaksanakan selama 7 hari dengan
diagnosis keperawatan utama Resiko Perfusi Jaringan Serebral Tidak Efektif. Evaluasi akhir yang
dilakukan terhadap masalah keperawatan didapatkan tercapainya tujuan dari masing-masing
masalah keperawatan. Masalah utama manajemen pelayanan keperawatan yang diangkat adalah
pelaksanaan patient safety: Pengurangan Pasien Risiko Jatuh di ruang HCU IRNA Kebidanan Anak.
Setelah dilakukan implementasi didapatkan peningkatan penerapan perawat pelaksana dalam
assessment resiko pasien jatuh. Laporan ini dapat menjadi masukan dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya pada pasien Meningitis TB dengan masalah hemiparese ekstremitas serta
pelaksanaan patient safety : pengurangan resiko pasien jatuh.
Kata Kunci

: Meningitis TB, Range Of Motion (ROM), Resiko Pasien Jatuh

Meningitis
Tuberkulosis
(TB)
merupakan salah satu kegawatdaruratan medik
yang memberi resiko kecacatan dan kematian
yang cukup tinggi. Siapapun bisa terkena
bakteri meningitis, tetapi paling umum pada
bayi dan anak-anak. Orang-orang yang telah
lama atau kontak dekat dengan pasien
meningitis yang disebabkan oleh Neisseria
meningitidis atau Hib juga dapat berisiko
tertular (Ngastiyah, 2005).
Tidak jarang organisme yang relatif
memiliki derajat patogenitas rendah dapat
menyebabkan meningitis atau abses otak.
Demikian pula cairan serebrospinal (CSS) pada
beberapa kasus justru merupakan media yang
ideal untuk pertumbuhan kuman disamping
hambatan antibodi dan sel radang untuk
menembus jaringan saraf pusat oleh karena
adanya barrier darah otak. Dari segi klinis,
infeksi intrakranial seringkali menunjukkan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Hingga penting untuk mengenal diagnosis
secara dini dan memberikan pengobatan yang
segera, tepat dan rasional untuk menghindari
kematian dan gejala sisa yang menetap. Tingkat
lanjut bakteri meningitis dapat mengakibatkan
kerusakan otak, koma, dan kematian. Korban
dapat menderita komplikasi jangka panjang,
termasuk kehilangan pendengaran, penglihatan,
keterlambatan mental, lumpuh, kelemahan dan
lain-lain (Ngastiyah, 2005).

Menurut WHO sebanyak 400 juta orang


didunia terinfeksi meningitis dan tingkat
kematiannya mencapai 25% dalam waktu 48
jam apabila tidak segera diobati. Penyakit
Meningitis terbanyak adalah di Negara Afrika
dan Asia termasuk dari Indonesia. Dan diantara
mereka yang tetap hidup sebanyak 1-5 orang
akan menderita kelumpuhan, cacat otak, tuli,
apabila tidak menjalankan perawatan yang lebih
intensif lagi (Medicastore, 2012).
Penanganan masalah yang terjadi pada
pasien Meningitis TB memerlukan tindakan
yang tepat agar tidak terjadi komplikasi jangka
panjang tersebut. Salah satu tindakan
keperawatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut yang telah tertuang
dalam Nursing Interventions Classification
(NIC) adalah Exercise Therapy: Joint
Movement. Aktivitas intervensi keperawatan
yang dilakukan untuk pasien Meningitis TB
diantaranya yaitu Range of Motion (ROM)
(Bulecheck, 2008). Pada pasien kelolaan
terdapat kelemahan pada seluruh tubuh,
terutama kelemahan pada ekstremitas sebelah
kiri dimana mempunyai kekuatan otot dinilai
satu.
Latihan ROM adalah latihan yang
dilakukan
untuk
mempertahankan
atau
memperbaiki
tingkat
kesempurnaan
kemampuan menggerakan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan massa
otot dan tonus otot. Tujuan ROM adalah

2
meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas
dan kekuatan otot, mempertahankan fungsi
jantung dan pernapasan, dan mencegah
kekakuan pada sendi (Potter & Perry, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Surahmah (2012) menunjukkan bahwa rata-rata
kemampuan rentang gerak sendi siku sebelum
dilakukan latihan range of motion, yaitu
ekstensi sebesar 23o dan fleksi sebesar 107,23o.
Rata-rata kemampuan rentang gerak sendi siku
setelah latihan range of motion, yaitu ekstensi
sebesar 6,69o dan fleksi sebesar 132o. Data yang
diolah melalui SPSS 16 didapatkan bahwa pvalue (0,000) < (0,05) yang berarti Ho
ditolak. Data tersebut menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara latihan
range of motion terhadap peningkatan rentang
gerak sendi siku pada pasien yang mengalami
hemiparise pasca stroke. Penelitian yang
dilakukan oleh Fitria (2012) bahwa terdapat
perbedaan (peningkatan) derajat kekuatan otot
pasien sebelum dan sesudah terapi ROM
dengan nilai p = 0,003 < 0,05. Terapi ROM
dinyatakan efektif dalam meningkatkan
kekuatan otot ekstremitas.
RSUP Dr. M. Djamil Padang merupakan
rumah sakit rujukan di Sumatera Barat. Hasil
Pencatatan dan pelaporan Medical Record
RSUP Dr. M. Djamil Padang bahwa jumlah
pasien Meningitis TB di bagian ilmu kesehatan
anak
merupakan
kasus
yang
jarang.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti pada tanggal 28 Juli 2015 diruang HCU
Anak terdapat 23 pasien dengan Diagnosa
Medis Meningitis. Berdasarkan wawancara
dengan keluarga mengenai latihan ROM,
mereka tidak mengetahui tentang latihan ROM
dan manfaatnya. Keluarga juga mengatakan
ekstremitas kiri pasien tidak bisa digerakkan
dan belum ada diberikan latihan ROM.
Selain latihan ROM, perawat juga harus
memperhatikan Pelaksanaan Patient Safety :
Pengurangan Resiko Pasien Jatuh pada pasien
dengan Meningitis TB karena pasien beresiko
kejang yang bisa menyebabkan pasien beresiko
jatuh. Pengkajian risiko jatuh merupakan

langkah awal dari program pengurangan risiko


pasien jatuh. Pengkajian risiko pasien jatuh
merupakan metode pengukuran risiko pasien
untuk jatuh yang dilakukan oleh petugas
kesehatan pada semua pasien yang menjalani
rawat inap, bertujuan memberikan perhatian
khusus pada pasien yang berisiko untuk jatuh
dibandingkan dengan yang tidak memiliki
risiko untuk jatuh dan meminimalkan atau
mencegah jumlah kejadian pasien jatuh dan
cedera (Darmojo, 2004). Pengkajian risiko jatuh
pada pasien dilaksanakan saat pasien pertama
kali masuk ke rumah sakit dan saat pasien
mengalami perubahan status klinis (Boushon,
dkk, 2008).
Kejadian jatuh dan cedera akibat jatuh di
rumah sakit sering dilaporkan menimpa pasien
dewasa saat sedang menjalani perawatan inap
(Quigley et.al, 2013). Berdasarkan penelitian
Ganz, dkk (2013) dilaporkan data sebanyak
700.000 sampai 1.000.000 orang mengalami
kejadian jatuh setiap tahun di rumah sakit
Amerika Serikat. Berdasarkan Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
129/menkes/SK/II/2008
tentang
Standar
Pelayanan Minimal (SPM) rumah sakit bahwa
kejadian pasien jatuh yang berakhir dengan
kecacatan/kematian diharapkan 100% tidak
terjadi di rumah sakit. Namun, berdasarkan
laporan dari kongres XII PERSI (Perhimpunan
Rumah Sakit Indonesia), tahun 2012
menunjukan bahwa kejadian pasien jatuh
termasuk ke dalam tiga besar insiden medis
rumah sakit dan menduduki peringkat kedua
setelah medicine error. Dari laporan tersebut
didapatkan data kejadian jatuh sebanyak 34
kejadian. Hal ini membuktikan bahwa kejadian
jatuh pasien masih tinggi di Indonesia
(Komariah, 2012).
Dampak yang ditimbulkan dari insiden
jatuh dapat menyebabkan kejadian yang tidak
diharapkan seperti luka robek, raktur, cedera
kepala,
pendarahan
sampai
kematian,
menimbulkan
trauma
psikologis,
memperpanjang
waktu
perawatan
dan
meningkatkan biaya perawatan pasien akibat

3
menggunakan peralatan diagnostik yang
sebenarnya tidak perlu dilakukan seperti CT
Scan, rontgen dll. Dampak bagi rumah sakit
sendiri adalah menimbulkan risiko tuntutan
hukum karena dianggap lalai dalam perawatan
pasien (Miake-Lye dkk, 2013).
The Joint Commision Internasional
(2011), menyatakan bahwa sebuah rumah sakit
memerlukan
elemen
penilaian
untuk
mengurangi risiko jatuh. Elemen penilaian
pengurangan risiko jatuh meliputi: (1) Rumah
sakit menerapkan proses penilaian awal atas
pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan
penilaian ulang pasien bila diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan; (2)
Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi
risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil
penilaian dianggap berisiko jatuh; (3) Langkahlangkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak
dari kejadian tidak diharapkan; (3) Kebijakan
dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko
pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
Berdasarkan
Pengamatan
yang
dilakukan pada tanggal 27-28 Juli 2015
didapatkan hasil bahwa Blanko Assesment
risiko pasien jatuh tidak diisi karena beban kerja
perawat tidak sesuai dengan jumlah perawat
yang dinas, Beban kerja perawat tidak sesuai
dengan jumlah perawat yang dinas sehingga
perawat lebih banyak
berfokus pada
rekomendasi medis seperti fokus pada orderan
dokter, kurang dari separoh (44%) pasien tidak
ada dilakukan penilaian dengan asessment
resiko jatuh dalam waktu 4 jam dari pasien
masuk RS di ruangan HCU IR RSUP Dr. M.
Djamil Padang.
Berdasarkan latar belakang diatas dan
fenomena yang ditemukan, maka penulis
tertarik menyusun laporan ilmiah akhir tentang
Asuhan Keperawatan Pada An. R dengan
Meningitis TB dengan Penerapan Range Of
Motion (ROM) dan Pelaksanaan Patient Safety :
Pengurangan Resiko Pasien Jatuh di Ruang

HCU IRNA Kebidanan Anak RSUP Dr. M.


Djamil Padang Tahun 2015.
METODE PENULISAN
Metode penulisan ini memakai metode case
studi. Asuhan keperawatan dilakukan diruang
HCU IRNA Kebidanan Anak RSUP Dr M
Djamil Padang mulai tanggal 27 Juli sampai 22
Agustus 2015. Pelaksanaan terapi fisik range of
motion dimulai tanggal 28 Juli sampai tanggal
03 Juli 2015.
Pelaksanaan asuhan keperawatan ini
diberikan pada An R dengan Meningitis TB dan
penerapan terapi fisik range of motion
dilakukan untuk pencegahan terjadinya
kontraktur serta pelaksanakan Assessment risiko
pasien jatuh di ruang HCU IRNA Kebidanan
Anak RSUP Dr M Djamil Padang.
RANGE OF MOTION (ROM)
Rentang gerak (Range Of Motion/ ROM)
adalah jumlah pergerakan maksimum yang
dapat dilakukan pada sendi. ROM dilakukan
untuk mengurangi bahaya imobilisasi. Latihan
ROM bersifat aktif (pada klien yang dapat
mengerakkan seluruh sendi tanpa bantuan) dan
ROM pasif (pada klien yang tidak mampu
bergerak dengan mandiri), sehingga perawat
dapat membantu mengerakkan masingmasing sendi. Latihan ROM harus aktif
dilakukan jika kesehatan dan mobilisasi
memungkinkan, untuk mencegah terjadinya
kontraktur pada sendi yang tidak digerakkan
(Potter & Perry, 2010).
1. Jenis latihan ROM Pasif
Latihan Pasif Anggota Gerak Atas
a) Gerakan menekuk dan meluruskan sendi
bahu yaitu dengan cara tangan satu
penolong memegang siku, tangan lainnya
memengang lengan, luruskan siku naikan
dan turunkan legan dengan siku tetap
lurus.
b) Gerakan menekuk dan meluruskan siku
yaitu dengan cara pegang lengan atas

4
dengan tangan satu, tangan lainnya
menekuk dan meluruskan siku (Fleksi dan
Ekstensi).
c) Gerakan memutar pergelangan tangan
(rotasi) yaitu dengan cara pegang lengan
bawah dengan tangan satu, tangan yang
lainnya menggenggam telapak
tangan
pasien, putar pergelangan tangan pasien ke
arah luar (terlentang/ supinasi) dan ke arah
dalam (telungkup/ pronasi).
d) Gerakan menekuk dan meluruskan
pergelangan tangan yaitu dengan cara
pegang lengan bawah dengan tangan satu,
tangan lainnya memegang pergelangan
tangan pasien, tekuk pergelangan tangan
ke atas dan ke bawah (fleksi dan ekstensi).
e) Gerakan memutar ibu jari (rotasi) yaitu
dengan cara pegang telapak tangan dan
keempat jari dengan tangan satu, tangan
lainnya memutar ibu jari tangan.
f) Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari
tangan yaitu dengan cara pegang
pergelangan tangan dengan tangan satu,
tangan yang lainnya menekuk dan
meluruskan jari-jari tangan (fleksi dan
ekstensi).
Latihan Pasif Anggota Gerak Bawah
a) Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal
paha yaitu dengan cara pegang lutut dengan
tangan satu, tangan lainnya memegang
tungkai., naikkan dan turunkan kaki dengan
lutut yang lurus, gerakkan kaki kesamping
menjauhi tubuh (abduksi, aduksi)
b) Gerakan menekuk dan meluruskan lutut
yaitu dengan cara pegang lutut dengan satu
tangan, tangan lainnya menekuk dan
meluruskan sendi lutut (fleksi dan ekstensi).
c) Gerakan menekuk pergelangan kaki yaitu
dengan cara pegang pergelangan kaki pasien
dengan satu tangan, tangan yang lainnya
menggenggam telapak kaki pasien, tekuk
pergelangan kaki ke atas (dorsal fleksi) d
kebawah (plantar fleksi).
d) Gerakan memutar (Rotasi) pada kaki. Yaitu
dengan cara pegang pergelangan kaki pasien
dengan satu tangan, tangan lainnya

memegang telapak kaki pasien, balikkan


telapak kaki ketengan (Inversi) dan balikkan
telapak kaki kesamping (eversi).
e) Gerakan menekuk ibu jari yaitu dengan cara
pegang telapak jari kaki dengan satu
tangan, tangan lainnya menekuk ibu jari kaki
ke atas (fleksi) dan kebawah (ekstensi).
Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM)
terhadap Peningkatan Rentang Gerak Sendi
pada Pasien yang Mengalami Hemiparise
Latihan Range of Motion (ROM) merupakan
salah satu bentuk latihan yang dinilai efektif
untuk mencegah terjadinya kecacatan. Latihan
ROM bisa dilakukan dengan pendekatan
bilateral yang dapat memberikan efek yang
lebih baik dibandingkan dengan unilateral
training. Hasil penelitian menunjukkan
kekuatan otot meningkat pada kedua kelompok
intervensi dan terdapat perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok intervensi
(p= 0,018, = 0,05 ). Penelitian lebih lanjut
tentang pengaruh penggunaan latihan ini secara
terprogram dalam menangani pasien stroke
dengan hemiparese perlu dilakukan. (Yanti,
2011).
Tujuan rehabilitasi untuk pasien yang
mengalami hemiparise adalah membantu pasien
untuk mendapatkan kemandirian maksimal dan
rasa aman saat melakukan aktivitas sehari-hari.
Latihan ROM merupakan bagian dari proses
rehabilitasi untuk mencapai tujuan tersebut.
Latihan beberapa kali dalam sehari dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang akan
menghambat pasien untuk dapat mencapai
kemandirian dalam melakukan fungsinya
sebagai manusia. Latihan ROM dikatakan dapat
mencegah terjadinya penurunan fleksibilitas
sendi dan kekakuan sendi. (Fitria, 2012).
Hasil penelitian Fitria (2012), yakni derajat
tingkat kekuatan otot sebelum dilakukan
tindakan ROM ada 4 pasien (40%) yang derajat
kekuatan ototnya termasuk kategori 3. Pasien

5
dalam penelitian ini kekuatan ototnya minimal
pada derajat hanya berupa perubahan tonus dan
maksimal sampai pada derajat mampu
menggerakkan sendi dan dapat melawan
gravitasi, namun tidak kuat terhadap tahanan,
sedangkan hasil penelitian dari derajat tingkat
kekuatan otot setelah dilaukan tindakan ROM
ada 5 pasien (50%) yang derajat kekuatan
ototnya termasuk kategori 3. Sesudah dilakukan
terapi ROM, ada peningkatan derajat kekuatan
otot pada pasien. Kekuatan ototnya minimal
pada derajat mampu menggerakkan persendian
dan
maksimal
pada
derajat
mampu
menggerakan sendi, dapat melawan gravitasi,
dan kuat terhadap tahanan ringan.
Sesudah dilakukan terapi ROM, 9 dari 10
pasien mengalami peningkatan derajat kekuatan
otot. Derajat kekuatan otot pasien menjadi
berkisar antara derajat 2 (mampu mengerakkan
persendian, tidak dapat melawan gravitasi)
hingga derajat 4 (mampu menggerakan sendi,
dapat melawan gravitasi, kuat terhadap tahanan
ringan). Uji statistik menunjukkan bahwa
perbedaan derajat kekuatan otot sebelum dan
sesudah terapi ROM termasuk signifikan (p =
0,003 < 0,05) yaitu ada perbedaan yang
bermakna. Kesimpulkan dari hasil penelitian
bahwa
terapi
ROM
memang
efektif
meningkatkan derajat kekuatan otot ekstremitas.
(Fitria, 2012).
Temuan dalam penelitian ini mendukung
konsep terapi ROM sebagai alat efektif untuk
meningkatkan kekuatan otot ekstremitas.
Tujuan ROM sendiri adalah mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara
mobilitas persendian, merangsang sirkulasi
darah, mencegah kelainan bentuk.
HASIL PENULISAN
1. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN MENINGITIS TB
a. Diagnosa North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA)

Diagnosa keperawatan adalah suatu


pernyataan yang menjelaskan
respons
manusia (status kesehatan atau perubahan

pola) dari individu atau kelompok dimana


perawat secara
akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi
secara pasti untuk menjaga
status
kesehatan,
menurunkan,
membatasi,
mencegah dan merubah (Nursalam, 2009).
Menurut NANDA diagnosa keperawatan
adalah keputusan klinik tentang respons
individu, keluarga dan masyarakat tentang
masalah kesehatan aktual atau potensial
sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan
untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan
sesuai
dengan
kewenangan perawat
(Nursalam,
2009).
Semua
diagnosa
keperawatan harus didukung oleh data,
dimana menurut NANDA diartikan sebagai
definisi karakteristik. Definisi karakteristik
tersebut dinamakan tanda dan gejala, tanda
adalah sesuatu yang dapat di observasi dan
gejala adalah sesuatu yang dirasakan klien.
b. Rencana Tindakan Keperawatan menurut
Nursing Outcome Classification (NOC).

NOC merupakan salah satu bahasa


standar yang diakui oleh America Nursing
Association (ANA). Sebagai bahasa yang
diakui memenuhi standar pedoman yang
ditetapkan
oleh
bahasa
Informasi
Keperawatan ANA dan Data Set Evaluasi
Pusat (NIDSEC) untuk vendor sistem
informasi.
NOC
termasuk
dalam
Perpustakaan
Nasional
Metathesaurus
Kedokteran Ahli Bahasa sebagai Kesatuan
bahasa medis dan Indeks Kumulatif untuk
Sastra Keperawatan (CINAHL) dan telah
disetujui untuk digunakan oleh Kesehatan
Tingkat 7 Terminologi (HL7). Penggunaan
NOC
dalam
praktek,
pendidikan
keperawatan, dan penelitian merupakan
indikator yang paling akurat kegunaan NOC.
NOC sedang diadopsi di sejumlah situs
klinis untuk evaluasi praktek keperawatan
dan sedang digunakan dalam pengaturan
pendidikan untuk struktur kurikulum dan
mengajar siswa evaluasi klinis (Nursalam,
2009).

6
c. Intervensi menurut Nursing Intervention
Classification (NIC).
Nursing Intervention Classification
(NIC) adalah merupakan standar intervensi
yang komprehensif dan berdasarkan riset.
NIC sangat berguna untuk dokumentasi,
komunikasi pada banyak setting, integrasi
pada sistem dan setting yang berbeda, riset
yang efektif, pengukuran produktifitas dan
evaluasi kompetensi, pembiayaan dan
rancangan kurikulum (Nursalam, 2009).
NIC adalah suatu standar klasifikasi
keperawatan untuk perilaku spesifik yang
diharapkan dari pasien dan atau tindakan
yang harus dilakukan oleh perawat. NIC
adalah
suatu
daftar
list intervensi
perawatan
menyeluruh,
yang
dikelompokkan berdasarkan label yang
diuraikan pada aktivitas. Aktivitas adalah
tindakan atau perlakuan spesifik yang
dilakukan
untuk
menerapkan
suatu
intervensi, membantu pasien untuk bergerak
kearah aktivitas hasil.
Klasifikasi NIC meliputi intervensi
yang dilakukan perawat baik intervensi
mandiri maupun kolaborasi, perawatan
langsung atau tidak langsung. Semua
intervensi didefinisikan sebagai Penanganan
berdasarkan
penilaian dan pengetahuan
klinik dimana perawat melakukan intervensi
untuk peningkatan hasil yang diharapkan
dari pasien. NIC terdiri dari 514 intervensi
yang terdiri dari enam domain yaitu :
fisiologi dasar, psikologi : kompleks, tingkah
laku, keamanan, keluarga, sistem kesehatan
dan komunitas (Bulechek, 2008).
Dari pengkajian kasus yang dilakukan
pada An.R pada tanggal 28 Juli 2015 didapat
diagnosa keperawatan antara lain: Resiko
Perfusi Jaringan serebral tidak efektif,
Kerusakan Mobilitas fisik b.d gangguan
sistem
persarafan,
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan untuk menyerap nutrisi

2. Manajemen Pelayanan keperawatan


Hasil winshield survey di ruangan HCU
IRNA Kebidanan-Anak RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada tanggal 27-28 Juli 2015
terhadap proses manajemen
pelayanan
keperawatan dan menajemen asuhan
keperawatan didapatkan lebih dari separoh
(53%) pasien tidak ada dilakukan penilaian
dengan asessment resiko jatuh dalam waktu
4 jam dari pasien masuk RS. Dan penilaian
asessment ulang resiko pada pasien yang
beresiko tinggi jatuh dan pasien yang
mengalami perubahan kondisi belum
terlaksana dengan baik, dimana sebaiknya
penilaian
assessment
ulang
tersebut
dilakukan 2x sehari, saat transfer pasien,
adanya perubahan kondisi pasien, dan
adanya kondisi jatuh pada pasien. Di ruang
HCU anak juga belum ada pemberian label
pada masing- masing pasien berdasarkan
tingkat resiko jatuhnya.
HASIL
MANAJEMEN
KEPERAWATAN

PELAYANAN

1. Berdasarkan karakteristik
a. Distibusi frekuensi tingkat pendidikan
perawat di ruang HCU IRNA Kebidanan
Anak, didapatkan sebagian besar (78%)
berada pada tingkat pendidikan tinggi
perawat profesional pemula.
b. Distribusi frekuensi jenis kelamin perawat
di ruang HCU IRNA Kebidanan Anak,
didapatkan seluruh (100%) berjenis
kelamin perempuan.
2. Pendokumentasian asuhan keperawatan
berdasarkan NANDA NOC NIC
Berdasarkan kesepakatan Lokmin I,
didapatkan alternatif pemecahan masalah
Belum optimalnya penerapan petugas dalam
Assesment dan pengurangan resiko pasien
jatuh, yaitu resosialisasi pengisian skala

7
jatuh Humty Dumpty, pembuatan tanda
pasien jatuh, dan mengevaluasi Assesment
dan pengurangan resiko pasien jatuh.
Setelah dilakukan implementasi pada
tanggal 14-16 Agustus 2015. Hasil evaluasi
setelah implementasi didapatkan Perawat
menggunakan pengaman pada tempat tidur
pasien, didapatkan peningkatan 78% dari
sebelum implementasi menjadi 90%. Untuk
perawat yang mempunyai format pengkajian
resiko jatuh, didapatkan peningkatan 33%
dari sebelum dan setelah dilakukan
implementasi pasien safety, untuk perawat
yang plementasi menjadi 60%. Untuk
perawat yang mengisi format pengkajian
resiko jatuh, didapatkan peningkatan 67%
dari sebelum implementasi menjadi 72%.
Untuk perawat yang memantau pasien resiko
jatuh 2 kali sehari, didapatkan peningkatan
33% dari sebelum implementasi menjadi
50%.

PEMBAHASAN
Manajemen Asuhan Keperawatan
Pada bab ini penulis akan menguraikan
pembahasan kasus Meningitis TB. Penulis akan
menganalisis dan mengemukakan kesenjangan
dan kesesuaian yang ditemukan pada
pelaksanaan asuhan keperawatan mulai dari
tahap pengkajian, perumusan diagnosis
keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi keperawatan.
Karakteristik Pasien
Berdasarkan data hasil karakteristik
pasien didapatkan pasien dengan jenis kelamin
laki-laki dan berumur 12 tahun 2 bulan. Hal ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Kliegman yang menyatakan bahwa di
Indonesia, Meningitis Tuberkulosis masih
banyak
ditemukan
karena
morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit
ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah

yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi


dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai
dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada
umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih sering
terkena Meningitis TB daripada perempuan.
Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak
yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati
(Kliegman, et al. 2004). Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.
Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya
18% pasien yang akan kembali normal secara
neurologis dan intelektual (Poesponegoro,
2005).
Pasien mengalami TB Putus Obat.
Penyebab Meningitis TB pada pasien ini adalah
penyakit TB Paru yang diderita pasien sejak 1
tahun yang lalu dan mengalami putus obat.
Ketidaktaatan pasien TB dalam minum obat
secara teratur tetap menjadi hambatan untuk
mencapai angka kesembuhan yang tinggi.
Tingginya
angka
putus
obat
akan
mengakibatkan tingginya kasus resistensi
kuman terhadap obat antituberkulosis (OAT)
yang membutuhkan biaya dan lama pengobatan
yang lebih besar. Angka putus obat di rumah
sakit di Jakarta pada tahun 2006 tercatat sekitar
7%. (Asri, 2012).
Pada pasien yang penulis kelola
didapatkan riwayat ketidakpatuhan minum
OAT. Pasien mengalami TB Putus Obat sejak 1
tahun yang lalu sehingga perlu menjadi
perhatian yang serius. Sesuai dengan pernyataan
Depkes RI (2002) bahwa salah satu
permasalahan dalam Program Penanggulangan
TBC adalah lamanya jangka waktu pengobatan
yang harus dijalani penderita selama 6 sampai 8
bulan. Kegagalan proses pengobatan akibat
ketidaktaatan penderita pada instruksi dan
aturan minum obat yang meliputi dosis, cara,
waktu minum obat dan periode, akan
mengakibatkan terjadinya kekebalan terhadap
semua obat Multiple Drugs Resistance dan
mengakibatkan terjadinya kekambuhan. Pada
pasien ini hanya meminum obat TB selama 1

8
bulan dan keluarga menganggap pasien sudah
sembuh karena pasien tidak ada lagi batuk dan
demam.
Untuk menyelesaikan permasalahan pada
pasien dengan Meningitis TB penulis telah
dilakukan proses keperawatan berdasarkan
setiap tahapannya, yaitu pengkajian, penegakan
diagnosis keperawatan, merencanakan asuhan
keperawatan, implementasi dan evaluasi proses
keperawatan. Penetapan diagnosis keperawatan
dilakukan berdasarkan batasan karakteristik
NANDA dan rencana asuhan keperawatan
dibuat
berdasarkan
Nursing
Outcomes
Classification (NOC) dan Nursing Intervention
Classification (NIC). Asuhan keperawatan pada
pasien dilakukan selama 7 hari pada tanggal 27
Juli 03 Agustus 2015.
Pengkajian Keperawatan
Tahap pengkajiaan adalah tahap awal dari
proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data
dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan pasien
(Nursalam, 2009). Pengkajian terhadap pasien,
penulis menggunakan metode wawancara,
observasi, studi dokumentasi, dan pemeriksaan
fisik. (Handayaningsih, 2007).
Hasil pengkajian yang penulis
lakukan pada tanggal 27 Juli 2015 Jam 13.00
diperoleh data fokus pada pasien adalah adanya
penurunan
kesadaran,
nyeri
dikepala,
kelemahan pada ekstremitas bagian kiri,
keletihan, penurunan nafsu makan. Dari datadata tersebut dapat disimpulkan ada persamaan
antara data kasus dan teori yaitu persamaan data
pada Meningitis TB.
Berdasarkan hasil pengkajian diatas
diperoleh data adanya keluhan kelemahan pada
ekstremitas terutama bagian kiri dan setelah
penulis nilai ternyata kekuatan otot ekstremitas
kiri pasien hanya bernilai satu. Menurut
Ngastiyah (2005) akibat lanjut bakteri
meningitis TB dapat mengakibatkan kerusakan
otak, koma, dan kematian. Korban dapat
menderita komplikasi jangka panjang, termasuk

kehilangan
pendengaran,
penglihatan,
keterlambatan mental, lumpuh, kelemahan dan
lain-lain.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang
terjadi pada meningitis tuberkulosis, salah
satunya yaitu Hidrosefalus komunikans akibat
perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis. Akibat peradangan di otak juga
akan menimbulkan disorientasi, bingung,
kejang, tremor, hemibalismus, hemikorea,
hemiparesis, quadriparesis, dan penurunan
kesadaran, (Rahajoe, 2007).
Berdasarkan analisis yang penulis lakukan
bahwa kelemahan pada ekstremitas pasien
disebabkan oleh basil TB yang mencederai saraf
kranial dan mengakibatkan Infark Serebri
sehingga menyebabkan kerusakan pada
nervous. Hal ini dibuktikan dengan hasil CT
Scan didapatkan data bahwa pasien mengalami
Multiple Infark Serebri, hal ini merupakan salah
satu penyebab pasien mengalami kelemahan
ekstremitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Lionel (2007) bahwa penyumbatan pada arteri
serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral
serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat
kerusakan girus lateral presentralis dan
postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi
ocular (deviation conjugeeakibat kerusakan
area motorik penglihatan), hemianopsia (radiasi
optikus), gangguan bicara motorik dan sensorik
(area bicara broca dan wernicke dari hemisfer
dominan), gangguan persepsi spasial, apraksia,
hemineglect (lobus parietalis). Penyumbatan
arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis
dan defisit sensorik kontralateral (akibat
kehilangan girus presentralis dan postsentralis
bagian medial), kesulitan berbicara (akibat
kerusakan area motorik tambahan) serta
apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum
anterior dan hubungan dari hemisfer dominan
ke korteks motorik kanan terganggu.
Penyumbatan bilateral pada arteri serebri
anterior menyebabkan apatis karena kerusakan
dari sistem limbic.

9
Selanjutnya pada pemeriksaan CT Scan
Kepala didapatkan gambaran Hidrocefalus,
Multiple Infark Serebri, dan Edema Serebri.
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi
Meningitis TB. Hidrosefalus komunikans akibat
perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis (Nastiti, 2007).
Selanjutnya dilihat dari pertumbuhan,
pasien mengalami gizi kurang. Malnutrisi dan
tuberkulosis (TB) merupakan beban yang sering
dijumpai di negara berkembang. Kedua masalah
ini saling berhubungan satu sama lain. Status
nutrisi buruk sering ditemukan pada penderita
TB aktif dibandingkan individu sehat. Infeksi
TB sendiri menimbulkan anoreksia, malabsorpsi
nutrien dan mikronutrien serta gangguan
metabolisme sehingga terjadi proses penurunan
massa otot dan lemak. (Pratomo, 2012).
Selanjutnya aspek pengkajian dilihat dari
pemeriksaan penunjang terdapat peningkatan
leukosit dan penurunan kadar Hb. Tingginya
leukosit pada tubuh merupakan indikasi
peningkatan produksi sel sel untuk melawan
infeksi pada tubuh. Pada saat terjadi infeksi,
leukosit secara otomatis akan melakukan
fagositosis atau menghancurkan organisme
yang menyebabkan infeksi. Adanya gangguan
sistem kekebalan tubuh akan menyebabkan
peningkatan leukosit. (Halo Sehat, 2015).
Penderita tuberkulosis dengan status gizi
kurang memiliki kadar hemoglobin lebih rendah
dibandingkan dengan penderita dengan status
gizi baik. Defisiensi besi dan zat gizi lain serta
adanya penyakit kronis seperti tuberkulosis
dapat menyebabkan anemia. Tercatat kejadian
anemia pada penderita tuberkulosis sebesar
16% sampai 76% dari berbagai penelitian yang
berbeda. Rendahnya konsentrasi hemoglobin
ditemukan pada anak-anak dengan tuberkulosis
dibandingkan dengan anak tanpa tuberkulosis.
Anemia pada tuberkulosis dapat dikarenakan
terjadinya gangguan pada proses eritropoesis
oleh mediator inflamasi, pemendekan masa
hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi,
adanya malabsorbsi dan ketidakcukupan zat gizi

dikarenakan rendahnya nafsu makan. Baik


anemia penyakit kronik maupun anemia
defisiensi besi dapat terjadi pada penderita
tuberkulosis, dan anemia normokromik
normositik merupakan jenis anemia yang paling
sering ditemui pada penderita tuberkulosis.
(Purnasari, 2011).
Setelah penulis mendapatkan hasil
pengkajian yang komprehensif pada pasien
maka tahap proses keperawatan selanjutnya
adalah menganalisis data tersebut sehingga
didapatkan penegakan diagnosa keperawatan
yang tepat.
Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan ditegakkan dari
hasil pengkajian dan analisis yang telah
diurutkan
sesuai
prioritas.
Diagnosa
keperawatan yang ditegakkan pada pasien
adalah Resiko Perfusi Jaringan serebral tidak
efektif, Kerusakan Mobilitas Fisik b.d gangguan
sistem persarafan, dan Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan untuk menyerap nutrisi.
Diagnosa keperawatan tersebut sudah sesuai
dengan diagnosa keperawatan teoritis pada
pasien Meningitis TB.
Diagnosa Keperawatan prioritas pertama
dalah resiko perfusi jaringan serebral tidak
efektif. Menurut NANDA (2011) resiko perfusi
jaringan serebral tidak efektif adalah beresiko
untuk penurunan sirkulasi jaringan otak yang
dapat membahayakan kesehatan. Data-data
yang
ditemukan
pada
pasien
adalah
Pemeriksaan CT Scan, penurunan nilai GCS,
tingkat
kesadaran
Apatis,
Pemeriksaan
Neurologis Brudzunky I negative, Brudzunky II
Negatif, dan Kernig Sign Postif.
Meningitis TB terjadi akibat penyebaran
infeksi secara hematogen ke meningen. Dalam
perjalanannya, Meningitis TB melalui dua
tahap. Mula-mula terbentuk lesi di otak atau
meningen akibat penyebaran basil secara
hematogen selama infeksi primer. Selanjutnya
Meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan
antigen TB dari focus kaseosa (lesi permukaan

10
otak) akibat trauma atau proses imunologik,
langsung masuk ke ruang subarachnoid.
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan
serebrospinal dalam bentuk kolonisasi dari
nasofaring atau secara hematogen. Vena-vena
yang
mengalami
penyumbatan
dapat
menyebabkan
aliran
aliran
retrograde.
Walaupun Meningitis TB dikatakan sebagai
peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat mengakibatkan edema otak,
penyumbatan vena dan memblok aliran cairan
serebrospinal yang dapat berakhir dengan
hidrosefalus, peningkatan tekanan intracranial
dan herniasi (TB Indonesia, 2012).
Menurut analisis penulis Meningitis
tuberkulosos merupakan bentuk tuberkulosis
paling fatal dan menimbulkan gejala sisa yang
permanen, karena mempengaruhi sistem
persarafan pasien oleh karena itu, dibutuhkan
diagnosis dan terapi yang segera. Sesuai dengan
penelitian Huldani (2012) bahwa penyakit ini
merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima
yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar
5,2%
dari
semua
kasus
tuberculosis
ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus
tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah
defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus,
dan perubahan status mental. Gejala prodromal
yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala,
muntah, fotofobia, dan demam.
Diagnosa prioritas kedua yaitu Kerusakan
Mobilitas Fisik b.d gangguan sistem persarafan.
Menurut NANDA (2011) Kerusakan Mobilitas
Fisik adalah pembatasan dalam kemandirian
yang bertujuan untuk membatasi gerakan tubuh
atau satu ekstremitas maupun lebih. Data-data
yang ditemukan pada pasien ini adalah adanya
kelemahan pada ekstremitas kiri, kekuatan otot
ekstremitas kiri bernilai 1. Pasien tampak
mengalami kelemahan, GCS 12, tingkat
kesadaran apatis.
Hidayat (2005) menyatakan bahwa infeksi
atau radang yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium
Tuberculosis
dapat
menghasilkan toksin yang akan mencederai
saraf kranial. Gejala dan kerusakan disaraf yang

terkena akan megakibatkan berbagai gangguan


di organ-organ tubuh. Salah satu organ yang
bisa terkena adalah ekstremitas. Baik
ekstremitas kiri maupun ekstremitas kanan dan
bisa mengenai kedua bagian yang berupa
kelemahan atau hemiparese.
Kelumpuhan atau kelemahan otot
merupakan suatu petunjuk gangguan sistem
motor di suatu titik atau beberapa tempat dari
rangkaian kendali dari sel motor neuron sampai
ke serabut-serabut otot. Kelumpuhan akibat lesi
otak area 4 dan 6 atau lintasan proyeksinya,
yaitu lesi traktus piramidal bersama dengan
serabut-serabut ektrapiramidal yang berdekatan.
Hemiparese adalah kelumpuhan pada sebelah
badan (Andarwati, 2012).
Diagnosa
prioritas
ketiga
adalah
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi. Menurut NANDA (2011)
Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh adalah keadaan dimana
individu mengalami intake nutrisi yang kurang
dari kebutuhan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan
metabolik.
Data-data
yang
ditemukan pada pasien adalah status nutrisi
kurang, Hb, 12,2 =gr/dl, Ht 35%, konjungtiva
anemis, turgor kulit jelek. Massa otot tampak
berkurang.
Penulis nyatakan bahwa status nutrisi
yang rendah ditemukan lebih sering terjadi pada
penderita tuberkulosis aktif dibandingkan orang
sehat. Tuberkulosis dapat menyebabkan berat
badan dibawah normal dan defisiensi
mikronutrien (multivitamin dan mineral) karena
terjadinya
malabsorpsi,
meningkatnya
kebutuhan
energi,
terganggunya
proses
metabolik dan berkurangnya asupan makanan
karena penurunan nafsu makan dan dapat
mengarah terjadinya kondisi kekurangan gizi.
Hal ini ditemukan pada pasien yang mengalami
berat badan dibawah normal.
Defisiensi mikronutrien telah dilaporkan
pada penderita tuberkulosis, termasuk juga
mereka yang dengan ko infeksi HIV. Penelitian
mengindikasikan defisiensi vitamin A, thiamin,

11
vitamin B6, folat dan vitamin E sering terjadi
pada penderita TB aktif. Defisiensi vitamin A,
vitamin E, thiamin, riboflavin, vitamin B6 dan
vitamin C lebih umum terjadi penderita TB.
Defisiensi mikronutrien dan status gisi umum
yang jelek pada penderita TB aktif dapat
menekan system imun cell yang merupakan
pertahanan utama host untuk melawan bakteri
Mycobacterium Tuberculosis (Setiawan, 2011).
Setelah dilakukan penegakan diagnosa
keperawatan
maka
proses
keperawatan
selanjutnya yang penulis lakukan adalah
intervensi
dan
implementasi
tindakan
keperawatan.
Intervensi dan Implementasi Keperawatan
Untuk mengatasi masalah pada pasien
perlu disusun intervensi dengan tujuan yang
akan dicapai sesuai dengan kriteria hasil yang
mengacu pada Nursing Outcomes Classification
(NOC) dan Nursing Intervention Classification
(NIC). Umumnya rencana yang ada pada
asuhan keperawatan teoritis dapat diaplikasikan
dan diterapkan dalam rencana tindakan
keperawatan sesuai priritas masalah. Intervensi
dsesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas
yang ada, sehingga rencana tindakan dapat
dilaksanakan dengan specific (jelas dan khusus),
measurable (dapat diukur), achievable (dapat
diterima), rasional and timen (ada kriteria
waktu). (Nursalam, 2009).
Diagnosa Keperawatan prioritas pertama
dalah resiko perfusi jaringan serebral tidak
efektif. Intervensi yang dilakukan adalah
monitoring tekanan intracranial dan monitoring
neurologi. (Bulechek, 2008). Aktivitas yang
dilakukan untuk intervensi monitoring tekanan
intracranial adalah Pantau tanda-tanda PTIK,
Pantau intake dan output cairan, Pantau suhu
dan nilai WBC, Pantau adanya kaku kuduk.
Aktivitas yang dilakukan untuk Monitoring
Neurologi adalah Monitor ukuran, bentuk,
kesimetrisan dan reaksi pupil, Monitor tingkat
kesadaran, Monitor tingkat orientasi , Monitor
GCS, Monitor TTV, Monitor batuk dan reflek
muntah, Monitor kekuatan otot dan pergerakan

motorik, Catat keluhan sakit kepala, dan


Monitor hemiparise, kesimetrisan wajah, dan
cara berbicara.
Dari anamnesis pada pasien Meningitis
TB terdapat adanya riwayat kejang atau
penurunan kesadaran (tergantung stadium
penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien
tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala,
maupun yang asimptomatik), adanya gambaran
klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai
dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada
neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan
dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas
minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,
muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40%
kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada
33,3% kasus). Dari pemeriksaan fisik pada
pasien Meningitis TB tergantung stadium
penyakit. Tanda rangsang meningen seperti
kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada
anak berusia kurang dari 2 tahun (Nataprawira,
2005).
Diagnosa prioritas kedua yaitu Kerusakan
Mobilitas Fisik b.d gangguan sistem persarafan.
Intervensi yang dilakukan adalah Terapi
Aktivitas : ambulasi dan Exercise Therapi :
Joint Movement (Bulechek, 2008). Aktivitas
yang dilakukan untuk intervensi Terapi
Aktivitas : ambulasi adalah latih keluarga untuk
pemenuhan ambulasi, damping dan bantu
pasien saat mobilisasi dan pemenuhan
kebutuhan ADL, dan ajarkan cara merubah
posisi dan berikan bantuan jika diperlukan.
Aktivitas yang dilakukan untuk intervensi
Exercise Therapi : Joint Movement adalah
instruksikan pada pasien dan keluarga tentang
ROM pasif, jelaskan pada keluarga tentang
latihan ROM pasif, lindungi pasien selama
latihan ROM, dan monitor adanya nyeri selama
latihan. Latihan ROM pasif dilakukan selama 7
hari pada waktu pagi hari selama 15 menit dan
mengalami
peningkatan
kekuatan
otot
ekstremitas dari 1 menjadi 2.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fitria (2012), yakni derajat
tingkat kekuatan otot sebelum dilakukan

12
tindakan ROM ada 4 pasien (40%) yang derajat
kekuatan ototnya termasuk kategori 3. Pasien
dalam penelitian ini kekuatan ototnya minimal
pada derajat hanya berupa perubahan tonus dan
maksimal sampai pada derajat mampu
menggerakkan sendi dan dapat melawan
gravitasi, namun tidak kuat terhadap tahanan,
sedangkan hasil penelitian dari derajat tingkat
kekuatan otot setelah dilaukan tindakan ROM
ada 5 pasien (50%) yang derajat kekuatan
ototnya termasuk kategori 3. Sesudah dilakukan
terapi ROM, ada peningkatan derajat kekuatan
otot pada pasien. Kekuatan ototnya minimal
pada derajat mampu menggerakkan persendian
dan
maksimal
pada
derajat
mampu
menggerakan sendi, dapat melawan gravitasi,
dan kuat terhadap tahanan ringan.
Menurut Kozier (2004) pemeliharaan
kekuatan otot dan fleksibilitas sendi, disertai
latihan Range of Motion (ROM) dapat
meningkatkan dan mempertahankan kekuatan
otot dan fleksibilitas persendian. latihan ROM
merupakan latihan yang sangat efektif bagi
pasien yang mengalami penurunan kekuatan
otot. Latihan ini mudah dalam pelaksanaan,
dapat di lakukan berdiri maupun berbaring,
serta efisien karena tidak menggunakan alat
khusus serta dapat di lakukan kapan saja.
Tujuan dari latihan ROM yaitu untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan
fleksibilitas
dan
kekuatan
otot,
mempertahankan
fungsi
jantung
dan
pernapasan, mencegah kontraktur dan kekakuan
pada sendi. Manfaat ROM untuk menentukan
nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam
melakukan pergerakan, memperbaiki tonus otot,
memperbaiki toleransi otot untuk latihan,
mencegah
terjadinya
kekakuan
sendi,
memperlancar sirkulasi darah (Andarwati,
2013).
Menurut analisis penulis latihan ROM
merupakan salah satu altenatif latihan yang
dapat dilakukan pada pasien. Latihan ROM
merupakan bagian dari tindakan keperawatan.
Tindakan-tindakan keperawatan yang efektif
bagi usaha penyembuhan pasien dilahirkan dari

penelitian
keperawatan.
Sesuai
dengan
pernyataan Tulandi (2012) bahwa tujuan utama
penelitian keperawatan adalah mengembangkan
dasar pengetahuan ilmiah untuk praktik
keperawatan yang efektif dan efisien.
Diagnosa
prioritas
ketiga
adalah
Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi. Intervensi yang dilakukan
adalah Nutritiont Management dan Nutrition
Monitoring (Bulechek, 2008). Aktivitas yang
dilakukan
untuk
intervensi
Nutritiont
Management adalah kaji adanya alergi
makanan, kolaborasi dengan ahli gizi,
monitoring jumlah nutrisi dan kandungan
kalori, berikan informasi kepada keluarga
tentang kebutuhan nutrisi. Aktivitas yang
dilakukan
untuk
intervensi
Nutrition
Monitoring adalah pantau penurunan Berat
Badan, monitor perubahan turgor kulit, monitor
mual muntah, monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan Ht, monitor pucat dan
konjungtiva anemis, catat kalori dan intake
nutrisi.
Pasien TB yang memiliki BB yang rendah
saat diagnosis, kemudian mengalami kenaikan
BB sebesar lima persen atau kurang dari lima
persen BB mereka selama dua bulan pertama
pengobatan (terapi masa intensif) memiliki
peningkatan risiko kekambuhan penyakit secara
signifikan. Berat badan yang rendah adalah bila
memiliki berat badan 10% dibawah BB ideal.
Terdapat 18,5% angka kekambuhan terjadi pada
pasien dengan peningkatan berat badan lebih
dari lima persen dan 50,5% angka kekambuhan
terjadi pada pasien dengan peningkatan berat
kurang dari lima persen. Kurang dari lima
persen kenaikan berat badan bisa menjadi
penanda peningkatan aktivitas penyakit
tuberkulosis dan atau respon yang buruk
terhadap terapi (Khan, 2006).
Menurut analisis penulis gangguan nutrisi
pada pasien Meningitis TB ini sudah terjadi
semenjak pasien mengidap TB Paru satu tahun
yang lalu, hal ini memberatkan status gizi
pasien yang kurang yang dibuktikan dengan

13
berat badan yang rendah yaitu hanya 24 kg.
Sehingga pada pasien ini akan rentan sekali
mengalami
malnutrisi
dan
gangguan
pertumbuhan dan membutuhkan tatalaksana gizi
segera.
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan setelah
implementasi terlaksana, fungsinya untuk
mengetahuo tingkat keberhasilan dari setiap
tindakan yang dilakukan. Hasil evaluasi yang
dilakukan Mengacu pada NOC yang terdiri dari
indikator-indikator yang telah disesuaikan.
Setelah dilakukan implementasi selama 7
hari perawatan, pasien memperlihatkan
terjadinya perbaikan dari tanda klinis pasien
terkait dengan risiko perfusi jaringan serebral
tidak efektif. Evalusi akhir menunjukan hasil
tidak terdapat tanda-tanda, TTV : TD = 110 / 70
mmHg, N = 80 x / menit, Suhu = 37,0 C,
Pernafasan = 22 x / menit, tidak terdapat kaku
kudu, tingkat kesadaran compos mentis, GCS :
12 ( E4M5V3), pupil isokor ukuran 2 / 2, reflek
cahaya + / +, Batuk tidak ada, muntah tidak ada.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
perfusi jaringan serebral mengalami perbaikan,
tanda-tanda PTIK tidak ada muncul.
Kemudian untuk diagnosa Kerusakan
Mobilitas Fisik b.d gangguan sistem persarafan,
setelah dilakukan implementasi selama 7 hari
perawatan pasien memperlihatkan terjadinya
perbaikan dari tanda klinis pasien terkait dengan
kerusakan mobilitas fisik. Hasil evaluasi yang
terlihat yaitu keluarga mengatakan telah melatih
ROM pasif di pagi hari setelah mandi selama 15
menit, Kekuatan otot ekstremitas kiri meningkat
menjadi 2. Keluarga tampak mengerti mengenai
pendidikan kesehatan tentang ROM, Pasien
telah diberikan latihan ROM pasif setiap pagi,
Aktivitas pasien masih dibantu sepenuhnya oleh
keluarga.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fitria (2012), sesudah dilakukan
terapi ROM dari 10 pasien mengalami
peningkatan derajat kekuatan otot. Derajat
kekuatan otot pasien menjadi berkisar antara

derajat 2 (mampu mengerakkan persendian,


tidak dapat melawan gravitasi) hingga derajat 4
(mampu menggerakan sendi, dapat melawan
gravitasi, kuat terhadap tahanan ringan).
Kesimpulan dari hasil penelitian bahwa terapi
ROM memang efektif meningkatkan derajat
kekuatan otot ekstremitas. Temuan dalam
penelitian ini mendukung konsep terapi ROM
sebagai alat efektif untuk meningkatkan
kekuatan otot ekstremitas penderita stroke.
Tujuan ROM sendiri adalah mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara
mobilitas persendian, merangsang sirkulasi
darah, mencegah kelainan bentuk sendi.
Terjadinya peningkatan kekuatan otot dapat
mengaktifkan gerakan volunter, dimana gerakan
volunter terjadi karena adanya transfer impuls
elektrik dari garis presentalis ke korda spinalis
melalui neurotransmitter yang mencapai ke otot
dan menstimulasi otot sehingga menyebabkan
gerakan (Potter & Perry, 2010).
Dalam pemulihan anggota gerak yang
mengalami kelemahan terdapat faktor yang
mempengaruhi peningkatan kekuatan otot.
Lamanya
pemberian
latihan
dapat
mempengaruhi hasil yang diperoleh. Lama
latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi
latihan yang baik adalah latihan yang tidak
melelahkan, durasi tidak terlalu lama namun
dengan
pengulangan
sesering
mungkin
(Andarwati, 2013).
Latihan gerak secara berulang membuat
konsentrasi untuk melakukan gerakan berulang
dengan kualitas sebaik mungkin. Dalam
penelitian responden juga mendapat program
terapi dari fisioterapi yang teratur sesuai tingkat
kebutuhan responden. Gerakan berulang kali
dan terfokus dapat membangun koneksi baru
antara motor system dan mengaktifkan spinal
motorneuron adalah dasar pemulihan pada
stroke (Andarwati, 2013).
Keluarga sangat mendukung kegiatan
latihan ROM pasif ini. Menurut Andarwati
(2013), dukungan keluarga mempengaruhi
motivasi penderita stroke dalam melakukan
latihan juga berpengaruh besar dalam

14
peningkatan kekuatan otot. Dalam hal ini,
anggota keluarga atau pasien sendiri dapat
melakukan latihan ROM mandiri diluar
pemberian latihan dari fisioterapi. Fungsi
keluarga sendiri dalam perawatan kesehatan
anggota keluarga yang sakit dapat menyediakan
kebutuhan fisik.
Terakhir
untuk
diagnosa
Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi. Hasil evaluasi yang terlihat
yaitu pasien tidak lagi pucat, Konjungtiva tidak
anemis, Turgor kulit mulai membaik, Tidak
terdapat muntah, dan Mukosa bibir lembab.
Menurut Potter & Perry (2005), salah satu
peran perawat adalah menyiapkan discharge
planning, yang dilakukan setelah pasien
dinyatakan sembuh dan akan pulang dari rumah
sakit. Salah satu unsur penting dari rumah sakit
dalam discharge planning
adalah health
education atau penyuluhan kesehatan. Menurut
Smeltzer & Bare (2002), penyuluhan kesehatan
pada pasien dengan Meningitis TB bertujuan
agar pasien dapat melatih ROM pasif sehingga
tidak terjadi kekakuan pada ekstremitas. Agar
penyuluhan kesehatan dapat efektif dan
diterima serta terjadi internalisasi baik oleh
pasien maupun oleh keluarganya, maka perlu
mengetahui permasalahan-permasalahn yang
dihadapi pasien saat dirumah agar kejadian inap
ulang pada pasien Meningitis TB dapat
diminimalkan.
Manajemen Pelayanan Keperawatan
Manajemen keperawatan adalah suatu
proses
bekerja
melalui
anggota
staf
keperawatan untuk memberikan asuhan
keperawatan secara professional (Nursalam,
2011). Tujuan pelayanan keperawatan pada
umumnya ditetapkan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas pelayanan rumah
sakit
untuk
meningkatkatkan
dan
mempertahankan kualitas pelayanan rumah
sakit
serta
meningkatkan
penerimaan
masyarakat tentang profesi keperawatan. Tujuan
ini dicapai dengan mendidik perawat agar

mempunyai sikap professional dan bertanggung


jawab
dalam
pekerjaan,
meningkatkan
hubungan dengan pasien , keluarga, dan
masyarakat, meningkatkan pelayanan kegiatan
umum
dalam
upaya
mempertahankan
kenyamanan pasien, dan meningkatkan
komunikasi antar staf serta meningkatkan
produktivitas dan kualitas kerja staf / karyawan.
Hasil akhir dari pelayanan keperawatan adalah
meningkatkan keselamatan pasien (Kemenkes
RI, 2011).
Setelah melaksanakan analisis ruangan
HCU IRNA Kebidanan Anak RSUP Dr. M.
Djamil Padang dengan menggunakan metode
observasi didapatkan lebih dari separoh (53%)
pasien tidak ada dilakukan penilaian dengan
asessment resiko jatuh dalam waktu 4 jam dari
pasien masuk RS. Dan penilaian asessment
ulang resiko pada pasien yang beresiko tinggi
jatuh dan pasien yang mengalami perubahan
kondisi belum terlaksana dengan baik, dimana
sebaiknya penilaian assessment ulang tersebut
dilakukan 2x sehari, saat transfer pasien, adanya
perubahan kondisi pasien, dan adanya kondisi
jatuh pada pasien. Di ruang HCU anak juga
belum ada pemberian label pada masingmasing pasien berdasarkan tingkat resiko
jatuhnya.
Berdasarkan kesepakatan Lokmin I,
didapatkan alternatif pemecahan masalah
Belum optimalnya penerapan petugas dalam
Assesment dan pengurangan resiko pasien jatuh,
yaitu resosialisasi pengisian skala jatuh Humty
Dumpty, pembuatan tanda pasien jatuh, dan
mengevaluasi Assesment dan pengurangan
resiko pasien jatuh.
Setelah dilakukan implementasi maka
didapatkan hasil perawat menggunakan
pengaman pada tempat tidur pasien, didapatkan
peningkatan 78% dari sebelum implementasi
menjadi 90%. Untuk perawat yang mempunyai
format pengkajian resiko jatuh, didapatkan
peningkatan 33% dari sebelum dan setelah
dilakukan implementasi pasien safety, untuk
perawat yang plementasi menjadi 60%. Untuk
perawat yang mengisi format pengkajian resiko

15
jatuh, didapatkan peningkatan 67% dari
sebelum implementasi menjadi 72%. Untuk
perawat yang memantau pasien resiko jatuh 2
kali sehari, didapatkan peningkatan 33% dari
sebelum implementasi menjadi 50%.
Berdasarkan data-data yang telah
dipaparkan diatas terlihat terjadi peningkatan
dalam penerapan patient safety :pengurangan
pasien resiko jatuh. Dalam pelaksanaan
implementasi yang telah dilakukan, diharapkan
tujuan akhir yang ingin dicapai dari pelaksanaan
implementasi ini adalah perubahan perilaku.
Hal ini didukung oleh Nursalam (2007) yang
menyatakan perubahan merupakan sesuatu yang
direncanakan pada suatu individu, situasi, atau
proses. Perubahan yang efektif tergantung
individuyang terlibat, tertarik, dan berupaya
untuk selalu berkembang dan maju serta
mempunyai suatu komitmen untuk selalu
berkembang dan maju serta mempunyai suatu
komitmen untuk bekerja dan melaksanakannya.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi
perilaku perawat dam bekerja adalah yaitu
budaya organisasi. Menurut Robbin (2006),
budaya organisasi adalah kepercayaan, norma,
nilai, sikap dan keyakinan yang dibentuk oleh
para anggota kelompok yang membedakan
antar organisasi. Konsep budaya organisasi
dalam pelayanan keperawatan sebagai bagian
organisasi rumah sakit merupakan hal yang
penting. Menurut Mukhlas (2005), budaya
organisasi rumah sakit adalah pedoman atau
acuan untuk mengendalikan perilaku organisasi,
tenaga kesehatan lainnya dalam berintaraksi.
Budaya yang kuat akan menghasilkan kinerja
organisasi dalam menciptakan motivasi dalam
diri pekerja, rasa nyaman, sehingga timbul
komitmen untuk meningkatkan hasil kerja.
Berdasarkan uraian diatas rekomendasi
dalam pelaksanaan keselamatan pasien dengan
cara meningkatkan fungsi manajerial kepala
ruangan khususnya pada fungsi pengarahan
meliputi motivasi dari kepala ruangan kepada
ketua tim dan perawat dalam menerapkan
keselamatan pasien dan memberi reward pada
perawat yang melaksanakan dengan optimal.

Secara keseluruhan diharapkan kepala ruangan


beserta staf keperawatan diruang HCU IRNA
Kebidanan Anak RSUP Dr. M. Djamil agar
tetap mempertahankan dan meningkatkan
penerapan keselamatan pasien khususnya
pengurangan risiko pasien jatuh.
SIMPULAN
Meningitis Tuberkulosis terjadi akibat
komplikasi penyebaran Tuberkulosis primer,
biasanya dari paru. Setelah melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan Meningitis TB
di ruang HCU IRNA Kebidanan Anak RSUP
Dr. M. Djamil Padang selama 7 hari dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Manajemen Asuhan Keperawatan
a. Pada saat pengkajian didapatkan data pada
klien yaitu adanya penurunan kesadaran,
nyeri di kepala, kelemahan pada ekstremitas
bagian kiri, keletihan, penurunan nafsu
makan.
b. Diagnosa keperawatan yang diangkat pada
klien adalah Resiko Perfusi Jaringan serebral
tidak efektif, Kerusakan Mobilitas Fisik b.d
gangguan
sistem
persarafan,
dan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi
c. Intervensi yang dilakukan adalah Monitoring
Tekanan Intrakranial, Monitoring Neurologi,
Terapi Aktivitas : Ambulasi, Exercise
Therapy : Joint Movement, Nutritiont
management, dan Nutritiont Monitoring.
d. Evidence Base Practice yang telah
diaplikasikan pada asuhan keperawatan ini
adalah Exercise Therapy : Joint Movement.
Latihan ROM pasif dapat meningkatkan
kekuatan otot pasien.
e. Setelah dilakukan implementasi selama 7
hari didapatkan evaluasi diagnosa Resiko
Perfusi Jaringan serebral tidak efektif teratasi
seluruhnya, Diagnosa Kerusakan Mobilitas
Fisik b.d gangguan sistem persarafan, dan
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi teratasi sebagian.

16

Manajemen Pelayanan Keperawatan


a. Salah satu masalah manajemen pelayanan
keperawatan diruangan yaitu masalah pasien
safety, belum optimalnya assessesment
pasien resiko jatuh.
b. Intervensi
yang
direncanakanyaitu
resosialisasi pengisian skala jatuh Humty
Dumpty, pembuatan tanda pasien jatuh, dan
mengevaluasi Assesment dan pengurangan
resiko pasien jatuh.
c. Implementasi yang telah dilakukan yaitu
resosialisasi pengisian skala jatuh Humty
Dumpty, pembuatan tanda pasien jatuh, dan
mengevaluasi Assesment dan pengurangan
resiko pasien jatuh.
d. Evaluasi yang telah dilakukan terkait dengan
pelaksanaan patient safety : pengurangan
resiko pasien jatuh didapatkan terjadi
peningkatan pengurangan resiko pasien
jatuh.
SARAN
Bagi Profesi Keperawatan
Menjadi salah satu acuan bagi perawat
untuk menerapkan evidence base latihan Range
of Motion (ROM) pada pasien Meningitis TB
sehingga diharapkan dapat mengurangi angka
komplikasi Meningitis Tb.
Bagi Instansi Pendidikan
Menjadi salah satu referensi yang
berhubungan dengan latihan ROM pada pasien
dengan Meningitis Tb.
Bagi Rumah Sakit
Diharapkan latihan ROM dapat terus
diaplikasikan pada pasien Meningitis TB dan
diharapkan rumah sakit dapat meningkatkan
assessment risiko pasien jatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwati. (2013). Pengaruh latihan rom
terhadap peningkatan kekuatan otot
pasien hemiparese post stroke Di RSUD
dr. Moewardi Surakarta. Diakses pada
tanggal
28
Agustus
2015
dari
http://scribd.com

Asri, S.D.A. (2012). Masalah tuberkulosis


resisten obat. Jakarta; UIN Syarif
Hidayatullah
Bulechek, G.M., Butcher H.K., Dotcherman
J.M. (2008). Nursing Intervensions
Clasification (NIC) ed. 5. St. Louis;
Mosby.
Cahyati,Yanti.
(2011).
Perbandingan
peningkatan kekuatan otot pasien
hemiparese melalui latihan ROM
unilateral dan bilateral. Diakses pada
tanggal
30
Agustus
2015
dari
http://repository.ui.ac.id
Cahyono.
(2008).
Membangun
budaya
keselamatan pasien dalam praktik
Kedokteran. Yogyakarta; Kanisius.
Departemen
Kesehatan
RI.
(2002).
Penanggulangan Tuberkulosis Nasional.
Jakarta
Departemen
Kesehatan
RI.
(2011).
Keselamatan Pasien. Jakarta
Fitria, C.N. (2012). keefeektifan Range Of
Motion (ROM) terhadap kekuatan otot
ekstremitas pada pasien stroke. Diakses
pada tanggal 28 Agustus 2015 dari
http://scribd.com
Darmojo. (2004). Buku ajar geriatri (ilmu
kesehatan usia lanjut). Jakarta; Balai
Pustaka FKUI
Halo Sehat. (2015). Akibat leukosit tinggi.
Diakses pada tanggal 30 Agustus 2015
dari http://halosehat.com
Hidayat, A.A. (2009). Pengantar ilmu
kesehatan anak untuk pendidikan
kebidanan. Jakarta; Salemba Medika.
Hidayat, A.A. (2009). Pengantar konsep dasar
keperawatan edisi 2. Jakarta; Salemba
Medika.
Huldani.
(2012).
Diagnosis
dan
penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis.
Diakses pada tanggal 02 Agustus 2015
dari http://scribd.com
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
(2004). Bayi berat lahir rendah. dalam :
standar pelayanan medis kesehatan anak.
edisi I. Jakarta; IDAI.

17
Joint Comission International. (2011). Patient
Safety. Diakses pada tanggal 02
September
2015
dari
http://jointcommissioninternational.org
Khan, A. (2007). Etiology and antibiotic
resistance patterns of communityacquired urinary tract infections in J N M
C Hospital Aliga. India. Ann Clin
Microbial Antimicrob. Diakses pada
tanggal
30
Agustus
2015
dari
http://scribd.com
Kozier. (2004). Fundamental Of Nursing.
Seventh Edition. Vol. 2. Jakarta; EGC
Kliegman, Behrman. (2004). Infection in the
immunocopromised, Nelson Essensial in
Pediatrics, 5th ed. Philadelphia; WB
Saunders
Gaffar L. (2009). Pengantar Keperawatan
Profesional. Jakarta: EGC.
Ginsberg, Lionel. (2007). Lecture Notes
Neurologi. Jakarta; EMS.
Merenstein, Gerald. (2002). Buku pegangan
pediatri. Jakarta; Widya Medika.
Muchlas,
Makmuri.
(2005).
Perilaku
Organisasi. Yogyakarta ; Gadjah Mada
University Press
Muscari, M.E. (2005).Panduan belajar :
keperawatan pediatrik. Jakarta; ECG.
NANDA International. (2007). NANDA-I
Nursing Diagnoses: Definitions and
Clasification 2007-2008. Philapdelphia;
NANDA International.
Nastiti. (2007). Respirologi Anak, Jakarta; IDAI
Nataprawira
H.M.D.
(2005).
Pedoman
diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak
edisi
ke-3.
Bandung;
Fakultas
KedokterannUniversitas Padjadjaran
Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit edisi
2. Jakarta; EGC.
Nursalam. (2009). Proses & dokumentasi
keperawatan. Jakarta; Salemba Medika.
Nursalam. (2011). Manajemen keperawatan.
Jakarta; EGC.
Potter, P.A & Perry, A.G. (2009). Fundamentas
of nursing, 7th edition. Jakarta; Salemba
Medika.

Poesponegoro, dkk. (2005). Standar Pelayanan


Medis Kesehatan Anak. Jakarta; IDAI
Pratomo,
IP. (2012).
Malnutrisi dan
tuberkulosis. Diakses pada tanggal 04
September
2015
dari
http://repository.ui.ac.id
Purnasari, Galih. (2012). Anemia pada
penderita tuberkulosis paru anak dengan
berbagai status gizi dan asupan zat gizi .
Diakses pada tanggal 30 Agustus 2015
dari http://scribd.com
Rahajoe. (2007). Respirologi Anak, Jakarta;
IDAI
Setiawan, Budhi. (2011). Efikasi suplemen
mikronutrien sebagai terapi adjuvan pada
penderita tuberkulosis aktif. Diakses pada
tanggal
28
Agustus
2015
dari
http://repository.undip.ac.id
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G (2002). Buku ajar
keperawatan medikal bedah. Jakarta;
EGC
Surahmah. (2012). Pengaruh latihan Range Of
Motion (ROM) terhadap peningkatan
rentang gerak sendi siku pada pasien
stroke di desa andongsari kecamatan
ambulu kabupaten jember. Diakses pada
tanggal
29
Agustus
2015
dari
http://scribd.com
Suriadi. (2004). Asuhan Keperawatan pada
Anak. Edisi 1. Jakarta CV; Agung Seto
TB Indonesia. (2012). Bebaskan Indonesia dari
TB. Diakses pada tanggal 29 Agustus
2015 dari http://tbindonesia.org
Tulandi. (2012). Pengaruh latihan Range Of
Motion pasif terhadap luas gerak sendi
pinggul pada lansia di balai penyantunan
lanjut usia. Diakses pada tanggal 28
Agustus 2015 dari http://portalgaruda.com
Wong Whaley. (2003). Pedoman klinik
keperawatan anak edisi 2. Jakarta; EGC.

Anda mungkin juga menyukai