Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Meningitis TB dengan Penerapan Range Of Motion
(ROM) dan Pelaksanaan Patient Safety : Pengurangan Resiko Pasien Jatuh di Ruang HCU
Irna Kebidanan Anak Rsup Dr. M. Djamil Padang
Tahun 2015
Rizki Kurniadia, Dwi Novrianda, Deswita, Hermalindab, Yeni Sukic
a. Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Andalas
b. Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Andalas
c. Staf RS Dr. M. Djamil Padang
Korespondensi : Rizki Kurniadi
Tuberculosis Meningitis is a medical emergency that gives the risk of disability and
mortality is quite high. Anyone can infected by bacterial meningitis, but is most common in infants
and children. One of the independent action of nurses in addressing the problem is an exercise
Range Of Motion (ROM) is done to maintain or improve the level of perfection ability of the joints
move normally and complete to increase muscle mass and muscle tone. Services in the room HCU
always prioritize patient safety, especially in the implementation of the risk assessment of patient
falls. The purpose of writing this final scientific report presents the results of nursing care to clients
with TB meningitis with Range Of Motion application and implementation of patient safety: Fall
Risk Reduction Patients. Writing method used is a case study. Procedures performed starting from
the assessment, data analysis, determine a diagnosis, plan, and evaluate the results of the
implementation. Nursing care carried out for 7 days to major nursing diagnosis Risk of Cerebral
Perfusion Network Ineffective. The final evaluation conducted on nursing problems obtained
attainment of the objectives of each nursing problems. The main issues raised management of
nursing services is the implementation of patient safety: Reduction in Patients at Risk of Falling
HCU space Midwifery Children IRNA. After implementation obtained increased application of
nurses in the assessment of risk of patient falls. This report can be input in the provision of nursing
care, especially in patients with TB meningitis hemiparese extremity problems and the
implementation of patient safety: the reduction of the risk of patient falls.
Keyword : Tuberculosis Meningitis, Range Of Motion (ROM),, Fall Risk Patients
Meningitis Tuberkulosis merupakan salah satu kegawatdaruratan medik yang memberi
resiko kecacatan dan kematian yang cukup tinggi. Siapapun bisa terkena bakteri meningitis, tetapi
paling umum pada bayi dan anak-anak. Salah satu tindakan mandiri perawat dalam mengatasi
masalah adalah latihan Range Of Motion (ROM) yang dilakukan untuk mempertahankan atau
memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan
lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot. Pelayanan di ruang HCU selalu
mengutamakan patient safety, terutama dalam pelaksanaan assessment resiko pasien jatuh. Tujuan
dari penulisan laporan ilmiah akhir ini adalah memaparkan hasil asuhan keperawatan pada klien
dengan Meningitis TB dengan penerapan Range Of Motion dan pelaksanaan patient safety:
Pengurangan Pasien Risiko Jatuh. Metode penulisan yang dipakai adalah case study. Prosedur yang
1
dilakukan dimulai dari pengkajian, analisis data, menentukan diagnosis, menyusun rencana, dan
mengevaluasi hasil implementasi. Asuhan keperawatan dilaksanakan selama 7 hari dengan
diagnosis keperawatan utama Resiko Perfusi Jaringan Serebral Tidak Efektif. Evaluasi akhir yang
dilakukan terhadap masalah keperawatan didapatkan tercapainya tujuan dari masing-masing
masalah keperawatan. Masalah utama manajemen pelayanan keperawatan yang diangkat adalah
pelaksanaan patient safety: Pengurangan Pasien Risiko Jatuh di ruang HCU IRNA Kebidanan Anak.
Setelah dilakukan implementasi didapatkan peningkatan penerapan perawat pelaksana dalam
assessment resiko pasien jatuh. Laporan ini dapat menjadi masukan dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya pada pasien Meningitis TB dengan masalah hemiparese ekstremitas serta
pelaksanaan patient safety : pengurangan resiko pasien jatuh.
Kata Kunci
Meningitis
Tuberkulosis
(TB)
merupakan salah satu kegawatdaruratan medik
yang memberi resiko kecacatan dan kematian
yang cukup tinggi. Siapapun bisa terkena
bakteri meningitis, tetapi paling umum pada
bayi dan anak-anak. Orang-orang yang telah
lama atau kontak dekat dengan pasien
meningitis yang disebabkan oleh Neisseria
meningitidis atau Hib juga dapat berisiko
tertular (Ngastiyah, 2005).
Tidak jarang organisme yang relatif
memiliki derajat patogenitas rendah dapat
menyebabkan meningitis atau abses otak.
Demikian pula cairan serebrospinal (CSS) pada
beberapa kasus justru merupakan media yang
ideal untuk pertumbuhan kuman disamping
hambatan antibodi dan sel radang untuk
menembus jaringan saraf pusat oleh karena
adanya barrier darah otak. Dari segi klinis,
infeksi intrakranial seringkali menunjukkan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Hingga penting untuk mengenal diagnosis
secara dini dan memberikan pengobatan yang
segera, tepat dan rasional untuk menghindari
kematian dan gejala sisa yang menetap. Tingkat
lanjut bakteri meningitis dapat mengakibatkan
kerusakan otak, koma, dan kematian. Korban
dapat menderita komplikasi jangka panjang,
termasuk kehilangan pendengaran, penglihatan,
keterlambatan mental, lumpuh, kelemahan dan
lain-lain (Ngastiyah, 2005).
2
meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas
dan kekuatan otot, mempertahankan fungsi
jantung dan pernapasan, dan mencegah
kekakuan pada sendi (Potter & Perry, 2005).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Surahmah (2012) menunjukkan bahwa rata-rata
kemampuan rentang gerak sendi siku sebelum
dilakukan latihan range of motion, yaitu
ekstensi sebesar 23o dan fleksi sebesar 107,23o.
Rata-rata kemampuan rentang gerak sendi siku
setelah latihan range of motion, yaitu ekstensi
sebesar 6,69o dan fleksi sebesar 132o. Data yang
diolah melalui SPSS 16 didapatkan bahwa pvalue (0,000) < (0,05) yang berarti Ho
ditolak. Data tersebut menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara latihan
range of motion terhadap peningkatan rentang
gerak sendi siku pada pasien yang mengalami
hemiparise pasca stroke. Penelitian yang
dilakukan oleh Fitria (2012) bahwa terdapat
perbedaan (peningkatan) derajat kekuatan otot
pasien sebelum dan sesudah terapi ROM
dengan nilai p = 0,003 < 0,05. Terapi ROM
dinyatakan efektif dalam meningkatkan
kekuatan otot ekstremitas.
RSUP Dr. M. Djamil Padang merupakan
rumah sakit rujukan di Sumatera Barat. Hasil
Pencatatan dan pelaporan Medical Record
RSUP Dr. M. Djamil Padang bahwa jumlah
pasien Meningitis TB di bagian ilmu kesehatan
anak
merupakan
kasus
yang
jarang.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan
peneliti pada tanggal 28 Juli 2015 diruang HCU
Anak terdapat 23 pasien dengan Diagnosa
Medis Meningitis. Berdasarkan wawancara
dengan keluarga mengenai latihan ROM,
mereka tidak mengetahui tentang latihan ROM
dan manfaatnya. Keluarga juga mengatakan
ekstremitas kiri pasien tidak bisa digerakkan
dan belum ada diberikan latihan ROM.
Selain latihan ROM, perawat juga harus
memperhatikan Pelaksanaan Patient Safety :
Pengurangan Resiko Pasien Jatuh pada pasien
dengan Meningitis TB karena pasien beresiko
kejang yang bisa menyebabkan pasien beresiko
jatuh. Pengkajian risiko jatuh merupakan
3
menggunakan peralatan diagnostik yang
sebenarnya tidak perlu dilakukan seperti CT
Scan, rontgen dll. Dampak bagi rumah sakit
sendiri adalah menimbulkan risiko tuntutan
hukum karena dianggap lalai dalam perawatan
pasien (Miake-Lye dkk, 2013).
The Joint Commision Internasional
(2011), menyatakan bahwa sebuah rumah sakit
memerlukan
elemen
penilaian
untuk
mengurangi risiko jatuh. Elemen penilaian
pengurangan risiko jatuh meliputi: (1) Rumah
sakit menerapkan proses penilaian awal atas
pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan
penilaian ulang pasien bila diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan; (2)
Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi
risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil
penilaian dianggap berisiko jatuh; (3) Langkahlangkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan
pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak
dari kejadian tidak diharapkan; (3) Kebijakan
dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko
pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
Berdasarkan
Pengamatan
yang
dilakukan pada tanggal 27-28 Juli 2015
didapatkan hasil bahwa Blanko Assesment
risiko pasien jatuh tidak diisi karena beban kerja
perawat tidak sesuai dengan jumlah perawat
yang dinas, Beban kerja perawat tidak sesuai
dengan jumlah perawat yang dinas sehingga
perawat lebih banyak
berfokus pada
rekomendasi medis seperti fokus pada orderan
dokter, kurang dari separoh (44%) pasien tidak
ada dilakukan penilaian dengan asessment
resiko jatuh dalam waktu 4 jam dari pasien
masuk RS di ruangan HCU IR RSUP Dr. M.
Djamil Padang.
Berdasarkan latar belakang diatas dan
fenomena yang ditemukan, maka penulis
tertarik menyusun laporan ilmiah akhir tentang
Asuhan Keperawatan Pada An. R dengan
Meningitis TB dengan Penerapan Range Of
Motion (ROM) dan Pelaksanaan Patient Safety :
Pengurangan Resiko Pasien Jatuh di Ruang
4
dengan tangan satu, tangan lainnya
menekuk dan meluruskan siku (Fleksi dan
Ekstensi).
c) Gerakan memutar pergelangan tangan
(rotasi) yaitu dengan cara pegang lengan
bawah dengan tangan satu, tangan yang
lainnya menggenggam telapak
tangan
pasien, putar pergelangan tangan pasien ke
arah luar (terlentang/ supinasi) dan ke arah
dalam (telungkup/ pronasi).
d) Gerakan menekuk dan meluruskan
pergelangan tangan yaitu dengan cara
pegang lengan bawah dengan tangan satu,
tangan lainnya memegang pergelangan
tangan pasien, tekuk pergelangan tangan
ke atas dan ke bawah (fleksi dan ekstensi).
e) Gerakan memutar ibu jari (rotasi) yaitu
dengan cara pegang telapak tangan dan
keempat jari dengan tangan satu, tangan
lainnya memutar ibu jari tangan.
f) Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari
tangan yaitu dengan cara pegang
pergelangan tangan dengan tangan satu,
tangan yang lainnya menekuk dan
meluruskan jari-jari tangan (fleksi dan
ekstensi).
Latihan Pasif Anggota Gerak Bawah
a) Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal
paha yaitu dengan cara pegang lutut dengan
tangan satu, tangan lainnya memegang
tungkai., naikkan dan turunkan kaki dengan
lutut yang lurus, gerakkan kaki kesamping
menjauhi tubuh (abduksi, aduksi)
b) Gerakan menekuk dan meluruskan lutut
yaitu dengan cara pegang lutut dengan satu
tangan, tangan lainnya menekuk dan
meluruskan sendi lutut (fleksi dan ekstensi).
c) Gerakan menekuk pergelangan kaki yaitu
dengan cara pegang pergelangan kaki pasien
dengan satu tangan, tangan yang lainnya
menggenggam telapak kaki pasien, tekuk
pergelangan kaki ke atas (dorsal fleksi) d
kebawah (plantar fleksi).
d) Gerakan memutar (Rotasi) pada kaki. Yaitu
dengan cara pegang pergelangan kaki pasien
dengan satu tangan, tangan lainnya
5
dalam penelitian ini kekuatan ototnya minimal
pada derajat hanya berupa perubahan tonus dan
maksimal sampai pada derajat mampu
menggerakkan sendi dan dapat melawan
gravitasi, namun tidak kuat terhadap tahanan,
sedangkan hasil penelitian dari derajat tingkat
kekuatan otot setelah dilaukan tindakan ROM
ada 5 pasien (50%) yang derajat kekuatan
ototnya termasuk kategori 3. Sesudah dilakukan
terapi ROM, ada peningkatan derajat kekuatan
otot pada pasien. Kekuatan ototnya minimal
pada derajat mampu menggerakkan persendian
dan
maksimal
pada
derajat
mampu
menggerakan sendi, dapat melawan gravitasi,
dan kuat terhadap tahanan ringan.
Sesudah dilakukan terapi ROM, 9 dari 10
pasien mengalami peningkatan derajat kekuatan
otot. Derajat kekuatan otot pasien menjadi
berkisar antara derajat 2 (mampu mengerakkan
persendian, tidak dapat melawan gravitasi)
hingga derajat 4 (mampu menggerakan sendi,
dapat melawan gravitasi, kuat terhadap tahanan
ringan). Uji statistik menunjukkan bahwa
perbedaan derajat kekuatan otot sebelum dan
sesudah terapi ROM termasuk signifikan (p =
0,003 < 0,05) yaitu ada perbedaan yang
bermakna. Kesimpulkan dari hasil penelitian
bahwa
terapi
ROM
memang
efektif
meningkatkan derajat kekuatan otot ekstremitas.
(Fitria, 2012).
Temuan dalam penelitian ini mendukung
konsep terapi ROM sebagai alat efektif untuk
meningkatkan kekuatan otot ekstremitas.
Tujuan ROM sendiri adalah mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara
mobilitas persendian, merangsang sirkulasi
darah, mencegah kelainan bentuk.
HASIL PENULISAN
1. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN MENINGITIS TB
a. Diagnosa North American Nursing Diagnosis
Association (NANDA)
6
c. Intervensi menurut Nursing Intervention
Classification (NIC).
Nursing Intervention Classification
(NIC) adalah merupakan standar intervensi
yang komprehensif dan berdasarkan riset.
NIC sangat berguna untuk dokumentasi,
komunikasi pada banyak setting, integrasi
pada sistem dan setting yang berbeda, riset
yang efektif, pengukuran produktifitas dan
evaluasi kompetensi, pembiayaan dan
rancangan kurikulum (Nursalam, 2009).
NIC adalah suatu standar klasifikasi
keperawatan untuk perilaku spesifik yang
diharapkan dari pasien dan atau tindakan
yang harus dilakukan oleh perawat. NIC
adalah
suatu
daftar
list intervensi
perawatan
menyeluruh,
yang
dikelompokkan berdasarkan label yang
diuraikan pada aktivitas. Aktivitas adalah
tindakan atau perlakuan spesifik yang
dilakukan
untuk
menerapkan
suatu
intervensi, membantu pasien untuk bergerak
kearah aktivitas hasil.
Klasifikasi NIC meliputi intervensi
yang dilakukan perawat baik intervensi
mandiri maupun kolaborasi, perawatan
langsung atau tidak langsung. Semua
intervensi didefinisikan sebagai Penanganan
berdasarkan
penilaian dan pengetahuan
klinik dimana perawat melakukan intervensi
untuk peningkatan hasil yang diharapkan
dari pasien. NIC terdiri dari 514 intervensi
yang terdiri dari enam domain yaitu :
fisiologi dasar, psikologi : kompleks, tingkah
laku, keamanan, keluarga, sistem kesehatan
dan komunitas (Bulechek, 2008).
Dari pengkajian kasus yang dilakukan
pada An.R pada tanggal 28 Juli 2015 didapat
diagnosa keperawatan antara lain: Resiko
Perfusi Jaringan serebral tidak efektif,
Kerusakan Mobilitas fisik b.d gangguan
sistem
persarafan,
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan untuk menyerap nutrisi
PELAYANAN
1. Berdasarkan karakteristik
a. Distibusi frekuensi tingkat pendidikan
perawat di ruang HCU IRNA Kebidanan
Anak, didapatkan sebagian besar (78%)
berada pada tingkat pendidikan tinggi
perawat profesional pemula.
b. Distribusi frekuensi jenis kelamin perawat
di ruang HCU IRNA Kebidanan Anak,
didapatkan seluruh (100%) berjenis
kelamin perempuan.
2. Pendokumentasian asuhan keperawatan
berdasarkan NANDA NOC NIC
Berdasarkan kesepakatan Lokmin I,
didapatkan alternatif pemecahan masalah
Belum optimalnya penerapan petugas dalam
Assesment dan pengurangan resiko pasien
jatuh, yaitu resosialisasi pengisian skala
7
jatuh Humty Dumpty, pembuatan tanda
pasien jatuh, dan mengevaluasi Assesment
dan pengurangan resiko pasien jatuh.
Setelah dilakukan implementasi pada
tanggal 14-16 Agustus 2015. Hasil evaluasi
setelah implementasi didapatkan Perawat
menggunakan pengaman pada tempat tidur
pasien, didapatkan peningkatan 78% dari
sebelum implementasi menjadi 90%. Untuk
perawat yang mempunyai format pengkajian
resiko jatuh, didapatkan peningkatan 33%
dari sebelum dan setelah dilakukan
implementasi pasien safety, untuk perawat
yang plementasi menjadi 60%. Untuk
perawat yang mengisi format pengkajian
resiko jatuh, didapatkan peningkatan 67%
dari sebelum implementasi menjadi 72%.
Untuk perawat yang memantau pasien resiko
jatuh 2 kali sehari, didapatkan peningkatan
33% dari sebelum implementasi menjadi
50%.
PEMBAHASAN
Manajemen Asuhan Keperawatan
Pada bab ini penulis akan menguraikan
pembahasan kasus Meningitis TB. Penulis akan
menganalisis dan mengemukakan kesenjangan
dan kesesuaian yang ditemukan pada
pelaksanaan asuhan keperawatan mulai dari
tahap pengkajian, perumusan diagnosis
keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi keperawatan.
Karakteristik Pasien
Berdasarkan data hasil karakteristik
pasien didapatkan pasien dengan jenis kelamin
laki-laki dan berumur 12 tahun 2 bulan. Hal ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Kliegman yang menyatakan bahwa di
Indonesia, Meningitis Tuberkulosis masih
banyak
ditemukan
karena
morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit
ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk
bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
8
bulan dan keluarga menganggap pasien sudah
sembuh karena pasien tidak ada lagi batuk dan
demam.
Untuk menyelesaikan permasalahan pada
pasien dengan Meningitis TB penulis telah
dilakukan proses keperawatan berdasarkan
setiap tahapannya, yaitu pengkajian, penegakan
diagnosis keperawatan, merencanakan asuhan
keperawatan, implementasi dan evaluasi proses
keperawatan. Penetapan diagnosis keperawatan
dilakukan berdasarkan batasan karakteristik
NANDA dan rencana asuhan keperawatan
dibuat
berdasarkan
Nursing
Outcomes
Classification (NOC) dan Nursing Intervention
Classification (NIC). Asuhan keperawatan pada
pasien dilakukan selama 7 hari pada tanggal 27
Juli 03 Agustus 2015.
Pengkajian Keperawatan
Tahap pengkajiaan adalah tahap awal dari
proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data
dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan pasien
(Nursalam, 2009). Pengkajian terhadap pasien,
penulis menggunakan metode wawancara,
observasi, studi dokumentasi, dan pemeriksaan
fisik. (Handayaningsih, 2007).
Hasil pengkajian yang penulis
lakukan pada tanggal 27 Juli 2015 Jam 13.00
diperoleh data fokus pada pasien adalah adanya
penurunan
kesadaran,
nyeri
dikepala,
kelemahan pada ekstremitas bagian kiri,
keletihan, penurunan nafsu makan. Dari datadata tersebut dapat disimpulkan ada persamaan
antara data kasus dan teori yaitu persamaan data
pada Meningitis TB.
Berdasarkan hasil pengkajian diatas
diperoleh data adanya keluhan kelemahan pada
ekstremitas terutama bagian kiri dan setelah
penulis nilai ternyata kekuatan otot ekstremitas
kiri pasien hanya bernilai satu. Menurut
Ngastiyah (2005) akibat lanjut bakteri
meningitis TB dapat mengakibatkan kerusakan
otak, koma, dan kematian. Korban dapat
menderita komplikasi jangka panjang, termasuk
kehilangan
pendengaran,
penglihatan,
keterlambatan mental, lumpuh, kelemahan dan
lain-lain.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang
terjadi pada meningitis tuberkulosis, salah
satunya yaitu Hidrosefalus komunikans akibat
perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis. Akibat peradangan di otak juga
akan menimbulkan disorientasi, bingung,
kejang, tremor, hemibalismus, hemikorea,
hemiparesis, quadriparesis, dan penurunan
kesadaran, (Rahajoe, 2007).
Berdasarkan analisis yang penulis lakukan
bahwa kelemahan pada ekstremitas pasien
disebabkan oleh basil TB yang mencederai saraf
kranial dan mengakibatkan Infark Serebri
sehingga menyebabkan kerusakan pada
nervous. Hal ini dibuktikan dengan hasil CT
Scan didapatkan data bahwa pasien mengalami
Multiple Infark Serebri, hal ini merupakan salah
satu penyebab pasien mengalami kelemahan
ekstremitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Lionel (2007) bahwa penyumbatan pada arteri
serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral
serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat
kerusakan girus lateral presentralis dan
postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi
ocular (deviation conjugeeakibat kerusakan
area motorik penglihatan), hemianopsia (radiasi
optikus), gangguan bicara motorik dan sensorik
(area bicara broca dan wernicke dari hemisfer
dominan), gangguan persepsi spasial, apraksia,
hemineglect (lobus parietalis). Penyumbatan
arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis
dan defisit sensorik kontralateral (akibat
kehilangan girus presentralis dan postsentralis
bagian medial), kesulitan berbicara (akibat
kerusakan area motorik tambahan) serta
apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum
anterior dan hubungan dari hemisfer dominan
ke korteks motorik kanan terganggu.
Penyumbatan bilateral pada arteri serebri
anterior menyebabkan apatis karena kerusakan
dari sistem limbic.
9
Selanjutnya pada pemeriksaan CT Scan
Kepala didapatkan gambaran Hidrocefalus,
Multiple Infark Serebri, dan Edema Serebri.
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi
Meningitis TB. Hidrosefalus komunikans akibat
perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis (Nastiti, 2007).
Selanjutnya dilihat dari pertumbuhan,
pasien mengalami gizi kurang. Malnutrisi dan
tuberkulosis (TB) merupakan beban yang sering
dijumpai di negara berkembang. Kedua masalah
ini saling berhubungan satu sama lain. Status
nutrisi buruk sering ditemukan pada penderita
TB aktif dibandingkan individu sehat. Infeksi
TB sendiri menimbulkan anoreksia, malabsorpsi
nutrien dan mikronutrien serta gangguan
metabolisme sehingga terjadi proses penurunan
massa otot dan lemak. (Pratomo, 2012).
Selanjutnya aspek pengkajian dilihat dari
pemeriksaan penunjang terdapat peningkatan
leukosit dan penurunan kadar Hb. Tingginya
leukosit pada tubuh merupakan indikasi
peningkatan produksi sel sel untuk melawan
infeksi pada tubuh. Pada saat terjadi infeksi,
leukosit secara otomatis akan melakukan
fagositosis atau menghancurkan organisme
yang menyebabkan infeksi. Adanya gangguan
sistem kekebalan tubuh akan menyebabkan
peningkatan leukosit. (Halo Sehat, 2015).
Penderita tuberkulosis dengan status gizi
kurang memiliki kadar hemoglobin lebih rendah
dibandingkan dengan penderita dengan status
gizi baik. Defisiensi besi dan zat gizi lain serta
adanya penyakit kronis seperti tuberkulosis
dapat menyebabkan anemia. Tercatat kejadian
anemia pada penderita tuberkulosis sebesar
16% sampai 76% dari berbagai penelitian yang
berbeda. Rendahnya konsentrasi hemoglobin
ditemukan pada anak-anak dengan tuberkulosis
dibandingkan dengan anak tanpa tuberkulosis.
Anemia pada tuberkulosis dapat dikarenakan
terjadinya gangguan pada proses eritropoesis
oleh mediator inflamasi, pemendekan masa
hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi,
adanya malabsorbsi dan ketidakcukupan zat gizi
10
otak) akibat trauma atau proses imunologik,
langsung masuk ke ruang subarachnoid.
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan
serebrospinal dalam bentuk kolonisasi dari
nasofaring atau secara hematogen. Vena-vena
yang
mengalami
penyumbatan
dapat
menyebabkan
aliran
aliran
retrograde.
Walaupun Meningitis TB dikatakan sebagai
peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat mengakibatkan edema otak,
penyumbatan vena dan memblok aliran cairan
serebrospinal yang dapat berakhir dengan
hidrosefalus, peningkatan tekanan intracranial
dan herniasi (TB Indonesia, 2012).
Menurut analisis penulis Meningitis
tuberkulosos merupakan bentuk tuberkulosis
paling fatal dan menimbulkan gejala sisa yang
permanen, karena mempengaruhi sistem
persarafan pasien oleh karena itu, dibutuhkan
diagnosis dan terapi yang segera. Sesuai dengan
penelitian Huldani (2012) bahwa penyakit ini
merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima
yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar
5,2%
dari
semua
kasus
tuberculosis
ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus
tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah
defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus,
dan perubahan status mental. Gejala prodromal
yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala,
muntah, fotofobia, dan demam.
Diagnosa prioritas kedua yaitu Kerusakan
Mobilitas Fisik b.d gangguan sistem persarafan.
Menurut NANDA (2011) Kerusakan Mobilitas
Fisik adalah pembatasan dalam kemandirian
yang bertujuan untuk membatasi gerakan tubuh
atau satu ekstremitas maupun lebih. Data-data
yang ditemukan pada pasien ini adalah adanya
kelemahan pada ekstremitas kiri, kekuatan otot
ekstremitas kiri bernilai 1. Pasien tampak
mengalami kelemahan, GCS 12, tingkat
kesadaran apatis.
Hidayat (2005) menyatakan bahwa infeksi
atau radang yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium
Tuberculosis
dapat
menghasilkan toksin yang akan mencederai
saraf kranial. Gejala dan kerusakan disaraf yang
11
vitamin B6, folat dan vitamin E sering terjadi
pada penderita TB aktif. Defisiensi vitamin A,
vitamin E, thiamin, riboflavin, vitamin B6 dan
vitamin C lebih umum terjadi penderita TB.
Defisiensi mikronutrien dan status gisi umum
yang jelek pada penderita TB aktif dapat
menekan system imun cell yang merupakan
pertahanan utama host untuk melawan bakteri
Mycobacterium Tuberculosis (Setiawan, 2011).
Setelah dilakukan penegakan diagnosa
keperawatan
maka
proses
keperawatan
selanjutnya yang penulis lakukan adalah
intervensi
dan
implementasi
tindakan
keperawatan.
Intervensi dan Implementasi Keperawatan
Untuk mengatasi masalah pada pasien
perlu disusun intervensi dengan tujuan yang
akan dicapai sesuai dengan kriteria hasil yang
mengacu pada Nursing Outcomes Classification
(NOC) dan Nursing Intervention Classification
(NIC). Umumnya rencana yang ada pada
asuhan keperawatan teoritis dapat diaplikasikan
dan diterapkan dalam rencana tindakan
keperawatan sesuai priritas masalah. Intervensi
dsesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas
yang ada, sehingga rencana tindakan dapat
dilaksanakan dengan specific (jelas dan khusus),
measurable (dapat diukur), achievable (dapat
diterima), rasional and timen (ada kriteria
waktu). (Nursalam, 2009).
Diagnosa Keperawatan prioritas pertama
dalah resiko perfusi jaringan serebral tidak
efektif. Intervensi yang dilakukan adalah
monitoring tekanan intracranial dan monitoring
neurologi. (Bulechek, 2008). Aktivitas yang
dilakukan untuk intervensi monitoring tekanan
intracranial adalah Pantau tanda-tanda PTIK,
Pantau intake dan output cairan, Pantau suhu
dan nilai WBC, Pantau adanya kaku kuduk.
Aktivitas yang dilakukan untuk Monitoring
Neurologi adalah Monitor ukuran, bentuk,
kesimetrisan dan reaksi pupil, Monitor tingkat
kesadaran, Monitor tingkat orientasi , Monitor
GCS, Monitor TTV, Monitor batuk dan reflek
muntah, Monitor kekuatan otot dan pergerakan
12
tindakan ROM ada 4 pasien (40%) yang derajat
kekuatan ototnya termasuk kategori 3. Pasien
dalam penelitian ini kekuatan ototnya minimal
pada derajat hanya berupa perubahan tonus dan
maksimal sampai pada derajat mampu
menggerakkan sendi dan dapat melawan
gravitasi, namun tidak kuat terhadap tahanan,
sedangkan hasil penelitian dari derajat tingkat
kekuatan otot setelah dilaukan tindakan ROM
ada 5 pasien (50%) yang derajat kekuatan
ototnya termasuk kategori 3. Sesudah dilakukan
terapi ROM, ada peningkatan derajat kekuatan
otot pada pasien. Kekuatan ototnya minimal
pada derajat mampu menggerakkan persendian
dan
maksimal
pada
derajat
mampu
menggerakan sendi, dapat melawan gravitasi,
dan kuat terhadap tahanan ringan.
Menurut Kozier (2004) pemeliharaan
kekuatan otot dan fleksibilitas sendi, disertai
latihan Range of Motion (ROM) dapat
meningkatkan dan mempertahankan kekuatan
otot dan fleksibilitas persendian. latihan ROM
merupakan latihan yang sangat efektif bagi
pasien yang mengalami penurunan kekuatan
otot. Latihan ini mudah dalam pelaksanaan,
dapat di lakukan berdiri maupun berbaring,
serta efisien karena tidak menggunakan alat
khusus serta dapat di lakukan kapan saja.
Tujuan dari latihan ROM yaitu untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan
fleksibilitas
dan
kekuatan
otot,
mempertahankan
fungsi
jantung
dan
pernapasan, mencegah kontraktur dan kekakuan
pada sendi. Manfaat ROM untuk menentukan
nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam
melakukan pergerakan, memperbaiki tonus otot,
memperbaiki toleransi otot untuk latihan,
mencegah
terjadinya
kekakuan
sendi,
memperlancar sirkulasi darah (Andarwati,
2013).
Menurut analisis penulis latihan ROM
merupakan salah satu altenatif latihan yang
dapat dilakukan pada pasien. Latihan ROM
merupakan bagian dari tindakan keperawatan.
Tindakan-tindakan keperawatan yang efektif
bagi usaha penyembuhan pasien dilahirkan dari
penelitian
keperawatan.
Sesuai
dengan
pernyataan Tulandi (2012) bahwa tujuan utama
penelitian keperawatan adalah mengembangkan
dasar pengetahuan ilmiah untuk praktik
keperawatan yang efektif dan efisien.
Diagnosa
prioritas
ketiga
adalah
Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi. Intervensi yang dilakukan
adalah Nutritiont Management dan Nutrition
Monitoring (Bulechek, 2008). Aktivitas yang
dilakukan
untuk
intervensi
Nutritiont
Management adalah kaji adanya alergi
makanan, kolaborasi dengan ahli gizi,
monitoring jumlah nutrisi dan kandungan
kalori, berikan informasi kepada keluarga
tentang kebutuhan nutrisi. Aktivitas yang
dilakukan
untuk
intervensi
Nutrition
Monitoring adalah pantau penurunan Berat
Badan, monitor perubahan turgor kulit, monitor
mual muntah, monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan Ht, monitor pucat dan
konjungtiva anemis, catat kalori dan intake
nutrisi.
Pasien TB yang memiliki BB yang rendah
saat diagnosis, kemudian mengalami kenaikan
BB sebesar lima persen atau kurang dari lima
persen BB mereka selama dua bulan pertama
pengobatan (terapi masa intensif) memiliki
peningkatan risiko kekambuhan penyakit secara
signifikan. Berat badan yang rendah adalah bila
memiliki berat badan 10% dibawah BB ideal.
Terdapat 18,5% angka kekambuhan terjadi pada
pasien dengan peningkatan berat badan lebih
dari lima persen dan 50,5% angka kekambuhan
terjadi pada pasien dengan peningkatan berat
kurang dari lima persen. Kurang dari lima
persen kenaikan berat badan bisa menjadi
penanda peningkatan aktivitas penyakit
tuberkulosis dan atau respon yang buruk
terhadap terapi (Khan, 2006).
Menurut analisis penulis gangguan nutrisi
pada pasien Meningitis TB ini sudah terjadi
semenjak pasien mengidap TB Paru satu tahun
yang lalu, hal ini memberatkan status gizi
pasien yang kurang yang dibuktikan dengan
13
berat badan yang rendah yaitu hanya 24 kg.
Sehingga pada pasien ini akan rentan sekali
mengalami
malnutrisi
dan
gangguan
pertumbuhan dan membutuhkan tatalaksana gizi
segera.
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan setelah
implementasi terlaksana, fungsinya untuk
mengetahuo tingkat keberhasilan dari setiap
tindakan yang dilakukan. Hasil evaluasi yang
dilakukan Mengacu pada NOC yang terdiri dari
indikator-indikator yang telah disesuaikan.
Setelah dilakukan implementasi selama 7
hari perawatan, pasien memperlihatkan
terjadinya perbaikan dari tanda klinis pasien
terkait dengan risiko perfusi jaringan serebral
tidak efektif. Evalusi akhir menunjukan hasil
tidak terdapat tanda-tanda, TTV : TD = 110 / 70
mmHg, N = 80 x / menit, Suhu = 37,0 C,
Pernafasan = 22 x / menit, tidak terdapat kaku
kudu, tingkat kesadaran compos mentis, GCS :
12 ( E4M5V3), pupil isokor ukuran 2 / 2, reflek
cahaya + / +, Batuk tidak ada, muntah tidak ada.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
perfusi jaringan serebral mengalami perbaikan,
tanda-tanda PTIK tidak ada muncul.
Kemudian untuk diagnosa Kerusakan
Mobilitas Fisik b.d gangguan sistem persarafan,
setelah dilakukan implementasi selama 7 hari
perawatan pasien memperlihatkan terjadinya
perbaikan dari tanda klinis pasien terkait dengan
kerusakan mobilitas fisik. Hasil evaluasi yang
terlihat yaitu keluarga mengatakan telah melatih
ROM pasif di pagi hari setelah mandi selama 15
menit, Kekuatan otot ekstremitas kiri meningkat
menjadi 2. Keluarga tampak mengerti mengenai
pendidikan kesehatan tentang ROM, Pasien
telah diberikan latihan ROM pasif setiap pagi,
Aktivitas pasien masih dibantu sepenuhnya oleh
keluarga.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fitria (2012), sesudah dilakukan
terapi ROM dari 10 pasien mengalami
peningkatan derajat kekuatan otot. Derajat
kekuatan otot pasien menjadi berkisar antara
14
peningkatan kekuatan otot. Dalam hal ini,
anggota keluarga atau pasien sendiri dapat
melakukan latihan ROM mandiri diluar
pemberian latihan dari fisioterapi. Fungsi
keluarga sendiri dalam perawatan kesehatan
anggota keluarga yang sakit dapat menyediakan
kebutuhan fisik.
Terakhir
untuk
diagnosa
Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi. Hasil evaluasi yang terlihat
yaitu pasien tidak lagi pucat, Konjungtiva tidak
anemis, Turgor kulit mulai membaik, Tidak
terdapat muntah, dan Mukosa bibir lembab.
Menurut Potter & Perry (2005), salah satu
peran perawat adalah menyiapkan discharge
planning, yang dilakukan setelah pasien
dinyatakan sembuh dan akan pulang dari rumah
sakit. Salah satu unsur penting dari rumah sakit
dalam discharge planning
adalah health
education atau penyuluhan kesehatan. Menurut
Smeltzer & Bare (2002), penyuluhan kesehatan
pada pasien dengan Meningitis TB bertujuan
agar pasien dapat melatih ROM pasif sehingga
tidak terjadi kekakuan pada ekstremitas. Agar
penyuluhan kesehatan dapat efektif dan
diterima serta terjadi internalisasi baik oleh
pasien maupun oleh keluarganya, maka perlu
mengetahui permasalahan-permasalahn yang
dihadapi pasien saat dirumah agar kejadian inap
ulang pada pasien Meningitis TB dapat
diminimalkan.
Manajemen Pelayanan Keperawatan
Manajemen keperawatan adalah suatu
proses
bekerja
melalui
anggota
staf
keperawatan untuk memberikan asuhan
keperawatan secara professional (Nursalam,
2011). Tujuan pelayanan keperawatan pada
umumnya ditetapkan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas pelayanan rumah
sakit
untuk
meningkatkatkan
dan
mempertahankan kualitas pelayanan rumah
sakit
serta
meningkatkan
penerimaan
masyarakat tentang profesi keperawatan. Tujuan
ini dicapai dengan mendidik perawat agar
15
jatuh, didapatkan peningkatan 67% dari
sebelum implementasi menjadi 72%. Untuk
perawat yang memantau pasien resiko jatuh 2
kali sehari, didapatkan peningkatan 33% dari
sebelum implementasi menjadi 50%.
Berdasarkan data-data yang telah
dipaparkan diatas terlihat terjadi peningkatan
dalam penerapan patient safety :pengurangan
pasien resiko jatuh. Dalam pelaksanaan
implementasi yang telah dilakukan, diharapkan
tujuan akhir yang ingin dicapai dari pelaksanaan
implementasi ini adalah perubahan perilaku.
Hal ini didukung oleh Nursalam (2007) yang
menyatakan perubahan merupakan sesuatu yang
direncanakan pada suatu individu, situasi, atau
proses. Perubahan yang efektif tergantung
individuyang terlibat, tertarik, dan berupaya
untuk selalu berkembang dan maju serta
mempunyai suatu komitmen untuk selalu
berkembang dan maju serta mempunyai suatu
komitmen untuk bekerja dan melaksanakannya.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi
perilaku perawat dam bekerja adalah yaitu
budaya organisasi. Menurut Robbin (2006),
budaya organisasi adalah kepercayaan, norma,
nilai, sikap dan keyakinan yang dibentuk oleh
para anggota kelompok yang membedakan
antar organisasi. Konsep budaya organisasi
dalam pelayanan keperawatan sebagai bagian
organisasi rumah sakit merupakan hal yang
penting. Menurut Mukhlas (2005), budaya
organisasi rumah sakit adalah pedoman atau
acuan untuk mengendalikan perilaku organisasi,
tenaga kesehatan lainnya dalam berintaraksi.
Budaya yang kuat akan menghasilkan kinerja
organisasi dalam menciptakan motivasi dalam
diri pekerja, rasa nyaman, sehingga timbul
komitmen untuk meningkatkan hasil kerja.
Berdasarkan uraian diatas rekomendasi
dalam pelaksanaan keselamatan pasien dengan
cara meningkatkan fungsi manajerial kepala
ruangan khususnya pada fungsi pengarahan
meliputi motivasi dari kepala ruangan kepada
ketua tim dan perawat dalam menerapkan
keselamatan pasien dan memberi reward pada
perawat yang melaksanakan dengan optimal.
16
17
Joint Comission International. (2011). Patient
Safety. Diakses pada tanggal 02
September
2015
dari
http://jointcommissioninternational.org
Khan, A. (2007). Etiology and antibiotic
resistance patterns of communityacquired urinary tract infections in J N M
C Hospital Aliga. India. Ann Clin
Microbial Antimicrob. Diakses pada
tanggal
30
Agustus
2015
dari
http://scribd.com
Kozier. (2004). Fundamental Of Nursing.
Seventh Edition. Vol. 2. Jakarta; EGC
Kliegman, Behrman. (2004). Infection in the
immunocopromised, Nelson Essensial in
Pediatrics, 5th ed. Philadelphia; WB
Saunders
Gaffar L. (2009). Pengantar Keperawatan
Profesional. Jakarta: EGC.
Ginsberg, Lionel. (2007). Lecture Notes
Neurologi. Jakarta; EMS.
Merenstein, Gerald. (2002). Buku pegangan
pediatri. Jakarta; Widya Medika.
Muchlas,
Makmuri.
(2005).
Perilaku
Organisasi. Yogyakarta ; Gadjah Mada
University Press
Muscari, M.E. (2005).Panduan belajar :
keperawatan pediatrik. Jakarta; ECG.
NANDA International. (2007). NANDA-I
Nursing Diagnoses: Definitions and
Clasification 2007-2008. Philapdelphia;
NANDA International.
Nastiti. (2007). Respirologi Anak, Jakarta; IDAI
Nataprawira
H.M.D.
(2005).
Pedoman
diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak
edisi
ke-3.
Bandung;
Fakultas
KedokterannUniversitas Padjadjaran
Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit edisi
2. Jakarta; EGC.
Nursalam. (2009). Proses & dokumentasi
keperawatan. Jakarta; Salemba Medika.
Nursalam. (2011). Manajemen keperawatan.
Jakarta; EGC.
Potter, P.A & Perry, A.G. (2009). Fundamentas
of nursing, 7th edition. Jakarta; Salemba
Medika.