Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Saat ini pola penyakit di Indonesia mengalami perubahan dari periode penyakit infeksi
menjadi periode penyakit degeneratif (Suyono, 2006). Salah satu penyakit degeratif ialah
Diabetes Melitus (DM). Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia akibat cacat sekresi insulin dan atau peningkatan resistensi seluler terhadap insulin
(Cavallerano, 2009). Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation) tercantum
perkiraan penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta dengan asumsi prevalensi DM
sebesar 4,6%, berjumlah 5,6 juta. Diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178
juta penduduk berusia diatas 20 tahun dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% akan
didapatkan 8,2 juta pasien Diabetes. Diabetes Melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mengakibatkan peningkatan prevalensi penderita DM dan terjadinya berbagai penyulit menahun,
seperti penyakit Serebro-Vaskular, Penyakit Jantung Koroner, penyakit pembuluh darah tungkai,
penyulit pada mata, ginjal, dan saraf (Suyono, et al., 2009). Salah satu terapi farmakologi
Diabetes Melitus yang sudah digunakan adalah Glibenklamid. Glibenklamid adalah obat pertama
antidiabetika oral generasi kedua dengan daya kerja atas dasar berat badan sampai 100 kali lebih
kuat daripada antidiabetika oral generasi pertama. Glibenklamid bekerja dengan cara
menstimulasi sel beta Langerhans untuk menghasilkan lebih banyak insulin. Pada penderita DM
khususnya DM Tipe 2 yang merupakan salah satu tipe DM, Glibenklamid yang merupakan obat
derivat kuat memiliki khasiat terpenting yaitu hipoglikemik dan sering kali ampuh ketika obatobat lain tidak efektif lagi.Waktu reabsorpsinya di usus sekitar enam sampai tujuh jam (Tjay &
Rahardja, 2007).Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik masyarakat
maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam
upaya pencegahan (Ocbrivianita et al, 2012)

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah utama dalam penelitian ini
adalah: Pengaruh glibenclamide dan glimepiride terhadap diabetes militus tipe2?

C. Tujuan
1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui pemberian obat glibenklamid untuk pasien diabetes melitus tipe 2
2.Tujuan Khusus
Berikut ini adalah tujuan khusus penulisan makalah ilmiah ini:
1.Untuk mengetahui mekanisme glibenklamid sebagai obat anti diabetes melitus tipe 2.
2.Untuk mengetahui sifat fisiko-kimia dari glibenklamid.
3.Untuk mengetahui farmakodinamik dari glibenklamid.
4.Untuk mengetahui farmako kinetik dari glibenklamid.
5.Untuk mengetahui toksisitas dari glibenklamid.

D.Manfaat
Hasil penulisan makalah ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1.Bagi peneliti dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan di bidang obat anti diabetes
mellitus golongan sulfonylurea khususnya glibenklamid.
2.Institusi pendidikan, sebagai tambahan data dasar dan informasi untuk pendidikan yang
berkaitan dengan obat anti diabetes melitus tipe 2 khususnya glibenklamid.
3. Untuk masyarakat agar dapat mengetahui jenis-jenis obat yang digunakan untuk menurunkan
diabetes militus denga cara pengobatan Obat Hiperglikemi Oral (OHO).

BAB II
FARMASI FARMAKOLOGI
1.
a.

Farmasi Farmakologi
SifatFisiko Kimia dan Rumus Kimia Obat

Nama IUPAC : 5-chloro-N-(4-[N(cyclohexylcarbamoyl)sulfamoyl]phenethyl)-2methoxybenzamide


Formula

: C23H28ClN3O5S

Berat molekul : 494.004 g/mol


Titik lebur
b.
1.

3.

: 1720-1740C

Farmasi Umum
Kelas terapi atau golongan: Sulfonilurea generasi kedua.
2. Nama dagang : Abenon, Libronil, Clamega, Merzanil, Samclamide,
Glibenclamide (Generik), Glyamid, Renabetic, Gluconic
Sediaan: Tablet, yang mengandung glibenklamide 5mg / tablet.
4. Dosis:
Dosis awal 1 kaptab sehari sesudah makan pagi, setiap 7 hari ditingkatkan
dengan 1/2 - 1 kaptab sehari sampai kontrol metabolit optimal tercapai.
Dosis awal untuk orang tua 2.5 mg/hari. Dosis tertinggi 3 kaptab sehari
dalam dosis terbagi.

5.

Interaksi obat :

Efek hipoglikemia ditingkatkan oleh alkohol, siklofosfamid, antikoagulan


kumarina, inhibitor MAO, fenilbutazon, penghambat beta adrenergik,
sulfonamida. Efek hipoglikemia diturunkan oleh adrenalin, kortikosteroid,
tiazida. (Katzung, 2002)
c.

Farmakologi Umum
1. Khasiat : menurunkan glukosa pada darah
2. Indikasi :
Kegunaan glibenclamide adalah menurunkan glukosa dalam darah untuk
pengobatan diabetes tipe 2 dimana dalam keadaan hiper glikemi karena
pengaturan pola makan saja tidak memberikan hasil yang memuaskan.
3. Kontra indikasi :
1. Jangan menggunakan glibenclamide pada pasien yang mempunyai
riwayat hipersensitif (alergi) terhadap glibenclamide atau obat-obat
yang termasuk golongan sulfonilurea dan sulfonamide lainnya.
2. Glibenclamide juga dikontraindikasikan untuk orang-orang dengan
defisiensi G6PD (enzim yang melindungi sel darah merah), karena
obat ini menyebabkan hemolisis akut.
3. Orang-orang yang memiliki gangguan pada ginjal, hati, kelenjar
adrenal atau kelenjar pituitari sebaiknya tidak menggunakan
glibenclamide.
4. Obat ini juga tidak disarankan jika anda akan menjalani operasi,
memiliki infeksi berat, atau usia di atas 70 tahun.
5. Penderita diabetes tipe 1, prekoma dan koma diabetes atau pasien
yang dalam urinenya terdapat senyawa keton (ketoasidosis)
dilarang menggunakan obat ini.(Davis and Granner, 2001)

BAB III
Farmakodinamik dan Mekanisme Kerja
A. Farmakodinamik

Khasiat hipoglikemisnya kira- kira 100 kali lebih kuat daripada tolbutamida.
Resiko hipo juga lebih besar dan lebih sering terjadi. Cara kerjanya lain dengan
sulfonylurea lain, yaitu single dose pagi hari mampu menstimulir sekresi insulin pada setiap
pemasukan glukosa (sewaktu makan). Dengan demikian selama 24 jam tercapai regulasi gula
darah optimal yang mirip pola normal.
B. Mekanisme Kerja
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues, kerjanya
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel Beta Langerhans pankreas. Rangsanganya
melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel Beta yang
menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan
terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel Beta, merangsang granula yang berisi
insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C.
Kecuali itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. Obat golongan ini
merupakan pilihan untuk pasien diabetes dewasa dengan berat badan normal dan kurang serta
tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan
pada penyakit hati, ginjal, dan tiroid
Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan
hipoglikemia.

BAB IV
Farmakokinetik

Berbagai sulfonilurea mempunyai sifat kinetik berbeda , tetapi absorpsi melalui saluran
cerna cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat mengurangi absorpsi. Untuk
mencapai kadar optimal di plasma, sulfonilurea dengan masa paruh pendek akan lebih efektif
bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma sekitar 90%-99% terikat protein plasma
terutama albumin; ikatan ini paling kecil untuk klorpropamid dan paling besar untuk gliburid.
Sulfonilurea generasi II, umumnya potensi hipoglikemiknya hampir 100x lebih besar dari
generasi I. Meski masa paruhnya pendek, hanya sekitar 3-5 jam, efek hipogikemiknya
berlangsung 12-24 jam, sering cukup diberikan 1x sehari. Alasan mengapa masa paruh yang
pendek ini, memberikan efek hipoglikemik panjang, belum diketahui.
Gliburid (glibenklamid), potensinya 200x lebih kuat dari tolbutamid, masa paruhnya
sekitar 4 jam. Metabolismenya di hepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolitnya
diekskresi melalui urin, sisanya melalui empedu. Pada penggunaan dapat terjadi kegagalan
primer dan sekunder, dengan seluruh kegagalan sekitar 21% selama 1 tahun. Karena semua
sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh
dierikan pada pasieng gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.

BAB V
Efek Samping

1. Efek samping glibenklamide umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan
saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat.
a.Gangguan saluran cerna berupa:
mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.
b.Gangguan susunan syaraf pusat berupa:
sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya.
Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik
dapat terjadi walau jarang sekali.Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet
terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering
diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang.Golongan sulfonilurea
cenderung meningkatkan berat badan.
2. Toksisitas
Reaksi tubuh seseorang terhadap sebuah obat berbeda-beda. Terdapat beberapa efek samping
umum seperti :
a.Gejala hipoglikemia
b.Merasa mual
c.Nyeri ulu hati
d.Efek samping gangguan lambung-usus seperti anorexia terutama pada dosis di atas 1,5g/hari
e.Efek samping gastrointestinal pada awalnya sering terjadi, namun biasanya kemudian
berkurang (Rubenstein David,2007 )
Mekanisme kerja glibenclamide dapat menimbulkan hipoglikemia dengan cara merangsang
sekresi hormon insulin dari granul sel-sel langerhan prankreas. interaksi dengan ATP-sensitive
K Channel pada membrane sel-sel menimbulkan depolarisasi membrane dan keaadaan ini akan
membuka kanal Ca.dengan terbentuknya canal Ca, maka ion Ca 2+ akan masuk ke dalam sel
kemudian merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi skresi insulin. pada
penggunaan jangka panjang atau dosis besar dapat menyebabkan hipoglikemia. (Suherman,2007)

BAB VI
Penelitian Lain

1. Perbandingan dari efek metformin dalam kombinasi dengan glimepiride dan


glibenclamide control pada glycaemic dalam pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efek metformin dalam kombinasi
dengan glimepiride dan glibenklamid Pada pasien dengan Diabetes Mellitustipe 2.
Subyek dan Metode: Ini adalah open-label, studi acak dilakukan untuk mempelajari efek
metformin ketika diberikan dalam kombinasi dengan baik glimepiride atau glibenclamide
pada kontrol glikemik pada pasien dengan Diabetes Mellitustipe tipe 2. Pasien dengan
glikosilasi hemoglobin lebih dari 7% dilibatkan dalam penelitian tersebut. 31 pasien
secara acak untuk pengobatan berdasarkan metformin-glibenclamide 1000-1010 mg
tablet atau metformin-glimepiride1000 / 2mg selama 12 minggu. Perbandingan yang
dilakukan antara kedua kelompok untuk HbA1C, FPG, PPG dan profil lipid. Hasil: Pada
minggu ke 12, pengurangan yang signifikan dalam HbA1c ditemukan pada kedua
kelompok tetapi pasien yang diobati dengan metformin-glimepiride mengakibatkan
penurunan signifikan lebih besar pada HbA1C (-1,4%) dibandingkan metforminglibenclamide (-1,2%).Kesimpulan: tablet Metformin-glimepiride mengakibatkan
pengurangan signifikan lebih besar HbA1C dan puasa glukosa plasma dibandingkan
dengan metformin ditambah glibenclamide dipasien dengan diabetes mellitus tipe 2.
2. Glibenclamide Menurunkan Inflamasi, Vasogenic Edema, dan Aktifasi Caspase-3
Setelah Perdarahan Subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid (SAH) menyebabkan cedera otak sekunder karena vasospasme
dan peradangan. Penelitian ini mempelajari model tikus dari SAH ringan-sampai sedang
ditujukan untuk meminimalkan iskemia / hipoksia untuk mengetahui peran reseptor
sulfonilurea 1 (SUR1) dalam respon inflamasi disebabkan oleh SAH. mRNA untuk
Abcc8, yang mengkode SUR1, dan SUR1 protein terdapat banyak di korteks yang
berdekatan dengan SAH, dimana tumor necrosis factor- (TNFa) dan faktor nuklir (NF)
kB memberi sinyal yang menonjol. Dalam percobaan in vitro ditemukan bahwa
transkripsi Abcc8 dirangsang oleh TNFa. Untuk mengetahui konsekuensi fungsional
SUR1 setelah SAH, mereka mempelajari pengaruh inhibitorSUR1 selektif, yaitu
glibenklamid. Peneliti memeriksa permeabilitas barier (imunoglobulin G, IgG
ekstravasasi), dan ternyata berkorelasi dengan lokalisasi protein persimpangan ketat, zona
occludens 1 (ZO-1). SAH menyebabkan peningkatan besar dalam permeabilitas barier
dan mengganggu lokalisasi junctional normal ZO-1. Glibenklamid secara signifikan
mengurangi kedua efek tersebut. Selain itu, SAH menyebabkan kenaikan besar dalam
tanda peradangan, termasuk TNFa dan NFB, dan tanda cedera sel atau kematian sel,
termasuk endositosis IgG dan aktivasi caspase-3, dengan glibenklamid secara signifikan
mengurangi efek ini. Peneliti (Simard,et al) menyimpulkan bahwa blok SUR1 oleh
glibenklamid dapat memperbaiki beberapa efek patologis yang berhubungan dengan
peradangan yang mengarah pada disfungsi kortikal setelah SAH.

3. Glibenclamide lebih unggul untuk decompressive craniectomy pada malignant


stroke.
Mengobati Pasien dengan infark serebral masih menjadi masalah yang belum
terpecahkan utamanya dalam terapi obat. Craniectomy decompressive ( DC )
meningkatkan prospek suram tetapi suboptimal . Menggunakan model tikus yang
mendapatkan iskemia / reperfusi dengan angka kematian yang sangat tinggi karena
edema serebral , kami menguji hipotesis yang menghalangi dari sulfonylurea reseptor 1 diatur saluran NCCA - ATP dengan glibenclamide akan menguntungkan dibandingkan
dengan DC saat reperfusi dan pengobatan yang dimulai 6 jam setelah onset iskemia.

Anda mungkin juga menyukai