Anda di halaman 1dari 2

SEJARAH TRADISI SEKATEN

Seperti diketahui bahwa Kebudayaan Jawa sebagian besar merupakan hasil Akulturasi, tidak
terkecuali dengan Tradisi Sekaten, terdapat Folklor yang berkembang dimasyarakat bahwa
Upacara Sekaten adalah salah satu warisan nilai budaya yang dilaksanakan turun-temurun oleh
nenek moyang, dahulu upacara serupa diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu,
berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur yang diselenggarakan dalam dua tahap,
tahap pertama disebut dengan Aswameda yang berlangsung selama enam hari, didalamnya
terdapat doa-doa, pujian serta tetabuhan, sedangkan tahap kedua disebut dengan Asmaradana
yang merupakan upacara penutup di hari ketujuh, dalam tahap ini terdapat pembakaran dupa
besar disertai dengan mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama dan pengaruh
Hindu ke Jawa, maka upacara Aswameda dan Asmaradana maka masuk pula ke dalam
kehidupan budaya Jawa.
Pada Masa Kerajaan Majapahit upacara Aswameda dan Asmaradana diselenggarakan di candicandi, namun sejak pemerintahan Hayam Wuruk, pelaksanaannya di pindah ke tengah kota yang
ditandai dengan upacara sesaji yang disebut Srada (Sesaji untuk para leluhur) untuk mendiang
Ibu Suri Baginda Sri Wishnu Wardani oleh Prabu Hayam Wuruk diselenggarakan selama tujuh
hari. dan hingga pada jaman Majapahit terakhir yakni pada pemerintahan Prabu Brawijaya V,
Upacara Sesaji ini tetap diadakan bahkan dengan keramaian yang lebih besar. Prabu Brawijaya
memiliki satu perangkat gamelan yang sangat tersohor, dikenal dengan nama Kanjeng Kyai
Sekar Delima, yang tiap tahun dibunyikan orang untuk memeriahkan keramaian itu.
Diceritakan bahwa Raden Patah, seorang Adipati Bintara yang juga Putra Prabu Brawijaya V
telah memeluk agama baru yakni Agama Islam, Raden Patah berencana menyerbu Kerajaan
Majapahit apabila Sang Prabu Brawijaya tidak bersedia memeluk Agama Islam. mendengar
berita tersebut, Prabu Brawijaya V sangat sedih dan melaksanakan semedi atau bertapa selama
dua belas hari, memohon kepada para dewa agar Raden Patah membatalkan niatnya untuk
menyerbu Majapahit.
Sementara itu,untuk menghibur hati Sang Prabu Brawijaya V, para ahli Gending Majapahit
menciptakan lagu-lagu melalui Perangkat Gamelan Pusaka Kerajaan. tidak sesuai yang
diperkirakan, karena Alunan gamelan tersebut mengalunkan kesedihan yang menyayat hati
sehingga Baginda semakin bersedih,bahkan membayangkan nasib buruk yang akan menimpa
kerajaannya, mengetahui keadaan tersebut para ahli gending kemudian menyuruh para niyaga
memukul gamelan itu keras-keras, dengan irama yang diperhitungkan dapat membangkitkan
gelora semangat baginda. melalui kejadian tersebut pemukulan gamelan menggunakan irama
bertingkah. Kadang-kadang keras gemuruh laksana gamelan lokananta dengan irama
membangkitkan jiwa bergejolak. Dan kadang-kadang lemah lembut mengalun dan menyayat
hati. Gamelan kerajaan Majapahit yang dinamakan Kanjeng Kyai Sekar Delima tersebut lalu
dinamakan Sekati, karena dapat menambah Sang Prabu Brawijaya seseg ati (sesak hati).
Agama Islam mulai berkembang ditanah jawa pada kisaran abad ke-14 dengan dipelopori oleh
para wali yang diketahui berjumlah sembilan (Walisongo), untuk mengetahui kemajuan
perkembangan Agama Islam di Tanah Jawa diselenggarakanlah pertemuan tahunan di Kota
Demak, biasanya berlangsung selama satu minggu di bulan Rabiul Awal, sebagai penutup
pertemuan tersebut biasanya diadakan keramaian besar untuk merayakan Hari Kelahiran Nabi

Muhammad SAW (Maulud Nabi). selanjutnya sebagai penanda langkah kemajuan Islam, pada
tahun 1477 Masehi dibangunlah sebuah Masjid Besar di Kota Demak oleh Raden Patah (Adipati
Demak Bintara) yang didukung oleh para wali. berdirinya Masjid tersebut diperingati sebagai
surya sengkala Kori trus gunaning janmi, yang menunjukkan angka tahun 1399 Saka.
Sebagai Agama yang masih baru, usaha penyebaran pun ditingkatkan mengingat Masyarakat
Jawa pada waktu itu sebagian besar masih memeluk Agama Hindu, dan berdasarkan kesepakatan
hasil Musyawarah digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang
hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. diketahui melalui saran Sunan Kalijaga, peringatan
Maulud Nabi tersebut dalam pelaksanaannya akan disesuaikan dengan Tradisi dan Budaya Jawa,
Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah
karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun
untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian
muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan
diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan
Islam. Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan
Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap
digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam.

Anda mungkin juga menyukai