Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Yang paling dikenal sebagai tiga penyebab klasik kematian ibu di samping infeksi
dan preeklamsia adalah perdarahan. Pedarahan persalinan (PPP) adalah perdarahan
yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan
jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping
perdarahan karena kehamilan ektopik dan abortus. PPP bila tidak mendapat
penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta
proses penyembuhan kembali. Dengan berbagai kemajuan pelayanan obstetri di
berbagai tempat di Indonesia, maka telah terjadi pergeseran kausal kematian ibu
bersalin dengan perdarahan dan infeksi yang semakin berkurang tetapi penyebab
eklamsia dan penyakit medik non-kehamilan semakin menonjol1.
Definisi PPP adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada
praktisnya tidak perlu mengukur perdarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada
umumnya bila terdapat perdarahan yang melebihi normal, apalagi telah menyebabkan
perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat
dingin, sesak nafas, serta tensi <90mmHg dan nadi > 100x/menit), maka penanganan
harus segera dilakukan.
Efek perdarahan terhadap ibu hamil bergantung pada volume darah saat ibu hamil,
seberapa tingkat hipervolemia yang sudah dicapai dan kadar hemoglobin sebelumnya.
Anemia dalam kehamilan yang masih tinggi di Indonesia (46%) serta fasilitas
transfusi darah yang masih terbatas menyebabkan PPP akan mengganggu
penyembuhan pada masa nifas, proses involusi, dan laktasi. PPP bukanlah suatu
diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari kausalnya. Misalnya PPP
karena atonia uteri, PPP oleh robekan jalan lahir, PPP oleh karena sisa plasenta, atau
oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat perdarahan pada PPP bisa banyak,

bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi


sedikit tanpa henti. PPP yang dapat menyebabkan kematian ibu 45% terjadi pada 24
jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam satu minggu setelah bayi lahir, dan 8288% dalam 2 minggu setelah bayi lahir1,6.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang
melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan
mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan
gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional dikatakan bahwa
perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan postpartum
dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml harus segera ditangani
secara serius. Definisi baru mengatakan bahwa setiap perdarahan yang yang dapat
mengganggu homeostasis tubuh atau mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk
dalam kategori perdarahan postpartum.1
Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
a. PPP primer, yang terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh
atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta. Dalam kasus
yang jarang, bisa karena inversio uteri.
b. PPP sekunder, yang terjadi setelah 24 jam pasca persalinan, biasanya oleh karena
sisa plasenta

II. EPIDEMIOLOGI
Kematian maternal didefinisikan sebagai kematian ibu yang ada hubungannya dengan
kehamilan, persalinan, dan nifas yakni 6 minggu setelah melahirkan. Angka kematian
maternal adalah jumlah kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup 4.Perdarahan
postpartum masih merupakan penyebab terbanyak kematian maternal, terhitung
sekitar 100.000 kematian maternal setiap tahunnya.5 Di negara maju dan berkembang,
penyebab kematian yang paling umum adalah perdarahan berat (Tabel 1).1

Tabel 1. Insiden Global Komplikasi Mayor Persalinan1

Perdarahan masif terjadi sekitar 5-15 % pada wanita setelah mengalami persalinan. 3
Secara global, diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 2000
mencapai 529 ribu yang tersebar di Asia 47,8% (253 000); Afrika 47,4% (251 000);
Amerika Latin dan Caribbean 4% (22 000); dan kurang dari 1% (2500) di negara
maju. Di kawasan Asean Indonesia menempati urutan tertinggi dalam angka kematian
maternal yakni 390/100.000 kelahiran hidup, jauh di atas negara Asean lainnya
(Gambar 1).6
Gambar 1. Perbandingan Angka Kematian Maternal Negara Asean6

III.

FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI

Meskipun pendekatan resiko untuk mengantisipasi perdarahan postpartum masih


diperdebatkan karena tidak seorangpun pasti terbebas dari kemungkinan perdarahan
setelah bersalin, tetapi pendekatan resiko tetap memberikan pertimbangan agar
penanganan lebih berhati-hati dan petugas lebih siaga. Perdarahan yang masif terjadi
karena adanya abnormalitas pada keempat proses dasar, yang disingkat 4 T, baik
tunggal ataupun gabungan: tone (kontraksi uterus yang buruk setelah persalinan),
tissue (retensi sisa hasil konsepsi atau bekuan darah), trauma (pada saluran genital),
atau thrombin (abnormalitas pembekuan darah). Beberapa faktor resiko yang
berhubungan dengan perdarahan postpartum dapat terjadi pada salah satu dari
keempat mekanisme tersebut. Faktor resiko yang memungkinkan seorang ibu bersalin
mengalami pedarahan postpartum antara lain dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel
2).7 Walaupun setiap wanita dapat mengalami perdarahan postpartum, adanya satu
atau lebih faktor resiko dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan
postpartum.
Menurut kausalnya HPP dibedakan atas:
a. Hipotoni sampai atonia uteri
Dapat disebabkan karena anastesi, distensi yang berlebihan (gemeli, makrosomia,
hidramnion), partus lama, partus kasep, partus presipitatus, persalinan karena
induksi oksitosin, multiparitas, korioamnionitis, dan pernah atonia sebelumnya.
b. Sisa plasenta
Dapat disebabkan karena kotiledon atau tersisanya selaput ketuba, plasenta
susenturiata, plasenta akreta, inkreta atau karena plasenta perkreta.
c. Perdarahan karena robekan
Perdarahan karena robekan dapat disebabkan karena berbagai hal seperti
episiotomi yang melebar, robekan pada perineum, vagina atau serviks atau
karena ruptura uteri.
d. Gangguan koagulasi
Hal ini jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan di atas, misalnya pada
kasus trombofilia, sindroma HELLP, preeklamsia, solusio plasenta, kematian
janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban.

Tabel 2. Etiologi dan Faktor Resiko Perdarahan Postpartum7

IV. KOMPLIKASI
Syok terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa disebabkan oleh
kegagalan kerja jantung (syok kardiogenik), infeksi yang hebat sehingga terjadi
redistribusi cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam cairan ekstravaskular (syok

septik), hipovolemia karena dehidrasi (syok hipovolemik) atau karena perdarahan


banyak (syok hemoragik). Tanda dan gejala syok hemoragik bervariasi tergantung
pada jumlah darah yang hilang dan kecepatan hilangnya darah (Tabel 3).8
Tabel 3. Tanda, Gejala dan Klasifikasi Syok Hemoragik (Wanita dengan Berat Badan
60-70 kg)8

Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat menyebabkan


penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis. Terjadi takikardia,
kontraktilitas otot jantung meningkat dan vasokonstriksi perifer. Sementara volume
darah beredar menurun, kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen juga
menurun sedang kenaikkan kontraktilitas otot jantung membutuhkan pasokan oksigen
lebih banyak. Keadaan ini cepat memacu terjadinya kegagalan miokardium.
Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa
oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan. Hipoksia
jaringan memacu metabolisme anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang
memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi dan memacu respons inflamasi
sistemik. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya radikal oksigen yang berakibat
kematian sel. Kematian sel menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga
mikroorganisme dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ.
Keadaan inilah yang mengakibatkan terjadinya Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan kematian.9

Evaluasi pada pasien meliputi riwayat medis yang lengkap, seperti riwayat
koagulopati dan riwayat terapi anti koagulan, harus dilakukan. Pemeriksaan fisik
yang lengkap dapat menunjukkan adanya memar atau petekia yang luas. Pemeriksaan
untuk menilai status koagulasi dan konsultasi harus dipertimbangkan. Resiko
komplikasi perdarahan harus dicatat pada rekam medis didiskusikan dengan pasien.8
V.

DIAGNOSIS
Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut
ini10 :
No.
1.

2.

3.

4.

Gejala dan tanda yang Gejala dan tanda yang


selalu ada
kadang-kadang ada
- Uterus
tidak - Syok
berkontraksi
dan
lembek
- Perdarahan
segera
setelah
anak
lahir
(Perdarahan
Pascapersalinan Primer
atau P3)
- Perdarahan segera (P3)
- Pucat
- Darah
segar
yang - Lemah
mengalir segera setelah - Menggigil
bayi lahir (P3)
- Uterus kontraksi baik
- Plasenta lengkap
- Plasenta belum lahir - Tali pusat putus
setelah 30 menit
akibat
traksi
- Perdarahan segera (P3)
berlebihan
- Uterus kontraksi baik
- Inversio uteri akibat
tarikan
- Perdarahan lanjutan
- Plasenta atau sebagian - Uterus berkontraksi
selaput
(mengandung
tetapi tinggi fundus
tidak berkurang
pembuluh darah) tidak
lengkap
- Perdarahan segera (P3)

Diagnosis
kemungkinan
- Atonia Uteri

- Robekan jalan
lahir

- Retensio
Plasenta

- Tertinggalnya
sebagian plasenta

No.
5.

Gejala dan tanda yang

Gejala dan tanda yang

Diagnosis

selalu ada
- Uterus tidak teraba

kadang-kadang ada
kemungkinan
- Syok neurogenik
- Inversio uteri

- Lumen

- Pucat dan limbung

vagina

terisi

massa
- Tampak tali pusat (jika
plasenta belum lahir)
- Perdarahan segera (P3)
- Nyeri sedikit atau berat
6.

- Sub-involusi uterus

- Anemia

- Perdarahan

- Nyeri

- Demam

terlambat

tekan

perut

- Endometritis atau

bawah

sisa plasenta

- Perdarahan lebih dari


24

jam

persalinan.

(terinfeksi atau

setelah

tidak)

Perdarahan

sekunder atau P2S.


- Perdarahan
7.

bervariasi

- Perdarahan segera (P3)

- Syok

- Robekan dinding

(Perdarahan

- Nyeri tekan perut

intraabdominal dan atau

- Denyut

vaginum)

nadi

uterus (ruptura
ibu

uteri)

cepat

- Nyeri perut berat

VI. PENANGANAN
Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum ada 3 yakni pencegahan, penghentian
perdarahan dan mengatasi syok. Pendekatan resiko, meskipun menimbulkan kontroversi tetap
masih mendapatkan tempat untuk diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan faktor resiko tinggi
terjadinya perdarahan postpartum sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan yang
mempunyai unit tranfusi dan perawatan intensif.6

Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan
melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit
rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan memiliki risiko untuk
terjadinya patologi persalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai
berikut:
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki kadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal.
2. Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, gemeli, hidramnion,
bekas seksio ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan resiko tinggi lainnya yang
risikonya akan muncul saat persalinan.
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari
persalinan dukun.
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya.
Pada penanganan perdarahan postpartum, pilihan terapi yang cepat dan tepat akan
menentukan tingkat keberhasilan. Prinsip dasar dari penanganan perdarahan postpartum
adalah haemostasis atau menghentikan perdarahan dengan cepat. Untuk memudahkan
mengingat prosedur yang harus dilakukan, akronim Haemostasis dapat digunakan (Tabel 5).3
Tabel 5. Penanganan Umum Perdarahan Postpartum3

1. Manajemen Aktif Kala III

10

Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan manajemen aktif kala III. Merupakan tindakan
(intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi
uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum karena atoni uteri.9 Tindakan
ini meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian uterotonika, (2) peregangan tali pusat
terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir.11 Oksitosin 10 unit disuntikan secara
intramuskular segera setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Peregangan tali pusat
secara terkendali (tidak terlalu kuat) dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat sambil ibu
diminta mengejan. Jangan lupa melakukan counter-pressure terhadap uterus untuk
menghidari inversi. Lakukan masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir sampai uterus
berkontraksi kuat, palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase
berhenti.11 Rekomendasi kunci yang dianjurkan dalam praktek untuk menekan kejadian
perdarahan postpartum adalah sebagai berikut (Tabel 6).9
Pada tahun 2006 WHO mengeluarkan rekomendasi yang sama untuk meminimalisasi
morbiditas dan mortalitas maternal:
1. Manajemen aktif harus dilakukan pada semua wanita oleh dokter ahli
2. Dokter ahli harus menggunakan uterotonika (oksitosin, ergonovine, misoprostol, dan
carboprost) untuk mencegah perdarahan postpartum.
3. Klem tali pusat lebih awal hanya direkomendasikan pada bayi yang membutuhkan
resusitasi.

11

Tabel 6. Rekomendasi Kunci Pedarahan Post Partum9

2. Uterotonika
Uterotonika utama yang dipakai dalam pencegahan dan penanganan perdarahan postpartum
adalah oksitosin dan metilergonovin. Society of Obstetricians and Gynecologist of Canada
(SOGC)

Clinical

Practice

Guidline

merekomendaskan

pemakaian

oksitosin

dan

metilergonovin sebagai berikut (Tabel 7).13


Tabel 7. Penggunaan Uterotonika13

12

3. Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang banyak digunakan dalam praktek obstetrik
karena sifatnya yang memacu kontraksi miometrium. Misoprostol lebih unggul dibanding
prostaglandin lain seperti PG E2 atau PG F2 karena sifatnya yang stabil pada temperatur
kamar, murah dan mudah penggunaannya.14
Adanya perdarahan postpartum setelah persalinan harus segera ditangani dengan tepat.
Penanganan lini pertama dengan pemberian uterotonika yaitu oksitosin dan ergometrin yang
dilanjutkan dengan masase uterus. Misoprostol dapat digunakan apabila dengan metode ini
perdarahan tidak dapat dihentikan. Dalam situasi di mana uterotonika tidak tersedia,
pemberian misoprostol 600 g dapat digunakan sebagai terapi utama perdarahan postpartum.
Misoprostol dapat diberikan secara oral ataupun sublingual.15
4. Penanganan perdarahan postpartum yang telah terjadi (establihed postpartum hemorrhage)
a. Intervensi medis
Jika dengan managemen aktif kala III perdarahan vaginal masih berlangsung, maka harus
segera diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit dalam 500 ml
cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama dilakukan pemeriksaan
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya robekan jalan lahir
atau retensi sisa plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara mengatasi syok (ABC's)
dengan memasang venokateter besar, memberikan oksigen dengan masker, monitoring
tanda vital dan memasang kateter untuk memonitor jumlah urin yang keluar. Monitoring
saturasi oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan rutin, golongan
darah dan skrining koagulasi.13
Langkah penting yang harus segera diambil adalah koreksi hipovolemia (resusitasi cairan).
Kelambatan atau ketidaksesuaian dalam memberikan koreksi hipovolemia merupakan
awal kegagalan mengatasi kematian akibat perdarahan postpartum. Meskipun pada
perdarahan kedua komponen darah yaitu plasma dan sel darah hilang, tetapi penanganan
13

pertama untuk menjaga homeostasis tubuh dan mempertahankan perfusi jaringan adalah
dengan pemberian cairan. Larutan kristaloid (saline normal atau ringer laktat) atau koloid
harus segera diberikan dengan jumlah 3 kali estimasi darah yang hilang, tetapi larutan
kristaloid lebih diutamakan. Dextran tidak boleh diberikan karena mengganggu agregasi
platelet. Dosis maksimal untuk larutan koloid adalah 1500 ml per 24 jam.6

b. Intervensi bedah
Pasien harus diletakkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang baik sehingga
adanya robekan di perineum, vagina dan seviks dapat diidentifikasi. Jika robekan jalan
lahir dapat disingkirkan maka segera dilakukan eksplorasi kavum uterin untuk
menyingkirkan adanya retensi sisa plasenta. Jika setelah manuver ini perdarahan masih
berlangsung dan kontraksi uterus lembek, maka atoni uteri adalah penyebab perdarahan.
Beberapa intervensi bedah yang dapat dilakukan adalah kompresi bimanual, tampon uterus
(uterine packing, tamponade test), jahitan pada placental bed, jahitan segi empat ganda
(multiple square suture), jahitan B-Lynch, ligasi arteria uterina, ligasi arteria iliaka interna,
histerektomi, tampon intraabdominal (intraabdominal packing) dan embolisasi arteria
iliaka interna atau arteria uterina.16
1. Kompresi Bimanual
Kompresi bimanual dilakukan dengan satu tangan (tangan kanan mengepal)
ditempatkan di forniks anterior dan tangan kiri mengangkat korpus dan menekan ke
arah tangan yang di dalam vagina. Cara ini setidaknya dapat menghentikan perdarahan
sementara sambil menyiapkan langkah lainnya.
2. Tampon Uterus (Uterine Packing)
Tindakan ini dipertimbangkan bila terapi obat-obatan tidak berhasil atau sambil
menunggu tindakan operatif. Pada keadaan di mana korpus berkontraksi baik sedang
segmen bawah rahim tidak, seperti pada plasenta letak rendah, maka tampon uterus
bermanfaat. Bila seluruh uterus lembek dan serviks terbuka lebar maka tampon tidak
efektif karena tampon tidak mendapat tahanan dari bawah. Tampon harus dipasang
dengan padat dan hanya meninggalkan bagian sedikit di dalam vagina untuk
mengangkat setelah 24 jam.16
14

3. Histerektomi Peripartum
Insidensi melakukan histerektomi peripartum berkisar antara 7-13 per 100.000
persalinan dan sebagian besar terjadi bersamaan dengan seksio sesarea. Indikasi utama
adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atoni uterin, ruptur uterin, hematoma
ligamentum latum, robekan serviks luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis.
Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteria uterina. Histerektomi supraservikal dapat
dilakukan kalau dibutuhkan operasi yang lebih cepat. Teknik B-Lynch dan teknik
Lasso-Budiman, keduanya merupakan teknik yang aman, sederhana, mudah, dan efektif
untuk menghentikan perdarahan pascapersalinan yang disebabkan oleh atonia uteri.
Bila terjadi kegagalan, histerektomi adalah pilihan terakhir. Kedua teknik tersebut juga
merupakan metode yang efektif untuk mempertahankan uterus dan fertilitas.17
4. Tampon Intraabdominal
Histerektomi tidak menjamin bahwa perdarahan pasti berhenti. Perdarahan bisa terjadi
karena gangguan faktor pembekuan (consumptive coagulopathy) atau manipulasi yang
berlebihan. Sebuah tampon padat ditaruh di tempat sumber perdarahan dan diangkat
setelah 24 jam setelah gangguan perdarahan terkoreksi.16
5. Tranfusi Darah
Sel darah merah yang dimampatkan (Packed Red Cells, PRC) lebih banyak digunakan
untuk mengatasi syok hemoragik. Tujuan transfusi darah pada kedaan ini adalah
restorasi cairan intravaskular yang hilang dan pemulihan kapasitas membawa oksigen
oleh sel darah merah (oxygen carrying-capacity). Kemampuan membawa oksigen sel
darah merah pada seorang individu yang sehat tidak akan terganggu sampai kadar
hemoglobin turun di bawah 6-7 g/dL. Kehilangan darah lebih dari 20-25% atau dengan
kecurigaan koagulopati memerlukan penggantian faktor koagulasi. Pemeriksan faktor
koagulasi juga diperlukan setelah pemberian 5-10 unit PRC.18

15

Gambar 2. Manajemen Perdarahan Postpartum13

16

BAB III
17

KESIMPULAN
1. Hemoragic Post Partum (HPP) adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi
lahir
2. Etiologi HPP adalah 4T yaitu: tone (kontraksi uterus yang buruk setelah persalinan),
tissue (retensi sisa hasil konsepsi atau bekuan darah), trauma (pada saluran genital), atau
thrombin (abnormalitas pembekuan darah).
3. Penanganan perdarahan postpartum ditujukan pada 3 hal yakni pencegahan, penghentian
perdarahan dan mengatasi syok.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Cuningham FG, et al. Postpartum Hemorrhage. William Obstetrics 22th p463.
Connecticut: Appleton and Lange, 2005.
2. WHO. World Health Report 2005Make every mother and child count. Geneva: World
Health Organization, 2005.
3. Ramanathan, Gand Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can
2006;28(11):967973.
4. Timothy R. Maternal Mortality. J Obstet Gynecol Can 2011;33(10):989-990
5. Hogan MC, et al. Maternal mortality for 181 countries, 19802008: a systematic analysis
of progress towards Millennium Development Goal 5. Lancet 2010;375:160923.
6. Martaadisubrata D, dkk. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005.
7. Maughan KL, et al. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of
Labor. AmFam Physician 2006;73:1025-8.
8. Marzi I. Hemorrhagic shock: update in pathophysiology and therapy. Acta Anaesthesiol
Scand Suppl 1997;111:42-4.
9. Anderson J M and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage.
Am Fam Physician 2007;75:875-82.
10. Abdul Bari Saifuddin, dkk. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal Ed. 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002.
11. John RS. Management of Third Stage of Labor. Medscape Reference.
12. Prendiville WJ, et al. Review : Active versus expectant management in the third stage of
labour. The Cochrane Library, Issue 2. Oxford, UK: Update Software, 2002.
13. Schuurmans N, et al. SOGC Clinical Practice Guidline. Prevention and Management of
Postpartum Hemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(4):271-81.
14. Goldberg AB, Greenberg MB, and Darney PD. Misoprostol and Pregnancy. NEngl J Med
2001; 344 (1):38-45.
15. J Blum, et al. Treatment of Postpartum Hemorrhage. International Federation of
Gynecology and Obstetric. Ireland:Elseiver.
16. Dean Leduc. Active Management of The Third Stage of Labour: Prevention and
Treatment Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynecol Can 2009;31(10):980-993.
17. Muhammad Nurhadi Rahman, dkk. Penggunaan Teknik B-Lynch dan Teknik LassoBudiman untuk Penanganan Perdarahan Pascapersalinan akibat Atonia Uteri. Case
Report Vol.34 No.4 Oktober 2010.
18. Statewide Maternity and Neonatal Clinical guidelines Program. Primary Postpartum
Hemorrhage. July 2009.

19

Anda mungkin juga menyukai