CA Nasofaring
CA Nasofaring
PENDAHULUAN
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antaratumor ganas THT di Indonesi, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di
daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Hampir 60 % tumor ganas
kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring.
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit
dilakukan, karenanasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan
terletak di bawah dasar tenggorok serta berhubungan dengan banyak banyak
daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateralmaupun ke posterior leher.
Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang
bukan ahli,seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke
leher sering ditemukansebagai gejala pertama.
Penanggulangan karsinoma nasofaring samapai saat ini masih merupakan
suatu problem,hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis
sering terlambat
Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikansecara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut,diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasikan dengan radioterapi.
2. Gejala Hidung
a. Epistaksis
Perluasan ke atas:
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut
penjalaran petrosfenoid. Sindroma petrosfenoid terjadi bila seluruh saraf grup
anterior yang terkena, biasanya melalui foramen laserum yang akan mengenai
saraf kranial N. III, IV, VI dan dapat pula N. V, sehingga tidak jarang gejala
diplopialah yang membawa pasien lebih dulu ke dokter mata.
Tanda lainnya adalah:
-
neuralgia trigeminal
optalmolpegia unilateral
Perluasan ke belakang:
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior,
disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena saraf grup posterior yaitu
saraf kranial N.VII-XII serta saraf simpatikus servikalis. Sindroma
retroparotidian (Jackson) terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.
Terjadi pada kasus yang sudah lanjut yang penyebarannya melalui foramen
jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Dapat pula
disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya
prognosisnya buruk.7
Tumor dapat menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga dapat
menyebabkan trismus.
Manifestasi keluhan ialah:23
-
mata atau optalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus maka
N. II akan terjadi lesi dan penderita menjadi buta.
Muljono Djojopranoto membuat patokan yang lebih singkat, agar selalu ingat
dan curiga akan adanya karsinoma nasofaring, seperti di bawah ini:
a. Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring.
Lebih-lebih jika tumor itu terletak di bawah processus mastoid dan di
belakang angulus mandibulae.
b. Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat bila ada tumor leher:
-
c. Dugaan karsinoma nasofaring itu hampir pasti, bila ada gejala lengkap.7
Stadium dan Klasifikasi
Menurut UICC edisi ke-5 1997 dengan klasifikasi TNM stadium karsinoma
nasofaring ditentukan sbb:
1
b. N1
dapat digerakkan
c. N2
dapat digerakkan
d. N3
: T1, N0, M0
4. Stadium III
Pemeriksaan fisik
Biopsi nasofaring
Biopsi merupakan diagnosis pasti dalam menegakkan karsinoma nasofaring.
Beberapa ini merupakan teknik biopsi:
a. Biopsi Buta (Blind Biopsy)
7,25
Jaringan biopsi dimasukkan ke dalam botol kecil yang bersih berisi larutan
formalin 4%.7
b. Biopsi Buta Terpimpin (Guided Biopsy)
Sebenarnya sama dengan biopsi buta, akan tetapi pada waktu mencari
tumor atau fossa Rosenmulleri dibantu dengan rinoskopi posterior atau
nasofaringoskopi indirekta. Bila dibandingkan dengan biopsi buta
sepenuhnya, cara ini seharusnya lebih baik atau lebih akurat. Kesulitan
yang sering dihadapi adalah melakukan dua pekerjaan sekaligus, sehingga
membutuhkan ketrampilan khusus.7
c. Biopsi dengan Nasofaringoskopi Direkta
Biopsi ini biasanya transoral.
Caranya:
Sebelumnya dilakukan penyemprotan pada palatum mole, orofaring, dan
nasofaring dengan spray xylokain 10%. Penyemprotan dimaksudkan agar
melihat
tumor
melalui
kaca
tersebut
atau
memakai
Pemeriksaan radiologi23
a. Foto Schedel
Untuk melihat invasi tumor, ditandai dengan adanya tanda-tanda
kerusakan dasar tengkorak.
b. Foto Thorax
Untuk melihat adanya penyebaran tumor. Dalam hal ini paru adalah organ
yang paling sering sebagai tempat metastase tumor.
c. CT Scan
Untuk melihat tumor primer yang tersembunyi. Dapat juga digunakan
untuk melihat perluasan tumor, erosi dasar tengkorak.
d. MRI
Membantu melihat kanker yang menyebar di sekitar kepala.
e. USG Hepar
Untuk melihat metastase tumor ke hepar.
f. Bone Scintigraphy
Untuk melihat perluasan tumor ke tulang.
Pemeriksaan laboratorium23
a. Pemeriksaan serologi
Berupa IgA untuk EA dan IgA anti VCA untuk virus Ebstein-Barre.
Pemeriksaan neuro-oftalmologi2
Untuk melihat fungsi saraf dan mata.
Skema Penatalaksanaan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Rinoskopi posterior
Biopsi NF Multipel
(anastesi lokal)
CT Scan/MRI
Nasofaringoskopi Biopsi
Terapi
Prinsip Pengobatan Karsinoma Nasofaring
Prinsipnya pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi terapi sbb :9,10
1
Radioterapi
Kemoterapi
Kombinasi
Operasi
Imunoterapi
Terapi paliatif
hematologi. Terapi utama kanker ini adalah operasi dan atau radioterapi,
sedangkan kemoterapi baru diberikan pada stadium lanjut sebagai adjuvan.
2. Sensitivitas Kanker
Sensitivitas tumor terhadap obat anti-kanker tidaklah sama, sehingga
terbagi menjadi 3 macam: 11
a. Sensitif
Kemosensitif:
-
leukemia
limfoma maligna
myeloma
choriocharsinoma
kanker testis
Radiosensitif:
Tumor yang dapat dihancurkan dengan dosis 3500-6000 rads dalam 3-4
minggu
-
Lymphoma maligna
Myeloma
Retinoblastoma
Seminoma
Basalioma
Kanker laring T1
b. Responsif
Kemoresponsif:
-
Radioresponsif:
-
c. Resisten
Kemoresisten:
-
Tumor besar
Besar tumor
Vaskularisasi Tumor
Perubahan absorbsi
-
Perubahan distribusi
-
Perubahan metabolisme
-
Penyakit hati
Pengurangan ekskresi
-
Penyakit hati
Penyakit ginjal
total
terhadap
karsinoma
nasofaring
apabila
hanya
5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila
lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5
minggu.10
1.3 Sifat Terapi Radiasi
Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah:9
1) Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional.
2) Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor.
3) Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.
4) Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
5) Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran
tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.
6) Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari
tumornya.
7) Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.
1.4 Persiapan / Perencanaan sebelum Radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita
juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga
keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan
pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak.
Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak
diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup
penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor,
radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok
ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang
dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.19,21
menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya,
makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.16
Radioisotop
a. Caecium137 ! sinar gamma
b. Cobalt60 ! sinar gamma
c. Radium226 ! sinar alfa, beta, gamma.
1.7 Efek Samping Terapi Radiasi:10
a. Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan
ngilu pada gigi
b. Xerostomia, trismus, otitis media
c. Pendengaran menurun
d. Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis
e. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum
tulang dan gangguan gastrointestinal
f. Lhermitte syndrome karena radiasi myelitis
g. Hypothyroidism, dsb.
1.8 Pengaruh Terapi Radiasi Terhadap Sistem Imun
Secara luas dilaporkan bahwa segera setelah pemberian radiasi terjadi
gangguan terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan timbulnya
berbagai macam infeksi.13 Pasien dengan tumor primer di leher dimana drainase
limfatiknya juga di leher, setelah diberikan radiasi mengakibatkan berkurangnya
limfosit darah tepi secara signifikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih
bermakna dibandingkan penurunan jumlah sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat
radiasi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit T namun juga
mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi dibuktikan
dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan invitro. Apakah defek jumlah
dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi radiasi dapat reversibel?
Methotrexate,
5-fluorouracil,
Bleomycin,
Hydroxyurea,
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel
disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan
sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat
yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini
merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA
pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain
Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga
mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M),
Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).12
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya
klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila
resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang
diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. 12
2.5 Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya
bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis
dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat, zat yang
berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut:12
a. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai
contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan
untuk sintesis timidin.
b. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil
seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian
menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul
DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.
c. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.
Dosis.
Jadwal pemberian.
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.14
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum
radioterapi.
Pemberian
kemoterapi
neoadjuvan
didasari
atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation).11
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi
perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan
Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap
radiasi.14
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi
(concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi
manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang
sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi
lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya
bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker
yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
3.3 Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain
mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat
begitu besar sehingga berakibat fatal.
Operasi
Untuk operasi tumor sudah lama dilakukan, baik operasi transpalatal
Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan imunoterapi telah banyak dilakukan di
klinik Onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan penelitian
dan trial. Untuk beberapa pakar menggunakan bahan sederhana seperti BCG,
PPD, dan Livamisol. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penyelidikan
antara lain dengan menggunakan Interferon dan Poly ICLC.7
6
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhuwael, FG. 2006. Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher.
Dexa Media No 3 Vol 19, Juli-September
2. Asroel, HA. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma
nasofaring. USU Digital Library
3. WIqoyah,N [et al]. 2005. Antibodi IgA Spesifik terhadap Viral Capsid
Antigen (VCA) Epstein barr Virus (EBV) sebagai Tumor Marker
Karsinoma Nasofaring. The Indonesian Journal of Public Health Vol 1
No 3, Maret
4. Lin HS, Fee WE. 2007. Malignant Nasopharygeal Tumors. From
http://www.emedicine.com.
5. Mansjoer, Arif [etal]. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid
Pertama. Media Aeusculapius: Jakarta
6. Adam, George L, Boies, Higler. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit
Telinga, hidung, tenggorok; Editor Harjanto Effendi. Edisi 6. Penerbit
EGC: Jakarta
7. Bambang, S. 1992. Diagnosis dan Pengelolaan Kanker THT dan Kepala
Leher. Balai Penerbit UNDIP: Semarang
8. Paulino,AC.
2006.
Nasopharygeal
Cancer.
From
http://www.emedicine.com.
9. Roezin, Aferdi, Syafril.2001.Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala
Leher edisi V.FKUI: Jakarta
10. Donoseputro, M. 2006. Anti EBV VCA Ig A dan Anti EBV EA Ig A.
From http://www.Prodia.co.id