Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antaratumor ganas THT di Indonesi, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di
daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Hampir 60 % tumor ganas
kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring.
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit
dilakukan, karenanasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan
terletak di bawah dasar tenggorok serta berhubungan dengan banyak banyak
daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateralmaupun ke posterior leher.
Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang
bukan ahli,seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke
leher sering ditemukansebagai gejala pertama.
Penanggulangan karsinoma nasofaring samapai saat ini masih merupakan
suatu problem,hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis
sering terlambat
Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikansecara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut,diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasikan dengan radioterapi.

Definisi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.
Gejala Klinis
Menegakkan diagnosis sedini mungkin sangat penting. Untuk itu
diperlukan pengetahuan tentang gejala dini dari karsinoma nasofaring dan juga
perluasannya, baik regional maupun metastase jauh. Akan tetapi tumor induk
nasofaring boleh dikatakan sedikit sekali memberikan tanda yang jelas bahkan
sudah memberi gejala-gejala sekunder yang nyata di tempat lain. Karena gejala
tumor tidak nyata, sedangkan gejala sekunder yang seringkali lebih menonjol,
maka mengakibatkan penderita datang ke dokter dalam keadaan sudah stadium
agak lanjut. Kadang penderita datang pada stadium dini, tetapi gejala yang
dikeluhkan sangat umum, sehingga tidak terpikir bahwa gejala itu adalah gejala
karsinoma nasofaring.7
Gejala-gejala tersebut ditentukan oleh hubungan anatomik nasofaring
dengan organ sekitarnya, yaitu hidung, tuba eustachius, telinga, kelenjar limfe
regional, dan dasar tengkorak.
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh karsinoma nasofaring antara lain:
1. Gejala Telinga
a. Katarralis/oklusi tuba eustachius
Pada umumnya karsinoma nasofaring bermula di fossa Rossenmuller,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba,
sehingga mengakibatkan keluhan rasa penuh di telinga, gemrebeg, tinitus,
gangguan pendengaran, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di
telinga (otalgia). Gejala ini merupakan gejala dini dari karsinoma
nasofaring.7,24
b.

Otitis Media Serosa dan dapat berlanjut sampai terjadi perforasi


dan gangguan pendengaran.

2. Gejala Hidung
a. Epistaksis

Dinding tumor biasanya rapuh sehingga iritasi ringan saja dapat


mengakibatkan perdarahan. Keluarnya darah biasanya berulang-ulang ,
jumlahnya sedikit dan bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
b. Sumbatan Hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke
dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis kadang disertai gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala hidung ini merupakan gejala dini yang hanya berupa keluhan pilek
yang lama, keluar ingus yang banyak, dapat nanah encer, kental atau
berbau. Oleh karena itu ditekankan, harus dicurigai adanya karsinoma
nasofaring bila ada gejala berikut:
a. Bila penderita pilek-pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama pada
penderita usia lebih 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung tampak
kelainan.
b. Bila penderita pilek-pilek keluar ingus kental, berbau busuk, lebih-lebh
kalau ada titik atau garis-garis darah, tanpa tampak adanya kelainan di
hidung dan sinus paranasal.
c. Pada penderita tua, usia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari
hidung atau mimisen. Pemeriksaan tekanan darah normal dan pada
pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.7
Gejala telinga dan hidung bukan merupakan gejala yang khas pada
penderita karsinoma nasofaring karena juga dijumpai pada infeksi biasa,
misalnya pilek kronis, sinusitis, dan lain-lain. Epistaksis juga dijumpai
pada anak yang sedang menderita radang. Namun jika keluhan ini timbul
berulang kali, tanpa penyebab yang jelas, atau menetap walaupun telah
diberikan pengobatan, harus waspada dan segera melakukan pemeriksaan
yang lebih teliti terhadap nasofaring sampai terbukti bahwa bukan
karsinoma nasofaring penyebabnya.7
3. Gejala Neurologi

Karsinoma nasofaring dapat menyebabkan berbagai lesi neurologis,


khususnya saraf kranial, baik intrakranial maupun ekstrakranial sehingga
dapat menyebabkan paralisis saraf kranial multipel.

Perluasan ke atas:
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut
penjalaran petrosfenoid. Sindroma petrosfenoid terjadi bila seluruh saraf grup
anterior yang terkena, biasanya melalui foramen laserum yang akan mengenai
saraf kranial N. III, IV, VI dan dapat pula N. V, sehingga tidak jarang gejala
diplopialah yang membawa pasien lebih dulu ke dokter mata.
Tanda lainnya adalah:
-

neuralgia trigeminal

optalmolpegia unilateral

nyeri kepala hebat oleh karena penekanan tumor pada durameter

Perluasan ke belakang:
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior,
disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena saraf grup posterior yaitu
saraf kranial N.VII-XII serta saraf simpatikus servikalis. Sindroma
retroparotidian (Jackson) terjadi akibat kelumpuhan N. IX, X, XI, dan XII.
Terjadi pada kasus yang sudah lanjut yang penyebarannya melalui foramen
jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Dapat pula
disertai destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya
prognosisnya buruk.7
Tumor dapat menyebabkan kekakuan otot-otot rahang sehingga dapat
menyebabkan trismus.
Manifestasi keluhan ialah:23
-

N. IX: kesulitan menelan oleh karena hemiparesis otot konstriktor superior


serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.

N. X: hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring, dan laring disertai


gangguan respirasi dan salivasi.

N. XI: kelumpuhan atau atrofi otot-otot trapezius, sternokleodomastoideus,


serta hemiparesis palatum mole

N. XII: hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah (undip,ui)

Semua ini biasanya disertai sindroma Horner akibat kelumpuhan N.


Simpatikus servikalis berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmos, dan
miosis. Biasanya beberapa saraf kranial terkena secara unilateral, tapi pada
beberapa kasus dapat ditemukan bilateral.
4. Gejala pada Kelenjar Getah Bening
Oleh karena tumor pada nasofaring bersifat anaplastik dan banyak terdapat
kelenjar limfe, maka karsinoma nassofaring dapat menyebar ke kelenjar limfe
leher. Melalui aliran kelenjar limfe inilah, maka sel-sel kanker dapat sampai ke
kelenjar limfe leher. Di dalam kelenjar tersebut, sel-sel kanker dapat tumbuh
dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai
benjolan besar di leher bagian samping. Penyebaran secara limfogen dapat
unilateral maupun bilateral.7,23
5. Gejala akibat Metastase Jauh
Penyebaran jauh dapat sampai ke organ-organ seperti hati, paru, ginjal, limpa,
otak, tulang belakang, dan tulang-tulang lainnya. Hal ini merupakan stadium
akhir dan prognosis buruk.
Adanya tumor leher akibat metastase jauh ini yang mendorong penderita
datang periksa ke dokter, yang meliputi 70-90% dari semua kasus karsinoma
nasofaring. Besarnya tumor leher dapat digunakan untuk menentukan berapa
lama kira-kira karsinoma tersebut sudah diderita oleh orang tersebut. Gejala
ini bukan merupakan gejala dini tapi sudah merupakan gejala yang lanjut.7
6. Gejala Mata
Penderita mengeluh kurang penglihatan, tetapi bila ditanyakan secara teliti
penderita akan menerangkan bahwa pasien seringkali melihat double
(diplopia). Diplopia terjadi karena kelumpuhan N. VI yang letaknya di atas
foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain
yaitu adanya kelumpuhan N. III dan N. IV yang menimbulkan kelumpuhan

mata atau optalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus maka
N. II akan terjadi lesi dan penderita menjadi buta.
Muljono Djojopranoto membuat patokan yang lebih singkat, agar selalu ingat
dan curiga akan adanya karsinoma nasofaring, seperti di bawah ini:
a. Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring.
Lebih-lebih jika tumor itu terletak di bawah processus mastoid dan di
belakang angulus mandibulae.
b. Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat bila ada tumor leher:
-

ditambah gejala hidung dan telinga

ditambah gejala mata dan saraf (neurologi) dan kranial

c. Dugaan karsinoma nasofaring itu hampir pasti, bila ada gejala lengkap.7
Stadium dan Klasifikasi
Menurut UICC edisi ke-5 1997 dengan klasifikasi TNM stadium karsinoma
nasofaring ditentukan sbb:
1

T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.


a. T0 : Tidak tampak tumor
b. T1 : Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/ posterosuperior/
atap dan lain-lain)
c. T2 : Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih
terbatas di dalam rongga nasofaring
T2a : Tanpa perluasan ke parafaring
T2b : Dengan perluasan ke parafaring
d. T3 : Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau
orofaring, dsb)
e. T4 : Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang
tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
f. TX : Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N menggambarkan pembesaran kelenjar limfe regional


a. N0

: Tidak ada pembesaran kelenjar

b. N1

: Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral/homolateral dan masih

dapat digerakkan
c. N2

: Terdapat pembesaran kelenjar bilateral/kontralateral dan masih

dapat digerakkan
d. N3

: Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral

maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.


3

M menggambarkan metastasis jauh


a. M0 : Tak ada metastasis jauh
b. M1 : Terdapat Metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan sbb:


1. Stadium I

: T1, N0, M0

2. Stadium IIA : T2a, N0, M0


3. Stadium IIB

: T1, N1, M0 atau T2a, N1, M0 atau T2b, N0-1, M0

4. Stadium III

: T1, N2, M0 atau T2B T2b, N2, M0 atau T3, N0-2, M0

5. Stadium IVA : T4, N0-2, M0


6. Stadium IVB : T1-4, N3, M0
7. Stadium IV C : T1-4, N0-3, M14,8
Diagnosis
Diagnosis dan pengobatan dini memegang peranan penting dalam
keberhasilan terapi karsinoma nasofaring. Perlu perhatian pada orang resiko tinggi
yaitu usia diatas 40 th yang kita curigai menderita karsinoma nasofaring.
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pasti serta stadium tumor:
1

Anamnesis yang lengkap

Pemeriksaan fisik

Biopsi nasofaring
Biopsi merupakan diagnosis pasti dalam menegakkan karsinoma nasofaring.
Beberapa ini merupakan teknik biopsi:
a. Biopsi Buta (Blind Biopsy)

Biopsi ini dilakukan tanpa melihat jelas tumornyaui karena semata-mata


hanya mengandalkan perasaan dan kemahiran operator, dengan akurasi
yang kurang baik. Ketepatan biopsi ini kira-kira 60-75%.
Caranya:
Hidung terlebih dahulu dilakukan anestesi lokal dengan menggunakan
aplikasi kapas yang telah dibasahi dengan obat anastesi seperti larutan
kokai 5%, pantokain 1%prokain 2% atau silokain 5%. Aplikasi anastesi
dilakukan 2 kali, masing-masing 5 menit.7 Setelah itu dimasukkan tang
biopsi (nasal cutting forceps) ke dalam hidung menyusuri dasar kavum
nasi ke belakang sampai menyentuh dinding belakang nasofaring.
Kemudian ujung tang biopsi digeserkan ke lateral mengikuti dinding
lateral nasofaring sambil ditarik ke depan perlahan-lahan. Penarikan tang
biopsi ke depan kurang lebih 1cm. Kira-kira di belakang koana dan kurang
lebih 1 cm dari dinding belakang, diraba letak tumor atau dicari fossa
Rosenmulleri. Setelah menurut perasaan ujung tang biopsi sudah tepat
pada tumor, dilakukan pengambilan sebagian jaringan yang dicurigai

7,25

Jaringan biopsi dimasukkan ke dalam botol kecil yang bersih berisi larutan
formalin 4%.7
b. Biopsi Buta Terpimpin (Guided Biopsy)
Sebenarnya sama dengan biopsi buta, akan tetapi pada waktu mencari
tumor atau fossa Rosenmulleri dibantu dengan rinoskopi posterior atau
nasofaringoskopi indirekta. Bila dibandingkan dengan biopsi buta
sepenuhnya, cara ini seharusnya lebih baik atau lebih akurat. Kesulitan
yang sering dihadapi adalah melakukan dua pekerjaan sekaligus, sehingga
membutuhkan ketrampilan khusus.7
c. Biopsi dengan Nasofaringoskopi Direkta
Biopsi ini biasanya transoral.
Caranya:
Sebelumnya dilakukan penyemprotan pada palatum mole, orofaring, dan
nasofaring dengan spray xylokain 10%. Penyemprotan dimaksudkan agar

penderita tidak terlalu peka terhadap rangsangan yang mungkin terjadi


pada waktu akan dilakukan biopsi. Lidah ditekan perlahan-lahan dengan
penekan lidah. Tang biopsi nasofaring dengan optik dimasukkan dengan
menyusur di atas penekan lidah secara pelan-pelan. Dengan melihat pada
optik diarahkan ujung tang biopsi ke tumor atau tempat yang dicurigai.
Jaringan diambil sebanyak mungkin, untuk menghindari kemungkinan
permintaan ulangan biopsi. Ketepatan biopsi ini 90%. Biopsi harus
dilakkukan di beberapa tempat di nasofaring yang dicurigai ada
keganasan.7
d. Biopsi melalui Mulut
Biopsi ini terdapat kerugian yaitu bidang yang terlihat sangat terbatas dan
perlu dilakukan dengan narkosa.25
Caranya:
Biopsi ini dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar
dan dklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
dengan ateter di sebelahna, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan

melihat

tumor

melalui

kaca

tersebut

atau

memakai

nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan


terlihat lebih jelas.24
e. Biopsi dengan Fibernasofaringoskop
Tindakan dilakukan melalui hidung
Caranya:
Lubang hidung yang dilalui fibernasofaringoskop diberi anasesi lokal
dengan aplikasi kapas yang dibasahi dengan obat anasesi. Setealah kapas
diambil, dimasukkan fibernasofaringoskop menelusuri dasar rongga
hidung sampai di belakang koana. Dengan membengkokkan ujung dari
fibernasofaringoskop dicari tumor atau empat yang dicurigai. Biasanya
dengan fibernasofaringoskop tumor tampak lebih jelas dan bahkan
kadang-kadang menjadi bingung bila tidak biasa. Diambil jaringan yang

dicurigai sebanyak mungkin dan ambil di beberapa tempat. Ketepatan


biopsi ini 95%.7
4

Pemeriksaan Patologi Anatomi23


Penting dilakukan untuk mengetahui histopatologinya dan menentukan jenis
terapinya.

Pemeriksaan radiologi23
a. Foto Schedel
Untuk melihat invasi tumor, ditandai dengan adanya tanda-tanda
kerusakan dasar tengkorak.
b. Foto Thorax
Untuk melihat adanya penyebaran tumor. Dalam hal ini paru adalah organ
yang paling sering sebagai tempat metastase tumor.
c. CT Scan
Untuk melihat tumor primer yang tersembunyi. Dapat juga digunakan
untuk melihat perluasan tumor, erosi dasar tengkorak.
d. MRI
Membantu melihat kanker yang menyebar di sekitar kepala.
e. USG Hepar
Untuk melihat metastase tumor ke hepar.
f. Bone Scintigraphy
Untuk melihat perluasan tumor ke tulang.

Pemeriksaan laboratorium23
a. Pemeriksaan serologi
Berupa IgA untuk EA dan IgA anti VCA untuk virus Ebstein-Barre.

Pemeriksaan neuro-oftalmologi2
Untuk melihat fungsi saraf dan mata.

Skema Penatalaksanaan
Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Rinoskopi posterior

Jelas ada tumor di NF

Biopsi NF Multipel
(anastesi lokal)

Tidak jelas tumor di NF


Klinis curiga KNF

Kelenjar leher biopsi aspirsi

Biopsi NF Multipel (anastesi lokal)

CT Scan/MRI

Biopsi NF Multipel (dengan narkose)

Nasofaringoskopi Biopsi

Radioterapi dan Terapi Paliatif

Gambar 2.1 Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring22

Terapi
Prinsip Pengobatan Karsinoma Nasofaring
Prinsipnya pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi terapi sbb :9,10
1

Radioterapi

Kemoterapi

Kombinasi

Operasi

Imunoterapi

Terapi paliatif

Pemilihan Terapi Kanker


Memilih obat kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan
misalnya:11
Jenis, histopatologi, dan penyebaran kanker (Fee We USU)
Kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker
Imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang
kita berikan
Efek samping terapi yang kita berikan
1. Jenis Kanker
Untuk keperluan pemberian kemoterapi, kanker dibagi menjadi 2 jenis yaitu:11
a. Kanker Hemopoitik dan limfopoitik
Kanker hemopoitik dan limfopoitik umumnya merupakan kanker sistemik.
Termasuk dalam jenis kanker ini adalah kanker darah (leukemia), limfoma
maligna dan sumsum tulang (myeloma). Terapi utama kenker hematologi
adalah kemoterapi, sedangkan operasi dan radioterapi sebagai adjuvan.
b. Kanker padat (solid)
Kanker padat bisa lokal, bisa menyebar ke regional dan atau sistemik ke
organ-organ lain. Dalam kanker jenis ini termasuk kanker diluar

hematologi. Terapi utama kanker ini adalah operasi dan atau radioterapi,
sedangkan kemoterapi baru diberikan pada stadium lanjut sebagai adjuvan.

2. Sensitivitas Kanker
Sensitivitas tumor terhadap obat anti-kanker tidaklah sama, sehingga
terbagi menjadi 3 macam: 11
a. Sensitif
Kemosensitif:
-

leukemia

limfoma maligna

myeloma

choriocharsinoma

kanker testis

Radiosensitif:
Tumor yang dapat dihancurkan dengan dosis 3500-6000 rads dalam 3-4
minggu
-

Lymphoma maligna

Myeloma

Retinoblastoma

Seminoma

Basalioma

Kanker laring T1

b. Responsif
Kemoresponsif:
-

Tumor yang kecil

Tumor yang pertumbuhannya cepat

Tumor yang deferensiasi selnya jelek

Radioresponsif:
-

Kanker yang ukurannya sedang, T2-T3 dan dapat dihancurkan


dengan dosis 6000-8000 rads dalam 3-4 minggu

c. Resisten
Kemoresisten:
-

Tumor besar

Kanker yang pertumbuhannya pelan

Kanker yang diferensiasi selnya baik

Contoh: kanker otak, fibrosarkoma, melanoma maligna


Radioresisten:
Tumor yang baru bisa dihancurkan dengan dosis lebih dari 8000 rads.
Contoh: Melanoma maligna, adenokarsinoma, kanker otak, sarkoma
jaringan lunak.
Radiosensitivitas tumor tergantung dari banyak faktor, antara lain:
a

Tipe histologi tumor

Derajat diferensiasi sel

Besar tumor

Vaskularisasi Tumor

Lokasi topografi tumor

Beberapa jenis obat dan keadaan yang dapat menambah sensitifitas


radioterapi: Oksigenasi, Hipertermi, Levamisol, beberapa sitostatika.11
Sensitifitas kanker terhadap kemoterapi biasanya ada sejak awal mulanya
dan dapat pula timbul dalam perjalanan pengobatan kanker.
Resistensi Terhadap Kemoterapi
Resistensi terhadap kemoterapi dapat terjadi karena farmakokinetika obat
itu seperti:11
a

Perubahan absorbsi
-

Variabilitas absorbsi obat di gastrointestinal

Adanya penyakit gastointestinal

Tidak makan obat seperti seharusnya (non compliance)

Formulasi obat yang tidak cocok

Perubahan distribusi
-

Perubahan ikatan obat dengan protein serum

Perubahan distribusi karena obat lain yang mengikat protein serum

Perubahan metabolisme
-

Perubahan enzim yang mengadakan detoksifikasi

Penyakit hati

Ada obat lain yang ikut serta

Pengurangan konjugasi obat karena usia

Pengurangan ekskresi
-

Penyakit hati

Penyakit ginjal

Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring

1.1 Definisi Terapi Radiasi


Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.12
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan
menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak
mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita
kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga
radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.2
1.2 Persyaratan Terapi Radiasi
Penyembuhan

total

terhadap

karsinoma

nasofaring

apabila

hanya

menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:9


a. Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi.
b. Tipe tumor yang radiosensitif.
c. Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya.
d. Dosis yang optimal.
e. Jangka waktu radiasi tepat.
f. Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radiasi.
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar

5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila
lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5
minggu.10
1.3 Sifat Terapi Radiasi
Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah:9
1) Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional.
2) Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor.
3) Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.
4) Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
5) Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran
tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.
6) Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari
tumornya.
7) Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.
1.4 Persiapan / Perencanaan sebelum Radioterapi
Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis
histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita
juga dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga
keluarganya diberikan penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan
pengobatan, efek samping yang mungkin timbul selama periode pengobatan.
Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi dimulai adalah mutlak.
Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak
diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup
penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor,
radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok
ukur, kadar Hb tidak boleh kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang
dari 3000 per mm3 dan trombosit 100.000 per uL.19,21

1.5 Penentuan Batas-batas Lapangan Radiasi


Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin
berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer
dan sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah
bening regional.14,19
Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari:
a. Seluruh nasofaring
b. Seluruh sfenoid dan basis oksiput
c. Sinus kavernosus
d. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus
dan foramen jugularis lateral
e. Setengah belakang kavum nasi
f. Sinus etmoid posterior
g. 1/3 posterior orbit
h. 1/3 posterior sinus maksila
i. Fossa pterygoidea
j. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar
k. Kelenjar retrofaringeal
l. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan
supraklavikular.19
Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring (T3) seluruh kavum
nasi dan orofaring harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan
melalui dasar tengkorak sudah mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan
radiasi terletak di atas fossa pituitary. Apabila penyebaran tumor sampai pada
sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus atau orbit harus disinari.
Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk, kecuali
apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase
ke kelenjar sub maksila.19

Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah:


a. Batas atas: meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.
b. Batas depan: terletak dibelakang bola mata dan koana.
c. Batas belakang: tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila
terdapat pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di
belakang kelenjar yang teraba.
d. Batas bawah: terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila
didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar
yang teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita.14,19
Pada penderita dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode
radiasi di atas tidak dapat dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan
depan dan belakang.
Batas atas mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah
klavikula, batas kiri dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti
besarnya kelenjar.14 Kelenjar supraklavikula serta leher bagian bawah
mendapat radiasi dari lapangan depan, batas atas lapangan radiasi ini berimpit
dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor primer.19
1.6 Sinar untuk radioterapi
Sinar yang dipakai untuk radioterapi adalah:
a. Sinar Alfa
Sinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri
dari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak
banyak dipakai dalam radioterapi.
b. Sinar Beta
Sinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang
mempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm.
Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.
3. Sinar Gamma
Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat
menembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi yang

menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi voltagenya,
makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis maksimalnya.16
Radioisotop
a. Caecium137 ! sinar gamma
b. Cobalt60 ! sinar gamma
c. Radium226 ! sinar alfa, beta, gamma.
1.7 Efek Samping Terapi Radiasi:10
a. Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan
ngilu pada gigi
b. Xerostomia, trismus, otitis media
c. Pendengaran menurun
d. Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis
e. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum
tulang dan gangguan gastrointestinal
f. Lhermitte syndrome karena radiasi myelitis
g. Hypothyroidism, dsb.
1.8 Pengaruh Terapi Radiasi Terhadap Sistem Imun
Secara luas dilaporkan bahwa segera setelah pemberian radiasi terjadi
gangguan terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan timbulnya
berbagai macam infeksi.13 Pasien dengan tumor primer di leher dimana drainase
limfatiknya juga di leher, setelah diberikan radiasi mengakibatkan berkurangnya
limfosit darah tepi secara signifikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih
bermakna dibandingkan penurunan jumlah sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat
radiasi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit T namun juga
mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi dibuktikan
dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan invitro. Apakah defek jumlah
dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi radiasi dapat reversibel?

Penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan normalisasi sel limfosit T


CD4+ setelah 3-4 minggu pasca radiasi.13

1.9 Jenis Pemberian Terapi Radiasi


Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai:10
a. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.
Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai:
1) Pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah
bening
2) Pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
3) Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
4) Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
b. Radiasi interna (brachytherapy) yang bisa berupa permanen implan atau
intracavitary barchytherapy.
Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk:
1) Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk
menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
2) Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
3) Pengobatan kasus kambuh.
2

Kemoterapi pada Karsinoma Nasofaring

2.1 Definisi Kemoterapi


Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.
Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active
single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.14

2.2 Tujuan Kemoterapi


Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor
ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan
juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana
vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif menerima
kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya
sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.
2.3 Obat-Obat Sitostatika yang Direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher
Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk
digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin,
Carboplatin,

Methotrexate,

5-fluorouracil,

Bleomycin,

Hydroxyurea,

Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan


Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan
didaerah kepala dan leher.11
2.4 Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan
sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma
nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma
nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk.15
Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan
(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle)
merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika
mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan
duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih
sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. 12
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus ( Cell
Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel
bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja
pada siklus pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase spesific).12

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel
disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan
sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat
yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini
merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA
pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain
Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga
mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M),
Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).12
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya
klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila
resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang
diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. 12
2.5 Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya
bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis
dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat, zat yang
berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut:12
a. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai
contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan
untuk sintesis timidin.
b. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil
seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian
menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul
DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.
c. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.

2.6 Cara Pemberian Kemoterapi


Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu:14,16
a. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan
radiasi.
b. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
c. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan
atau radiasi
d. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama
pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi
(leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua
yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat
mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya.
Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna. 15
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi
yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:11
c. kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
d. kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti
secara makroskopis.
e. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya
resiko kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas
kepala leher dibagi menjadi:11
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
3. post definitive chemotherapy.

2.7 Efek Samping Kemoterapi


Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal
yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada
traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal
bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada
sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut.15 Jaringan tubuh normal yang cepat
proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan
mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih
lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan
sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.20
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa
kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan
sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga
merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.20
Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi
tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas
permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan
(kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita.
Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan
umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll),
status penampilan (skala karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis,
faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya.11
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif
tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ
penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek
samping terhadap organ tersebut lebih minimal.11 Efek Samping secara spesifik
untuk masing-masing obat dapat dilihat pada lampiran 2.
Efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh: 18

Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ


tubuh tertentu.

Dosis.

Jadwal pemberian.

Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).

Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas


pada organ tertentu.

2.8 Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi


Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang
apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum
memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb:11
a. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu
status penampilan 2
b. Jumlah lekosit 3000/ml
c. Jumlah trombosit 120.0000/ul
d. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
e. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) (Tes Faal Ginjal)
f. Bilirubin < 2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar)
g. Elektrolit dalam batas normal
h. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia
diatas 70 tahun.
2.9 Status Penampilan Penderita Ca (Performance Status)
Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana
penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal
ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi
yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya.
Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group)
adalah sbb: 18

- Grade 0: masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas


kerja dan pekerjaan sehari-hari.
- Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja
kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
- Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk
tidur dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat
melakukan pekerjaan lain.
- Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50%
waktunya untuk tiduran.
- Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul
hanya di kursi atau tiduran terus.
3

Kemoradioterapi pada Karsinoma Nasofaring

3.1 Definisi Kemoradioterapi


Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan
dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan
meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik
lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang digunakan dalam
kemoradioterapi ini sehingga sampai saat ini belum didapatkan standar
kemoradioterapi yang definitif.14
3.2 Manfaat Kemoradioterapi
Manfaat Kemoradioterapi adalah:19
a. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan
memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
b. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
c. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.14
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum

radioterapi.

Pemberian

kemoterapi

neoadjuvan

didasari

atas

pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation).11
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi
perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan
Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap
radiasi.14
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi
(concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi
manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang
sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi
lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya
bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker
yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
3.3 Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain
mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat
begitu besar sehingga berakibat fatal.

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara


bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan
jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen
kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.14
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan
kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan
khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi
(radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.11
4

Operasi
Untuk operasi tumor sudah lama dilakukan, baik operasi transpalatal

(Diefenbach, Welson) maupun operasi transmaksiler paranasal (Moure Ferguson),


tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, hasilnya kurang efektif dibanding
tindakannya. Terapi bedah juga dilakukan pada anak sebar, yaitu membuang
kelenjar limfe leher. Operasi ini membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit
untuk membuang kelenjar di daerah para dan retrofaring.7
5

Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan imunoterapi telah banyak dilakukan di

klinik Onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan penelitian
dan trial. Untuk beberapa pakar menggunakan bahan sederhana seperti BCG,
PPD, dan Livamisol. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penyelidikan
antara lain dengan menggunakan Interferon dan Poly ICLC.7
6

Penilaian Hasil Terapi Kanker


Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun

kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4


minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya
kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari

aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang


lazim dipakai yaitu:11,17
1. Sembuh ( cured )
2. Respon komplit (complete response/ CR): semua tumor menghilang untuk
jangka waktu sedikitnya 4 minggu
3. Respons parsial (partial response/ PR): semua tumor mengecil sedikitnya
50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4
minggu.
4. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran dari 50 % atau
membesar kurang dari 25 %.
5. Penyakit Progresif (progresive disese/PD): tumor makin membesar 25 %
atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya.
6. Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya
(disease free survival).
Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat
dipantau berdasarkan kadar tumor markers.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhuwael, FG. 2006. Penatalaksanaan Keganasan Kepala dan Leher.
Dexa Media No 3 Vol 19, Juli-September
2. Asroel, HA. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma
nasofaring. USU Digital Library
3. WIqoyah,N [et al]. 2005. Antibodi IgA Spesifik terhadap Viral Capsid
Antigen (VCA) Epstein barr Virus (EBV) sebagai Tumor Marker
Karsinoma Nasofaring. The Indonesian Journal of Public Health Vol 1
No 3, Maret
4. Lin HS, Fee WE. 2007. Malignant Nasopharygeal Tumors. From
http://www.emedicine.com.
5. Mansjoer, Arif [etal]. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid
Pertama. Media Aeusculapius: Jakarta
6. Adam, George L, Boies, Higler. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit
Telinga, hidung, tenggorok; Editor Harjanto Effendi. Edisi 6. Penerbit
EGC: Jakarta
7. Bambang, S. 1992. Diagnosis dan Pengelolaan Kanker THT dan Kepala
Leher. Balai Penerbit UNDIP: Semarang
8. Paulino,AC.

2006.

Nasopharygeal

Cancer.

From

http://www.emedicine.com.
9. Roezin, Aferdi, Syafril.2001.Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala
Leher edisi V.FKUI: Jakarta
10. Donoseputro, M. 2006. Anti EBV VCA Ig A dan Anti EBV EA Ig A.
From http://www.Prodia.co.id

11. Soedijono, Zaman. Tehnik Biopsi Tumor Nasofaring melalui Mulut


dengan bantuan Kateter Nelaton dan Rhinoscopia Posterior. Bagian
Penyakit THT RSUD dr.Soetomo FK UNAIR: Surabaya
12. Mulyarjo. Diagnosis dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring,
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok- Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/ RSUD dr.
Soetomo, Surabaya 2005: 63-67
13. Arina, Aria. 2004. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma
Nasofaring. Sumatera Utara: USU Repository
14. Kartikawati, H.2002.Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring Menuju
Terapi Kombinasi/Kemoterapi.
15. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher,
Binarupa Aksara, Edisi 13, Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI,
Indonesia 1994 : 839-54
16. Kentjono WA, Kemoterapi pada Tumor Ganas THT-Kepala Leher
Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit Telinga

Hidung Tenggorok-Kepala Leher, SMF Ilmu Penyakit THT FK Unair/


RSUD dr. Soetomo, Surabaya November 2002,108- 21

Anda mungkin juga menyukai