Anda di halaman 1dari 2

Berwelas Asih Terhadap Minoritas

Endi Aulia Garadian


Saya gusar dengan kelakuan Pemda Bangka Belitung (Ba-Bel) terhadap
komunitas Ahmadiyah di sana. Pasalnya, Sang Bupati, Tarmizi H.,
mengultimatum 62 jiwa warga Ahmadiyah untuk hengkang dari kediaman
mereka di Kecamatan Srimenanti, Sungailiat, Bangka Belitung pada 5 Februari
2016 lalu. Padahal, di situlah mereka berkehidupan dan bernaung selama
bertahun-tahun.
Ultimatum yang keluar dari mulut Sang Bupati mengesankan bahwa
kemanusiaan tidak lebih penting dari suaranya dan juga keinginan sekelompok
keagamaan tertentu yang mengklaim sebagai perwakilan suara mayoritas. Di
sini kebenaran seolah-olah dibajak oleh suara mayoritas tanpa memedulikan
suara-suara yang minor.
Sama halnya dengan kasus-kasus yang menimpa kelompok minoritas lainnya
seperti Gafatar, Syiah, dan bahkan, aliran penghayat kepercayaan, argumen
dosa, ajaran sesat dan penyimpangan beragama lagi-lagi dijadikan acuan atas
tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama. Dalil-dalil dalam teks
suci agama seolah menjadi mono-tafsir yang semata menguntungkan kelompok
mayoritas agama.
Tak peduli dengan jabatan apa yang sedang dipegang dalam pemerintahan, bila
ada hal-hal yang mengusik kemapanan mayoritas maka menjadi wajib
hukumnya melabeli yang liyan sebagai kafir. Kira-kira itulah pola pikir Pak
Tarmizi. Pada titik ini, kelompok minoritas agama posisinya sebagai warga
negara laiknya warga negara kelas dua.
Ya, memang, dalam kacamata agama sah-sah saja apabila kita tidak menyukai
dosa dan penyimpangan seseorang dalam tindakan beragamanya. Toh, dalam
agama manapun saya kira mengajarkan agar setiap penganutnya tidak
menyimpang dan berbuat dosa.
Akan tetapi, bukan berarti kita boleh melakukan cara apa saja untuk meluruskan
dosa-dosa para pendosa. Apalagi bila cara yang ditempuh sampai mengarah
pada kekerasan dan tindakan-tindakan yang inkonstitusional, seperti pengusiran
atau, yang terparah, perenggutan nyawa anak-anak Adam seperti yang
dilakukan oleh ISIS.
Hak masyarakat untuk bebas memeluk agamanya direnggut tanpa babibu.
Dialog pun tidak berjalan sebagaimana mestinya guna mencari titik temu.
Masalah minoritas agama pada titik ini menjadi masalah yang begitu pelik bak
pertarungan catur antar grandmaster.
Ini sudah waktunya agar Negara turun tangan menengahi segala permasalahan
ini. Pasalnya, bila dibiarkan berlarut-larus, bisa menimbulkan pesan yang kuat
bahwa negara tidak mampu mendisplinkan kelompok-kelompok intoleran
berperilaku inkonstitusional. Lebih jauh lagi, tidak bisa mengendalikan raja kecil
di setiap daerah.

Masalah seperti ini harus cepat dicarikan solusinya. Karena bagaimanapun,


memastikan setiap warga mendapatkan haknya adalah kewajiban pemerintah
pusat selaku penyelenggara pemerintahan negeri ini.
Sementara menunggu pemerintah pusat meracik solusi terbaik, barangkali
dengan membaca Compassion, sebuah buku yang ditulis oleh Karen Armstrong
di tahun 2010, bisa membuka cakrawala wawasan kita semua soal hidup
berwelas asih. Dalam buku tersebut Armstrong mempunyai harapan agar kita
semua mengembalikan welas asih ke pusat moralitas dan ajaran agama,
mendukung apresiasi positif atas keragaman budaya dan agama, serta
menumbuhkan empati atas penderitaan seluruh umat manusia, bahkan untuk
musuh sekalipun.
Paling tidak, Armstrong menawarkan 12 langkah untuk bersama-sama
mengubah dunia menjadi tempat yang lebih menyenangkan dan damai (joy and
peaceful) bagi semua insan. Dari dua belas langkah yang ditawarkan oleh
Armstrong, ada tiga langkah, tanpa mengerdilkan kesembilan langkah lainnya,
yang selalu terngiang-ngiang dalam pikiran dan sanubari saya, yakni langkah
keempat, kesembilan dan kedua belas.
Pertama, Langkah Keempat: Empati, sebuah langkah yang menekankan betapa
pentingnya kita, sebagai manusia, menghargai kenestapaan orang lain. Cara
paling mudah untuk berempati kepada orang lain adalah dengan
mengimajinasikan diri kita sebagai korban yang sedang dihajar oleh
kesengsaraan hidup.
Kedua, Langkah Kesembilan: Kepedulian Untuk Semua, merupakan langkah di
mana kita meluangkan tempat bagi orang lain yang secara budaya, tradisi, ras,
negara, bahkan agama berbeda sama sekali. Mengugurkan eksklusifitas
kelompok dan jadilah inklusif adalah kata kuncinya. Dengan begitu, kita akan
siap untuk menerima kehadiran kelompok lain yang berbeda dari kita.
Lalu ketiga, Langkah Kedua Belas: Cintailah Musuhmu, adalah langkah terakhir
yang disebut oleh Armstrong untuk mewujudkan kedamaian dengan hidup
berwelas asih. Inti dari langkah ini adalah memutus jalur lingkaran setan
kebencian yang kini tengah membelenggu dunia ini. Tentu saja para nabi
mempraktikkan hal ini. Kata-kata Martin Luther King Jr perlu kita cermati
bersama agar kita bisa mencintai musuh kita: Hanya kebaikan yang bisa
mengusir kejahatan dan hanya cinta yang dapat mengatasi kebencian.
Pada akhirnya, saya percaya bahwa bukan hanya Armstrong yang punya anganangan agar dunia ini menjadi lebih baik, namun kita semua. Maka dari itu, tak
elok bila kita terus mempermasalahkan keyakinan seseorang, apalagi sampai
tahap menghakimi yang biasanya berujung pada tindakan intoleran dan
diskriminasi.
Selama tidak melanggar konstitusi dan jadi masyarakat yang taat pada negara,
biarkan kelompok-kelompok minoritas hidup beraktivitas layaknya warga
Indonesia pada umumnya. Mari berwelas asih kepada sesama dan belajar untuk
hidup bersama di bumi ini.
Peneliti Muda Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta

Anda mungkin juga menyukai