Anda di halaman 1dari 10

HERPES ZOOSTER OTIKUS

1. Definisi
Herpes Zooster Otikus atau Herpes Zooster Chepalicus atau dapat disebut juga
Ramsay-Hunt Syndrom tipe 1 yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik
pada telinga, nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali
dengan periode prodormal. Menurut Koerner (1904) herpes zoster otikus, yaitu
berupa sindroma yang terdiri dari bulla pada daun telinga, paralise fasial dan
gangguan telinga dalam. 1,2
Pengertian lain menyebutkan Herpes zoster otikus adalah infeksi virus yang
mengenai ganglion genikulatum. Herpes zoster otikus yang disertai dengan paralisis
nervus fascialis disebut Ramsay-Hunt Syndrom tipe I. 1,2
2. Etiologi
Penyakit ini ditandai oleh vesikel-vesikel herpetik yang multipel,
tersusun berkelompok di telinga bagian luar, saluran telinga bagian luar,
dan adakalanya di membrana tympani. Di dalam kasus-kasus yang berat,
kerusakan pendengaran dan keseimbangan, serta paralysis fasial dapat
terjadi.

2,3

Nervus acusticus yang terinfeksi virus akan terganggu fungsinya.


Selain keluhan nyeri telinga, muncul kelumpuhan wajah, penurunan
pendengaran, dan vertigo. Gejala dan keluhan ini khas muncul beberapa
minggu setelah terserang virus Herpes Zoster. Penurunan pendengaran
dan kelumpuhan wajah biasanya menetap sebagai gejala sisa. Jika khas
dan lengkap, maka ini muncul sebagai Ramsay Hunt Syndrome.

4,5,8

Herpes Zoster Oticus dapat terjadi pada segala usia, tetapi


sebagian besar terjadi antara umur 40 dan 60 tahun.

5,8

Penderita secara umum sakit dengan suhu febris atau subfebris.

Eritema dan vesikel-vesikel dapat dilihat di telinga bagian luar dan


saluran telinga bagian luar.

Lymphadenitis regional (terpisah).

Nyeri saraf yang berat dapat ditemukan.

Paralysis fasial bagian perifer ditemukan pada 60%-90% kasus.

Ketulian retrocochlear yang berat timbul pada 40% kasus.

Vertigo dan kehilangan keseimbangan terjadi pada 40% kasus


dengan nistagmus ke arah sisi yang sehat.
3. Patogenesis

Pada tahap awal virus varisela zoster masuk ke dalam tubuh melalui
saluran nafas atas dan mukosa konjungtiva, kemudian bereplikasi pada
kelenjar limfe regional dan tonsil. Virus kemudian menyebar melalui aliran
darah dan berkembang biak di organ dalam. Fokus replikasi virus terdapat
pada system retikuloendotelial hati, limpa dan organ lain. Pada saat titer
tinggi, virus dilepaskan kembali ke aliran darah (viremia kedua) dan
membentuk vesikel pada kulit dan mukosa saluran nafas atas. Kemudian
berkembang dan menyebar melalui saraf sensoris dari jaringan kutaneus,
menetap pada ganglion serebrospinalis dan ganglion saraf kranial. 3,4
Parese nervus VII timbul akibat reaktivasi virus varisela zoster yang
menetap pada ganglion genikulatum dan proses ini disebut dengan
ganglionitis. Ganglionitis menekan selubung jaringan saraf, sehingga
menimbulkan gejala pada nervus VII. Peradangan dapat meluas sampai ke
foramen stilomastoid. Gejala kelainan nervus VIII yang juga dapat timbul
akibat infeksi pada ganglion yang terdapat di telinga dalam atau penyebaran
proses peradangan dari nervus VII. Lokasi ruam bervariasi dari pasien ke
pasien, seperti halnya wilayah dipersarafi oleh nervus intermedius (yaitu,
bagian sensorik dari CN VII). Daerah ini mungkin termasuk anterior dua
pertiga dari lidah, langit-langit lunak, kanal auditori eksternal, dan pinna. 8,17
4. Manifestasi Klinis 5,8,13

Gejala awal.
Setelah masa inkubasi 4 20 hari, muncul gejala prodromal berupa
demam, sakit kepala, malaise, kadang-kadang mual dan muntah.
Kemudian diikuti dengan nyeri yang hebat pada daerah telinga dan
mastoid yang biasanya mendahului timbulnya lesi yang berupa vesikula
yang berada diatas kulit yang hiperemis.

Virus ganglion genikulatum :


o hiperakusis,
o gangguan sekresi kelenjar lakrimalis,
o paralisis fasial,
o gangguan sekresi kelenjar liur dan
o penurunan rasa pengecapan pada duapertiga depan lidah.
Lesi distal korda timpani kelumpuhan otot-otot wajah unilateral.

Lesi lebih proksimal pons sampai ke meatus akustikus internus :


o disertai strabismus,
o gangguan pendengaran dan keseimbangan .

5. Diagnosis

Diagnosis SRH ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi,
beratnya kelumpuhan dan evaluasi pengobatan. Pemeriksaan meliputi fungsi
motorik otot wajah, tonus otot wajah, gustatometri dan tes Schimer. 2,4
Dari anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan ada riwayat
terkena penyakit cacar air. Penyakit ini didahului dengan gejala prodromal
berupa nyeri kepala, nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan
muntah. Lesi terdapat di telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel
berkelompok di atas daerah yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti
terbakar pada telinga dan kulit sekitarnya (nyeri radikuler). Gejala-gejala yang
biasanya dikeluhkan adalah nyeri telinga paroksismal, ruam pada telinga atau
mulut (80% pada kasus yang ada, ruam bisa menjadi awal dari adanya
paresis), ipsilatereal lower motor neuron paresis wajah (N. VII), vertigo,
ipsilateral ketulian (50% kasus), tinnitus, sakit kepala, diastrhia, gait ataxia,
cervical adenopathy. Nyeri telinga sering kali nyeri menjalar ke luar telinga
sampai ke daun telinga. Nyeri bersifar konstan, difus, dan tumpul. Nyeri
muncul biasanya beberapa jam sampai beberapa hari setelah muncul ruam. 2,4
Pemeriksaan dan otoscopy menunjukkan vesikel-vesikel di dalam
saluran atau di membrana tympani. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat
dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann selain
itu derajad dapat digunakan untuk evaluasi. 2,4
Tabel House - Brackman

Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan


letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer dan tes gustometri. Pemeriksaan N.
VII dimulai dari fungsi saraf motorik dengan cara menggerakkan otot-otot
wajah utama di muka, mulai dari mengankat alis (m. frontalis), mengerutkan
alis (m. soucilier), mengakat serta mengeruktan hidung ke atas (m.
piramidalis), memejamkan mata kuat-kuat (m. orbicularis okuli), tertawa lebar
sambil memperlihatkan gigi (m. zygomatikus), memoncongkan mulut ke
depan sambil memperlihatkan gigi (m. relever komunis), meggembungkan
kedua pipi (m. businator), bersiul (m. orbicularis oris), menarik kedua sudut
bibir ke bawah (m. triangularis), dan memoncongkan mulut yang tertutup
rapat ke depan ( m. mentalis). Setiap gerakkan yang dilakukan dibandingkan
kanan dan kiri. 2,4
Penilaiain yang diberikan adalah angka 3 jika gerakkan normatl serta
simetris, angka 1 jika sedikit ada gerakkan, angka 2 gerakkan yang berada
diantara angka 3 dan 1, angka 0 jika tidak ada gerakkan sama sekali. Tes
gustatomeri ini digunakan untuk menilai n.corda timpani, dengan cara
membandingkan ambang rasang antara sisi lidah kanan dan kiri. Tes Schrimer
digunakan untuk mengetahui fungsi serabut serabut pada simpatis dari N.VII
yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor setinggi
genikulatum, dengan cara meletekkan kertas lakmus pada bagian inferior
konjungtiva dan dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis. 2,4
Berdasarkan gejala klinis, klasifikasi SRH dibagi menjadi 4 yaitu:
(1) penyakit yang menyerang bagian sensoris nervus VII,

(2) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII,
(3) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII,
disertai gejala gangguan pendengaran,
(4) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII,
disertai gejala gangguan pendengaran dan keseimbangan.
6. Diagnosis Banding

Berdasarkan keluhan pasien dan temuan fisik yang beberapa penyakit


dapat dijadikan diagnosis banding untuk SRH, antarala lain adalah Bells
Palsy, miringitis bulosa, otitis eksterna, dan trigeminal neuralgia. Diagnosis
banding yang mungkin adalah Bells Palsy hal ini didasarkan pada tampilan
klnis yang terdapat kelamahan separuh otot wajah. Hal yang sangat
membedakan adalah adanya ruam pada SRH. 1,3
Miringitis Bullosa memiliki karakteristik gambaran klinis pasien yaitu
tiba-tiba mengalami sakit telinga yang parah atau otalgia sifatnya berdenyut.
Nyeri biasanya terletak di dalam telinga, tetapi dapat menyebar ke ujung
mastoid, tengkuk, temporomandibula hingga ke seluruh wajah. Karakteristik
pemeriksaan fisik dari miringitis bullosa adalah adanya bulla pada membran
timpani. Bulla yang muncul paling sering pada sisi posterior atau postero
inferior membran timpani atau pada dinding kanalis posterior. Pada
pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan pendengaran. 1,3
Otitis eksterna juga bida dijadikan diagnosis banding berdasarkan
adanya otalgia, pruritus, keluarnya cairan dan hilangnya pendengaran. Pada
pemeriksaan didapatkan adanya nyeri tekan tragus dan liang telinga hiperemis
dan bengkak. Gejala trigeminal neuralgia muncul secara tiba-tiba, unilateral,
nyeri yang berat terasa tertusuk dan rasa nyeri rekuren sesuai dengan saraf
trigeminal tetapi trigeminal neuralgia tidak menyebabkan adanya deficit
nerologis. 12
7. Penatalaksanaan

Terapi antivirus telah ditunjukkan untuk menghentikan perkembangan


dan penyebaran herpes zoster akut pada pasien immunocompromised, bahkan
bila dimulai lebih dari 72 jam setelah onset ruam. Dengan demikian, pendapat
pakar saat ini merekomendasikan penggunaan terapi antivirus pada semua
pasien immunocompromised zoster sebelum krusta penuh dari semua lesi.
Terapi herpes zoster pada individu normal dapat diberikan asiklovir 5x800mg

sehari selama 7 hari, paling lambat 72 jam setelah lesi muncul. Menurut Gupta
J dkk, pemberian asiklovir 7-10 hari. Pada saat 72 jam setelah munculnya
gejala pemberian antivirus 70% orang akan mengalami kesembuhan yang
seutuhnya. Jika pemberian antiviral diberikan lebih dari waktu emasnya
makan kesempatan seseorang untuk sembuh seutuhnya akan berukurang 50%.
6,9

Penggunaan steroid dalam hubungannya dengan antivirus untuk herpes


zoster tanpa komplikasi adalah kontroversial. Penambahan kortikosteroid oral
telah dievaluasi pada pasien yang diobati dengan asiklovir dalam 2 studi
terkontrol. Steroid yang ditemukan untuk mempercepat resolusi neuritis akut
dan memberikan peningkatan yang jelas dalam kualitas-hidup tindakan
dibandingkan dengan pasien diobati dengan antivirus saja. Penggunaan steroid
oral tidak berpengaruh terhadap perkembangan atau durasi neuralgia
postherpetik. Steroid oral belum diteliti dengan valacyclovir atau famciclovir,
sehingga manfaatnya tidak diketahui. Bentuk nonoral terapi steroid tambahan
pada herpes zoster akut juga telah dipelajari. Sebuah penelitian yang
melibatkan injeksi epidural steroid tunggal dan anestesi lokal diberikan
bersamaan dengan rejimen standar antiviral oral dan analgesik ditemukan
sederhana meningkatkan zoster terkait sakit selama 1 bulan lebih tanpa
pengobatan steroid. Seperti di atas, tidak ada efek dalam mencegah
postherpetic neuralgia dicatat. Mengingat dampak negatif dari dan
kontraindikasi untuk penggunaan kortikosteroid, pendapat pakar saat ini
menyarankan membatasi keterlibatan mereka dengan kasus-kasus nyeri
sedang sampai zoster parah, atau di mana gejala-gejala neurologis yang
signifikan (seperti kelumpuhan wajah) atau keterlibatan SSP hadir (dan
penggunaan kortikosteroid tidak dinyatakan kontraindikasi). 6,9
Durasi optimal terapi steroid tidak diketahui. Jika diresepkan,
tampaknya masuk akal untuk steroid untuk digunakan bersamaan dengan
terapi antivirus. Lamanya penggunaan steroid tidak boleh melampaui masa
terapi antivirus. Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi antivirus),
karena

kekhawatiran

tentang

promosi

replikasi

virus.

Individu dengan perubahan imunitas diperantarai sel, akibat kondisi


imunosupresif

(misalnya,

HIV, kanker)

atau

pengobatan

(misalnya,

penggunaan kortikosteroid diperpanjang), akan meningkatkan risiko untuk

herpes

zoster. Selanjutnya,

presentasi

herpes

zoster

pada

populasi

immunocompromised dapat menjadi rumit oleh penyakit disebarluaskan dan


keterlibatan organ visceral. Menurut Gupta J dkk, kortikosteroid 3-5 hari
dengan regimen tapperring. Kortikosteroid dapat diberikan selama 10-14 hari
dengan dosis 40-60mg/hari atau 1mg/KgBB/hari dengan regimen tappering.
10,11,12

Evaluasi dari pengobatan SRH ini sendiri dengan melakukan


pemeriksaan N.VII secara serial dan dengan pemeriksa yang sama selain dari
apa yang dikeluhkan oleh pasien. Selain terapi medikamentosa juga diperlukan
edukasi kepada pasien bahwa mungkin saja hilangnya pendengaran ataupun
paralisis wajah yang terjadi adalah mentepa mesiskipun sudah dilakukan
pengobatan. 18
8. Komplikasi

Paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau tidak


sempurnanya kesembuhan dan berpotensi untuk menjadi paralysis fasial yang
permanen dan synkinesis. Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf
lain atau bahkan ke otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung,
menyebabkan sakit kepala, sakit punggung, kebingungan, kelesuan, dan
kelemahan. Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada
daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung berbulan-bulan
sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita diatas
usia 40 tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Makin tua penderita makin
tinggi persentasenya. 5
Sepertiga kasus diatas usia 60 tahun dikatakan akan mengalami
komplikasi ini, sedang pada usia muda hanya terjadi pada 10 % kasus.Infeksi
sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan dan
akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks. Vesikel sering menjadi ulkus dan
jaringan nekrotik. Paralisis motorik dapat terjadi pada sebagian kecil penderita
(1 5 % kasus), terutama bila virus juga menyerang ganglion anterior, bagian
motorik kranialis. Terjadinya biasanya 2 minggu setelah timbulnya erupsi.
Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma batang tubuh,
ekstremitas, vesika urinaria dan anus. 7,14
9. Prognosis

Prognosis SRH dipengaruhi oleh umur, diabetes mellitus, hipertensi


dan pemberian terapi yang cepat. Yeo dkk menyatakan bahwa Herpes Zoster
Oticus (HZO) memiliki prognosis yang buruk daripada Bells Palsy. Sekitar
setengah dari jumlah pasien SRH masih memiliki gangguan motorik nervus
fasial, hanya sebagian kecil pasien dengan gangguan paralisis komplit. Hasil
pemulihan akan lebih baik jika perawatan dimulai pada hari ke tiga setelah
gejala timbul. Kesembuhan yang sempurna akan tercapai pada 70% kasus jika
pengobatan dimulai pada saat ini. Namun, jika pengobatan tertunda lebih dari
3 hari, kesempatan untuk mencapai kesembuhan sempurna akan turun sekitar
50%. 16
10.Pencegahan
Tidak ada pencegahan

yang

dilakukan

pada

Ramsay

Hunt

Syndrome selain meningkatkan ketahanan tubuh. Kesembuhan


dapat diperbaiki dengan pengobatan yang dini.

1.8

DAFTAR PUSTAKA
1. Augosto AM. Ramsay Hunt Syndrome. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1166804-clinical. Accessed on Oktober
2014. (D)
2. Bhupal HK. Ramsay hunt syndrome presenting in primary care. In:
ThePrectitioner casebook:2010;254:33-35. (E)
3. Coleman et al. Ramsay Hunt syndrome with severe dysphagia. Department of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Michigan medical center. 2011;1-2.

4. Danil Kim et al. Ramsay Hunt syndrome presenting as simple otitis externa in
CJEM. Department of Medicine University of Toronto; 2008; 247-50.
5. Sjarifudin, Bashirudin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer.
Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher
Edisi 6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2007.p114 -17
6. Uscategui T, Doree C, Chamberlain IJ et al.; Corticosteroids as adjuvant to
antiviral treatment in Ramsay Hunt syndrome (herpes zoster oticus with facial
palsy) in adults. Cochrane Database of Systematic Reviews 2008, Issue 3. Art.
No.: CD006852. DOI: 10.1002/14651858.CD006852.pub2. (V)
7. Kim HJ, et al. Ramsay Hunt syndrome complicated by a brainstem lesion.
Journal of Clinical virology 39 (2007) 322-325.
8. Sjaiful dkk. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: kelompok studi herpes Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia .2002.p196-7.
9. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin Infect Dis. Jan 1
2007;44 Suppl 1:S1-26.
10. Lin PL, Fan SZ, Huang CH, et al. Analgesic effect of lidocaine patch 5% in
the treatment of acute herpes zoster: a double-blind and vehicle-controlled
study. Reg Anesth Pain Med. Jul-Aug 2008;33(4):320-5.
11. Ahmed AM, Brantley JS, Madkan V, Mendoza N, Tyring SK. Managing
herpes zoster in immunocompromised patients. Herpes. Sep 2007;14(2):32-6.
12. Gupta J, et al. Ramsay hunt syndrome, type I. ENTear, nose & throat journal.
2007:p.138-140.
13. Anil K. Facial nerve: disorders of facial nerve. In:Current otolaryngology.
New York: Mc Graw Hill;2007.
14. Philip A, Wackym, Jhon SR. Facial paralysis. In:Ballengers
otorhinolaryngology head and neck surgery. Ed.16th. Hamilton ontario : 2003;
24:492-494.

15. Janniger CK. Herpe Zoster Clinical Presentation. Available:


http://emedicine.medscape.com/article/1132465-clinical#aw2aab6b3b3.
Accesed on Oktober 2014
16. Yeo SW, et al. Analysis of prognostic factors in bells palsy and ramsay hunt
syndrome. Auris nasus larynx.2007.34:159-164.
17. Kuhweide R, Van de Steene V, Vlaminck S, Casselman JW. Ramsay Hunt
syndrome: pathophysiology of cochleovestibular symptoms. J Laryngol Otol
2002;116:844-848.
18. Murakami S, Hato N, Horiuchi J, Honda N, Gyo K, Yanagihara N. Treatment
of Ramsay Hunt syndrome with acyclovir-prednisone: significance of early
diagnosis and treatment. Ann Neurol 1997;41:353-357.

Anda mungkin juga menyukai