Anda di halaman 1dari 23

AKB Berhasil Turun, AKI Masih Fluktuatif

PROBOLINGGO - Hingga Oktober kemarin Angka Kematian Bayi (AKB) tercatat menurun mencapai 119 kasus jika
dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 150 kasus. Sementara untuk Angka Kematian Ibu (AKI) hingga kini
sudah mencapai 8 kasus, selisih 4 kasus dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 12 kasus. Sedangkan
angka bayi lahir mati mencapai 92 kasus. AKB dan AKI adalah salah satu indikator kesehatan di negara kita.
Tingginya kedua angka tersebut, harusnya menjadi perhatian serius bagi para praktisi kesehatan.
Wulan Sri Hartati selaku Kasi KIB dan Reproduksi pada Dinas Kesehatan mengatakan perlu adanya penanganan
serius dari berbagai pihak untuk mengurangi AKI dan AKB ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan diantaranya
membangun kemitraan antara bidan dan dukun serta memberikan ketrampilan kepada petugas kesehatan melalui
pelatihan maupun magang di rumah sakit. Selain itu juga dapat dilakukan melalui Program Perencanaan Persalinan
dan Pencegahan Komplikasi (P4K).
Tingginya AKI dan AKB di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pendidikan dan pengetahuan, sosial
budaya, sosial ekonomi, geografi dan lingkungan, aksesibilitas ibu pada fasilitas kesehatan serta kebijakan makro
dalam kualitas pelayanan kesehatan, jelas Wulan.
Bulan Maret 2008, AKI pernah terjadi 3 kali. Penyebab kematian tersebut diantaranya Ruptura Uteri, Emboli Air
Ketuban dan PEB Post SC. Sedangkan AKB juga pernah mencatat angka tertinggi pada bulan Juni yaitu 17 kasus.
Sampai Oktober 2008 AKB terbesar terjadi di Kecamatan Kraksaan. Sedangkan AKB terendah terjadi di Kecamatan
Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar dan Tongas. Bahkan di empat kecamatan tersebut belum pernah terjadi kematian
bayi.
Salah satu penyebab tingginya AKI dan AKB adalah 4T yang meliputi terlalu muda melahirkan, terlalu tua
melahirkan, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak melahirkan. Sebenarnya kita harus memberdayakan
masyarakat untuk ikut berperan aktif memberikan pengertian kepada keluarga tentang AKI dan AKB ini, terang
Wulan.(wan)

SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENURUNAN AKI DAN


AKB DI DUNIA DAN INDONESIA
o

View

clicks
Posted September 6th, 2008 by novita88
o

Tugas Kuliah Lainnya

Kesehatan Ibu dan Anak

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kcmampuan hidup sehat bagi
semua orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Indikator derajat kesehatan dapat dinilai dari angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu (AKI), umur harapan
hidup dan angka kematian balita (Depkes Rl, 1991). OIeh karena itu, persalinan ibu hams mendapatkan fasilitas
dan partisifasi seperti tenaga profesional, pelayanan kesehatan, partisipasi masyarakat setempat dan lainnya.
Kematian ibu atau kematian maternal saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi yang
sangat penting. Tingginya angka kematian maternal mempunyai dampak yang besar terhadap keluarga dan
masyarakat (L. Ratna Budiarso et al, 1996). Kematian seorang wanita saat melahirkan sangat mempengaruhi
kelangsungan hidup bayinya, karena bayi yang bersangkutan akan mengalami nasib yang sama dan keluarganya
bercerai berai (L. Ratna Budiarso et al, 1990). Oleh karena itu angka kematian maternal dapat digunakan sebagai
salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, khususnya indikator kesehatan ibu.
Angka kematian maternal di Indonesia dewasa ini masih tinggi. Menurut data SKRT tahun 2001, 90 % penyebab
kematian ibu karena adanya komplikasi dan 28 % diantaranya terjadi pendarahan dimasa kehamilan dan
persalinan.(Resty K. 2000)
Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara maju, maka angka kematian ibu/maternal
di Indonesia adalah sekitar 3-6 kali AKI negara ASEAN dan lebih dari 50 kali AKI negara maju (Anonimus,
1996/1997).
Pola penyakit penyebab kematian ibu 84% karena komplikasi obstetrik langsung dan didominasi oleh trias klasik,
yaitu perdarahan (46,7 %), toxemia (14,5%) dan infeksi (8%). Kasus perdarahan yang paling banyak adalah
perdarahan postpartum akibat uri tunggal, sedangkan infeksi umunya merupakan komplikasi akibat ketuban pecah
dini, robekan jalan lahir, persalinan macet serta perdarahan (Sarimawar Djaja et al, 1997). Faktor yang turut
melatar belakangi kematian maternal adalah usia ibu pada waktu hamil tcrlalu muda ( < 20 tahun) atau terlalu tua
(> 35 tahun), jumlah anak terlalu banyak (> 4 orang) dan jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun (Depkes RI,
1994).
1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih tingginya angka kematian ibu dan bayi. Maka permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kematian ibu pada saat hamil,
bersalin dan nifas serta factor-faktor yang menyebabkan kematian bayi pada bulan pertama hingga tahun pertama
dilahirkan.

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui definisi kematian ibu dan bayi.
2. Mengetahui penyebab kematian ibu dan bayi.
3. Mengetahui tingkat kematian ibu dan bayi.
4. Mengetahui strategi untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama yang berkaitan dengan kematian ibu
dan bayi.
2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan kematian ibu dan bayi serta upaya-upaya untuk
menurunkannya.
3. Memahami keberadaan fasilitas dan tenaga kesehatan dapat menurunkan kematian ibu dan bayi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kematian Ibu


Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dalam ICD X mendefinisikan kematian ibu sebagai kematian wanita saat
hamil sampai 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung pada umur kehamilan dan letak kehamilan
di dalam atau di luar kandungan disebabkan oleh kehamilannya atau kondisi tubuh yang memburuk akibat
kehamilan atau disebabkan oleh kesalahan dalam persalinan, tetapi tidak termasuk kematian yang disebabkan oleh
kecelakaan dan kelalaian (Sarimawar Djaja et al, 1997).

2.2 Definisi Kematian Bayi


Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu
tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian
bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen.
Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi

pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir,
yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan
sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan
luar.

2.3 Sejarah Kematian Ibu


Penurunan angka kematian ibu berkaitan dengan pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang professional. Seperti halnya negara maju yang memiliki tenaga maju yang memiliki tenaga kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang terorganisasi dengan baik dan terjangkau oleh masyarakat. Masalah yang dihadapi
Negara berkembang adalah keraguan tentang keakuratan data tentang kematian ibu yang dikumpulkan.

Sejarah Angka kematian Ibu di Negara Maju


London, seorang pelopor penurunan angka kematian ibu menyimpulkan bahwa penurunan angka kematian ibu
berhungan dengan peningkatan jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan dan peningkatan standar kebidanan.
Penurunan angka kematian ibu jauh lebih ditunjukan pada faktor faktor yang berhubungan khusus dengan
persalinan dibandingkan dengan faktor faktor yang berhubungan dengan sebab lain.
Swedia
Pada awal tahun 1751, Komisi Kesehatan Swedia secara langsung memberikan perhatian terhadap pencegahan
kematian ibu. Hal ini dilakukan setelah pengamatan bahwa sekurang kurangnya 400 dari 651 kasus kematian ibu
per tahun dapat diselamatkan bila tersedia bidan dalam jumlah cukup untuk menolong persalinan.
Para ahli kesehatan masyarakat mulai melatih bidan untuk memastikan bahwa semua persalinan di rumah dapat
ditangani oleh tenaga kerja berkualitas. Pelatihan bidan ternyata berjalan sangat lambat. Keberhasilan akhirnya
berjalan cepat setelah dikeluarkannya kebijakan politis untuk mengatasi masalah kematian ibu.
Pada tahun 1861 jmulah persalinan yang ditolong bidan meningkat menjadi 40% dan meningkat lagi menjadi 78%
pada tahun 1900, dan diikuti penurunan jumlah persalinan oleh dukun dari 60% pada tahun 1861 menjadi 18%
pada tahun 1900. Pada masa itu mayoritas persalinan dilakukan di rumah. Ternyata bertambahnya cakupan
persalianan yang ditolong oleh bidan, baik di rumah maupun di rumah sakit, langsung diikuti dengan penurunan
angka kematian ibu.
Mulai tahun 1928, para bidan terlatih mempraktekkan teknik persalinan yang modern, dan diizinkan untuk
menggunakan forsep dan alat untuk kraniotomi. Kegiatan para bidan disupervisi oleh dokter kesehatan masyarakat
setempat, yang dapat dipanggil jika bidan menghadapi kasus kasus komplikasi yang serius. Dokter tersebut juga

bertanggung jawab atas pelaporan hasil pelayanan.


Pada akhir tahun 1870, terjadi penurunan angka kematian ibu secara drastic setelah ditemukan dan
diterapakannya teknik steril. Pada tahun 1881, para bidan memanfaatkan teknik tersebut pada pertolongan
persalinan di rumah sakit. Hal ini menjadikan Swedia sebagai Negara dengan angka kematian ibu paling rendah di
benua Eropa pada awal abad ke-20. Dapat disimpulkan bahwa kebersilan Swedia disebabkan oleh perubahan
penolong pesrsalinan kea rah profesionalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Depkes RI-FKM UI
2005)
Jepang
Keberhasilan Jepang hampir sama dengan Swedia. Panurunan angka kematian ibu berlangsung cepat dan stabil
pada akhir tahun 1930-an. Seperti halnya Swedia. Keadaan tersebut terutama disebabkan oleh keprofesonalisasi
pertolongan persalianan di rumah.
Amerika Serikat
Turunnya angka kematian ibu di Amerika Serikat lebih lambat dari Swedia disebabkan oleh perkembangan
informasi, baru tersedia sejak 1900 dan juga bidan, umumnya imigran dari benua Eropa, tidak dianggap penting
karena besarnya pengaruh dokter ahli kebidanan. Pada masa itu tidak ada dorongan kebijakan yang efektif untuk
menurunkan angka kematian ibu, sampai akhirnya masyarakat menyalahkan para ahli kebidanan karena tidak
memperhatikan kematian ibu. Namun para ahli kebidanan masih tetap ingin memegang kendali dan metetapkan
persalianandi rumah sakit sebagai prioritas dan kebijakan utama. Kebijakan tersebut ternyata tidak dapat
menjamin akses perslinana yang berkualitas, bahakan menambahkan kematian akibat keteledoran pelayanan di
rumah sakit.
Inggris
Situasi di Inggris lebih baik dari dibandingkan dengan keadaan di Amerika Seriakat. Informasi telah tersedia sejak
pertengahan abad ke-19 tidak seperti Swedia sebelum abad ke-20 Inggris tidak mengeluarkan kebijakan aktif
untuk meningkatkan peranan dan profesionalisme bidan. Akibatnya, kemajuan yang dicapai dalam upaya
penurunan angka kematian ibu berjalan sangat lambat. London berpendapat bahwa, keterlambatan dalm
memerangi angka kematian ibu di Inggris disebabkan oleh tiadanya kebijakan pemerintah yang mendukung .
Selain itu, wewenang pengalokasian dana yang diperlukan untuk upaya penurunan angka kematian ibu diserahkan
kepada pemerintah daerah, yang sering kali tidak memprioritaskan upaya penurunan angka kematian ibu. Factor
lain yang mempengaruhi adalah lambatnya upaya pengembangan bidan karena persaingan keras antara dokter
umum dan bidan dalam memperebutkan pasar. (Depkes RI FKM UI 2005)

Sejarah Angka Kematian Ibu di Negara Berkembang


Amerika Latin
Penurunan angka kematian ibu yang paling awal dan cepat di wilayah ini ternyata dicapai oleh Negara yang
mempunyai pelayanan kesehatan yang terorganisasi dengan baik dan terjangkau oleh masyarakat, misalnya di
Kuba. Masalah lain yang dihadapi Negara-negara Amerika Latin adalah keraguan terhadap keakuratan tentang
kematian ibu yang dikumpulkan. Angka kematian ibu yang tinggi dan menetap ini antara lain berhubungan dengan
tidak meratanya akses terhadap pelayanan kesehatan dan undang-undang yang membatasi segala macam bentuk
pengguguran kandungan(aborsi).

Sri Langka dan Thailand


Kedua Negara ini berhasil menurunkan angka kematian ibu. Keberhasilan ini berhubungan dengan penerapan
system pelayanan kesehatan pemerintah yang dinilai lengkap dan disediakan secara cuma-cuma kepada
masyarakat yang memanfaatkannya. Hamper semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan.
Malaysia
Penurunan angka kematian ibu di Malaysia cukup pesat yaitu 150 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 1970
menjadi 30 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 1995. Selain akibatnya pesatnya pertumbuhan social ekonomi
masyarakat, penurunan angka kematian ibu ini tercapai karena dukungan kebijakan dalam manajemen upaya safe
motherhood dan berfungsinya fasilitas pelayanan kesehatan secara baik. Hal ini menghasilkan hubungan erat
antara masyarakat dan pelayanan kesehatan pemerintah yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang
memanfaatkannya.
Indonesia
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 dan tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa
terdapat penurunan AKI dari 390 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup. Data ini diperoleh dari Sisterhood
Method suatu metode yang sangat tergantung dari kemampuan responden untuk melaporkan kematian saudara
perempuannya maupun dalam menentukan kematian ibu dengan cepat. Penyebab kematian ibu langsung di
Inonesia adalah perdarahan, infeksi, eklamsi, partuslama, dan komplikasi abortus. Penyebab kematian langsung
tersebut merupakan penyebab kematian ibu terbanyak. Penyakit kematian ibu tidak langsung adalah anemia.
(Depkes RI FKM UI 2005).

2.4 Sejarah Kematian Bayi


Di dunia diperkirakan setiap tahun hampir 3,3 juta bayi lahir mati dan lebih dari 4 juta lainnya mati dalam 28 hari
pertama kehidupannya. Jumlah terbesar kematian bayi terjadi di wilayah Asia Tenggara (1,4 juta kematian bayi

dan 1,3 juta lahir mati). Walupun jumlah keamtian tertinggi terjadi di Asia tapi angka kematian bayi dan angka
lahir mati paling besar terjadi di sub-sahara Afrika.
Penyebab utama kematian bayi erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan pemeriksaan ibu yang diperoleh sebelum,
selama, dan segera setelah melahirkan. WHO memperkirakan dari tahun 1995 hingga 2000 sebagian besar Negara
di Amerika, Asia Tenggara, Eropa dan wilayah Barat Pasifik dapat menurunkan angka kematian bayi. Daerah
Mediterania Timur kurang dapat menurunkan angka kematian bayi dan sedangkan Afrika justru mengalami angka
kematian bayi.
Pengalaman dari Negara-negara maju memperlihatkan bahwa penurunan kematian bayi terutama kematian bayi
baru lahir tidak terjadi penurunan secara substansial dalam beberapa tahun apabila penurunan kematian pada bayi
yang lebih besar (post-neonatal) dan anak (childhood) telah tercapai. Pada banyak Negara, kematian bayi baru
lahir mengalami penurunan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lebih tua atau anak.
Sebenarnya penurunan kematian bayi tidak hanya tergantung dari tingginya alokasi dana untuk tekhnologi canggih
sebagai contoh Kolombia dan Sri Langka dengan kematian bayi tidak lebih dari 15 kematian bayi per 100.000
kelahiran hidup. Nikaragua dan Vietnam yang mempunyai angka kematian bayi 17 dan 15 per 1000 kelahiran
hidup mengalokasikan dana sekitar US$45 dan US$20 per kapita 1999. Sedangkan negara-negara di Eropa Utara
dengan upaya mengurangi resiko kematian akibat persalinan dan pasca persalinan dapat menurunkan angka
kematian bayi.

2.5 Penyebab Kematian Ibu


Secara garis besar penyebab kematian ibu dapat dikategorikan dalam penyebab langsung dan tidak langsung
(WHO, 1998):
1. Penyebab langsung (Direct obstetric deaths), yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh komplikasi
obstetric pada masa hamil, bersalin dan nifas, atau kematian yang disebakan oleh suatu tindakan, atau berbagai
hal yang terjadi akibat-akibat tindakan tersebut yang dilakukan selama hamil,bersalin atau nifas, seperti
perdarahan, toxemia dan infeksi.
2. Penyebab tak langsung (Indirect Qbstetric deaths), yaitu kemajian ibu yang disebabkan oleh penyakit yang
bukan komplikasi obstetri,yang berkembang atau bertambah berat akibat kehamiian, persalinan dan nifas.
Sarimawar Djaja dkk (1997) melaporkan bahwa 84% kematian ibu disebabkan oleh komplikasi obstetrik langsung
dan di dominasi oleh tiga sebab utama (trias klasik), yaitu perdarahan (46,7%), toxemia (14,5 %) dan infeksi
(8%).
Kematian ibu akibat perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan antepartum, perdarahan post partum,
kehamiian ektopik, perdarahan akibat robekan rahim dan abortus (Erika Royston dan Sue Amstrong, 1994).

Kematian ibu akibat toxemia (keracunan kehamilan) dapat terjadi karena pre-eklampsi dan eklampsi.
Kematian ibu akibat infeksi dapat terjadi karena tractus genitourinarius (infeksi saluran genital), baik setelah
persalinan atau pada saat masa nifas. Infeksi ini dapat terjadi oleh berbagai cara, antara lain melalui penolong
persalinan yang tangannya tidak bersih dan menggunakan instrumen yang kotor, memasukkan benda asing ke
vagina selama persalinan seperti jamu/ramuan.
Selain trias klasik penyebab lain dari kematian ibu adalah ketuban pecah dini, uri tunggal tanpa perdarahan,
robekan jalan lahir, persalinan macet (biasanya karena tulang panggul ibu terlalu sempit) dan ruptura uteri serta
psikosis masa nifas (Sarimawar Djaja, 1997).
Penyebab tak langsung kematian ibu meliputi penyakit-penyakit sistim sirkulasi saperti emboli (segala sesuatu
yang menyebabkan tersumbatnya penibuluh darah), penyakit saluran pernafasan, infeksi dan parasit, terutama
akibat penyakit menular seksual, dan anemia. (Erika Roystone &, Sue Amstrong , 1994; Sarimawar Djaja et al,
1997).
Departemen Kesehatan RI (1994) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dalam 3
faktor, yaitu :
Faktor medik
Beberapa faktor medik yang melatarbelakangi kematian ibu adalah faktor resiko tinggi (high risk group), yaitu
primigravida (umur < 20 tahun atau > 35 tahun), jumlah anak > 4 orang dan jarak persaiinan terakhir < 2 tahun,
tinggi badan < 145 cm, berat badan < 38 kg atau lingkar lengan atas (lila) < 23,5 cm, riwayat penyakit Keluarga
dan kelainan bentuk tubuh, riwayat obstetric buruk dan penyakit kronis. Seiain itu komplikasi kehamiian,
persaiinan dan masa nifas adalah penyebab langsung kematian maternal, yaitu perdarahan pervaginum, infeksi,
keracunan kehamiian, komplikasi akibat partus lama dan trauma persalinan.
Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk keadaan ibu pada saat hamil yang berperan dalam kematian
ibu adalah kekurangan gizi dan anemia (Hb' < 8 gr%)serta bekerja fisik berat selama kehamiian, yang
memberikan dampak kehamilan yang kurang baik berupa bayi berat lahir rendah dan prematuritas.
Faktor non medik
Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal
adalah kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal, terbatasnya pengetahuan ibu tentang
bahaya kehamiian resiko tinggi, ketidakberdayaan sebagian besar ibu-ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan
keputusan untuk dirujuk dan membiayai biaya transportasi dan, perawatan di rumah sakit.

Faktor pelayanan kesehatan


Faktor pelayanan kesehatan yang memicu tetap tingginya angka kematian maternal adalah belum mantapnya

jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok resiko, masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan
yang dilakukan di rumah oleh dukun yang tidak mengetahui tanda-tanda bahaya.

2.6 Penyebab Kematian Bayi


Bayi yang berumur di bawah 1 tahun meliputi 2,5 persen dari seluruh penduduk, tetapi kematian bayi mencapai 27
persen dari kematian semua golongan umur. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahuu 1986 di 7 provinsi
menunjukkan bahwa 4 penyebab kematian utama pada bayi-tetanus, gangguan perinatal, diare dan infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA)~meliputi lebih dari duapertiga seluruh kematian bayi yang diperkirakan 379.800 pada
tahun 1985 (Tabel 2.5). Dari jumlah kematian tersebut, 28 persen disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, seperti tetanus, campak, difteria dan batuk rejan. Suatu sebab utama lainnya (hampir 1 di
antara setiap 5 kematian bayi) adalah trauma persalinan dan gangguan perinatal lainnya; dan, di samping itu
sebanyak 4 persen akibat kelainan bawaan. Gangguan perinatal dan kelainan bawaan ini umumnya dapat I
dipengaruhi oleh keadaan kesehatan dan gizi yang kurang pada masa kehamilannya, selain kurangnya jangkauan
pelayanan kesehatan dan pertolongan persalinan. Tetanus I merupakan sebab dari 19 persen kematian bayi, dan
terutama sebagai sebab dari kematian bayi di bawah umur 1 bulan yang merupakan 40 persen kematian bayi j
neonatus. Kematian sebab tetanus neonatorum erat hubungannya dengan tindakan yang I dilakukan pada waktu
pertolongan persalinan serta perawatan pasca persalinan termasuk cara merawat tali pusat.

Tabel Pola Sebab Kematian Bayi (dibawah umur 1 tahun),1986


Penyakit % kematian bayi Kematian bayi per 100.000 KH Perkiraan jumlah kematian bayi
Tetanus 19,3 1.383,5 73.301
Gangguan perinatal 18,4 1.320,6 69.883
Diare 15,6 1.119,4 59.249
Infeksi saluran pernafasan 14,4 1.031,3 54.691
Campak 7,5 540,8 28.485
Penyakit saraf 5,6 402,5 21.268
Kelainan bawaan 4,2 301,8 15.952
Difteria, batuk rejan 1,0 75,5 3.798
Anemia, kurang gizi 1,0 75,5 3.798
Lain-lain 13,0 930,7 49.374
Jumlah 100,0 7.181,6 319.800

Sumber:Budiarso,L.Ratna, Pola Kematian. Prosiding Seminar Survei Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, hal 161.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) seperti yang dilakukan pada tahun 1986 itu sudah pemah dilakukan
sebelumnya pada tahun 1980. Sekalipun antara kedua survei tersebut ada perbedaan dalam jumlah sampel dan
metoda klasifikasi penyebab kematian, akan tetapi bilamana data tersebut dianalisa secara hati-hati, maka data
dari kedua survei tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Keempat penyebab kematian utama pada tahun 1980 masih merupakan penyebab kematian utama pada
tahun 1986. Akan tetapi peran keempat penyebab utama tersebut sudah berkurang dari tigaperempat menjadi
duapertiga dari seluruh kematian bayi. Walaupun angka kematian bayi dari basil kedua survei tersebut
menunjukkan penurunan, yaitu dari 100 menjadi 71,8 per 1000 KH, tetapi proporsi dari 7 penyebab utama adalah
tetap meliputi 83,0 persen, baik pada tahun 1980 maupun 1986.
Kedua: Tetanus merupakan penyakit pembunuh utama dalam tahun 1980 dan dalam tahun 1986 masih tetap
merupakan demikian. Meskipun angka kematian disebabkan tetanus sudah menurun, yaitu dari 1978,5 per
100.000 KH menjadi 1383,5 per 100,000 KH, tetapi kematian disebabkan tetanus masih meliputi kurang lebih
70.000 kematian bayi dalam tahun 1985, yaitu lebih dari 1 untuk setiap 5 kematian bayi. Proporsi ini tidak berubah
dibandingkan dengan keadaan tahun 1980.

2.7 Tingkat Kematian Maternal Ibu


Tingkat kematian matemal dinyatakan dengan beberapa ukuran, yaitu MMRatio, MMRate, Life Time Risk (resiko
kematian selama hidup) dan proporsi kematian karena sebab maternal pada keiompok umur reproduksi (S.
Soemantri,1997).
Berdasarkan kesepakatan internasional,maka ukuran tingkat kematian maternal yang digunakan adalah MMRatio,
yaitu kematian maternal untuk periode tertentu (biasanya 1 tahun) per 1000 kelahiran hidup pada periode yang
sama.
Kemajuan ilmu kedokteran telah memberi hasil yang menggembirakan bagi menurunnya angka kematian ibu. Di
Inggris, angka kematian maternal menurun dari 442 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1928 menjadi 25 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1970 (Hanifa S, 1992), sedangkan Malaysia mengalami penurunan angka
kematian maternal yang cukup pesat dari 150 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1970 menjadi 30 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Hal ini disebabkan antara lain oleh pertumbuhan sosial ekonorni dan
dukungan kebijakan pemerintah yang menyebabkan fasilitas kesehatan berfungsi secara baik.
Sementara di Indonesia belum di dapati data angka kematian ibu yang tepat sebab belum ada system pendaftaran

kematian dan kematian yang berlaku sccara ketat. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992
memperkirakan MMRatio sebesar 455 per 100.000'kelahiran hidup, sedangkan SKRT tahun 1995 membuat
perkiraan yang lebih rendah , yaitu 384 per 100.000 kelahiran hidup, namun untuk luar Jawa-Bali angkanya adalah
469 per 100.000 kelahiran hidup (S.Soemantri, 1997).
Jumlah angka kematian ibu di Indonesia sangat bervariasi, yang tertinggi di NTB 134 per 100.000 kelahiran hidup,
Aceh (1996) 421 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Timur 98,9 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Barat 490 per
100.000 kelahiran hidup, DJY 130 per kelahiran hidup (Poehjati Poedji, dkk 2003)
Angka Kematian ibu (AKI) di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI dari hasil Survei Keserhatam Rumah
Tangga (SKRT) 1985 adalah 450 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 1992 menurun menjadi 404 per 100.000
kelahiran hidup. Menurut survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 AKI di Indonesia adalah
sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu di Indonesia masih jauh lebih tinggi
dibandingkankan dengan negara-negara tetangga ASEAN, yaitu pada tahun 1994 AKI di Vietnam 1231,FiIipina
100,Brunai 60, Malaysia 59, Thailand 50, dan Singapura hanya 10 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut SKRT
tahun 2001 AKI di Indonesia adalah sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangakan menurut Survei
Dernografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 AKI turun menjadi 307 per l00.000 kelahiran hidup.

2.8 Angka Kematian Bayi


Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia berasal dari berbagai sumber, yaitu Sensus Penduduk, Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dan Surkesnas/Susenas. Dalam beberapa tahun terakhir AKB telah banyak
mengalami penurunan yang cukup menggembirakan meskipun pada tahun 2001 meningkat kembali sebagai
dampak dari berbagai krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1971 AKB diperkirakan sebesar 152 per 1.000
kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 117 pada tahun 1980, dan turun lagi menjadi 44 per 1.000 kelahiran
hidup pada tahun 2000. Sedangkan AKB menurut hasil Surkesnas/Susenas berturut-turut pada tahun 2001 sebesar
50 per 1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup. Gambaran
perkembangan estimasi AKB dari tahun 1995 s.d. tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel berikut.

TABEL ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP


DI INDONESIA MENURUT SUPAS 1995 DAN SUSENAS
TAHUN 1995 S.D TAHUN 2002

Tahun Estimasi
SUPAS 1995 Estimasi SUSENAS

1995 55 56
1996 54 1997 52 1998 49 49
1999 46 2000 44 2001 - 50
2002 - 45
Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (estimasi SUPAS 1995) dan estimasi Susenas 2002-2003
Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir tersebut memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas
hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Penurunan AKB tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan
cakupan imunisasi bayi, peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, penempatan bidan di desa, dan
meningkatnya proporsi ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi.
Bila dilihat menurut jenis kelamin, angka kematian bayi pada laki-laki selalu lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
perempuan, sebagaimana terlihat pada gambar berikut.

GAMBAR ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP DI INDONESIA MENURUT JENIS
KELAMIN
TAHUN 1995 S.D. TAHUN 2000

Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (estimasi SUPAS 1995)

Dari hasil penelitian terhadap semua kasus kematian yang disurvei pada SKRT 1992, 1995 serta Surkesnas tahun
2001 diperoleh gambaran proporsi sebab utama kematian bayi sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

TABEL PROPORSI PENYAKIT PENYEBAB KEMATIAN BAYI DI INDONESIA


HASIL SKRT 1992, 1995, DAN SURKESNAS 2001

SKRT 1992 SKRT 1995 SURKESNAS 2001


Jenis penyakit % Jenis penyakit % Jenis penyakit %
1. ISPA
2. Diare
3. Tetanus Neonatorm

4. Penyakit Sist Syaraf


5. Gangguan Perinatal
6. ?Difteria, Pertusis, dan Campak 36,0
11,0
9,8
5,4
4,3
3,3 1. Penyakit Sistem Pernafasan
2. Gangguan Perinatal
3. Diare
4. Penyakit Sist Syaraf
5. Tetanus
6. Infeksi dan Parasit Lain 29,5

29,3
13,9
5,5
3,7
3,5 ?1. Gangguan Perinatal
?2. Sistem Pernafasan
?3. Diare
?4. Sistem pencernaan
?5. Gejala tidak jelas
?6. Tetanus
?7. Saraf 34,7
27,6
9,4
4,3
4,1
3,4
3,2
Sumber: Badan Litbangkes, Publikasi hasil SKRT 1992 dan 1995, SURKESNAS 2001

Tabel di atas menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian bayi dari tahun 1992 dan 1995 tidak terlalu
banyak mengalami perubahan dan masih didominasi oleh penyakit infeksi. Sedangkan pada tahun 2001 gangguan
perinatal menduduki peringkat pertama, yang diperkirakan karena kualitas pemeriksaan ibu hamil dan pertolongan
persalinan masih perlu ditingkatkan walaupun cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sudah meningkat

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Strategi Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu


Terjadinya kematian maternal di negara-negara berkembang biasanya di dahului oleh berbagai masalah, misalnya
kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, status wanita yang rendah, sanitasi dan gizi yang buruk, tranportasi
dan pelayanan kesehatan yang terbatas. Bila masalah tersebut teratasi, maka angka kematian ibu dapat
diatasi.namun bila masalah tersebut belum dapat diatasi, maka Mainne et al (1993) dalam WHO (I998)menyatakan
bahwa kematian ibu dapat juga dicegah dengan pendekatan sebagai berikut :
1. Mencegah/memperkecil kemungkinan wanita untuk hamil.
Selama seorang wanita tidak berada dalam kehamilan, ia tidak mempunyai resiko untuk mati. Dengan demikian
menurunkan angka kesuburan wanita merupakan cara yang efektif untuk mcncegah kemungkinan menjadi hamil
sehingga menghilangkan resiko kematian akibat kehamilan dan persalinan.
Keikutsertaan ber-KB berhubungan dengan resiko kematian seumur hidup (life time risk)seorang wanita, yang
merupakan fungsi dari aspek kemungkinan selamat dalam menjalani kehamilan dan jumlah kehamilan rata-rata
yang dialami wanita. Keikutsertaan ber-KB mencegah kematian ibu melalui aspek yang kedua.
2. Mencegah/memperkecil kemungkinan wanita hamil mengalami komplikasi dalam kehamilan/persalinan.
Analisis menunjukkan bahwa kebanyakan kejadian komplikasi obstetri tidak dapat dicegah atau diperkirakan
sebelumnya. Disamping itu telah diketahui bahwa wanita dalam kelompok umur < 20 tahun dan > 35 tahun
mempunyai resiko lebih besar terhadap kematian ibu. Namun asuhan antenatal yang berkualitas dan pertolongan
persalinan yang aman akan berperan penting dalam menghasilkan ibu dan bayi yang sehat pada akhir
kehamilan,disamping pcrlunya persiapan terhadap keadaan darurat obstetri yang tidak terduga bagi setiap ibu
hamil.
3. Mencegah/memperkecil kematian wanita yang mengalami komplikasi kehamilan/persalinan.
Walaupun kebanyakan komplikasi obstetri tidak dapat dicegah dan dan diperkirakan sebelumnya, tidak berarti
bahwa komplikasi itu tidak dapat ditangani. Mengingat bahwa setiap ibu beresiko untuk mengalami komplikasi
obstetri, maka mereka perlu mempunyai akses terhadap pefayanan kegawatdaruratan obstetric sehingga semua

kematian ibu dapat dicegah.


Fasilitas, Tenaga dan Cakupan Program
Kematian ibu sangat erat hubungannya dengan kemajuan ilmu kedokteran, fasilitas yang ada dalam pelayanan
kebidanan, mutu tenaga yang memberi pelayanan dan factor sosial ckonomi. (H. Hutabarat, 1980).
Kesehatan ibu dan anak (KIA) mempunyai tujuan akhir bagi angka kematian bayi, anak balita dan kematian
ibu/maternal. Untuk keberhasilan program tersebut harus di dukung oleh keberadaan fasilitas dan tenaga yang
memadai dan profesional untuk mendapatkan cakupan program yang setinggi-tingginya.
Strategi yang dilakukan pemerintah adalah 7 T yaitu:
terlalu muda,
terlalu tua,
terlalu sering,
terlalu banyak, terlambat mengambil keputusan,
terlambat untuk dikirim ke tempat pelayanan kesehatan dan
terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Ada pendekatan yang dikembangkan untuk meniirunkan angka kematian ibu yang disebut MPS atau Making
gnancy Safer. 3 (tiga) pesan kunci dalam MPS yang perlu diperhatikan adalah:
1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
2. Setiap komplikasi obstetric dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat (memadai).
3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanganan komplikasi keguguran.

3.2 Strategi Untuk Menurunkan Angka Kematian Bayi


1. Pemberian Asi
Bayi-bayi yang diberi air susu ibu jarang sakit dan cukupmendapat makanan lengkap dibandingkan dengan bayi
yangdiberi makanan lain .Karena itu ,pemberian susu botol ,terutama di lingkungan Keluarga ,masyarakat
miskin,merupakan ancaman bagi jiwa dan kesehatan jutaan anak .Air susu ibu adalah satu-satunya makanan dan
minuman terbaik bagi bayi dalam uisa empat sampai enam bulan pertama kehidupannya .Bayi harus mulai
mendapat air susu ibu secepatnya setelah lahir .Dimana sebenarnya setiap ibu mampu menyusui anaknya .Untuk
menghasilkan susu yang cukup bagi kebutuhan bayi ,diperlukan penghisapan seserimg mungkin. Pemberian susu
botol dapat menyebabkan sakit parah dan kematiaan.Pemberian air susu ibu harus dilanjutakan sampai anak
berusia dua tahun,dan bila mungkin lebih lama.
2. Upaya dehidrasi oral (ORAL)

Diare menyebabkan dehidrasi(kehilangan air dari tubuh atau jaringan),yang mengakibatkan kematian sekitar 3,5
juta anak setiap tahun .Diare juga merupakan penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak .Namun demikian
upaya dehidrasi oral (URO)dapat digunakan untuk mencegah atau merwat dehidrasi yang disebabkan diare yang
merupakan sebab umum dari kematian anak balita . Dalam tahun 1990an promosi oralit atau larutan garam dan
gula yang merupakan atau jenis lain dari larutan dehidrasi yang dibuat di rumah. Telah memberikan terapi ini
kepada kira-kira 20 % dari oranmg tua di dunia dan kini menyelamatkan kira-kira 600.000 jiwa setiap tahun.
3. Imunisasi
Sejauh ini, tempat uji coba utama persekutuan besar bagi anak-anak adalah usaha untuk menyediakan imunisasi.
Imunisasi di dunia berkembang tidak semudah atau seotomatis untuk sebagian besar orang tua sebagaimana di
dunia industri. Dan kalau kita ingin agar mereka mau membawa anak yang tidak sakit ke klinik tiga atau empat
kali dalam tahun pertama dari masa hidup anak-anak tersebut, jadwal imunisasi yang dianjurkan oleh WHO adalah
sebagai berikut :
Habis lahir- BCG untuk Tuberclosa dan vaksin polio pertama (OPV1)
6 minggu suntikan pertama terhadap dipteri, batuk rejan dan tetanus atau DPT 1 dan OPV2
10 minggu DPT2 dan OPV3
14 minggu DPT2 dan OPV4
9 bulan Campak
Di beberapa Negara vaksinasi DPT dan polio diberikan hanya 2 dosis saja dan vaksinasi campak diberikan setelah
12 bulan. Maka semua orang harus diberi tahu dari semua sumber yang ada bahwa pemberian vaksinasi lengkap
sangat diperlukan untuk melindungi jiwa dan pertumbuhan normal anak-anak mereka diantara penyakit-penyakit
masa kanak-kanak yang paling berbahaya.
Dalam lima tahun belakangan ini, imunisasi telah menghimpun momentum baru. Adalah sangat penting saat ini
untuk mempertahankan momentum itu. Dan dalam tahun 1980 an hany ada tiga infeksi yang dapat dicegah oleh
vaksin campak, batuk rejan, dan tetanus yang telah membunuh kurang lebih dari 25 juta jiwa nak-anak kecil
lebih dari seluruh penduduk dibawah umur 5 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kita mempunyai sarana
yang murah untuk menghentikan pembunuhan yang keji itu dan menghentikannya dalam beberapa tahun ini.
Kalau tidak memanfaatkan sarana itu, maka pengakuan kita tentang peradaban dunia dan harapan kita bagi
kemajuan manusia tidak akan bertahan terhadap pengujian lebih lanjut.
Melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dunia telah menentukan sasaran untuk mengimunisasikan sebagian
besar anak-anak terhadap enam jenis penyakit utama pada tahun 1990 an. Tidak ada satupun yang pernah
mencapai cakupan imunisasi 100 persen. Negara-negara berkembang telah menentukan target dengan 80%, yang

dianggap sebagai tingkat minimum yang dapat diterima ( cakupan di Negara-negara industri hanya lebih 70%
untuk DPT, dan dibawah 80% untuk Campak dan Folio). Apabila cakupan imunisasi mencapai 80% atau lebih, pola
penyebaran penyakit akan terpengaruhi, dan suatu tingkat perlindungan akan terjadi pada anak-anak yang belum
diimunisasi (asal tersebar merata dan tidak terpusat di daerah-daerah dengan cakupan imunisasi yang rendah).
Tetanus, yang diakibatkan oleh kelahiran tidaj higienis, telah membunuh sekitar 800.000 anak yang baru lahir
setiap tahun. Dua vaksinasi dengan Tetanus Toxoid diwaktu hamil atau satu dosis tambahan untuk seorang ibu
yang sudah divaksinasi akan melindungi anak yang baru lahir sampai anak tersebut divaksinasi. Separuh dari bayi
dunia berkembang kini sedang diimunisasi dengan vaksin BCG, difteria, batuk rejan, Tetanus dan polio sebelum
usia 12 bulan, 39% sedang diimunisai terhadap campak, 28% wanita hamil di Negara-negara berkembang
diimunisasi terhadap tetanus. Dan dengan segala keuletan dan ketekadan yang diperlukan, sasarn tersebut harus
dicapai. Dan apabila ada insentif lain yang dibutuhkan, perlu kiranya disebutkan bahwa penciptaan system
universal untuk imunisasi mutlak perlu bagi penyampaian vaksin-vaksin baru misanya, terhadap malaria dan AIDSyang mungkin sekali dikembangkan dalam 10 tahun mendatang.
Dengan demikian imunisasi tantangan komunikasi yang permanent. Dan masih banyak yang harus dilakukan.
Di Indonesia, sukses dalam mobilisasi ratusan anggota ribu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
sebagai kader gizi yang aktif telah menghasilkan berdirinya sampai 133.000 Posyandu atau pos pelayanan terpadu,
yang sekarang mendukug lebih dari separuh orang tua Negara itu dalam menyediakan satu paket terpadu caracara yang murah untuk melidungi kesehatan dan pertumbuhan normal anak-anak. Melalui imunisasi, rehidrasi oral,
Keluarga berencana, promosi pemberian air susu ibu, perawatan pra-natal, dan pemantauan pertumbuhan setiap
bulan. Posyandu mungkin akan berhasil memberi kuasa kepada orang tua untuk mengurangi angka kematian anak
tahun 1980 dengan 50% atau lebih pada akhir dasawarsa ini.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang tertinggi memberikan dampak yang besar terhadap keluarga
dan masyarakat. Kematian ibu dan anak masih merupakan masalah kesehatan reproduksi di dunia terutama di
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dunia dan Indonesia masih terus memikirkan upaya-upaya untuk
menurunkan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Adapun upaya yang telah
dilakukan diantaranya :
- Pemberian ASI Eksklusif

- Mencegah terjadinya komplikasi persalinan pada ibu hamil


- Imunisasi
- Memeriksakan kandungan minimal empat kali selama masa kehamilan
- Memberikan zat besi yang cukup untuk ibu hamil

4.2 Saran
1. Kesehatan ibu dan anak dapat lebih ditingkatkan dengan cara menjarangkan kelahiran paling sedikit antaradua
tahun, dengan mencegah kehamilan sebelum usia 18 tahun, dan dengan mem-batasi kehamilan hingga empat kali.
2. Untuk mengurangi bahaya-bahaya pada saat melahirkan, semua wanita yang hamil harus memeriksakan diri
kepada petugas kesehatan, agar mendapatkan perawatan sebelum melahirkan, dan setiap kelahiran bayi harus
dibantu oleh bidan yang terlatih.
3. Selama beberapa bulan pertama kehidupan bayi, air susu ibu adalah satu-satunya makanan dan minuman yang
paling baik Setelah berusia empat hingga enam bulan, bayi memerlukan makanan lain di samping air susu ibu.
4. Anak-anak di bawah usia tiga tahun memerlukan makanan khusus. Mereka perlu makan lima atau enam kali
sehari datf makanannya harus diperkaya dengan sayuran yang dihaluskan dan sedikit lemak atau minyak.
5. Penyakit diare dapat menyebabkan kematian karena anak kehilangan terlalu banyak cairan di tubuhnya. Karena
itu cairan yang hilang ketika anak berak cair atau mencret, hari diganti dengan cara memberinya minum cairan
yang tepat misalnya air susu ibu, bubur cair, sup, atau larutan ORALIT.
Bila penyakimya lebih parah dari biasa, anak memerlukan pertolongan dari petugas kesehatan dan minum larutan
ORALIT. Agar cepat sembuh, anak yang menderita diare perlu diberi makan.
6. Imunisasi akan melindungi anak-anak terhadap beberapa penyakit yang menghambat pertumbuhan,
menyebabkan kelemahan, dan kematian. Semua imunisasi hams diberikan pada tahun pertama. Setiap wanita
bemsia subur hams diimunisasi terhadap tetanus.
7. Biasanya batuk dan pilek akan sembuh dengan sendirinya. Tetapi, bila anak yang batuk bernafas lebih cepat dari
biasa, anak tersebut sakit parah dan perlu cepat dibawa ke Puskesmas. Anak yang batuk dan pilek haras diberi
makan dan perlu banyak minum.
8. Banyak penyakit disebabkan oleh kuman penyakit yang masuk mulut. Hal ini dapat dicegah dengan cara buang
air besar di kakus, mencuci tangan dengan air dan sabun setelah buang air dan sebelum menangani makanan,
serta mendidihkan air untuk diminum.
9. Penyakit dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Setelah sembuh dari sakit, setiap hari
selama satu minggu, anak memerlukan makanan tambahan untuk mengejar pertumbuhan yang terhenti sebagai
akibat dari sakit.

10. Anak-anak yang berusia tiga bulan hingga enam tahun, harus ditimbang setiap bulan. Jika dalam waktu dua
bulan, berat badannya tidak bertambah, pasti ada masalah.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Pemerintah Republik Indonesia-UNICEF.1989. Analisa Situasi Anak dan Wanita di Indonesia. Jakarta: Pemerintah
RI-UNICEF.
2. Grant,P.James.1989.Situasi Anak-anak di Dunia 1988. Jakarta: Kantor Perwakilan UNICEF untuk Indonesia.
3. Benson dkk.1994.10 Petunjuk Bagi Kesehatan Ibu dan Anak. Medan: Pustaka Widyasarana.
4. www.

Faktor Ekonomi Tingkatkan AKB dan AKI


Selasa, 24 Maret 2009 10:23:10 - oleh : redaksi - dilihat 507
Tri

Lestari

Handayani

MkepSpMat

Sebuah data tersaji cukup menyesakkan. Semenjak 1990, status kesehatan ibu, bayi, dan anak di Indonesia
tidak mengalami perbaikan yang bermakna. Dilansir dari hasil penelitian Bank Dunia pada 2008, Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia meningkat dari 302 per 100 ribu persalinan menjadi 420 per 100 ribu
persalinan.

Angka

ini

tertinggi

dibanding

negara

lain

di

kawasan

Asia

Tenggara.

Lebih menyesakkan lagi data yang dilansir oleh Departemen Kesehatan. Angka Kematian Bayi (AKB) sudah
mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Dari dua data ini AKI dan AKB- menunjukkan bahwa status
kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi di negeri ini masih mengkawatirkan. Kematian masih menjadi
momok yang menghantui keduanya baik pada saat sebelum, selama, bahkan setelah melahirkan.
Secara medis, kematian itu memang bisa disebabkan oleh tiga hal, yaitu pendarahan, infeksi, dan
hipertensi. Namun menurut Tri Lestari Handayani, ada faktor ekonomi yang kuat menjadi unsur pendorong
sehingga terjadi penanganan medis yang minim pada ibu yang melahirkan. Berikut penuturan Dekan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang ini kepada Mas Bukhin dari KORAN
PENDIDIKAN.

AKI dan AKB di Indonesia masih cukup tinggi. Secara medis tentu ada penyebab tingginya kedua
angka ini, namun Anda menilai bahwa faktor ekonomi menjadi pendorong yang cukup kuat. Bisa
dijelaskan?
Menurut saya faktor medis yang menyebabkan kematian ibu dan bayi, lebih dikarenakan adanya

keterlambatan dalam menemukan masalah dan keterlambatan dalam mengambil keputusan. Nah
keterlambatan ini sampai terjadi sebagian besar karena ketidaktersediaan cukup dana untuk melakukan
identifikasi serta upaya antisipasi. Makanya saya menganggap bahwa faktor ekonomi itu yang menjadi
pendorong

Dalam

kuat

konteks

pada

ibu

dan

tingginya

kehamilan,

AKI

dan

AKB

di

keterlambatan-keterlambatan

itu

Indonesia.

seperti

apa?

Saya contohkan soal keterlambatan menemukan masalah. Dalam kehamilan, idealnya selama 12 jam janin
itu melakukan pergerakan minimal 10 kali. Tidak sedikit ibu hamil yang menganggap normal bila pada satu
hari janinnya tidak bergerak. Ini berimbas pada keterlambatan mengambil keputusan, pergi kontrol ke
dokter misalnya atau berkonsultasi pada tenaga kesehatan yang lain. Nah, minimnya dana menjadikan ibu
hamil tidak punya pilihan, mereka lebih memilih menanggung risiko apapun termasuk bila akhirnya datang
ke

dukun

beranak.

Bukannya itu lebih terkait dengan minimnya informasi dan sosialisasi tentang kesehatan ibu dan
anak?
Ya, faktor itu juga turut mendukung. Meski saat ini sedang digalakkan berbagai bentuk sosialisasi dan
program-programnya namun pelaksanaan masih belum efektif. Ini disebabkan tidak ada dukungan
kebijakan

kesehatan

yang

memihak

serta

ketersediaan

tenaga

kesehatan

yang

sesuai

standar.

Kalau menilik pada kondisi umum tentang layanan kesehatan, bukannya sudah ada dukungan
asuransi dan juga tenaga medis yang berkualitas. Lebih khusus dalam kaitan ibu dan kehamilan,
bukannya sosialisasi seperti Bidan Desa dan Suami Siaga juga gencar dilakukan. Lalu kenapa AKI
dan

AKB

masih

tinggi?

Layanan dan program-progam seperti itukan lebih sebagai upaya penyadaran dan antisipasi, tapi tetap
membutuhkan cukup dana. Ke bidan desa misalnya juga dibutuhkan dana, baik sekadar konsultasi dan
kontrol, apalagi persalinan. Belum lagi kalau ke dokter, malah lebih diarahkan untuk tindakan medis yang
lebih

Lalu

besar

apa

yang

seperti

menurut

operasi

Anda

yang

efektif

dalam

itu

berbiaya

menurunkan

sangat

AKI

dan

tinggi.

AKB

ini?

Paling penting bagi saya itu persalinan gratis. Kalau pemerintah mau membuat program atau kebijakan yang
berkesinambungan dalam menurunkan AKI dan AKB ini, ya dengan persalinan gratis. Sudah tidak ada
alasan ekonomi lagi bagi setiap ibu yang hamil untuk mendapat layanan kesehatan yang lebih baik.

Tapi tetap butuh langkah pendukung kan, misalnya program-program sebelum, selama, dan
setelah

persalinan?

Pendidikan kesehatan harus terus menerus diberikan kepada masyarakat tentang cara persalinan yang

sehat. Juga pada institusi pendidikan kesehatan harus mempersiapkan calon tenaga kesehatan yang baik,
yang mampu melakukan deteksi dini kehamilan berisiko dan melakukan sistem rujukan yang tepat.

Bila merujuk pada layanan kesehatan bagi ibu hamil pada negara lain, sejauh pengamatan Anda
sudah

seperti

apa?

Pada banyak negara, modelnya sudah home care (perawatan di rumah). Bahkan sampai persalinanpun
sudah dilakukan di rumah, tidak seperti kondisi di negara kita yang lebih menganggap bila melahirkan di
rumah sakit itu lebih baik dan memberi gengsi. Di rumah sakitpun, tempat persalinan juga mengedepankan
prinsip hospitality, ruangannya sudah didesain seperi kamar di rumah sehingga tidak menimbulkan beban
psikologis. Tren yang lain itu seperti Family Center Maternity Care, semacam pusat belajar bagi ibu yang
hamil beserta suaminya untuk mendapat informasi dan layanan lengkap tentang kehamilan, seperti husband
class

juga

ada.

Kalau gambarannya seperti itu tentu kebijakan pemerintah mutlak diperlukan, sekaligus
ketersediaan

tenaga

medis

yang

berkualitas?

Benar, tanpa ada perubahan situasi politik hingga peraturan perundangan tentang kesehatan yang berpihak,
kondisinya masih jauh dari harapan untuk berubah. Soal tenaga medis dan kesehatannya, selain menjadi
tanggung jawab institusi pendidikan kesehatan juga butuh kebijakan terkait kejelasan wewenang dan
tanggung

jawab

Kejelasan

pada

wewenang

dan

masing-masing

tanggung

tenaga

kesehatan.

apa

maksudnya?

jawab,

Di negara kita itukan ada semacam stigma, bahwa urusan pengobatan menjadi tanggung jawab dokter,
sedang kegiatan non pengobatannya dilakukan perawat. Istilahnya dokter itu bertanggung jawab pada cure
nya, sedang perawat itu pada care nya. Dalam konteks ibu dan kehamilan, stigma seperti ini yang memberi
pengaruh pada AKI dan AKB. Seorang ibu hamil misalnya hanya tahu dan ingin agar dokter saja yang
menangani persalinannya. Padahal tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan atau perawat itu juga dibekali
dengan kemampuan yang sama. Belum lagi kalau segala sesuatu terkait dengan dokter itu berimplikasi
pada

dana

yang

cukup

besar.

Apa boleh diistilahkan bila dalam bidang kesehatan, tenaga kesehatan seperti perawat atau
bidan

itu

masih

jadi

profesi

nomor

dua

di

bawah

dokter?

Kenyataannya masih seperti itu, padahal kondisi terus berubah. Secara keilmuan misalnya, keperawatan itu
sudah ada jenjang sarjana, magister, hingga doktoral, bahkan spesialisasinya juga sudah ada. Bahkan boleh
dibilang bahwa keilmuan keperawatan itu mencakup cure dan care nya sekaligus. Sebab ada latar belakang
psikologi,

sosial,

biologis

bahkan

spiritual

yang

harus

dikuasai

oleh

seorang

perawat.

Kembali sepanjang pengetahuan Anda, bagaimana posisi antar tenaga kesehatan ini di luar
negeri?
Sudah banyak rumah sakit di luar negeri itu yang dipimpin oleh perawat, bukan dokter. Di sana dokter itu
tinggal eksekusi saja, sedang informasi awal terkait dengan kondisi biologis, sosial, psikologi, hingga
spiritualitas

pasien

itu

disiapkan

oleh

perawat.

(*)

Sabtu, 2 Mei 2009 @ 07:15:00


AKI DI INDONESIA TERTINGGI DI ASIA
JAKARTA--bkkbn online : Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di
Indonesia ternyata hingga saat ini masih tertinggi di Asia. Padahal pemerintah sudah berhasil
menekan AKI dan AKB di bawah rata-rata negara berkembang.
"Tahun 2002, kematian ibu melahirkan mencapai 307 per-100.000 kelahiran hidup. Angka ini
65 kali lebih besar dari angka kematian ibu di Singapura, 9,5 kali dari Malaysia, bahkan 2,5 kali
lipat dari indeks Filipina," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Dewi Fortuna Anwar, Rabu (29/4).
Padahal, MMR merupakan indikator utama yang membedakan suatu negara di golongkan
sebagai negara maju atau negara berkembang. Rata-rata MMR di dunia, dari 100.000
kelahiran-tingkat kematian ibu mencapai 400.
"Sedangkan negara maju indeks MMR-nya, 20 kematian per-100.000 kelahiran. Rata-rata di
negara berkembang 440 kematian ibu per 100.000 kelahiran," kata Dewi menjelaskan.
Penyebab tingginya tingkat kematian ibu di Indonesia, menurut Dewi, antara lain budaya
patrialki yang masih merekat secara kental. Budaya ini menyiratkan perempuan tidak memiliki
kendali sama sekali atas dirinya.
"Seringkali perempuan tidak berkuasa menentukan kapan dirinya mengandung. Padahal, saat
itu mungkin hamil sangat berbahaya bagi dirinya," tandas Dewi.
Selain budaya patrialki, penyebab lainnya disebutkan Dewi adalah kemiksinan, rendahnya
pendidikan, kurangnya akses terhadap informasi, tingginya peranan dukun dan terbatasnya
layanan medis modern.
"Peristiwa tragis RA Kartini yang meninggal dunia saat melahirkan putra pertamanya, membuat
kami terus berjuang mencegah kematian ibu melahirkan di Indonesia," kata Dewi Fortuna
Anwar.(emon/tb).

Thursday, 20 March 2008 08:17

Angka Kematian Ibu Di Indonesia Tertinggi Di ASEAN


Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena hamil, melahirkan dan nifas di Indonesia menunjukkan masih
banyaknya persoalan dan masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan di bidang
kesehatan. Jakarta, WASPADA online

Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena hamil, melahirkan dan nifas di Indonesia menunjukkan masih
banyaknya persoalan dan masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan di bidang
kesehatan.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003, AKI di Indonesia masih mencapai 307/100
ribu kelahiran hidup dan menjadi yang tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN.
"Itu artinya, dalam 1 jam ada 2 dua orang ibu atau 20 ribu ibu tiap tahunnya meninggal karena kehamilan, persalinan
dan nifas," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP), Meutia Hatta Swasono saat meluncurkan
mobil klinik sehat keliling Indosat di Jakarta, Selasa (18/3).
Padahal kata dia, kehilangan seorang ibu dalam keluarga dapat memecah belah keluarga dan mengancam
kesejahteraan serta kehidupan anak. Baik langsung atau tidak langsung, kematian ibu juga mempengaruhi tingginya
kematian bayi. Tercatat angka kematian bayi (AKB) di Indonesia 45/1000 kelahiran hidup.
Beberapa sebab utama masih tingginya AKI di Indonesia, adalah persoalan kurangnya sarana yang memungkinkan
masyarakat kecil mendapatkan akses kesehatan. Banyak ibu-ibu hamil di daerah-daerah terpencil tidak bisa
memeriksakan kehamilan karena jauh dari sarana rumah sakit atau puskesmas.
"Akibatnya, perempuan-perempuan di pelosok itu banyak yang hanya mampu melahirkan dengan bantuan dukun
beranak, sementara pelatihan bagaimana cara menolong persalinan bagi dukun beranak belum banyak
dilaksanakan," ujarnya.
Tapi lebih dari itu, persoalan budaya patriarki yang masih mendominasi di berbagai wilayah nusantara, menyebabkan
perempuan masih dianggap sebagai sub ordinasi kaum pria. Akibatnya, keputusan dalam kesehatan reproduksi
masih dikuasai kaum pria.
Untuk mengatasi persoalan yang ada, dikatakan Meutia, pihaknya bersama dengan Departemen Kesehatan
(Depkes) sebagai fasilitator, akan melakukan upaya konkrit berupa revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI). "GSI sejak
1996 sudah diluncurkan, tapi kini gaungnya harus diperbaharui lagi.
Sasarannya menurunkan AKI dan AKB menjadi 225/100 ribu kelahiran hidup serta 35/1000 kelahiran hidup pada
2010," ujarnya. (dianw) (ags)

Anda mungkin juga menyukai