PROBOLINGGO - Hingga Oktober kemarin Angka Kematian Bayi (AKB) tercatat menurun mencapai 119 kasus jika
dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 150 kasus. Sementara untuk Angka Kematian Ibu (AKI) hingga kini
sudah mencapai 8 kasus, selisih 4 kasus dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai 12 kasus. Sedangkan
angka bayi lahir mati mencapai 92 kasus. AKB dan AKI adalah salah satu indikator kesehatan di negara kita.
Tingginya kedua angka tersebut, harusnya menjadi perhatian serius bagi para praktisi kesehatan.
Wulan Sri Hartati selaku Kasi KIB dan Reproduksi pada Dinas Kesehatan mengatakan perlu adanya penanganan
serius dari berbagai pihak untuk mengurangi AKI dan AKB ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan diantaranya
membangun kemitraan antara bidan dan dukun serta memberikan ketrampilan kepada petugas kesehatan melalui
pelatihan maupun magang di rumah sakit. Selain itu juga dapat dilakukan melalui Program Perencanaan Persalinan
dan Pencegahan Komplikasi (P4K).
Tingginya AKI dan AKB di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pendidikan dan pengetahuan, sosial
budaya, sosial ekonomi, geografi dan lingkungan, aksesibilitas ibu pada fasilitas kesehatan serta kebijakan makro
dalam kualitas pelayanan kesehatan, jelas Wulan.
Bulan Maret 2008, AKI pernah terjadi 3 kali. Penyebab kematian tersebut diantaranya Ruptura Uteri, Emboli Air
Ketuban dan PEB Post SC. Sedangkan AKB juga pernah mencatat angka tertinggi pada bulan Juni yaitu 17 kasus.
Sampai Oktober 2008 AKB terbesar terjadi di Kecamatan Kraksaan. Sedangkan AKB terendah terjadi di Kecamatan
Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar dan Tongas. Bahkan di empat kecamatan tersebut belum pernah terjadi kematian
bayi.
Salah satu penyebab tingginya AKI dan AKB adalah 4T yang meliputi terlalu muda melahirkan, terlalu tua
melahirkan, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak melahirkan. Sebenarnya kita harus memberdayakan
masyarakat untuk ikut berperan aktif memberikan pengertian kepada keluarga tentang AKI dan AKB ini, terang
Wulan.(wan)
View
clicks
Posted September 6th, 2008 by novita88
o
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih tingginya angka kematian ibu dan bayi. Maka permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kematian ibu pada saat hamil,
bersalin dan nifas serta factor-faktor yang menyebabkan kematian bayi pada bulan pertama hingga tahun pertama
dilahirkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir,
yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan
sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan
luar.
dan 1,3 juta lahir mati). Walupun jumlah keamtian tertinggi terjadi di Asia tapi angka kematian bayi dan angka
lahir mati paling besar terjadi di sub-sahara Afrika.
Penyebab utama kematian bayi erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan pemeriksaan ibu yang diperoleh sebelum,
selama, dan segera setelah melahirkan. WHO memperkirakan dari tahun 1995 hingga 2000 sebagian besar Negara
di Amerika, Asia Tenggara, Eropa dan wilayah Barat Pasifik dapat menurunkan angka kematian bayi. Daerah
Mediterania Timur kurang dapat menurunkan angka kematian bayi dan sedangkan Afrika justru mengalami angka
kematian bayi.
Pengalaman dari Negara-negara maju memperlihatkan bahwa penurunan kematian bayi terutama kematian bayi
baru lahir tidak terjadi penurunan secara substansial dalam beberapa tahun apabila penurunan kematian pada bayi
yang lebih besar (post-neonatal) dan anak (childhood) telah tercapai. Pada banyak Negara, kematian bayi baru
lahir mengalami penurunan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lebih tua atau anak.
Sebenarnya penurunan kematian bayi tidak hanya tergantung dari tingginya alokasi dana untuk tekhnologi canggih
sebagai contoh Kolombia dan Sri Langka dengan kematian bayi tidak lebih dari 15 kematian bayi per 100.000
kelahiran hidup. Nikaragua dan Vietnam yang mempunyai angka kematian bayi 17 dan 15 per 1000 kelahiran
hidup mengalokasikan dana sekitar US$45 dan US$20 per kapita 1999. Sedangkan negara-negara di Eropa Utara
dengan upaya mengurangi resiko kematian akibat persalinan dan pasca persalinan dapat menurunkan angka
kematian bayi.
Kematian ibu akibat toxemia (keracunan kehamilan) dapat terjadi karena pre-eklampsi dan eklampsi.
Kematian ibu akibat infeksi dapat terjadi karena tractus genitourinarius (infeksi saluran genital), baik setelah
persalinan atau pada saat masa nifas. Infeksi ini dapat terjadi oleh berbagai cara, antara lain melalui penolong
persalinan yang tangannya tidak bersih dan menggunakan instrumen yang kotor, memasukkan benda asing ke
vagina selama persalinan seperti jamu/ramuan.
Selain trias klasik penyebab lain dari kematian ibu adalah ketuban pecah dini, uri tunggal tanpa perdarahan,
robekan jalan lahir, persalinan macet (biasanya karena tulang panggul ibu terlalu sempit) dan ruptura uteri serta
psikosis masa nifas (Sarimawar Djaja, 1997).
Penyebab tak langsung kematian ibu meliputi penyakit-penyakit sistim sirkulasi saperti emboli (segala sesuatu
yang menyebabkan tersumbatnya penibuluh darah), penyakit saluran pernafasan, infeksi dan parasit, terutama
akibat penyakit menular seksual, dan anemia. (Erika Roystone &, Sue Amstrong , 1994; Sarimawar Djaja et al,
1997).
Departemen Kesehatan RI (1994) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dalam 3
faktor, yaitu :
Faktor medik
Beberapa faktor medik yang melatarbelakangi kematian ibu adalah faktor resiko tinggi (high risk group), yaitu
primigravida (umur < 20 tahun atau > 35 tahun), jumlah anak > 4 orang dan jarak persaiinan terakhir < 2 tahun,
tinggi badan < 145 cm, berat badan < 38 kg atau lingkar lengan atas (lila) < 23,5 cm, riwayat penyakit Keluarga
dan kelainan bentuk tubuh, riwayat obstetric buruk dan penyakit kronis. Seiain itu komplikasi kehamiian,
persaiinan dan masa nifas adalah penyebab langsung kematian maternal, yaitu perdarahan pervaginum, infeksi,
keracunan kehamiian, komplikasi akibat partus lama dan trauma persalinan.
Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk keadaan ibu pada saat hamil yang berperan dalam kematian
ibu adalah kekurangan gizi dan anemia (Hb' < 8 gr%)serta bekerja fisik berat selama kehamiian, yang
memberikan dampak kehamilan yang kurang baik berupa bayi berat lahir rendah dan prematuritas.
Faktor non medik
Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal
adalah kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal, terbatasnya pengetahuan ibu tentang
bahaya kehamiian resiko tinggi, ketidakberdayaan sebagian besar ibu-ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan
keputusan untuk dirujuk dan membiayai biaya transportasi dan, perawatan di rumah sakit.
jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok resiko, masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan
yang dilakukan di rumah oleh dukun yang tidak mengetahui tanda-tanda bahaya.
Sumber:Budiarso,L.Ratna, Pola Kematian. Prosiding Seminar Survei Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, hal 161.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) seperti yang dilakukan pada tahun 1986 itu sudah pemah dilakukan
sebelumnya pada tahun 1980. Sekalipun antara kedua survei tersebut ada perbedaan dalam jumlah sampel dan
metoda klasifikasi penyebab kematian, akan tetapi bilamana data tersebut dianalisa secara hati-hati, maka data
dari kedua survei tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Keempat penyebab kematian utama pada tahun 1980 masih merupakan penyebab kematian utama pada
tahun 1986. Akan tetapi peran keempat penyebab utama tersebut sudah berkurang dari tigaperempat menjadi
duapertiga dari seluruh kematian bayi. Walaupun angka kematian bayi dari basil kedua survei tersebut
menunjukkan penurunan, yaitu dari 100 menjadi 71,8 per 1000 KH, tetapi proporsi dari 7 penyebab utama adalah
tetap meliputi 83,0 persen, baik pada tahun 1980 maupun 1986.
Kedua: Tetanus merupakan penyakit pembunuh utama dalam tahun 1980 dan dalam tahun 1986 masih tetap
merupakan demikian. Meskipun angka kematian disebabkan tetanus sudah menurun, yaitu dari 1978,5 per
100.000 KH menjadi 1383,5 per 100,000 KH, tetapi kematian disebabkan tetanus masih meliputi kurang lebih
70.000 kematian bayi dalam tahun 1985, yaitu lebih dari 1 untuk setiap 5 kematian bayi. Proporsi ini tidak berubah
dibandingkan dengan keadaan tahun 1980.
kematian dan kematian yang berlaku sccara ketat. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992
memperkirakan MMRatio sebesar 455 per 100.000'kelahiran hidup, sedangkan SKRT tahun 1995 membuat
perkiraan yang lebih rendah , yaitu 384 per 100.000 kelahiran hidup, namun untuk luar Jawa-Bali angkanya adalah
469 per 100.000 kelahiran hidup (S.Soemantri, 1997).
Jumlah angka kematian ibu di Indonesia sangat bervariasi, yang tertinggi di NTB 134 per 100.000 kelahiran hidup,
Aceh (1996) 421 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Timur 98,9 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Barat 490 per
100.000 kelahiran hidup, DJY 130 per kelahiran hidup (Poehjati Poedji, dkk 2003)
Angka Kematian ibu (AKI) di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI dari hasil Survei Keserhatam Rumah
Tangga (SKRT) 1985 adalah 450 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 1992 menurun menjadi 404 per 100.000
kelahiran hidup. Menurut survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 AKI di Indonesia adalah
sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu di Indonesia masih jauh lebih tinggi
dibandingkankan dengan negara-negara tetangga ASEAN, yaitu pada tahun 1994 AKI di Vietnam 1231,FiIipina
100,Brunai 60, Malaysia 59, Thailand 50, dan Singapura hanya 10 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut SKRT
tahun 2001 AKI di Indonesia adalah sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangakan menurut Survei
Dernografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 AKI turun menjadi 307 per l00.000 kelahiran hidup.
Tahun Estimasi
SUPAS 1995 Estimasi SUSENAS
1995 55 56
1996 54 1997 52 1998 49 49
1999 46 2000 44 2001 - 50
2002 - 45
Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2000 (estimasi SUPAS 1995) dan estimasi Susenas 2002-2003
Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir tersebut memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas
hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Penurunan AKB tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan
cakupan imunisasi bayi, peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, penempatan bidan di desa, dan
meningkatnya proporsi ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi.
Bila dilihat menurut jenis kelamin, angka kematian bayi pada laki-laki selalu lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
perempuan, sebagaimana terlihat pada gambar berikut.
GAMBAR ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP DI INDONESIA MENURUT JENIS
KELAMIN
TAHUN 1995 S.D. TAHUN 2000
Dari hasil penelitian terhadap semua kasus kematian yang disurvei pada SKRT 1992, 1995 serta Surkesnas tahun
2001 diperoleh gambaran proporsi sebab utama kematian bayi sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
29,3
13,9
5,5
3,7
3,5 ?1. Gangguan Perinatal
?2. Sistem Pernafasan
?3. Diare
?4. Sistem pencernaan
?5. Gejala tidak jelas
?6. Tetanus
?7. Saraf 34,7
27,6
9,4
4,3
4,1
3,4
3,2
Sumber: Badan Litbangkes, Publikasi hasil SKRT 1992 dan 1995, SURKESNAS 2001
Tabel di atas menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian bayi dari tahun 1992 dan 1995 tidak terlalu
banyak mengalami perubahan dan masih didominasi oleh penyakit infeksi. Sedangkan pada tahun 2001 gangguan
perinatal menduduki peringkat pertama, yang diperkirakan karena kualitas pemeriksaan ibu hamil dan pertolongan
persalinan masih perlu ditingkatkan walaupun cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sudah meningkat
BAB III
PEMBAHASAN
Diare menyebabkan dehidrasi(kehilangan air dari tubuh atau jaringan),yang mengakibatkan kematian sekitar 3,5
juta anak setiap tahun .Diare juga merupakan penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak .Namun demikian
upaya dehidrasi oral (URO)dapat digunakan untuk mencegah atau merwat dehidrasi yang disebabkan diare yang
merupakan sebab umum dari kematian anak balita . Dalam tahun 1990an promosi oralit atau larutan garam dan
gula yang merupakan atau jenis lain dari larutan dehidrasi yang dibuat di rumah. Telah memberikan terapi ini
kepada kira-kira 20 % dari oranmg tua di dunia dan kini menyelamatkan kira-kira 600.000 jiwa setiap tahun.
3. Imunisasi
Sejauh ini, tempat uji coba utama persekutuan besar bagi anak-anak adalah usaha untuk menyediakan imunisasi.
Imunisasi di dunia berkembang tidak semudah atau seotomatis untuk sebagian besar orang tua sebagaimana di
dunia industri. Dan kalau kita ingin agar mereka mau membawa anak yang tidak sakit ke klinik tiga atau empat
kali dalam tahun pertama dari masa hidup anak-anak tersebut, jadwal imunisasi yang dianjurkan oleh WHO adalah
sebagai berikut :
Habis lahir- BCG untuk Tuberclosa dan vaksin polio pertama (OPV1)
6 minggu suntikan pertama terhadap dipteri, batuk rejan dan tetanus atau DPT 1 dan OPV2
10 minggu DPT2 dan OPV3
14 minggu DPT2 dan OPV4
9 bulan Campak
Di beberapa Negara vaksinasi DPT dan polio diberikan hanya 2 dosis saja dan vaksinasi campak diberikan setelah
12 bulan. Maka semua orang harus diberi tahu dari semua sumber yang ada bahwa pemberian vaksinasi lengkap
sangat diperlukan untuk melindungi jiwa dan pertumbuhan normal anak-anak mereka diantara penyakit-penyakit
masa kanak-kanak yang paling berbahaya.
Dalam lima tahun belakangan ini, imunisasi telah menghimpun momentum baru. Adalah sangat penting saat ini
untuk mempertahankan momentum itu. Dan dalam tahun 1980 an hany ada tiga infeksi yang dapat dicegah oleh
vaksin campak, batuk rejan, dan tetanus yang telah membunuh kurang lebih dari 25 juta jiwa nak-anak kecil
lebih dari seluruh penduduk dibawah umur 5 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kita mempunyai sarana
yang murah untuk menghentikan pembunuhan yang keji itu dan menghentikannya dalam beberapa tahun ini.
Kalau tidak memanfaatkan sarana itu, maka pengakuan kita tentang peradaban dunia dan harapan kita bagi
kemajuan manusia tidak akan bertahan terhadap pengujian lebih lanjut.
Melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dunia telah menentukan sasaran untuk mengimunisasikan sebagian
besar anak-anak terhadap enam jenis penyakit utama pada tahun 1990 an. Tidak ada satupun yang pernah
mencapai cakupan imunisasi 100 persen. Negara-negara berkembang telah menentukan target dengan 80%, yang
dianggap sebagai tingkat minimum yang dapat diterima ( cakupan di Negara-negara industri hanya lebih 70%
untuk DPT, dan dibawah 80% untuk Campak dan Folio). Apabila cakupan imunisasi mencapai 80% atau lebih, pola
penyebaran penyakit akan terpengaruhi, dan suatu tingkat perlindungan akan terjadi pada anak-anak yang belum
diimunisasi (asal tersebar merata dan tidak terpusat di daerah-daerah dengan cakupan imunisasi yang rendah).
Tetanus, yang diakibatkan oleh kelahiran tidaj higienis, telah membunuh sekitar 800.000 anak yang baru lahir
setiap tahun. Dua vaksinasi dengan Tetanus Toxoid diwaktu hamil atau satu dosis tambahan untuk seorang ibu
yang sudah divaksinasi akan melindungi anak yang baru lahir sampai anak tersebut divaksinasi. Separuh dari bayi
dunia berkembang kini sedang diimunisasi dengan vaksin BCG, difteria, batuk rejan, Tetanus dan polio sebelum
usia 12 bulan, 39% sedang diimunisai terhadap campak, 28% wanita hamil di Negara-negara berkembang
diimunisasi terhadap tetanus. Dan dengan segala keuletan dan ketekadan yang diperlukan, sasarn tersebut harus
dicapai. Dan apabila ada insentif lain yang dibutuhkan, perlu kiranya disebutkan bahwa penciptaan system
universal untuk imunisasi mutlak perlu bagi penyampaian vaksin-vaksin baru misanya, terhadap malaria dan AIDSyang mungkin sekali dikembangkan dalam 10 tahun mendatang.
Dengan demikian imunisasi tantangan komunikasi yang permanent. Dan masih banyak yang harus dilakukan.
Di Indonesia, sukses dalam mobilisasi ratusan anggota ribu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
sebagai kader gizi yang aktif telah menghasilkan berdirinya sampai 133.000 Posyandu atau pos pelayanan terpadu,
yang sekarang mendukug lebih dari separuh orang tua Negara itu dalam menyediakan satu paket terpadu caracara yang murah untuk melidungi kesehatan dan pertumbuhan normal anak-anak. Melalui imunisasi, rehidrasi oral,
Keluarga berencana, promosi pemberian air susu ibu, perawatan pra-natal, dan pemantauan pertumbuhan setiap
bulan. Posyandu mungkin akan berhasil memberi kuasa kepada orang tua untuk mengurangi angka kematian anak
tahun 1980 dengan 50% atau lebih pada akhir dasawarsa ini.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang tertinggi memberikan dampak yang besar terhadap keluarga
dan masyarakat. Kematian ibu dan anak masih merupakan masalah kesehatan reproduksi di dunia terutama di
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dunia dan Indonesia masih terus memikirkan upaya-upaya untuk
menurunkan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Adapun upaya yang telah
dilakukan diantaranya :
- Pemberian ASI Eksklusif
4.2 Saran
1. Kesehatan ibu dan anak dapat lebih ditingkatkan dengan cara menjarangkan kelahiran paling sedikit antaradua
tahun, dengan mencegah kehamilan sebelum usia 18 tahun, dan dengan mem-batasi kehamilan hingga empat kali.
2. Untuk mengurangi bahaya-bahaya pada saat melahirkan, semua wanita yang hamil harus memeriksakan diri
kepada petugas kesehatan, agar mendapatkan perawatan sebelum melahirkan, dan setiap kelahiran bayi harus
dibantu oleh bidan yang terlatih.
3. Selama beberapa bulan pertama kehidupan bayi, air susu ibu adalah satu-satunya makanan dan minuman yang
paling baik Setelah berusia empat hingga enam bulan, bayi memerlukan makanan lain di samping air susu ibu.
4. Anak-anak di bawah usia tiga tahun memerlukan makanan khusus. Mereka perlu makan lima atau enam kali
sehari datf makanannya harus diperkaya dengan sayuran yang dihaluskan dan sedikit lemak atau minyak.
5. Penyakit diare dapat menyebabkan kematian karena anak kehilangan terlalu banyak cairan di tubuhnya. Karena
itu cairan yang hilang ketika anak berak cair atau mencret, hari diganti dengan cara memberinya minum cairan
yang tepat misalnya air susu ibu, bubur cair, sup, atau larutan ORALIT.
Bila penyakimya lebih parah dari biasa, anak memerlukan pertolongan dari petugas kesehatan dan minum larutan
ORALIT. Agar cepat sembuh, anak yang menderita diare perlu diberi makan.
6. Imunisasi akan melindungi anak-anak terhadap beberapa penyakit yang menghambat pertumbuhan,
menyebabkan kelemahan, dan kematian. Semua imunisasi hams diberikan pada tahun pertama. Setiap wanita
bemsia subur hams diimunisasi terhadap tetanus.
7. Biasanya batuk dan pilek akan sembuh dengan sendirinya. Tetapi, bila anak yang batuk bernafas lebih cepat dari
biasa, anak tersebut sakit parah dan perlu cepat dibawa ke Puskesmas. Anak yang batuk dan pilek haras diberi
makan dan perlu banyak minum.
8. Banyak penyakit disebabkan oleh kuman penyakit yang masuk mulut. Hal ini dapat dicegah dengan cara buang
air besar di kakus, mencuci tangan dengan air dan sabun setelah buang air dan sebelum menangani makanan,
serta mendidihkan air untuk diminum.
9. Penyakit dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Setelah sembuh dari sakit, setiap hari
selama satu minggu, anak memerlukan makanan tambahan untuk mengejar pertumbuhan yang terhenti sebagai
akibat dari sakit.
10. Anak-anak yang berusia tiga bulan hingga enam tahun, harus ditimbang setiap bulan. Jika dalam waktu dua
bulan, berat badannya tidak bertambah, pasti ada masalah.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Pemerintah Republik Indonesia-UNICEF.1989. Analisa Situasi Anak dan Wanita di Indonesia. Jakarta: Pemerintah
RI-UNICEF.
2. Grant,P.James.1989.Situasi Anak-anak di Dunia 1988. Jakarta: Kantor Perwakilan UNICEF untuk Indonesia.
3. Benson dkk.1994.10 Petunjuk Bagi Kesehatan Ibu dan Anak. Medan: Pustaka Widyasarana.
4. www.
Lestari
Handayani
MkepSpMat
Sebuah data tersaji cukup menyesakkan. Semenjak 1990, status kesehatan ibu, bayi, dan anak di Indonesia
tidak mengalami perbaikan yang bermakna. Dilansir dari hasil penelitian Bank Dunia pada 2008, Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia meningkat dari 302 per 100 ribu persalinan menjadi 420 per 100 ribu
persalinan.
Angka
ini
tertinggi
dibanding
negara
lain
di
kawasan
Asia
Tenggara.
Lebih menyesakkan lagi data yang dilansir oleh Departemen Kesehatan. Angka Kematian Bayi (AKB) sudah
mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Dari dua data ini AKI dan AKB- menunjukkan bahwa status
kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi di negeri ini masih mengkawatirkan. Kematian masih menjadi
momok yang menghantui keduanya baik pada saat sebelum, selama, bahkan setelah melahirkan.
Secara medis, kematian itu memang bisa disebabkan oleh tiga hal, yaitu pendarahan, infeksi, dan
hipertensi. Namun menurut Tri Lestari Handayani, ada faktor ekonomi yang kuat menjadi unsur pendorong
sehingga terjadi penanganan medis yang minim pada ibu yang melahirkan. Berikut penuturan Dekan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang ini kepada Mas Bukhin dari KORAN
PENDIDIKAN.
AKI dan AKB di Indonesia masih cukup tinggi. Secara medis tentu ada penyebab tingginya kedua
angka ini, namun Anda menilai bahwa faktor ekonomi menjadi pendorong yang cukup kuat. Bisa
dijelaskan?
Menurut saya faktor medis yang menyebabkan kematian ibu dan bayi, lebih dikarenakan adanya
keterlambatan dalam menemukan masalah dan keterlambatan dalam mengambil keputusan. Nah
keterlambatan ini sampai terjadi sebagian besar karena ketidaktersediaan cukup dana untuk melakukan
identifikasi serta upaya antisipasi. Makanya saya menganggap bahwa faktor ekonomi itu yang menjadi
pendorong
Dalam
kuat
konteks
pada
ibu
dan
tingginya
kehamilan,
AKI
dan
AKB
di
keterlambatan-keterlambatan
itu
Indonesia.
seperti
apa?
Saya contohkan soal keterlambatan menemukan masalah. Dalam kehamilan, idealnya selama 12 jam janin
itu melakukan pergerakan minimal 10 kali. Tidak sedikit ibu hamil yang menganggap normal bila pada satu
hari janinnya tidak bergerak. Ini berimbas pada keterlambatan mengambil keputusan, pergi kontrol ke
dokter misalnya atau berkonsultasi pada tenaga kesehatan yang lain. Nah, minimnya dana menjadikan ibu
hamil tidak punya pilihan, mereka lebih memilih menanggung risiko apapun termasuk bila akhirnya datang
ke
dukun
beranak.
Bukannya itu lebih terkait dengan minimnya informasi dan sosialisasi tentang kesehatan ibu dan
anak?
Ya, faktor itu juga turut mendukung. Meski saat ini sedang digalakkan berbagai bentuk sosialisasi dan
program-programnya namun pelaksanaan masih belum efektif. Ini disebabkan tidak ada dukungan
kebijakan
kesehatan
yang
memihak
serta
ketersediaan
tenaga
kesehatan
yang
sesuai
standar.
Kalau menilik pada kondisi umum tentang layanan kesehatan, bukannya sudah ada dukungan
asuransi dan juga tenaga medis yang berkualitas. Lebih khusus dalam kaitan ibu dan kehamilan,
bukannya sosialisasi seperti Bidan Desa dan Suami Siaga juga gencar dilakukan. Lalu kenapa AKI
dan
AKB
masih
tinggi?
Layanan dan program-progam seperti itukan lebih sebagai upaya penyadaran dan antisipasi, tapi tetap
membutuhkan cukup dana. Ke bidan desa misalnya juga dibutuhkan dana, baik sekadar konsultasi dan
kontrol, apalagi persalinan. Belum lagi kalau ke dokter, malah lebih diarahkan untuk tindakan medis yang
lebih
Lalu
besar
apa
yang
seperti
menurut
operasi
Anda
yang
efektif
dalam
itu
berbiaya
menurunkan
sangat
AKI
dan
tinggi.
AKB
ini?
Paling penting bagi saya itu persalinan gratis. Kalau pemerintah mau membuat program atau kebijakan yang
berkesinambungan dalam menurunkan AKI dan AKB ini, ya dengan persalinan gratis. Sudah tidak ada
alasan ekonomi lagi bagi setiap ibu yang hamil untuk mendapat layanan kesehatan yang lebih baik.
Tapi tetap butuh langkah pendukung kan, misalnya program-program sebelum, selama, dan
setelah
persalinan?
Pendidikan kesehatan harus terus menerus diberikan kepada masyarakat tentang cara persalinan yang
sehat. Juga pada institusi pendidikan kesehatan harus mempersiapkan calon tenaga kesehatan yang baik,
yang mampu melakukan deteksi dini kehamilan berisiko dan melakukan sistem rujukan yang tepat.
Bila merujuk pada layanan kesehatan bagi ibu hamil pada negara lain, sejauh pengamatan Anda
sudah
seperti
apa?
Pada banyak negara, modelnya sudah home care (perawatan di rumah). Bahkan sampai persalinanpun
sudah dilakukan di rumah, tidak seperti kondisi di negara kita yang lebih menganggap bila melahirkan di
rumah sakit itu lebih baik dan memberi gengsi. Di rumah sakitpun, tempat persalinan juga mengedepankan
prinsip hospitality, ruangannya sudah didesain seperi kamar di rumah sehingga tidak menimbulkan beban
psikologis. Tren yang lain itu seperti Family Center Maternity Care, semacam pusat belajar bagi ibu yang
hamil beserta suaminya untuk mendapat informasi dan layanan lengkap tentang kehamilan, seperti husband
class
juga
ada.
Kalau gambarannya seperti itu tentu kebijakan pemerintah mutlak diperlukan, sekaligus
ketersediaan
tenaga
medis
yang
berkualitas?
Benar, tanpa ada perubahan situasi politik hingga peraturan perundangan tentang kesehatan yang berpihak,
kondisinya masih jauh dari harapan untuk berubah. Soal tenaga medis dan kesehatannya, selain menjadi
tanggung jawab institusi pendidikan kesehatan juga butuh kebijakan terkait kejelasan wewenang dan
tanggung
jawab
Kejelasan
pada
wewenang
dan
masing-masing
tanggung
tenaga
kesehatan.
apa
maksudnya?
jawab,
Di negara kita itukan ada semacam stigma, bahwa urusan pengobatan menjadi tanggung jawab dokter,
sedang kegiatan non pengobatannya dilakukan perawat. Istilahnya dokter itu bertanggung jawab pada cure
nya, sedang perawat itu pada care nya. Dalam konteks ibu dan kehamilan, stigma seperti ini yang memberi
pengaruh pada AKI dan AKB. Seorang ibu hamil misalnya hanya tahu dan ingin agar dokter saja yang
menangani persalinannya. Padahal tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan atau perawat itu juga dibekali
dengan kemampuan yang sama. Belum lagi kalau segala sesuatu terkait dengan dokter itu berimplikasi
pada
dana
yang
cukup
besar.
Apa boleh diistilahkan bila dalam bidang kesehatan, tenaga kesehatan seperti perawat atau
bidan
itu
masih
jadi
profesi
nomor
dua
di
bawah
dokter?
Kenyataannya masih seperti itu, padahal kondisi terus berubah. Secara keilmuan misalnya, keperawatan itu
sudah ada jenjang sarjana, magister, hingga doktoral, bahkan spesialisasinya juga sudah ada. Bahkan boleh
dibilang bahwa keilmuan keperawatan itu mencakup cure dan care nya sekaligus. Sebab ada latar belakang
psikologi,
sosial,
biologis
bahkan
spiritual
yang
harus
dikuasai
oleh
seorang
perawat.
Kembali sepanjang pengetahuan Anda, bagaimana posisi antar tenaga kesehatan ini di luar
negeri?
Sudah banyak rumah sakit di luar negeri itu yang dipimpin oleh perawat, bukan dokter. Di sana dokter itu
tinggal eksekusi saja, sedang informasi awal terkait dengan kondisi biologis, sosial, psikologi, hingga
spiritualitas
pasien
itu
disiapkan
oleh
perawat.
(*)
Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena hamil, melahirkan dan nifas di Indonesia menunjukkan masih
banyaknya persoalan dan masalah yang dihadapi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan di bidang
kesehatan.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003, AKI di Indonesia masih mencapai 307/100
ribu kelahiran hidup dan menjadi yang tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN.
"Itu artinya, dalam 1 jam ada 2 dua orang ibu atau 20 ribu ibu tiap tahunnya meninggal karena kehamilan, persalinan
dan nifas," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP), Meutia Hatta Swasono saat meluncurkan
mobil klinik sehat keliling Indosat di Jakarta, Selasa (18/3).
Padahal kata dia, kehilangan seorang ibu dalam keluarga dapat memecah belah keluarga dan mengancam
kesejahteraan serta kehidupan anak. Baik langsung atau tidak langsung, kematian ibu juga mempengaruhi tingginya
kematian bayi. Tercatat angka kematian bayi (AKB) di Indonesia 45/1000 kelahiran hidup.
Beberapa sebab utama masih tingginya AKI di Indonesia, adalah persoalan kurangnya sarana yang memungkinkan
masyarakat kecil mendapatkan akses kesehatan. Banyak ibu-ibu hamil di daerah-daerah terpencil tidak bisa
memeriksakan kehamilan karena jauh dari sarana rumah sakit atau puskesmas.
"Akibatnya, perempuan-perempuan di pelosok itu banyak yang hanya mampu melahirkan dengan bantuan dukun
beranak, sementara pelatihan bagaimana cara menolong persalinan bagi dukun beranak belum banyak
dilaksanakan," ujarnya.
Tapi lebih dari itu, persoalan budaya patriarki yang masih mendominasi di berbagai wilayah nusantara, menyebabkan
perempuan masih dianggap sebagai sub ordinasi kaum pria. Akibatnya, keputusan dalam kesehatan reproduksi
masih dikuasai kaum pria.
Untuk mengatasi persoalan yang ada, dikatakan Meutia, pihaknya bersama dengan Departemen Kesehatan
(Depkes) sebagai fasilitator, akan melakukan upaya konkrit berupa revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI). "GSI sejak
1996 sudah diluncurkan, tapi kini gaungnya harus diperbaharui lagi.
Sasarannya menurunkan AKI dan AKB menjadi 225/100 ribu kelahiran hidup serta 35/1000 kelahiran hidup pada
2010," ujarnya. (dianw) (ags)