PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Disentri merupakan tipe diare yang berbahaya dan seringkali
menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain.
Penyakit
ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri
amoeba)(1).
Di Amerika Serikat, insiden disentri basiler dilaporkan 5% dari 3848 orang
penderit diare berat menderita disentri basiler. (2)
Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat
disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kebanyakan kuman
penyebab disentri basiler ditemukan di negara berkembang dengan
kesehatan lingkungan yang masih kurang Spesies shigella di Ameriksa
Serikat menyerang 15.000 kasus. Dan di Negara-negara berkembang
Shigella flexeneri dan S. dysentriae menyebabkan 600.000 kematian per
tahun. (7)
I.2 Tujuan Penulisan
Untuk dapat mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi
dan
gejala klinis sehingga dapat menegakkan diagnosis disentri serta
penatalaksanaannya secara tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan
gejala
buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit,
buang
air besar dengan tinja bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air
besar
(tenesmus). (2)
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai
dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare)
yang
bercampur lendir dan darah. (3)
Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang
menyebabkan tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas
yang
disebut sebagai sindroma disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering
disertai
dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan 3) tinja mengandung darah dan
lendir. (4)
II.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang
dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC). Di
Bagian Penyakit Dalam RSUP Palembang selama 3 tahun (1990-1992)
tercatat di
catatan medis, dari 748 kasus yang dirawat karena diare ada 16 kasus yang
3
jawab terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar
tubuh manusia serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard
saat ini belum diketahui secara pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh
pasien,
sifat keganasan (virulensi) amoeba, maupun lingkungannya mempunyai
peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan
lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding
usus.
Bentuk ulkus amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil,
tetapi
di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya
terjadi
ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang
yang
minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Ulkus dapat terjadi
di
semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan
tempatnya
adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks dan ileum
terminalis.(2)
7
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare
disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (40 0C40,50C)
disertai mual dan anemia.
Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare
diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat
berjalan
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala
neurastenia. Serangan diare yang terjadi biasanya dikarenakan kelelahan,
demam
atau makanan yang sulit dicerna. (6)
II.6 Pemeriksaan Penunjang
Disentri amoeba
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat
penting. Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk
pemeriksaan mikroskopik diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan
pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu dan sebaiknya
dilakukan
sebelum pasien mendapat pengobatan.
Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari
bentuk kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan
sediaan
langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di
dalamnya
terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung
tumpul,
sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan
larutan
lugol. Akan tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak
tampak.
Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode
konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan
seng
sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan larutan
eterformalin
kista akan mengendap.
Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan
tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang
mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit
yang
masih bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya
yang
seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan tampak amoeba dengan eritrosit di
dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan
eosin.
(2)
Akan tetapi pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan
ini
akan didapatkan ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat
kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. (2)
Foto rontgen kolon
Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali
ulkus tidak tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen
kolon
dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma
nampak
filling defect yang mirip karsinoma. (2)
11
Komplikasi intestinal
Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus
besar dan merusak pembuluh darah.
Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular
dinding usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya
tinggi.
Peritonitis juga dapat disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.
Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan
reaksi
terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum
dan
rektosigmoid. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan
tindakan operasi segera.
Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat
terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.
Komplikasi ekstraintestinal
Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang
paling
sering terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun
sesudah
infeksi amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba
dan
dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening.
Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini abses hati
kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan
bergabung
menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai dengan aliran
darah
vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus
kanan.
Abses berisi nanah kental yang steril, tidak berbau, berwarna kecoklatan
(chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati yang rusak bercampur
darah.
Kadang-kadang dapat berwarna kuning kehijauan karena bercampur dengan
cairan empedu.
Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung
abses
hati. Kurang lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit
ini.
Abses paru juga dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding
usus
besar. Dapat pula terjadi hiliran (fistel) hepatobronkhial sehingga penderita
batukbatuk
dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi
ameba langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun
sangat
jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar
dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau
dinding
perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang
berasal
dari anus.
Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien
yang
berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini
dihubungkan
dengan infeksi S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan status
gizi
buruk. Komplikasi lain akibat infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic
uremic syndrome (HUS). SHU diduga akibat adanya penyerapan enterotoksin
yang diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu
pertama disentri basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai membaik.
Tanda17
tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10% dalam
24
jam) dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat
dengan
gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari
50.000/mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter),
hiponatremia,
terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis
4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan
trimetoprimsulfametoksazol,
dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari.
Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena
tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon
seperti siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik
untuk pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai
adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin diberikan 1
gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian
siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita
hamil.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman
S.dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam
nalidiksik dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada
antibiotika yang dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri
basiler.
Disentri amuba
Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali
perhari selama 20 hari.
Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali
selama 5 hari.
Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg
tiga kali sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama
5 hari, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg
tiga kali sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari
selama 2 hari dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari. (6)
II.11 Prognosis
Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat serta kepekaan ameba terhadap obat yang
diberikan.
Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama pada kasus tanpa
komplikasi. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak ameba.
Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan
pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian
rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama
meskipun
dalam bentuk yang ringan. Bentuk flexneri mempunyai angka kematian yang
rendah. (2)
II.12 Pencegahan
Disentri amoeba
Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat
kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air
minum sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan binasa bila air
dipanaskan
21
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Disentri. Diakses dari http://id.wikipedia.org/
wiki/Disentri_Amuba.
Syaroni A., Hoesadha Y., 2006. Disentri Basiler. Buku Ajar Penyakit Dalam.
FKUI:Jakarta.
Hembing, 2006. Jangan Anggap Remeh Disentri. Diakses dari
http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed.
Simanjuntak C. H., 1991. Epidemiologi Disentri. Diakses dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk.
Oesman, Nizam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi III. Fakultas
kedokteran UI.: Jakarta.
Davis K., 2007. Amebiasis. Diakses dari http://www.emedicine.com/
med/topic116.htm.
Kroser A. J., 2007. Shigellosis. Diakses dari http://www.emedicine.com/
med/topic2112.htm.