Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan kurikulum merupakan upaya perubahan kualitatif untuk
menanggapi berbagai perkembangan dalam masyarakat dan meningkatkan mutu
pendidikan. Dengan demikian, kurikulum harus dinamik dan responsif terhadap
tuntutan dan perkembangan masyarakat serta kebutuhan dan aspirasi peserta
didik. Di samping itu, kurikulum juga mempunyai makna yang kontributif dalam
rangka untuk menanamkan dan mempertahankan kebanggaan menjadi bangsa
Indonesia melalui pemahaman tentang identitas dan pertumbuhan peradaban
bangsa Indonesia, serta kontribusi Indonesia terhadap peradaban dunia.
Pada awal abad ke-21 banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa
Indonesia.

Salah

satu

diantaranya

adalah

fenomena

globalisasi

yang

mengakibatkan menyatunya sebagian besar belahan dunia dalam sektor ekonomi


dan keuangan. Globalisasi merupakan hasil dari perubahan teknologi yang cepat
dan signifikan, evolusi geo-politik, dan dominannya paham tentang hukum pasar.
Implikasi dari globalisasi yaitu antara lain sebagian besar masalah tidak dapat
berhenti pada pos perbatasan suatu negara, tetapi juga akan terjadi penetrasi ke
bagian wilayah negara lainnya sehingga hal itu harus dipecahkan oleh seluruh
dunia.
Berkaitan dengan hal di atas, bangsa Indonesia sekarang merupakan
anggota kampung dunia atau dengan kata lain seluruh dunia merupakan satu
keluarga. Sebagai konsekuensinya adalah dalam kurikulum harus memuat isu-isu
baru dunia seperti demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan, dan peningkatan
konsensus pada nilai-nilai universal. Selain itu, revolusi dalam teknologi
merupakan tantangan fundamental yang dapat mengubah masyarakat biasa ke
dalam masyarakat informasi dan masyarakat pengetahuan. Teknologi informasi
dan komunikasi ditandai antara lain dengan berkembangnya telekomunikasi,
televisi, dan komputer yang mempunyai potensi yang luar biasa untuk mengubah
dengan cepat atau mentransfromasi secara dramatis dunia pendidikan.

B. Rasional
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik
menjadi warganegara yang memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan
atau menjaga keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara
kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara
kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada
semangat kebangsaan --atau nasionalisme-- yaitu pada tekad suatu masyarakat
untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama
walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau
golongannya. [Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998].
Republik Indonesia dapat tetap berdiri sepanjang setiap generasi mampu
mengembangkan pemahaman dan komitmen terhadap prinsip-prinsip kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Konstitusi
Negara Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai
Negara Kesatuan dengan bentuk Republik.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. [Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945]
Rakyat Indonesia sekarang ini, yang telah melakukan reformasi menuju ke
kehidupan demokratis pada penghujung abad ke-21, harus berpikir bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dapat menjadi pendukung dalam mewujudkan
kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
keluarga, civitas akademika, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi
non-pemerintahan.
Demokrasi dalam suatu negara akan tumbuh subur apabila dijaga oleh
warganegara yang memiliki kehidupan demokratis, memberikan suara dalam
perdebatan umum, memilih wakil-wakil yang dapat dimintai tanggung jawab atas

tindakannya, dan menerima perlunya toleransi dan mufakat di muka umum.


Warganegara yang demokratis pada hakikatnya bukan hanya dapat menikmati hak
kebebasan individu, tetapi juga harus memikul tanggung jawab bersama-sama
dengan orang lain untuk membentuk masa depan yang akan terus menjaga nilainilai mendasar kebebasan dan pemerintahan sendiri.
Berkenaan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, civitas akademika
memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat penting dalam mempersiapkan
warganegara yang memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan Negara
Kesatuan

Republik

Indonesia.

Upaya

yang

dapat

dilakukan

adalah

menyelenggarakan program pendidikan yang dapat mendorong peserta didik


untuk memiliki berbagai kompetensi sebagai seorang warganegara melalui Mata
Kuliah Kewarganegaraan. Sedangkan keluarga, tokoh-tokoh keagamaan dan
kemasyarakatan, media masa, dan lembaga-lembaga lainnya dapat bekerjasama
dan memberikan kontribusi terhadap tanggung jawab civitas akademika tersebut.

BAB II
FUNGSI MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
Mata Kuliah Kewarganegaraan berfungsi untuk membentuk warganegara
yang cerdas, terampil, dan berkarakter baik, serta setia kepada bangsa dan negara
Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Mata Kuliah Kewarganegaraan dapat menjadi pengikat untuk menyatukan visi
peserta didik yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan
suku-bangsa tentang budaya kebersamaan atau persatuan yang dapat mendukung
tetap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pada fungsi tersebut, Mata Kuliah Kewarganegaraan harus
dinamis dan mampu menarik perhatian peserta didik, yaitu dengan cara civitas
akademika membantu peserta didik mengembangkan pemahaman baik materi
maupun keterampilan intelektual dan partisipatori dalam kegiatan civitas
akademika yang berupa intra dan ekstra kurikuler. Dengan pembelajaran yang
bermakna, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan dan menerapkan
keterampilan intelektual dan partisipatori yang menghasilkan pemahaman tentang
arti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di samping itu,
peserta didik akan memperoleh keuntungan dan kesempatan dari pembelajaran
yang bermakna untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (politics) dan
penyelenggaraan organisasi yang baik (good governance) pada tingkat kelas dan
civitas akademika mereka sendiri, berpartisipasi dalam simulasi kegiatan
keparlemenan (misalnya, prosedur dengar pendapat dan judicial di lembaga
legislatif), mengamati cara kerja di instansi pemerintahan, belajar bagaimana
anggota pemerintahan dan organisasi non-pemerintahan berusaha mempengaruhi
kebijaksanaan umum dan/atau negara, dan bertemu dengan pejabat-pejabat
publik/pemerintahan.
Keterampilan intelektual dalam Mata Kuliah Kewarganegaraan tidak dapat
terpisahkan dari materi kewarganegaraan sebab untuk dapat berpikir secara kritis
tentang suatu isu, seseorang selain harus mempunyai pemahaman yang baik
tentang isu, latar belakang, dan hal-hal kontemporer yang relevan juga harus
4

memiliki perangkat berpikir intelektual. Perangkat berpikir intelektual tersebut


meliputi kemampuan untuk menilai posisi, membangun (to construct), dan
memberikan justifikasi posisi pada suatu isu. Keterampilan dan kemampuan
berpartisipasi dalam proses politik juga diperlukan bagi peserta didik. Hal itu
meliputi kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan keputusan melalui
kerjasama dengan orang lain dengan cara mengetahui tokoh kunci pembuat
kebijaksanaan dan keputusan, membangun koalisi, bernegosiasi, mencari
konsensus, dan mengendalikan konflik.

BAB III
TUJUAN MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
Mata Kuliah Kewarganegaraan mempunyai tujuan untuk memberikan
kompetensi kepada peserta didik dalam hal:
(1)
(2)
(3)

berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu


kewarganegaraan,
berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab, serta bertindak secara
sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
pembentukan diri yang didasarkan pada karakter-karakter positif
masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia yang demokratis.

BAB IV
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Mata Kuliah Kewarganegaraan memiliki tiga ciri khas, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan karakter kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan
bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidimensional yang
memadai untuk menjadi warganegara yang baik.
Isi pengetahuan (body of knowledge) dari Mata Kuliah Kewarganegaraan
diorganisasikan secara interdisipliner dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial
seperti ilmu politik, hukum, tatanegara, psikologi, dan berbagai bahan kajian
lainnya yang berasal dari kemasyarakatan, nilai-nilai budi pekerti, dan hak asasi
manusia dengan penekanan kepada hubungan antara warganegara dan
warganegara, warganegara dan pemerintahan negara, serta warganegara dan
warga dunia.

BAB V
KOMPETENSI MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN

A. Kompetensi Umum
Kompetensi-kompetensi yang hendak diwujudkan melalui Mata Kuliah
Kewarganegaraan dibagi ke dalam tiga kelompok: (1) kemampuan untuk
menguasai pengetahuan kewarganegaraan, (2) kemampuan untuk memiliki
keterampilan kewarganegaraan, dan (3) kemampuan untuk menghayati dan
mengembangkan karakter kewarganegaraan. Rincian kompetensi-kompetensi
dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1.

Kompetensi untuk menguasai pengetahuan kewarganegaraan.


a. memahami tujuan pemerintahan dan prinsip-prinsip dasar konstitusi
pemerintahan republik Indonesia.
b. mengetahui struktur, fungsi dan tugas pemerintahan daerah dan
nasional serta bagaimana keterlibatan warganegara membentuk
kebijaksanaan publik.
c. mengetahui hubungan negara dan bangsa Indonesia dengan negaranegara dan bangsa-bangsa lain beserta masalah-masalah dunia dan/atau
internasional.

2.

Kompetensi untuk memiliki keterampilan kewarganegaraan.


a. mengambil atau menetapkan keputusan yang tepat melalui proses
pemecahan masalah dan inkuiri.
b. mengevaluasi kekuatan dan kelemahan suatu isu tertentu.
c. menentukan atau mengambil sikap guna mencapai suatu posisi
tertentu.
d. membela atau mempertahankan posisi dengan mengemukakan
argumen yang kritis, logis, dan rasional.
e. memaparkan suatu informasi yang penting kepada khalayak umum.
f. membangun koalisi, kompromi, negosiasi, dan konsensus.

3.

Kompetensi

untuk

menghayati

dan

mengembangkan

karakter

kewarganegaraan.
8

a. memberdayakan dirinya sebagai warganegara yang independen, aktif,


kritis, well-informed, dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi
secara efektif dan efisien dalam berbagai aktivitas masyarakat, politik,
dan pemerintahan pada semua tingkatan (daerah dan nasional).
b. memahami bagaimana warganegara melaksanakan peranan, hak, dan
tanggung jawab personal untuk berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat pada semua tingkatan (daerah dan nasional).
c. memahami, menghayati, dan menerapkan nilai-nilai budi pekerti,
demokrasi, hak asasi manusia, dan nasionalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
d. memahami dan menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam
kehidupan sehari-hari.

B. Kompetensi Lulusan
Setelah mempelajari Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dari
pertemuan I sampai VI, peserta didik memiliki: (1) pengetahuan dan (2)
pengalaman belajar untuk menerapkan perilaku dan aturan-aturan yang berlaku,
memiliki kepekaan terhadap lingkungan, menyadari adanya perbedaan kebutuhan
setiap orang, hak dan tanggung jawab sebagai warganegara dalam masyarakat
yang majemuk, serta mengenal prinsip-prinsip atau pilar-pilar dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Setelah mempelajari Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dari
pertemuan VII sampai dengan IX, peserta didik memiliki: (1) pengetahuan tentang
tanggung jawab warganegara, demokrasi, nasionalisme, dan sikap politik, serta
hubungan dengan negara dan bangsa lain; (2) pengalaman belajar; dan (3)
kemampuan berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis.
Setelah mempelajari Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dari pertemuan X
sampai dengan XII, peserta didik memiliki: (1) pengetahuan; (2) pengalaman
belajar; dan (3) kemampuan berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan

pemerintahan yang demokratis, menjujung tinggi, melaksanakan dan menghargai


hak asasi manusia serta peka terhadap isu internasional hak asasi manusia.
BAB VI
PRAKTIK BELAJAR KEWARGANEGARAAN
Praktik Belajar Kewarganegaraan adalah suatu inovasi pembelajaran
yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori secara mendalam
melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Praktik Belajar Kewarganegaraan
dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi dan tanggung
jawab partisipasi peserta didik, belajar bagaimana menilai dan mempengaruhi
kebijaksanaan umum, memberanikan diri untuk berperanserta dalam kegiatan
antar-siswa, antar-civitas akademika, dan antar-anggota masyarakat. Praktik
Belajar Kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan suatu aktivitas yang dapat
dilakukan oleh perseorangan, kelompok, kelas, atau fakultas.
Praktik

Belajar

Kewarganegaraan

sebagai

inovasi

pembelajaran

hendaknya dilakukan dalam suasana yang kondusif dan diarahkan untuk


memperkuat atau meneguhkan perbuatan dan pendirian yang positif serta berpikir
kritis, rasional, dan kreatif. Hasil akhir dari Praktik Belajar Kewarganegaraan
adalah portofolio (portfolio) hasil belajar, yaitu hasil belajar berupa rencana dan
tindakan nyata yang ditayangkan oleh setiap individu atau kelompok. Setiap
kelompok dimungkinkan untuk dapat berkompetisi dengan kelompok yang
lainnya. Pemenang kompetisi kelompok dapat dipromosikan untuk berkompetisi
pada tingkat kelas, fakultas, daerah setempat, dan nasional.
Dengan adanya Praktik Belajar Kewarganegaraan diharapkan dapat
meminimalisasi kesenjangan antara teori dan praktik kewarganegaraan. Dengan
demikian, Praktik Belajar Kewarganegaraan mempunyai kegunaan praktis untuk
peserta didik dalam mendalami konsep dan praktik kewarganegaraan. Dengan
kata

lain,

peserta

didik

selain

harus

dapat

menguasai

ilmu

tentang

kewarganegaraan juga harus mampu menerapkannya dalam kehidupan seharihari.

10

Dasar pelaksanaan Praktik Belajar Kewarganegaraan adalah intra dan


ekstra kurikuler. Hal itu dimaksudkan untuk lebih mendorong peserta didik untuk
berpartisipasi sebagai warganegara yang efektif dan bertanggung jawab. Latihan
berpikir kritis, kegiatan memecahkan masalah, teknik belajar kooperatif yang
dibimbing oleh Dosen dapat bermanfaat bagi pelaksanaan Praktik Belajar
Kewarganegaraan. Praktik Belajar Kewarganegaraan dapat dilakukan dalam suatu
rangkaian kegiatan belajar yang terstruktur dan kooperatif. Praktik Belajar
Kewarganegaraan dapat dilaksanakan dengan cara memilih satu atau lebih Standar
Materi pada awa, pertengahan atau akhir semester.
Praktik Belajar Kewarganegaraan pada pertemuan I, II, dan III dapat
dilakukan dengan penyelenggaraan permainan dan simulasi yang menarik, dapat
merangsang proses berpikir dan pembiasaan untuk bersikap dan berbuat atau
bertindak sesuatu yang baik, dan mengembangkan sikap positif terhadap
lingkungannya.
Praktik Belajar Kewarganegaraan pada pertemuan IV, V, dan VI dapat
dilakukan dengan membuat karangan, menganalisis suatu isu atau kasus yang
dikutip oleh Dosen dari koran, majalah ataupun internet, dan membuat laporan
tertulis tentang suatu kegiatan atau peristiwa.
Praktik Belajar Kewarganegaraan pada pertemuan VII, VIII, dan IX dapat
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. mengidentifikasi masalah.
2. mengumpulkan dan mengevaluasi informasi berkaitan dengan masalah.
3. menguji dan mengevaluasi pemecahan masalah.
4. memilih

atau

mengembangkan

alternatif

pemecahan

masalah

yang

direkomendasikan.
5. mengembangkan rencana tindakan.
6. mengevaluasi pelaksanaan tindakan.
Praktik Belajar Kewarganegaraan pada pertemuan X, XI, dan XII dapat
dilakukan dengan mengaplikasikan metode-metode ilmiah (the application of the
scientific methods) seperti metode pemecahan masalah (problem solving method)
dan metode inkuiri (inquiry method).
11

Langkah-langkah metode pemecahan masalah yaitu sebagai berikut:


1.

merumuskan masalah.

2.

membuat kerangka untuk pemecahan masalah.

3.

menentukan sumber data.

4.

mencari data.

5.

menaksir kelayakan data.

6.

memilah dan memasukan data ke dalam kerangka.

7.

meringkas dan melakukan verifikasi data.

8.

mengamati hubungan antardata.

9.

menafsirkan data.

10.

menyimpulkan hasil penafsiran.

11.

mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah.

Langkah-langkah metode inkuiri yaitu sebagai berikut:


1.

membuat fokus untuk inkuiri: menyajikan masalah.

2.

merumuskan kemungkinan penyelesaian.

3.

mengumpulkan data.

4.

menilai penyelesaian yang diajukan.

5.

merumuskan kesimpulan.
Hasil pekerjaan peserta didik dari Praktik Belajar Kewarganegaraan yang

berupa gambar, foto, karangan, laporan penelitian atau dokumentasi lainnya,


setelah diberikan nilai selanjutnya ditampilkan didepan kelas. Peserta didik
kemudian diberikan sertifikat keberhasilan dalam mengikuti kegiatan praktik
tersebut.

12

BAB VII
RAMBU-RAMBU PENGGUNAAN KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Kuliah Kewarganegaraan memuat
tiga komponen penting, yaitu kompetensi dasar, standar materi, dan Indikator
Pencapaian Hasil Belajar. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Kuliah
Kewarganegaraan memberikan gambaran mengenai seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan karakter kewarganegaraan yang merupakan dasar bagi
terbentuknya warganegara Indonesia yang bertanggung jawab. Peserta didik yang
berinteraksi dengan standar materi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi ini
diharapkan akan mampu mempersiapkan diri secara positif melalui tradisi
kultural-demokratis untuk menjadi warga masyarakat setempat, warganegara
Indonesia yang baik, dan warga dunia sebagai bagian dari keseluruhan umat
manusia.
Dalam penyusunan silabus, para pengembang kurikulum pada tingkat
universitas

dapat

mengembangkan

melakukan
standar

sesuai

materi,

dan

dengan
(2)

kebutuhannya

menambah

atau

untuk:

(1)

mengurangi

indikator/target pencapaian. Selanjutnya, Dosen bertugas untuk mempersiapkan


dan melaksanakan pembelajaran baik yang berupa intra-kurikuler maupun yang
berupa ekstra-kurikuler di dalam dan di luar civitas akademika berdasarkan
silabus dengan memperhatikan ketersediaan sumber-sumber belajar. Dalam hal
tertentu, setiap Dosen dapat memungkinkan untuk mengundang tokoh-tokoh
kunci dalam masyarakat untuk memberikan informasi yang relevan dengan materi
yang akan dibahas.

13

BAB VIII
KOMPETENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Kompetensi Lulusan:
Peserta didik memiliki: (1) pengetahuan tentang tanggung jawab warganegara,
demokrasi, nasionalisme, dan sikap politik, serta hubungan dengan negara dan
bangsa lain; (2) pengalaman belajar; dan (3) kemampuan berpartisipasi dalam
mewujudkan masyarakat yang demokratis. Demikian halnya pengetahuan,
pengalaman belajar, dan kemampuan untuk berpartisipasi sebagai warganegara
dalam masyarakat yang demokratis.
(Warganegara mempunyai peranan di dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
Peserta didik harus memahami cara untuk berpartisipasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, memiliki keterampilan sebagai seorang warganegara
yang efektif, dan memelihara cara hidup yang demokratis. Menilai, memantau,
dan mempengaruhi kebijaksanaan pada tingkat civitas akademika, daerah, dan
nasional merupakan salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat yang
demokratis).
Praktik Belajar Kewarganegaraan:
Dilakukan dengan cara memilih satu atau lebih kegiatan yang dapat
mengembangkan kemampuan bersikap, berbuat, berpikir kritis, rasional, dan
kreatif.
Kompetensi Dasar:
Berperan untuk menjadi warganegara yang proaktif dalam berbagai kegiatan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Standar Materi

Indikator Pencapaian Hasil Belajar

Peranan Warganegara

mengidentifikasi isu kekinian yang melibatkan


peranan

warganegara

dalam

kehidupan

bermasyarakat berbangsa, dan bernegara


14

menganalisis apa yang harus dilakukan apabila


keyakinan individual bertentangan dengan prinsipprinsip

konstitusi

dan

hukum

mendiskusikan

peranan warganegara dalam meng hadapi tantangan


dan ancaman terhadap keutuhan bangsa dan
kedaulatan negara.
membedakan antara hak pribadi dan hak politik.
mengidentifikasi dan menganalisis jika terjadi
Partisipasi Warganegara

ancaman terhadap hak pribadi dan hak politik.


mengidentifikasi cara-cara berperan serta secara
aktif

dalam

memperbaiki

lingkungan

civitas

akademika dan masyarakat sekitar.


mengidentifikasi dan menerapkan kriteria yang
bermanfaat dalam memilih pemimpin politik pada
tingkat daerah dan nasional.
mendiskusikan bagaimana partisipasi warganegara
dapat membantu memecahkan masalah kehidupan
Kontrol Sosial

sosial.
mengidentifikasi kebijaksanaan pemerintah yang
dapat dipantau oleh rakyat.
menilai peranan media yang dapat mempengaruhi
dan membentuk pendapat umum
menganalisis peranan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Pada pertemuan berikutnya diharapkan pengetahuan, pengalaman belajar, dan


kemampuan untuk menerapkan konsep demokrasi, nasionalisme, dan sikap politik
dalam kehidupan sehari-hari.
[Bangsa Indonesia sudah memasuki kehidupan zaman yang menyerukan tentang
kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia. Pemahaman tentang demokrasi akan
lebih menumbuh-suburkan kehidupan demokrasi di bumi nusantara. Pemahaman
tentang nasionalisme juga akan memberikan kekuatan kepada bangsa Indonesia
untuk tetap mencintai Indonesia secara terus menerus dalam kehidupan yang
demokratis sebab nasionalisme pada hakikatnya merupakan suatu wujud
15

kecintaan emosional warganegara terhadap bangsa dan negaranya. Begitu pula


sikap politik yang diarahkan secara positif akan membantu menumbuhkan
demokrasi dan nasionalisme].
Praktik Belajar Kewarganegaraan:
Dilakukan dengan cara memilih satu atau lebih kegiatan yang dapat
mengembangkan kemampuan bersikap, berbuat, berpikir kritis, rasional, dan
kreatif.
Kompetensi Dasar:
Berperan

untuk

mewujudkan

masyarakat

demokratis

dengan

landasan

nasionalisme dan sikap politik yang benar dan kuat.


Standar Materi

Indikator Pencapaian Hasil Belajar

Demokrasi dan Demokratisasi

menjelaskan makna kebebasan dan


demokrasi.
menguraikan pilar-pilar demokrasi yang
meliputi:

kedaulatan

rakyat,

pemerintahan berdasarkan persetujuan


dari

yang

diperintah,

kekuasaan

mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan


hak-hak asasi manusia, pemilihan yang
bebas dan jujur, persamaan di depan
hukum,

proses

pembatasan
konstitusional,

hukum

yang

pemerintah
pluralisme

wajar,
secara
sosial

ekonomi politik, dan nilai-nilai toleransi


kerjasama mufakat.
mendiskusikan pelaksanaan demokrasi
pada masa pemerintahan orde lama, orde
baru, orde transisi, dan orde reformasi
membandingkan beberapa negara yang
16

menganut
Nasionalisme

sistem

pemerintahan

demokratis dan tidak demokra tis.


menjelaskan makna dan pentingnya
nasionalisme.
menguraikan hubungan antara bangsa
dan negara.
mendiskusikan nasionalisme sebagai
gagasan politik negara kebangsaan.
menceritakan semangat badan perumus
ketika merumuskan Pancasila sebagai
dasar negara
mendiskusikan Pancasila sebagai wujud
dari

kekuatan

nasionalisme

dan

patriotisme bangsa Indonesia.


menganalisis implementasi Pancasila
Sikap Politik

dalam kehidupan sehari-hari.


menjelaskan makna dan pentingnya
memiliki sikap politik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
menguraikan sikap politik yang bersifat
radikal, liberal, moderat, status quo,
reaksioner, dan konservatif.
menentukan pilihan sikap politik dan
konsekuensi dari pilihannya
menganalisis dan mendiskusikan
kecenderungan
Indonesia

sikap

setelah

politik

berakhirnya

bangsa
masa

pemerintahan Orde Baru.


Pada pertemuan berikutnya diharapkan pengetahuan, pengalaman belajar, dan
kemampuan untuk menentukan posisi yang terbaik bagi bangsa Indonesia dalam
melakukan hubungan antar bangsa.
(Indonesia merupakan bagian dari dunia yang terdiri atas berbagai negara dan
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Suatu kejadian dalam suatu

17

negara dapat mempengaruhi keberadaan negara lainnya. Untuk memahami


peranan Indonesia sekarang ini dalam kancah internasional diperlukan
pengetahuan tentang proses pengambilan keputusan kebijaksanaan luar negeri.
Untuk dapat menganalisis dan menilai kejadian atau peristiwa dunia, warganegara
Indonesia perlu mengetahui perkembangan di seluruh dunia beserta pengaruhnya).
Praktik Belajar Kewarganegaraan:
Dilakukan dengan cara memilih satu atau lebih kegiatan yang dapat
mengembangkan kemampuan bersikap, berbuat, berpikir kritis, rasional, dan
kreatif.
Kompetensi Dasar:
Menganalisis dan menilai posisi terhadap kedudukan bangsa Indonesia dalam
percaturan dan pergaulan global.
Standar Materi
Hubungan antar bangsa

Indikator Pencapaian Hasil Belajar


mengidentifikasi contoh-contoh isu
internasional hubungan antarbangsa.
memberikan definisi kebijaksanaan luar
negeri dan menguraikan cara-cara suatu
bangsa berinteraksi dengan yang lainnya
secara diplomatis.
mengidentifikasi

dan

menganalisis

keefektifan solusi yang digunakan untuk


mengatasi masalah internasional.
mendiskusikan peranan United Nations
Organization (UNO) dan dampaknya
Politik Luar Negeri Indonesia

bagi perdamaian dunia.

mengidentifikasi

contoh-contoh

bagaimana Indonesia berinteraksi dengan


negara-negara yang lainnya.
menjelaskan kekuatan konstitusi dalam
memberikan

kekuasaan

membuat
18

kebijaksanaan

luar

negeri

kepa

da

pemerintah.
mengidentifikasi

isu-isu

mutakhir

kebijaksanaan luar negeri Indonesia dan


menilai

strategi

digunakan

geopolitik

berkenaan

yang

dengan

tersebut.
menguraikan

cara-cara

warganegara

dapat

hal

bagaimana

mempengaruhi

perumusan kebijaksanaan luar negeri.


mendiskusikan hubungan antara
kebijaksanaan

luar

negeri

dengan

aspirasi nasional.
menganalisis bagaimana dan mengapa
politik dalam negeri dapat menentukan
cara dan tindakan kebijaksanaan luar
negeri.
Pengaruh Timbal Balik Hubungan Luar menjelaskan cara-cara Indonesia dan
Negeri Indonesia

negara-negara

lainnya

saling

mempengaruhi secara politis.


memberikan contoh-contoh bagaimana
keputusan
dibuat

oleh

kebijaksanaan luar negeri


pemerintah

Indonesia

berkenaan dengan negara lain telah


mempengaruhi kehidupan warganenegara
Indonesia.
menjelaskan pengaruh ide-ide politik
Indonesia terhadap negara lain dan
pengaruh ide-ide politik negara lain
terhadap Indonesia.
menjelaskan strategi

diplomatik

pemerintah Indonesia guna membantu

19

memecahkan

masalah-masalah

internasional dan/atau meraih manfaat


bagi kepentingan nasional.
menjelaskan cara-cara organisasi nonpemerintah mempengaruhi kebijaksanaan
luar negeri dan membantu menyelesaikan
masalah internasional
memberikan contoh-contoh bagaimana
keputusan kebijaksanaan luar negeri yang
dibuat oleh negara asing mempengaruhi
Indonesia.
memberikan contoh-contoh strategi
diplomatik yang digunakan pemerintah
Indonesia ketika berinteraksi dengan isu
internasional yang relevan.

menilai
dampak

signifikan

pengembangan isu internasional terhadap


Indonesia.
mendiskusikan isu-isu internasional
mutakhir di mana kebijaksanaan luar
negeri

Indonesia

telah

peranan yang signifikan.

mengidentifikasi
warganegara

Indonesia

memainkan
kesempatan
untuk

berpartisipasi dalam resolusi masalahmasalah internasional.

20

BAB IX
PIAGAM JAKARTA
DAN HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA
A. Pengantar
Pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun
KaisarHirohito

dibentuklah

Badan

Penyelidik

Usaha

Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh pemerintah Jepang sebagai upaya


pelaksanaan janji mereka tentang kemerdekaan Indonesia. BPUPKI
beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Radjiman Widjodiningrat.
Pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945,
Soekarno, salah seorang anggota, menyampaikan usulan fundamen filsafat
negara, yang dikenal dengan Pancasila.
Keterangan
menunjukkan

Soekarno

denganjelas

tentang
bahwa

Pancasila
ia

sendiri

dalam

sidang

mengakui

itu

adanya

ketergantungan dengan orang lain, baik orang Indonesia maupun orang

21

asing, seperti Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, dan Kesejahteraan


Rakyat. Pertanyaan yang penting ialah dari sumber manakah Soekarno
mengangkat prinsip Ketuhanan, yang akhirnya dikenal sebagai Ketuhanan
Yang Mahaesa. Pengertian Ketuhanan, pada dasarnya, berlatarbelakang
muslim, walaupun tidak selalu tidak diterima oleh golongan bukan
muslim. Prinsip Ketuhanan setidaknya diilhami oleh uraian dari para
pemimpin Islam yang berbicara mendahului Soekarno dalam sidang itu.
Dalam sidang itu ada dua paham yang terlihat. Kedua paham itu
ialah yang menganjurkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam
dan anjuran lainnya, seperti Hatta, yaitu negara persatuan nasional yang
memisahkan unsur negara dan agama. Dengan kata lain bukan negara
Islam. Ternyata di dalam Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang
disusun oleh Yamin tidak memuat satupun pidato para anggota nasionalis
Islam. Yang dimuat hanyalah tiga, yaitu (1) pidato Soekarno, (2) pidato
Yamin, dan (3) pidato Soepomo.
BPUPKI juga berhasil merumuskan dan bentuk pemerintahan
melalui pemungutan suara. Ada 45 suara pemilih dasar negara adalah
kebangsaan, sedang 15 suara memilih Islam sebagai dasar negara. Setelah
sidang pertama berakhir dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan
sembilan orang, yang lalu dikenal dengan nama Panitia Sembilan. Melalui
perbincangan yang serius akhirnya Panitia Sembilan berhasil mencapai
suatu kesepakatan antara Islam
dan Nasionalis. Pada tanggal 10 Juli 1945 Soekarno menyampaikan
pidatonya pada sidang BPUPKI.
Soekarno juga menyampaikan rancangan preambule UUD hasil rapat
Panitia Sembilan. Dalam rancangan preambule tersebut muncullah kalimat
yang sampai saat ini tetap menjadi persengketaan ...Ketuhanan, dengan
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rancangan
preambule itu ditandatangani oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni
1945 di Jakarta. Oleh karena itu rancangan preambule itu dikenal sebagai
Piagam Jakarta.
22

Perjalanan Piagam Jakarta Menjelang Proklamasi Kemerdekaan


Sehari setelah pidato Soekarno, yakni pada tanggal 11 Juli 1945, seorang
Protestan anggota BPUPKI, Latuharhary, langsung menyatakan keberatan
atas tujuh kata di belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta. Agus
Salim melihatnya secara netral, walaupun ia lebih condong mendukung
Piagam Jakarta. Namun beberapa orang anggota BPUPKI berkeberatan,
termasuk Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat.
Sidang pada hari itu seolah-olah berakhir dengan kesepakatan
menerima rancangan preambule hasil kerja Panitia Sembilan. Kemudian
Soekarno membentuk panitia kecil untuk merancang UUD, yang mesti
bekerja pada tanggal 12 Juli 1945. Dua pasal rancangan pertama UUD
yang paut dengan pokok bahasan ini ialah pasal 4 dan pasal 28 . Pasal 4:2
berbunyi Yang dapat menjadi
Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli, sedang
pasal 28 berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agama
masing-masing.
Abdul Wahid Hasjim mengajukan dua usulan. Pertama, pasal 4:
tersebut ditambah dengan anak kalimat yang beragama Islam. Kedua,
pasal 28 diubah isinya menjadi Agama negara ialah agama Islam, dengan
menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain untuk Agus
Salim tidak sependapat dengannya, namun Hasjim mendapat dukungan
dari Sukiman. Soekarno selalu
memposisikan diri bahwa rancangan preambule adalah hasil
kompromi dua pihak, yaitu Nasionalis dan Islam. Padahal tak kurang
tokoh Muhammadyah, seperti Ki Bagus Hadikusumo, yang didukung oleh
Kyai Ahmad Sanusi, tidak menyetujui tujuh kata anak kalimat Ketuhanan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 04:00 naskah baru pernyataan
kemerdekaan dirumuskan dalam suatu pertemuan di rumah Maeda,
seorang perwira Angkatan Laut Jepang. Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada hari
23

itu pukul 10:00 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Keesokan harinya
dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta untuk menetapkan UUD.
Ternyata sebelum waktu penetapan Hatta menyampaikan empat
usulan perubahan rancangan UUD yang sudah ditetapkan oleh BPUPKI.
Usulan tersebut sebagai berikut:
1. Kata Mukhadimah diganti dengan kata Pembukaan.
2. Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang Mahaesa.
3. Mencoret kata-kata dan beragama Islam pada pasal 6:1 yang berbunyi
Presiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama Islam.
4. Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun berubah.
Usulan perubahan diterima bulat oleh PPKI. Soekarno juga
menekankan bahwa UUD 1945 tersebut hanyalah sementara, yang akan
diubah oleh MPR setelah Indonesia dalam suasana lebih tenteram. Ada
alasan kuat mengapa Hatta mengajukan empat usulan perubahan. Dalam
buku karya Hatta dengan judul Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 yang dikutip oleh Anshari (1981), Hatta mengatakan bahwa
ia didatangi oleh seorang perwira Jepang, yang ia sendiri lupa namanya,
pada tanggal 17 Agustus 1945 petang. Perwira itu membawa pesan bahwa
bahwa orang Kristen di kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas tujuh
kata dalam Pembukaan UUD.
Walaupun mereka mengakui bahwa tujuh kata itu tidak mengikat
mereka, namun mereka memandang hal itu sebagai diskriminasi terhadap
golongan minoritas. Hatta sendiri sudah menjelaskan kepada perwira
tersebut bahwa ketetapan rancangan UUD merupakan hasil kesepakatan
dua pihak, Islam dan Nasionalis. Perwira tersebut meyakinkan Hatta
bahwa wilayah Indonesia bagian Timur akan menolak bergabung ke
dalam negara persatuan Indonesia. Hatta akhirnya lebih memilih persatuan
ketimbang perpecahan dan menerima keberatan orang Kristen.

24

Tentu saja ketetapan PPKI tersebut membuat sakit hati pihak Islam.
Akan tetapi mereka tidak dapat menolaknya, karena suasana waktu itu
sangat darurat. Mereka masih berpengharapan akan memasukkan misi
mereka di masa yang akan datang.
B. Piagam Jakarta sebagai Sumber Konflik
Pihak Islam fundamentalis tidak menyerah. Mereka masih melihat
peluang perubahan UUD 1945 seperti yang dikatakan Soekarno pada
sidang PPKI. Sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 15
Desember 1955, diadakanlah Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat
untu duduk di Konstituante, sebuah lembaga pembuat UUD sebagai
pengganti UUD 1945. Presiden Soekarno melantik anggota-anggota
Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Partai-partai Islam meraih
230 kursi, sedang partai lainnya (Nasionalis, Kristen, Sosialis, dan
Komunis) meraih 286 kursi.
Pada sidang Konstituante terjadilah perdebatan yang berlarut-larut
tentang dasar negara. Para wakil partai-partai Islam tetap memegang
Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Para wakilwakil lainnya menyetujui kembali kepada UUD 1945. Namun demikian
kedua pokok masalah itu menemui jalan buntu, karena tidak dapat
diputuskan dengan suara sekurang-kurangnya dua pertiga anggota
Konstituante. Menghadapi suasana kritis ini Presiden Soekarno turun
tangan. Pada tanggal 5 Juli ia mengeluarkan dekrit, yang salah satu isinya
ialah pemberlakuan lagi UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Bagi sebagian orang Islam Dekrit Presiden mengandung pengertian
hidupnya kembali Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945
dan Piagam Jakarta merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945.
Usaha-usaha untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam agenda
nasional terus berlangsung sampai akhirnya diredam oleh pemerintah
Orde Baru lewat Tap MPR no. II/MPR/1978.

25

Setelah berakhirnya era Orde Baru dimulailah era reformasi.


Keterbukaan ini membuat orang-orang seperti kuda lepas kendali.
Sepertinya orang bebas berbicara apa saja. Kesempatan ini dimanfaatkan
oleh partai-partai Islam untuk meniupkan isu Piagam Jakarta ke dalam
agenda sidang MPR hasil Pemilu 1999. Dua partai yang ngotot sejak
November 1999 untuk membahas Piagam Jakarta adalah PPP dan PBB.
Meskipun pada Sidang Tahunan (ST) MPR tahun 2000 usulan mereka
tidak ditanggapi, mereka tetap bersemangat memasukkannya ke dalam
agenda ST MPR tahun 2001.
Dampak

Pemberlakuan

Piagam

Jakarta

terhadap

Hubungan

Antarumat Beragama Seperti ditulis di atas bahwa Piagam Jakarta kembali


marak setelah berakhirnya era Orde Baru. Sejak itu lahirlah partai-partai
berasaskan Islam. Selain itu banyak ormas yang keras memperjuangkan
aspirasi Islam. Tidak itu saja, ada juga kelompok yang ingin mendirikan
negara Islam, walau jumlahnya kecil. Piagam Jakarta dianggap sebagai
jaminan konstitusi bagi umat Islam untuk dapat dengan leluasa mengatur
umatnya sendiri agar lebih taat beragama.
Persoalannya tidaklah sesederhana itu. Banyak masalah yang akan
mengganjal, yang bukan saja berpautan dengan kenyataan kemajemukan
masyarakat Indonesia, tetapi juga adanya keanekaan pemahaman dalam
umat Islam sendiri khususnya yang berpautan dengan bentuk nasabah
(relationship) agama dan negara.
Dalam ST MPR 2001 Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam
agenda. Kebiasaan sebagian kecil partai Islam untuk memasukkan Piagam
Jakarta ke dalam ST MPR justru dalam aras tertentu tidak mendewasakan
kehidupan demokrasi di Indonesia. Di kalangan Nadhlatul Ulama (NU)
permasalahan ideologis bangsa sudah ada kata akhir seperti yang pernah
dikatakan oleh K.H. Achmad Siddiq, tetapi bagi sebagian kecil umat Islam
permasalahan tersebut belum dianggap selesai.
Tidak ada yang baru dari perdebatan tentang nasabah agama dan
negara. Dapat dikatakan semua yang ada merupakan pengulangan agenda
26

lama yang tidak pernah sampai pada kata sepakat dengan ketulusan hati.
Perdebatan ini menjadi tidak progresif, karena umat Islam garis keras
tidak mau berpikir bagaimana mengatur negara yang majemuk ini dengan
menempatkan semua anasirnya pada posisi yang sama. Alasan klasik yang
dilontarkan selalu saja tentang mayoritas sehingga merasa lebih berhak
untuk mengatur negara ini.
Ketidakpahaman nasabah agama dan negara tidak pernah akan
mencair, jika seluruh umat beragama masih berpikir egois dan melalaikan
perasaan penganut agama lain dan kepentingan bangsa secara serbacakup
(comprehensive). Semestinya agama merupakan urusan pribadi manusia
dengan Allahnya. Baik negara maupun perorangan tidak berhak memaksa
orang lain untuk mengikuti atau menaati agamanya. Memang keruwetan
nasabah agama dan negara acapkali melekat pada Islam, karena Islam
tidak sepenuhnya dipisahkan dengan masalah kenegaraan. Yang patut
menjadi introspeksi bagi umat Islam adalah Islam tanpa negara bukanlah
Islam yang tidak lengkap.
Persengketaan Piagam Jakarta, yang ditambah dengan munculnya
gerakan atas nama Islam untuk mendirikan agama Islam, oleh kalangan
umat lainnya, khususnya Kristen, acapkali diungkit-ungkit sebagai bahaya
laten. Tentunya ini membuka luka lama hubungan antarumat beragama,
khususnya umat Islam dan Kristen. Hal ini makin diperuncing dengan
sikap triumfalistik orang Kristen garis keras dalam penginjilan.
Pemberlakuan Piagam Jakarta tidaklah sama dengan Piagam
Madinah yang dibuat tahun 622. Ada perbedaan hakiki pada hasil yang
dicapainya. Perbedaan tersebut terjadi karena perumusan yang berbeda
antara Piagam Madinah dan Piagam Jakarta. Piagam Madinah tidak ada
tekanan kewajiban dalam hal menganut atau melaksanakan agama
masing-masing. Dengan demikian Piagam Madinah telah melahirkan
persatuan. Kebalikannya dengan Piagam Jakarta yang melahirkan
ancaman perpecahan. Pencatuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta

27

merupakan sikap tidak peduli atas perintah Allah yang berdampak


melampaui ambang batas kebenaran.
Bagi pemeluk agama bukan Islam penempatan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta merupakan pilihan yang salah. Jika ketujuh kata itu
dimasukkan ke dalamnya, maka negara dibebani dengan tugas khusus
terhadap pemeluk salah satu agama saja. Negara menjadi tidak netral lagi
dan mengancam kesatuan bangsa. Logika Pancasila sebagai pemersatu
bangsa dan logika Sumpah Pemuda sebagai rumusan dasar bagi gerakan
kebangsaan Indonesia menuntut sendiri agar tujuh kata dalam Piagam
Jakarta mesti dihilangkan.
Sila pertama memberikan wewenang bagi kelompok agama agar
mereka sendiri mengusahakan sesuai dengan pemahaman mereka sendiri
agar para pemeluknya menjalankan etika dan ajarannya. Istilah Ketuhanan
yang Mahaesa merupakan suatu prinsip tentang Tuhan dan bukan Tuhan
itu sendiri. Teologilah yang dapat menjelaskan dan menakrifkan tentang
apa yang dimaksudkan dengan ketuhanan itu secara nyata. Rumusan sila
pertama yang sekarang ini sudah memberikan ruang yang luas agar
agama-agama yang diakui dapat menguraikan dan mengembangkan
pemahaman mereka sendiri mengenai Tuhan itu.
C. Kesimpulan
Pembangunan ketaatan beragama lewat daya paksa hukum negara
mengandung konsekuensi berisiko tinggi atas rasa tauhid dalam
masyarakat. Hal ini dapat terjadi, karena rasa takut terhadap negara akan
melampaui rasa takut kepada Allah yang Esa, yang tentunya dapat
membangkitkan peluang kemusyrikan dan kemunafikan.

28

BAB X
KEWARGANEGARAAN
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH ISLAM
A. Non-muslim Indonesia Bukan Zimmi
Dalam terminologi fiqhi (fikih) Islam klasik, non-muslim disebut zimmi,
yang diartikan sebagai kaum yang hidup dalam pemerintahan Islam yang
dilindungi keamanan hidupnya dan dibebaskan dari kewajiban militer dan zakat,
namun diwajibkan membayar pajak (jizyah). Akan tetapi, harus dipahami bahwa
pengertian zimmi seperti ini adalah persis yang berlaku di zaman penaklukan
wilayah oleh pemerintahan politik Islam, yang berlangsung secara besar-besaran
sejak zaman Khulafaurrasyidin, kemudian dimapankan dalam zaman Daulah Bani
Umayyah dan Abbasiyah sesudahnya.
Ketika terjadi penaklukan wilayah di zaman itu, maka kaum nonmuslim diberi alternatif, yakni memeluk Islam atau tetap dalam agamanya
dan rela hidup dan diatur oleh pemerintahan politik Islam yang
29

menaklukkannya. Mereka yang memilih tetap pada agamanya dan taat


bersama pada pemerintahan Islam yang berkuasa dan melindungi keamanan
hidupnya, itulah yang disebut zimmi. Pengertian zimmi seperti ini
sebenarnya tidak berlaku ketika Rasulullah memimpin negara Madinah,
sebab meskipun pemerintahan berada di tangan Rasulullah Saw, namun
kaum non-muslim turut serta sebagai warga negara yang sama
kedudukannya dengan kaum muslimin. Artinya, keberadaan dan kehidupan
kaum non-muslim di Madinah bersama dengan kaum muslimin bukan
merupakan hasil dari sebuah proses penaklukan. Rasulullah Saw dan umat
Islam yang berhijrah ke Madinah bukan datang menaklukkan Madinah dan
menguasai secara politik penduduk Madinah yang sebahagiannya nonmuslim. Malah, beliau diundang bersama umat Islam berhijrah dari Makkah
dan diterima secara damai setibanya di Madinah.
Karena itu keberadaan dan kehidupan non-muslim di Madinah bukanlah
karena kaum muslimin melindungi mereka, melainkan non-muslim itu sendiri
sudah berada dan hidup di Madinah sebagai negerinya sendiri. Bahkan mereka
lebih dahulu ada di sana ketimbang Rasulullah Saw dan para Muhajirin, dan turut
merestui kehadiran Rasulullah bersama para Muhajirin. Non-muslim di Madinah,
dengan keadaannya seperti itu, tidak disebut zimmi, tetapi dikategorikan sebagai
kelompok al-mu`ahidun yaitu golongan non-muslim yang terikat perjanjian damai
dengan muslim dalam suatu negeri bersama. Itulah sebabnya, dalam Piagam
Madinah yang disusun bersama antara Rasulullah Saw dengan kaum non-muslim,
disebutkan bahwa mereka saling melindungi, bahu membahu menghadapi musuh
bersama. Atau tegasnya, hubungan antara Nabi Saw, Muhajirin dan kaum nonmuslim di Madinah jauh sama sekali dari pengertian saling menaklukkan antara
mereka. Piagam Madinah pun tidak menyebut mereka dengan istilah zimmi,
melainkan dengan sebutan ummat yang sama statusnya dengan umat Islam.
Rasulullah Saw memang pernah memberikan petunjuk bagaimana
memperlakukan non-muslim jika kasusnya berbeda dengan yang ada di Madinah.
Dalam hadis riwayat Imam Ahmad bersumber dari Sulaiman bin Buraidah,
menyangkut penaklukan politik terhadap non-muslim, antara lain Nabi Saw
menegaskan:
Hentikanlah peperangan, kemudian ajaklah memeluk Islam, jika ia terima
maka kabulkanlah dan jaminlah keamanannya; kemudian ajaklah untuk
berpindah dari negerinya ke negeri muhajirin. Dan jika mereka lakukan itu

30

niscaya mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
muhajirin. Jika mereka menolak untuk pindah maka beritahukan bahwa mereka
diperlakukan sebagai a`rabnya orang-orang Islam dan terhadap mereka
diberlakukan hukum Islam seperti orang muslim lainnya, tetapi tidak berhak
mendapatkan harta perolehan dan rampasan perang kecuali jika mereka berjihad
bersama dengan muslim lain. Jika mereka tetap menolak status ini, maka
mintalah dari mereka jizyah. Dan jika mereka memenuhinya maka terimalah,
kemudian jaminlah keamanan mereka.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan terhadap nonmuslim di Madinah dengan non-muslim yang mengalami penaklukan politik di
luar Madinah. Non-muslim yang ditaklukkan oleh pasukan Islam di luar Madinah,
diberi sejumlah alternatif pilihan. Salah satu di antaranya ialah tetap menganut
agamanya dan tetap berdiam di negerinya, dan mereka harus membayar pajak.
Mereka inilah yang disebut kaum zimmi, sesuai dengan definisinya dalam
sejumlah buku fikih.
Untuk kita di Indonesia, nenek moyang kita telah berada sejak dahulu dan
hidup di negeri ini sebagai negerinya sendiri. Kemudian penganjur agama Islam
datang, bukan sebagai penakluk terhadap mereka. Mereka datang secara damai
membawa barang dagangan dan dakwah Islam. Kemudian sebagian generasi
bangsa ini menganut Islam, sebagian lagi menganut agama Kristen, Hindu, dan
Budha, dan sebagian masih tetap pada kepercayaan lama. Semua hidup dan punya
hak yang sama di negerinya sendiri.
Setelah bangsa Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda dan Inggris, umat
Islam dan sebagian non-muslim bersama-sama lagi berjuang memerdekakan
bangsa. Karena itu, kasus non-muslim di Indonesia persis sama dengan kasus nonmuslim di Madinah ketika Rasulullah membangun kota itu menjadi sebuah
negara, yakni sama kedudukannya dengan umat Islam yang mayoritas. Karena
sama kedudukannya dengan umat Islam, kemudian terikat oleh satu konstitusi
negara yang mempersatukannya, maka non-muslim di Indonesia dikategorikan
sebagai kelompok mu`ahidun yang punya hak hidup sama dengan muslim tanpa
membayar jizyah. Mereka bersama dengan kaum muslimin membayar pajak,
31

bukan berupa upeti untuk imbalan perlindungan keamanan dari kaum muslimin,
melainkan semata-mata atas kesadaran akan kewajiban bersama membangun
negara. Urusan mempertahankan keamanan adalah kewajiban bersama, seperti
pula dengan praktik di zaman Rasulullah berdasarkan Piagam Madinah, bahwa
muslim dan non-muslim saling melindungi dan bersama-sama menghadapi musuh
mereka dari luar.
Karena itu, sebahagian ketentuan fikih klasik mengenai kaum zimmi (kaum
yang ditaklukkan) tentu saja tidak berlaku untuk non-muslim di Indonesia, sebab
berdasarkan semangat Piagam Madinah di zaman Nabi, non-muslim yang sama
kedudukannya dengan kaum muslimin dalam suatu ikatan konstitusi, diakui
eksistensinya sebagai umat, dan tidak diistilahkan sebagai zimmi. Karena bukan
zimmi, maka jelas; tidak berlaku jizyah.
Jizyah ini, hanya diberlakukan atas mereka yang berstatus zimmi.
Timbulnya pemungutan jizyah atas orang zimmi dimaksudkan sebagai jaminan
kesetiaan mereka kepada negeri dan pemerintahan Islam yang melindungi dan
menjamin keamanannya, yang sebelumnya menaklukkan mereka. Karena itu,
kaum non-muslim yang hidup bersama dengan muslim sejak awal di negerinya
dibebaskan dari jizyah, karena tidak terlibat dalam proses peperangan dan
penaklukan. Bahkan non-muslim yang ditaklukkan lewat peperangan saja, jika
tidak juga terlibat dalam peperangan secara langsung, dibebaskan pula dari jizyah,
seperti anak-anak, perempuan, dan orang tua jompo. Demikian pula para petani
dan peternak yang hanya menekuni profesinya dan tidak melibatkan diri dalam
perang, menurut Imam Ahmad berdasarkan riwayat dari Umar RA, juga tidak
dikenakan jizyah.
Pemungutan jizyah di zaman Rasulullah, berlaku pada tahun 9 H, ketika
jizyah dipungut dari kaum Najran, sebagai kelompok pertama yang dipungut
jizyahnya. Jizyah tidak dipungut dari Bani Taglab, suku Arab yang Kristen,
kecuali sedekah sukarela. Ini karena mereka hidup bersama damai dengan Islam,
dan mereka hanya giat dalam agamanya. Demikian juga riwayat tentang Arab
Kristen dari Bani Tanukh dan Bahra, Umar RA berdamai dengan mereka, tanpa
memungut jizyah, tetapi mereka membayar sendiri sedekah sukarela yang
32

jumlahnya seringkali lebih besar dari jizyah itu sendiri. Karena yang dipungut itu
adalah sedekah, maka para fakir non-muslim juga berhak memperoleh bagian dari
sedekah yang dipungut itu, berdasasrkan hadis Nabi tu`khaz min aghniya-ihim
wa turaddu `ala fuqara-ihim (sedekah itu dipungut dari orang kaya mereka dan
dikembalikan kepada fakir miskin mereka).
B. Konsep Pluralitas dalam Masyarakat Madinah
Perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang
cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam nampak cukup tinggi.
Hal ini ditandai dengan semaraknya aktifitas dan penampilan ummat Islam yang
berusaha mengajak dan mempraktekan syareat Islam secara kaffah, baik secara
individu maupun negara. Perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam
nampak cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan semaraknya aktifitas dan
penampilan ummat Islam yang berusaha mengajak dan mempraktekan syareat
Islam secara kaffah, baik secara individu maupun negara. Namun demikian, ada
juga sekelompok model ummat Islam yang formalistik, dimana dhohirnya
mempraktekan Islam secara formal tetapi kenyataan dalam hidupnya adalah
sekular. Antitesa dari semua ini adalah Islam Liberal yang tidak menghendaki
syareat Islam diterapkan maupun tidak menghendaki adanya simbul-simbul Islam
seperti kalangan formalistik. Oleh Islam Liberal, golongan pertama yang
menghendaki penerapan syareat Islam secara kaffah disebut fundamentalis dan
golongan kedua disebut tradisionalis.
Gerakan Islam Liberal cenderung untuk mengangkat demokrasi sebagai
jalan terbaik bagi msyarakat Muslim yang berkiblat kepada negara-negara Barat
dan Amerika. Sedangkan mereka yang menghendaki Islam sebagai way of life,
tolok ukurnya adalah praktek Rasulullah SAW dalam negara Madinah, sebagai
masyarakat madani yang ideal. Tulisan ini akan menelusuri sejauh mana kualitas
pluralisme yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terhadap masyarakat yang
majemuk itu, sekaligus sebagai masukan kepada Islam Liberal yang menjadikan
ide dasarnya adalah memberi kebebasan (beragama, berfikir, berkeyakinan dan

33

lain-lain) bagi setiap individu dimana mereka diilhami oleh liberalisme Barat
yaitu sebuah paham pemikiran (idiologi) yang muncul di abad ke-16 sampai ke-18
di Barat. Sejumlah tokoh Barat telah menilai sinis kepada Islam sehingga agama
Islam dianggap sebagai belenggu bagi liberalisme.
Seperti Foltaire yang mengatakan bahwa Islam melahirkan fanatisme karena
lebih menekankan dogma, sehingga Islam tidak liberal, karena liberalisme anti
dogma. Sedangkan Montesquieu (penggagas trias politika) berpendapat bahwa
Islam lekat dengan dispotisme, oriental, tiranik, sementara liberalisme anti
dispotisme tiranik. Dan lain-lain pemikir Barat yang sinis terhadap Islam. Maka
tampillah kelompok liberal Islam yang mencoba berfikir untuk mengubah wajah
Islam melalui idiologi liberalisme itu yang ujung-ujungnya menolak Islam yang
paripurna itu (lihat Greg Barton, gagasan Islam Liberal di Indonesia dan Bahaya
Islam Liberal oleh Hartono Ahmad Jaiz).

C. Madinah Sebelum Hijrah Nabi SAW


Yasthrib adalah nama lama dari kota Madinah. Suatu daerah yang subur dan
berkebun. Penduduk kota Madinah, menurut peneliti Dr. Akram Dhiya Al-umari,
terdiri dari warga Yahudi yang berhijrah ke Semenanjung Arabia pada abad
pertama Masehi setelah kekalahan revolusi mereka melawan bangsa Romawi
yang dipimpin oleh Kaesar Titus tahun 70 M.1 Sejumlah dari mereka menempati
Madinah dengan membawa berbagai keyakinan, adat istiadat dan profesi bertani
serta berternak. Profesi tersebut menjadikan kota Madinah sebagai kota pertanian
yang menghasilkan kurma, anggur dan delima. Selain juga menghasilkan
peternakan dan kerajinan tangan tenun dan alat-alat rumah tangga.

Menurut

perkiraan para sejarawan, bahwa jumlah tenaga inti warga Yahudi yang ikut
sebagai tentara ada sebanyak 2000 lebih terdiri dari 700 orang dari Bani Qoinuqo,
700 dari Bani Nadhir dan sekitar 700-900 dari Bani Quraidhah.2 Sedangkan
warga lain yang menduduki kota Madinah adalah warga Arab yang berasal dari
Yaman. Mereka terdiri dari dua kabilah yaitu kabilah Aus dan kabilah Khojraj.
Karena jumlah warga Arab dikhawatirkan berkembang, maka warga Yahudi
34

melakukan politik hasud adu domba agar mereka tidak bersatu. Bani Quraidhah
dan Bani Nadhir mendukung kabilah Aus sedangkan Bani Qoinuqo mendukung
kabilah Khojraj. Antara keduanya selalu berseteru. Perseteruan terakhir adalah
perang "Buath", lima tahun sebelum hijrah Rasulullah SAW.
Aisyah meriwayatkan bahwa, "Hari buath adalah hari pendahuluan yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya SAW, dimana pada saat itu terjadi pembunuhan
dan banyak yang terluka, yang menyebabkan mereka masuk Islam." (HR. Bukhori
5/44).
Perdamaian tercapai dengan diangkatnya Abdullah bin Ubay bin Salul
sebagai

pemimpin

mereka.

Tetapi

dengan

hijrahnya

Rasulullah

SAW,

kepemimpinan bin Salul tergeser yang menyebabkan dia memusuhi Rasulullah


SAW sehingga mempelopori kaum munafikun.

D. Hijrah Rasulullah SAW


Ketika ummat Islam di Madinah mengalami tekanan yang luar biasa oleh
kaum kuffar Quraisy, Rasulullah SAW mengijinkan sejumlah orang untuk
berhijrah. Diantaranya ke Habasyah (Ethiopia). Mus'ab bin umair diutus oleh
Rasulullah SAW ke Madinah. Sambutan mereka ketika mendegar saudara sesama
Muslim di Makkah tertindas, siap menerima kehadirannya di Madinah. Dalam
waktu relatif singkat, Islam telah merasuki rumah-rumah warga Madinah.
Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya, "Aku telah diperlihatkan tempat
hijrah kalian, suatu bumi yang subur dengan kurmanya." (HR. Bukhori dan
Muslim).
Ummat Islam diperintahkan Rasulullah SAW berhijrah, sementara beliau
berhijrah terakhir disertai oleh Abu Bakar. Hijrahnya ummat Islam bukan tidak
bermasalah tetapi mengalami penghadangan seperti yang dialami oleh Suhaib
Arrumi yang dihadang di tengah jalan agar meninggalkan seluruh hartanya dan
pergi berhijrah tanpa membawa apa-apa. Ketika Rasulullah SAW mendengar
beritanya, beliau berkomentar: "Beruntung Suhaib." (HR. Hakim, shahih).

35

Sedangkan Nabi sendiri menghadapi ujian dari mereka yaitu perbuatan makar
yang akan secara bersama membunuhnya. Hal itu diabadikan oleh Al-Qur'an,
surat Al-Anfal: 30, yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir
(Quraisy) berdaya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu
atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka bertipu daya sedang Allah
menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." Allah
melindungi Rasulullah SAW bersama sahabat Abu Bakar sampai ke Madinah dan
kedatangannya disambut oleh kaum Muslimin yang rindu menanti kehadiran
beliau.

E. Rasulullah SAW Menata Negara Madinah


Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun
masjid sebagai pusat kegiatan dan pertemuan ummat Islam. Kemudian langkah
hijrah ke Madinah ini resmi dilarang oleh Nabi tahun ke-8 setelah kaum Muslimin
berhasil menaklukkan Makkah. Beliau bersabda, yang artinya: "Tidak ada hijrah
setelah fattu Makkah, tetapi jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan perang,
berperanglah." (HR. Bukhori).
Rasulullah SAW menempatkan penduduk Madinah menjadi tiga bagian.
Pertama adalah kelompok kaum Mukminin yang terdiri dari kaum Anshor dan
Muhajirin, kedua kelompok munafikin yang tergolong kelompok ini adalah
mereka yang ragu-ragu terhadap Islam dan terkadang cenderung kepada musuh
Islam (hipokrit), dan kelompok yang ketiga adalah Yahudi.
Untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, kelompok kaum mukminin
dipersaudarakan atas dasar aqidah yang intinya adalah kasih sayang dan kerja
sama. Dengan cara itu mereka semakin kokoh karena tidak ada lagi perbedaan
antara pendatang (muhajirin) dan pribumi (Anshor). Bahkan ikatan mereka
melebihi ikatan kekeluargaan. Sehingga Al-Qur'an menggambarkan bahwa:
"Mereka (kaum Anshor) mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka,
sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu." (Q. S. Al-Hasyr:
9).
36

"Sesungguhnya orang-orang Mu'min adalah bersaudara karena itu


damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat." (Q. S. Al-Hujurat: 10).
Imam Nasa'i merekam peristiwa persaudaraan antara Saad bin Rabi dengan
Abdurrahman bin Auf dari kalangan Muhajirin. Kata Saad, "Saya punya harta,
kita bagi dua. Dan saya punya istri, silahkan kamu pilih, nanti saya cerai dan
nikahilah dia." Abdurrahman menimpali, "semoga Allah memberkahi keluarga
dan hartamu. Tunjukkan saya pasar" (Imam Nasa'i 6/137).
Langkah kedua, Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan kalangan
Yahudi agar mereka sebagai warga negara ikut menjaga keutuhan Madinah dan
menjaga keutuhan bersama. Perjanjian itu selanjutnya disebut "Piagam
Madinah" yang ditulis sebelum perang Badr, seperti diungkapkan oleh Abu
Ubaid (Al Amwal No. 518). Perjanjian tersebut berisi:
a. Muqadimah.
b. Bab I : Pembentukan Ummat; berisi satu pasal.
c. Bab II : Hak Asasi Manusia; berisi 9 pasal.
d. Bab III : Persatuan Seagama; berisi 5 pasal.
e. Bab IV : Persatuan Segenap Warganegara; berisi 9 pasal.
f. Bab V : Golongan Minoritas; berisi 12 pasal.
g. Bab VI : Tugas Warganegara; berisi 3 pasal.
h. Bab VII : Melindungi Negara; berisi 3 pasal.
i. Bab VIII: Pemimpin Negara; berisi 3 pasal.
j. Bab IX : Politik Perdamaian; berisi 2 pasal.
k. Bab X : Penutup; berisi satu pasal.
Tetapi kemudian perjanjian itu dikhianati oleh warga Yahudi. Bani Qoinuqo
merasa kesal atas kemenangan ummat Islam dalam perang Badar, sehingga salah
seorang dari mereka membunuh wanita muslimah saat sedang berbelanja, maka
seorang warga Muslim membunuh orang Yahudi itu, dan serta merta warga
37

Yahudi membunuh muslim itu, karena itu Rasulullah SAW mengusir mereka.
(Ibnul Atsir dalam Al-Kamil 2/65).
Demikian pula Bani Quraidhah yang berkali-kali melanggar janji dan
banyak menimbulkan kejahatan di kalangan kaum Muslimin. Sementara Bani
Nadhir bersekongkol dengan warga kafir dari luar Madinah untuk menyerang
Madinah, padahal dalam perjanjian mereka harus mempertahankannya, sampailah
terjadi perang Ahzab atau Khondak tahun ke-5 H, sehingga mereka pantas diusir.
Pengusiran

warga

Yahudi

dari

Madinah

bukanlah

karena

faktor

keagamannya, tetapi karena pengkhianatannya terhadap perjanjian yang telah


disepakati sebelumnya. Maka jelaslah bahwa di dalam negara Islam terbukti
bahwa hak-hak non Muslim dalam menjalankan keyakinannya terjaga selama
mereka tidak mengganggu dan mengusik ketentraman warga Muslim. Sedangkan
para pelanggar, memang pantas dihukum tanpa melihat apa agamanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa pluralitas di masyarakat Madinah di masa
Nabi SAW sangat terjaga, apalagi hal itu diikat oleh perjanjian dimana warga
Muslim dilarang melanggar perjanjian sama sekali. Allah SWT telah berfirman,
yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian)
itu. " (Q. S. Al-Maidah: 1)
"Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari sisi
perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi
kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (Q. S. At-Taubah:
4).
Tetapi pluralisme dalam arti memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi
agama-agama lain (non Islam) untuk mengekspansi dan mempengaruhi warga
Muslim, maka hal itu tidaklah fair. Oleh karena itu harus ada perlindungan bagi
warga Muslim agar tidak terjadi tarik-menarik agama. Pluralisme dalam arti
kebebasan beragama bagi masing-masing pemeluknya jelas dilindungi (lakum
dinukum waliyadin).
38

Dalam sekup Indonesia, ajakan pluralisme tidak seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW yang disertai dengan peningkatan kualitas warga Muslim dan
perlindungan terhadap mereka, sehingga konsep pluralisme selalu merugikan
ummat Islam karena ketentuan mereka dan gencarnya non Islam melakukan
kampanye kepada ummat Islam melalui berbagai cara baik moril maupun materiil.
Dan cara ini harus dicegah. (Lihat Al-Qur'an surat 109 dan 120).

39

BAB XI
MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY)
A. Pengantar
Suatu masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab adalah wujud dari
suatu masyarakat madani. Masyarakat madani adalah masyarakat yang
berkembang dari rakyat untuk rakyat sendiri. Di dalam kaitan ini masyarakat
madani adalah masyarakat yang berdisiplin sebagai ciri dari suatu masyarakat
industri. Suatu masyarakat industri adalah suatu masyarakat yang serba teratur,
artinya setiap anggota dari masyarakat tersebut adalah masyarakat yang cerdas,
yang well-informed, yang hidup di dalam masyarakat informasi. Dengan
demikian masyarakat madani adalah masyarakat yang mengetahui dan menguasai
sumber-sumber informasi baik di dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
kebudayaan dan keagamaan. Bukan berarti suatu masyarakat madani adalah suatu
masyarakat tanpa kriminalitas. Masyarakat madani adalah masyarakat yang sadar
akan hak-hak warga negara dan kewajibannya. Masyarakat yang hanya mengenal
akan hak-haknya tetapi tidak mengenal dan melaksanakan kewajibannya bukanlah
suatu masyarakat mandiri. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat
demokrasi oleh karena setiap warganya mengetahui akan kewajibannya sebagai
warga negara yang bertanggungjawab. Dengan demikian fungsi pemerintah
adalah mengatur dan mengayomi sedangkan pelaksanaan dan perwujudan dari
pada cita-cita mewujudkan negara Pancasila akan lahir dari setiap anggota
masyarakat itu sendiri. Inilah masyarakat Pancasila yaitu masyarakat yang bukan
hanya menghayati tetapi juga mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila di dalam
setiap praktis kehidupan.
B. Peranan Swasta yang Semakin Membesar
Sejalan dengan suksesnya pembangunan nasional dan semakin sejahteranya
rakyat, maka hal ini berarti peranan pemerintah semakin mengecil dan peranan
swasta semakin besar. Peranan semakin mengecil bukan berarti hilangnya

40

tanggungjawab pemerintah sebagai pengatur dan pengarah dari masyarakat besar


Indonesia, tetapi semakin dewasanya masyarakat kita karena hasil pembangunan
nasional, semakin cerdasnya rakyat kita sesuai dengan tujuan yang dirumuskan di
dalam Pembukaan UUD-1945, maka hal ini berarti tanggungjawab pembangunan
semakin berada pada tangan masyarakat itu sendiri. Inilah wujud dari masyarakat
mandiri. Masyarakat mandiri tidak lain ialah masyarakat yang mempunyai
lembaga-lembaga masyarakat yang self-support, yang yakin akan tujuan yang
akan dicapainya, serta yakin akan kemampuan profesionalisme warga masyarakat
untuk melaksanakannya. Peranan swasta yang semakin besar berarti pula semakin
meningkatnya mutu profesionalisme masyarakat tersebut. Hal ini terjadi di dalam
suatu masyarakat informasi serta masyarakat industri. Meningkatnya peranan
masyarakat (swasta) berarti pula semakin banyak kebutuhan masyarakat yang
akan muncul yang lahir dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan sendirinya
pendidikan dan pelatihan yang lahir karena partisipasi swasta akan semakin nyata
dan semakin dekat dengan kebutuhan kehidupan. Dengan demikian pembangunan
nasional akan berjalan secara mantap dan berkesinambungan sebab kekuatannya
lahir dari masyarakat itu sendiri sehingga akan utuh dan mantap di dalam
menghadapi berbagai cobaan dan goncangan kehidupan baik yang berasal dari
dalam maupun yang berasal dari luar. Kehidupan global masa depan akan banyak
menguji kemantapan kehidupan masyarakat atau peran swasta.

41

BAB XII
ISTILAH MASYARAKAT MADANI
DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
A. Pengantar
Asosiasi pengertian "bersantun, berbudaya" dengan "kota" itu sangat
tersebar luas.
Perancis bourgeois, Belanda burgerlijk, Jerman brgerlich itu pun berasal pada
kata burg yang berarti kota, perkotaan. Kata derivasi tersebut dalam ketiga bahasa
ini sekaligus menunjuk kepada klas menengah (middle class) semua. Selain itu,
sejak pertangahan abad ke-19, pengertian gutbrgerlich dalam B.Jerman ini kirakira sama seperti istilah orang baik-baik dalam bahasa Melayu kemarin
(bandingkan juga orangkaya).
Kata-kata Inggeris civil, civic, civilized, civilization itu semua berkaitan
dengan kata Latin civitas yang merupakan asal kata Spanyol ciudad, Perancis cit,
Inggeris city (pinjaman dari bhs Perancis) yang berarti "kota".
Saya pikir, hubungan antara pengertian "beradab, bersantun" dengan
pengertian "kota" itu sangat umum, dan adanya kota yang bernama "kota"
(Madinah) itu mungkin kebetulan. Ini lebih-lebih laga karena pada period
"Klasik" atau Jaman Emasnya kebudayaan Islam/Arab, yaitu periode Kalifat,
yang paling terkenal sebagai pusat-pusat kebudayaan yang halus dan tinggi itu
malah kota-kota seperti Baghdad, Kordoba, dll., sedangkan Madinah kurang
sering disebut.
Saya pikir, kalau kita lihat dari segi sosiologi, pengertian "madani" dan
"masjarakat madani" ini ikatannya dengan pengertian "kota" itu terutama
disebabkan karena pengertian tersebut pertama itu berikatan erat dengan klas
menengah, sedangkan klas menengah itu tipikalnya memang penghuni kota.
Tapi sebelum masuk soal sosiologi itu, masih ada satu salah kaprah
linguistik yang mungkin perlu kita soroti lebih dulu, yaitu aposisi pengertian

42

"civil society" dengan hegemoni ABRI dalam politik. Hal ini tampaknya terjadi
karena terburu-buru menerjemahkan civil society dengan masyarakat sipil.
BIng.

civil

Indonesianya

"bersantun,

madani",

sedangkan

BInd. sipil itu Inggerisnya "civilian"


Boleh jadi, salah kaprah itu tidak sepenuhnya kebetulan, karena munculnya
pada saat orang di satu pihak agak sebal dengan kekuasaan militer yang
dirasakannya berlebih-lebihan, di lain pihak masih kurang aman untuk
menyatakan hal itu secara terbuka. Dengan mempertukarkan "bersantun/beradab"
dengan "sipil", tersindirlah suatu penyamaan "militer" dengan "kurang beradab"
yang tentu tak berani dinyatakan secara terbuka (apalagi waktu itu)? Bagaimana
pun juga, waktu itu memang ada isu bahwa memenangkan "masyarakat madani"
itu mau tak mau harus dengan menghadapi barisan-barisan militer.
Secara historis, lawan "masyarakat madani" itu "masyarakat feodal", hal
mana dihayati oleh perjuangan untuk memenangkan supremasi klas menengah,
pengganti supremasi lapisan ningrat. Tetapi, mengingat asal usul lapisan ningrat,
yaitu dari "pembagian tugas" sosial antara "pertahanan" (ningrat) dan
"produksi/penggarapan tanah" (tani), maka ada kaitan hakiki antara pengertian
"ningrat/bangsawan" dan pengertian "bersendjata/militer" (bandingkan "Ksatrya"
dan "Waisya" dalam masyarakat Hindu).
Alhasil, "salah kaprah" tersebut diatas bukan satu kesalahan mutlak atau
100%, sebagaimana halnya juga tidak sepenuhnya kebetulan bahwa istilah civil
dan civilian dalam B.Ing. itu akarnya sama :-)
Kembali ke masalah sosiologi dan perwujudannya dalam perkembangan
konkret di Indonesia: isu masyarakat madani itu satu isu klas menengah. Akibat
langsung daripada pertumbuhan pesat ekonomi kawasan Pasifik, khusus juga di
Indonesia, dalam dua dasawarsa menjelang "krismon", maka klas menengah di
Indonesia berkembang amat pesat. Dan inilah yang menimbulkan ketimpangan
dalam struktur politik. Walaupun cara pemerintahan otoriter gaya Orde Baru
kemarin itu turut memungkinkan pertumbuhan ekonomi itu, tetapi kemunculan
kesadaran baru klas menengah ini merupakan penentang paling kuat dari segala
bentuk pemerintahan otoriter.
43

Ciri-ciri khas daripada dampak politik klas menengah dimana-mana yalah


menentang segala bentuk pemerintahan otoriter, cenderung mendahulukan
kepentingan setempat/lokal/daerah dan kurang "hormat" kepada pemerintahan
sentral/pusat. Jadi, pada penglihatan saya, pemerintahan Orde Baru gagal dan Pak
Harto terpaksa lengser itu cuma sekadar karena tidak sempat menyesuaikan
bentuk dan gaya pemerintahan dengan perubahan dalam struktur masyarakat,
khususnya menonjolnya peran klas menengah. Tak kebetulan pula, munculnya isu
"masyarakat madani" di Indonesia ini bertepatan dengan mulai unggulnya
perlawanan klas menengah terhadap gaya pemerintahan otoriter Orde Baru.
Khusus mengenai hubungannya dengan kota dan prestasi PAN dalam
pemilu. Struktur klas menengah Indonesia agak rumit, disebabkan oleh sejarahnya
yang berabad-abad (sejak paling lambat abad ke-14) dan berliku-liku itu. Tradisi
klas menengah yang paling lama di Indonesia ini dihayati dalam klas menengah
pewaris kebudayaan Pesisiran. Dalam periode jajahan Belanda, dampak
ekonominya tersisih dari bidang-bidang yang mula-mulanya dimonopoli oleh
VOC, sehingga klas menengah tradisional Indonesian (Pesisiran) ini banyak juga
bergerak didaerah pedesaan, artinya tidak sekadar terpusat pada kota.
Secara ilmiah umumnya sangat berbahaya untuk meletakkan tanda
"samadengan" (=) antara lapisan masyarakat dengan organisasi masyarakat atau
partai politik, jadi kalaupun ini dilakukan, perlu dicatat dulu bahwa penyamaan
yang dimaksud itu hanya bersifat kasar-kasar, kira-kira, "garis besar". Dalam hal
ini pencerminan politik daripada klas menengah Indonesia yang tradisional
Pesisiran tersebut diatas itu pada garisbesarnya dalam penglihatan saya dapat kita
identifikasi dengan gerakan NU dan partai politik PKB. Mengingat besarnya andil
pesisiran Jawa dalam tradisi klas menengah ini, tak mengherankan juga PKB
banyak mendapat suara di Pulau Jawa, termasuk juga di luar kota.
Sejak banting-stir ekonomi politik Belanda dengan undang-undang agraria
tahun 1870, timbul tuntutan baru terhadap infrastruktur, yang mana menyebabkan
juga perubahan yang menyolok dalam politik persekolahan, sehingga timbul
lapisan klas menengah terpelajar pribumi gaya baru, yang mulai nyata dampak
sosialnya sejak awal abad ke-20 ini. Mengingat artipenting "sekolah raja"
44

(kweekschool) di Fort de Kock / /Bukittinggi itu, maka banyak juga andil orang
Batak dan Minangkabaunya. Orang Minangkabau itu berkelebihan dengan sudah
adanya tradisi perniagaan pesisiran di Padang (karena setelah Malaka diduduki
Portugis, pelayaran dagang Islam terpaksa mengubengi Sumatra liwat Barat
(maka majulah Aceh, Padang, Bengkulu, Banten). Tak kebetulan, bagian klas
menengah baru yang beragama Islam ini banyak orang Minangkabaunya (orang
Batak banyak beragama Kristen). Pada penglihatan saya, PAN (dan juga
Muhammadiah pada umumnya) banyak mencerminkan klas menengah baru ini
(dalam pengertian "garis besar" tadi). Ini memang lebih berpusat di kota,
ketimbang klas menengah tradisi pesisiran tersebut semula. Itulah mungkin
sebabnya kenapa PAN banyak mendapat suara di kota-kota, dan terutama lagi di
propinsi Sumatra Barat. Kalau tak salah, lumayan juga hasilnya di propinsi Riau,
hal mana mungkin mencerminkan hubungan khusus Sultan di Deli dengan
administrasi kolonial, mengingat artipenting Riau Daratan untuk onderneming
Eropa dulu (terutama penanaman tembakau), dan pencerminan hal itu dalam
persekolahan orang pribumi.
Satu tradisi klas menengah lain lagi yang berakar sejarah cukup mendalam
juga (seperti tradisi klas menengah tersebut pertama tadi), yalah klas menengah
Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan pelayaran Makassar dan Bugis yang tetap
hidup selama periode penjajahan, dan sampai sekarang. Mereka sekarang punya
kedudukan khusus karena akhir 1980-an pemerintahan Orde Baru membuka
peluang khusus untuk kelompok ini dalam struktur ekonomi dan politik yang
dikuasainya. Pada waktu itu sudah dirasakan perlunya ada pembukaan tertentu
kepada klas menengah, hanya saja kurang konsisten dan terbatas pada saluran
"KKN" yang dalam hal Sulawesi Selatan mungkin dilicinkan oleh adanya putra
angkat Pak Harto yang asal dari sana? Pendekkata, dampak politik sektor klas
menengah ini pada penglihatan saya banyak bergerak dalam ICMI, dan partai
Golkar dan PPP. Artinya, ini bagian klas menengah yang tampaknya malah
cenderung akur dengan status quo (atau sekurang-kurangnya menginginkan
perubahan itu "dari dalam/atas"). Hasil pemilu pun kira-kira menunjuk pada
kedudukan demikian.
45

Selain itu masih ada lagi yang lain-lain, seperti klas menengah Aceh (cukup
besar juga, tapi dampak ke luar daerah tidak seperti tiga yang tersebut tadi),
Banjar, Tidore, dll.
Satu hal yang menarik, sebagaimana halnya di Eropa dulu, kebangkitan klas
menengah melawan feodalisme itu berwujudkan perjuangan agama Protestan
(melawan Katolik), maka kebangkitan klas menengah Indonesia, baik pada abad
ke-15 dan 16 melawan feodalism Majapahit, begitupun sekarang waktu
menentang pemerintahan otoriter Orde Baru, bergerak dengan pegangan idiel
agama juga, yaitu agama Islam. Yang menarik, kalau kita bandingkan apa yang
diisukan antara Protestan dan Katolik pada abad ke-15 itu, dan antara Islam dan
Hindu pada zaman Majapahit, kesejajarannya banyak sekali. Dari itu mungkin
dapat dimengerti adanya kebangkitan kembali kesadaran Islam dalam masyarakat
Indonesia sejak dasawarsa 1980-an, yang bertepatan dengan pertumbuhan klas
menengah hasil kemajuan ekonomi itu.

46

BAB XIII
TELAAH KRITIS PARADIGMA
MASYARAKAT MADANI DALAM PRESPEKTIF ISLAM
A. Pengantar
Gaung reformasi terhadap realitas kepolitikan ORBA telah menggiring
pakar ilmu-ilmu sosial melakukan pengkajian paradigma masyarakat ideal
dimasa yang akan datang yaitu masyarakat Madani. Gagasan masyarakat
Madani tersebut dapat dikatakan sebagai reaksi bagi kecendrungan berbagai
analisa terhadap politik di Indonesia, yakni pendekatan negara (state
approach). Menurut Culla pendekatan ini cukup mendominasi berbagai
diskursus politik yang ada sepanjang lebih dari tiga dekade terakhir. Dalam
konteks ini, menurut pendekatan konsep negara tersebut, eksistensi negara
digambarkan sebagai faktor determinan dan paling menentukan proses
politik yang berjalan selama ORBA. Walaupun pada akhirnya kekuasaan
ORBA yang terajut demikian kukuh melalui aliansi strategis antara birokrasi
Golkar dan militer tersebut runtuh. Menurut Arifin "Pelajaran yang dapat
dipetik dari gagalnya ORBA tersebut adalah bahwa kemutlakan
(kemahakuasaan) negara dan ketunakuasaan masyarakat hanya akan
melahirkan berbagai praktek distortif yang dapat meruntuhkan berbagai
tantangan yang ada." Oleh karena itu pembentukan masyarakat Madani
dipandang sebagai suatu keniscayaan agar sejarah kelabu tersebut tidak
terulang kembali. Selain Arifin banyak juga cendekiawan yang menggagas
ide masyarakat Madani ini seperti Nurcholis Majid, Samsudin Haris dan
Muhammad Hatta.
B. Seputar Istilah
Adapun terminologi masyarakat Madani pertama sekali dipopulerkan oleh
Prof Dr.Naquib-Al-Attas, Mujtama madani, yang secara etimologis mempunyai
dua arti :
Pertama, "Masyarakat kota, karena Madani adalah derivat dari kata Bahasa
Arab, Madinah yang berarti kota.Kedua, Masyarakat yang berperadaban, karena
Madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab Tamaddun atau Madaniah
yang berarti peradaban. Dalam Bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau
civilization.maka dari makna ini masyarakat Madani dapat berarti sama dengan
civil society, yaitu masyarakat yang menjujung tingggi nilai-nilai peradaban.".

47

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nurcholis Majid., bahwa istilah tersebut
merujuk kepada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di negeri Madinah.
Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa Nurcholis berusaha melakukan
pendekatan antara konsep masyarakat Madani yang tadinya terlahir sebagai reaksi
terhadap realitas kepolitikan ORBA dengan Islam, yaitu dengan mengidentikan
masyarakat Madani dengan masyarakat Rasulullah di Madinah. Hal ini mudah
untuk dimengerti karena sebenarnya konsep masyarakat Madani yang ingin di
wujudkan di negeri ini sebagai acuan masyarakat ideal yang tidak pernah
terwujud sebelumnya di masa ORBA adalah sebuah konsep masyarakat yang
menjadi prasyarat terciptanya alam demokrasi.
Akar Sejarah Paradigma Masyarakat Madani
Gagasan masyarakat Madani tersebut sebenarnya dilihat dari akar sejarah
kemunculannya bukan merupakan wacana baru. "Gellner telah menelusuri akar
gagasan ini ke masa lampau melalui sejarah peradaban barat (Eropa dan
Amerika), dan antara lain yang menjadi perhatian adalah ketika konsep ini
pertama kali di populerkan secara gamblang oleh pemikir terkenal Skotlandia,
Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil
Society (1767), hingga perkembangan konsep masyarakat Madani lebih lanjut
oleh kalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau, Hegel, Marx dan
Tocqueville, hingga upaya menghidupkan kembali di Eropa Timur dan Barat di
zaman kontemporer."
John Locke seorang pemikir kapitalis mengembangkan istilah civil society
menjadi civillian goverment dan ditulis dalam buku yang berjudul Civillian
Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan
peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan
hak-hak istimewa para bangsawan. Demikian itu demi kepentingan kaum borjuis
yang berkembang setelah itu. Sedangkan JJ Rousseau yang terkenal dengan
bukunya The Social Contract (1762), berbicara tentang otoritas rakyat, dan
perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia untuk ikut menentukan
hari dan masa depannya, serta menghancurkan monooli yang dilakukan oleh
kaum elite yang berkuasa demi kepentingan manusia.
48

Marx (dan pendahulunya Hegel) sebagai pencetus ide sosialisme, juga


mempunyai konsep pemberdayaan rakyat ini. Marx dan Hegel berpendapat bahwa
negara adalah bagian dari suprastruktur, mencerminkan pembagian masyarakat ke
dalam kelas-kelas dan dominasi struktur politik oleh kelas dominan. Negara tidak
mewujudkan kehendak universal tapi kepentingan kelas borjuis. Secara lebih
lengkap Marx telah memberikan teori tradisional tentang dua kelompok
masyarakat di dalam negara, yang dikenal dengan bae-superstructure. Teori kelas
sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional menempatkan
perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial dan menentukan dalam
perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat masyarakat kapitalis dari
perspektif ekonomi. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu
proletar dan borjuis. Dari perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial
yaitu dasar (base) dan superstructur. Adanya dua kelas ini mau tidak mau akan
membawa kepada konflik yang tidak dapat dihindarkan ketika keduanya berusaha
mendominasi yang lainnya.
Selain Marx, Antonio Gramsci salah satu tokoh Neo-Marxisme telah
mengembangkan teori ini menjadi lebih luas. Base-superstructure dalam teori
Marx dikembangkan tidak hanya dalam bidang ekonomi. Tetapi bisa juga dalam
bidang pendidikan, politik, dsb. Dalam bidang politik, negara menjadi
superstructure yang sering memaksakan kehendak kepada rakyat (base). Adanya
pembagian kelas ini, menurut Gramsci menuntut untuk terciptanya kemandirian
masyarakat (civil society). Agar negara lebih terbatasi dalam melebarkan
kekuasaannya.. Dari akar sejarah kemunculan konsep masyarakat Madani
didalangi oleh sosialisme dan kapitalisme.
C. Paradigma Masyarakat Madani
Dalam pengertian luas, menurut Gellner, masyarakat Madani di samping
merupakan sekelompok institusi/lembaga dan asosiasi yang cukup kuat mencegah
tirani politik baik oleh negara maupun komunal/komunitas, juga cirinya yang
menonjol adalah adanya kebebasan individu di dalamnya, dimana sebagai sebuah

49

asosiasi dan institusi, ia dapat dimasuki serta ditinggalkan oleh individu dengan
bebas.
Lebih lanjut Gellner menyatakan bahwa masyarakat Madani tidak hanya
menolak dominasi negara atas dirinya, tetapi juga karena sebagai institusi yang
bersifat non-state, maka dalam penampilan kelembagaanya tidak mendominasi
individu-individu dalam dirinya. Disinilah posisi individu sebagai aktor sosial
yang bebas yang di istilahkan Gellner sebagai manusia moduler (tidak di
pengaruhi kultur), yang menurutnya tidak merupakan prasyarat bagi perwujudan
masyarakat Madani. Jadi masyarakat Madani tidak hanya menerapkan sifat
otonominya terhadap negara, namun dalam konteks internalnya dari sejak
hubungan antar anggotanya, ia juga merupakan institusi yang menghargai
keniscayaan perlunya menghargai otonomi individual.
Sejalan dengan itu Culla mengutip pendapat Hikam, menyatakan bahwa
variabel utama masyarakat madani adalah otonomi (kemandirian), publik & civic,
sesuatu yang meniscayakan demokrasi bagi masyarakat seperti kebebasan dan
keterbukaann untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta
kesempatan sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum.
Sementara Nurcholis dengan "pendekatannya" di atas menyatakan bahwa
masyarakat madani yang di bangun oleh Rasul di Madinah dengan azas yang
tertuang di dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 ciri utama yaitu egalitarianisme,
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras
dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif),
penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.

D. Telaah Kritis Paradigma Masyarakat Madani


Dengan mencermati isi dari piagam Madinah jelas bahwasanya piagam
tersebut berisi rumusan yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban orang Islam di
antara mereka sendiri, serta hak-hak dan kewajiban diantara orang Islam dan
Yahudi, dan orang yahudi menerima perjanjian itu dengan gembira apabila terjadi
perselisihan di antara mereka maka semuanya dikembalikan kepada Allah dan
50

Rasulnya sebagai mana termaktub di dalam piagam tersebut bahwa "Bila


diantara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi perselisihan yang di
khawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada
Allah dan kepada Rasulullah SAW dan bahwa Allah bersama orang-orang yang
teguh setia memegang perjanjian ini" Selain itu juga tertulis "bahwa melindungi
orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak dibenarkan", " Bahwa di
antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang
Yastrib ini. Tetapi apabila telah di ajak berdamai maka sambutlah ajakan
perdamaian itu, " Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang
beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama,
bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa posisi piagam Madinah adalah
sebagai kontrak sosial antara Rasul dengan rakyat Madinah yang terdiri dari orang
Quraisy, kaum Yastrib dan orang-orang yang mengakui dan berjuang bersama
mereka. Posisi Rasul disini adalah sebagai pimpinan yang mereka akui bersama
dan telah meletakkan Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara.
Sehinga jika kita akan mencari nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat
Madinah saat itu pastilah nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang Islami.
Kembali kepada pengggambaran nilai-nilai masyarakat Madani yang
dinyatakan oleh Nurcholis di atas, kita dapat menelusuri secara detil apakah
keenam nilai tersebut memang terpancar dari nilai-nilai Islam yang tertuang di
dalam Piagam Madinah.

F. Egaliter
Kata egaliter, bermakna kesetaraan. Egalitarian adalah paham yang
mempercayai bahwa semua orang sederajat, sementara egalitarianisme diartikan
sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia-manusia itu
ditakdirkan sama, sederajat, tidak ada perbedaan kelas dan kelompok. Jadi
masyarakat egaliter atau mayarakat yang mengemban nilai egalitarianisme dapat
digambarkan sebagai mayarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi
51

di

mayarakat

dari

sisi

hak

dan

kewajibannya

tanpa

memandang

suku,keturunan,ras agama dan sebagainya. Dalam Piagam Madinah, memang


terlihat betapa Islam memberikan jaminan kesamaan derajat warga negara ketika
Islam secara adil mengatur pemenuhan hak-hak dan kewajiban warganya dan
orang-orang yang terikat perjanjian dengan Rasulullah sebagai pimpinan saat itu.
Hanya saja semua ini berlangsung dalam kerangka ketundukan terhadap syariat
Islam. Artinya selama non muslim mematuhi aturan main yang diberikan
Rasulullah maka posisi mereka tersebut tidak akan terdzolimi. Jadi dalam
mayarakat Madinah tersebut sangatlah jelas posisi masing-masing apakah dia
muslim, ahlul dzimmah atau orang-orang yang terikat perjanjian dan Islam telah
mengatur mereka dengan aturan yang menjamin ketenangannya. Oleh karena itu
masyarakat Madinah bukanlah masyarakat egaliter seperti yang dikatakan
Nurcholis
Ciri masyarakat Madani yang kedua menurut Nurcholis adalah adanya
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi ( bukan kesukuan, keturunan, ras
dan sebagainya). Nilai ini sama sekali tidak ada dalam Islam. Karena penghargaan
yang setinggi-tingginya hanya diberikan kepada orang-orang yang teguh dalam
kebenaran Islam. Artinya bila penghargaan kepada orang semata-mata
berdasarkan prestasi bisa jadi ketika dalam masyarakat tersebut si yahudi ternyata
lebih cakap dalam bidang pemerintahan akhirnya dibenarkan oleh tatanan yang
ada untuk menerimanya sebagai pemimpin masyarakat. Padahal jelas Islam telah
mensyariatkan bahwa salah satu syarat pemimpin (kalifah) adalah Muslim bukan
yang lain.
Keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif) sebagai ciri
masyarakat Madani yang ketiga adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu
benar, kemudian kesediaan untuk mendengar pendapat orang lain untuk diambil
dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurcholis akan memberi
peluang pada adanya pengawasan sosial. Lebih lanjut Nurcholis mengatakan
bahwa keterbukaan adalah konsekuensi dari prikemanusian, suatu pandangan
yang melihat sesama manusia pada dasarnya adalah baik, sebelum terbukti

52

sebaliknya. Oleh karenanya kita harus menerapkan prasangka baik (husnul-zhan),


bukan prasangka buruk (suuzhan) kecuali untuk keperluan kewaspadaan.
Islam sebagai ajaran yang sempurna telah mengajarkan kepada kita standar
benar dan salah. Kebenaran itu tidak bersifat relatif, sehingga membuat seorang
muslim menjadi ragu terhadap keyakinannya. Bagaimana mungkin Islam
memerintahkan ummat-Nya untuk menegakkan kebenaran jika standar kebenaran
itu tidak diajarkan kepada ummat-Nya. Secara jelas kita melihat dalam piagam
Madinah dinyatakan bahwa jika terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Terjadinya perselisiahan diantara manusia
menunjukkan adanya ketidakbenaran yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga
harus dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya sebagai sumber kebenaran itu.
Jadi kalaupun di dalam masyarakat Islam ada nilai-nilai keterbukaan maka yang
dimaksudkan adalah keterbukaan terhadap kebenaran yang datangnya dari Allah
dan Rasulnya bukan yang lain. Sedangkan dalam kaitannya dengan pengawasan
sosial, maka yang dimaksud adalah adanya amar maruf dari masyarakat terhadap
masyarakat dan negara.
Ciri masyarakat madani berikutnya adalah penegakan hukum dan keadilan.
Hal ini cukup jelas dan tercantum dalam Piagam Madinah yang berbunyi "Bahwa
orang-orang yang beriman dan bertaqwa harus melawan orang yang melakukan
kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan perbuatan
aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang-orang
beriman sendiri dan mereka harus bersama-sama melawannya walaupun terhadap
anak sendiri
Adapun ciri masyarakat madani berikutnya yang cukup menarik untuk
dikaji adalah toleransi dan pluralisme serta musyawarah-demokrasi yang
sebenarnya merupakan unsur asasi pembentuk masyarakat madani. Masyarakat
Madani menuruit Nurcholis merupakan masyarakat demokratis yang terbangun
dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya adalah
interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberikan
hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar
pendapat itu. Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yang luhur
53

dilandasi toleransi dan pluralisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain adalah
wujud civility yaitu sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri
sendiri tidak selalu benar, Pluralisme dan toleransi ini merupaka wujud dari
"ikatan keadaban" (bound of civility) , dalam arti masing-masing pribadi dan
kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan
penghargaan, betapapun perbedaan ada tanpa saling memaksakan kehendak,
pendapat atau pandangan sendiri.
Ide pluralisme adalah ide yang dibuat-buat, jauh dari realita dan ditujukan
kepada kaum muslimin untuk menjauhkan ummat Islam dari ajaran Islam yang
mulia. Pluralisme menjadikan seorang muslim tunduk kepada aturan buatan barat,
menjauhkan diri dari aturan buatan Allah SWT. Masyarakat yang dibina oleh rasul
memang terdiri tidak hanya dari kaum muslimin tapi juga kaum Yahudi yang
disebutkan di dalam piagam Madinah yaitu Yahudi Banu Aus, Banu Najjar, Banu
Harits, Yahudi Saidah, Yahudi Jusman, Yahudi Banu Tsasalab, Jafna, dan Banu
Syutaibah. Dalam piagam itu disebutkan "Bahwa orang Yahudi tersebut satu
ummat dengan orang-orang beriman ". Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang
pada agama mereka dan orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama
mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali
orang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah
akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri. Dan mereka atau pengikutpengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui
naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang
meyetujui naskah perjanjian ini". Hal ini menunjukkan bahwa mereka semua
harus tunduk kepada aturan dari Rasulullah SAW.
Sedangkan "pluralisme" dan "toleransi" yang dimaksud oleh Nurcholis dan
dikuatkan juga oleh Alwi Shihab adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut
bukan hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain tetapai juga terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapai kerukunan dalam
kebhinekaan
Ide pluralisme sebenarnya berasal dari suatu pemahaman mengenai
masyarakat. Ide ini berasal dari ideologi kapitalisme yang memandang bahwa
masyarakat itu tersusun atas individu-individu yang mempunyai berbagai aqidah
54

(keyakinan, pandangan), kemaslahatan, keturunan dan kebutuhan yang berbedabeda. Oleh karena itu mereka (penganut kapitalisme) menganggap telah menjadi
keharusan bahwa masyarakat itu majemuk (berbeda-beda), masing-masing
kelompok memiliki tujuan khusus. Perbedaan-Perbedaan yang dimiliki suatu
masyarakat tersebut harus dijaga karena tidak mungkin dapat disatukan, karena
itu berkait dengan konsep kebebasan individual kapitalisme.
Pluralisme dalam ideologi kapitalisme membolehkan munculnya berbagai
kelompok-kelompok yang berdasar pada sesuatu yang haram. Begitu pula halnya
dalam masalah agama, pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar
agama, toleransi secara luas antar umat beragama. Dalam bidang politikpun
mencerminkan ide pluralisme ini, sebagaimana yang terlihat dalam konstelasi
politik barat yang membolehkan partai-partai yang bersebrangan aqidah dan
azasnya untuk berkoalisi dalam mencapai dominasi politik melawan partai
penguasa. Semua itu boleh karena konsep pluralisme memang membolehkan hal
itu. Jadi ide pluralisme sebenarnya adalah ide yang dibuat-buat karena
kenyataannya di tengah-tengah masyarakat, adalah suatu sistem, dominannya satu
pemikiran dan perasaan tertentu dalam masyarakat. Kecuali yang dimaksud
pluralisme itu adalah kenyataan yang tidak dapat di sanggah bahwa manusia
terdiri dari berbagai ras, suku, warna kulit,bangsa-bangsa bahkan berbagai agama.
Meskipun demikian interaksi yang mengatur hubugan antar manusia yang
bermacam-macam itu harus tunggal. Sebab tidak mungkin misalnya orang
Nasrani melakukan interaksi dengan penganut agama lain sesuai dengan
agamanya, begitu pula kaum muslimin dengan penganut agama lain. Jika
demikian halnya maka masyarakat seperti itu tidak memiliki sistem-aturan yang
baku, pemikiran dan perasaan yang sama. Bisa dibayangkan jika ada suatu negara
yang sistem/aturannya bermacam-macam, tentu dalam kehidupan sosial, politik,
budaya dan militernya akan berantakan.
Adapun musyawarah-demokrasi menurut Nurcholis ialah partisipasi umum
(universal participation) seperti dalam masyarakat Madinah. Dari berbagai
pernyataannya tentang demokrasi, Nurcholis termasuk kelompok orang yang
meyakini 100 % kebenaran paham demokrasi. Bagi kelompok ini demokrasi
55

bagaikan tiket gratis yang telah diciptakan "Tuhan" untuk membawa masyarakat
menuju pada kehidupan yang lebih baik. Menurut mereka cukup banyak ajaran
Islam yang sejalan dengan prinsip demokrasi. Bahkan Islam itu, ya demokrasi itu
sendiri. Karenanya demokrasi mutlak harus diamalkan, dihayati, diperjuangkan,
tak terkecuali oleh umat Islam. Padahal sesungguhnya dalam pandangan Islam
sudah jelas bahwa demokrasi yang berasal dari barat yang kafir yang telah
dijajakan kenegeri-negeri islam itu sebenarnya adalah sistem kufur. Tidak ada
hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung.
Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar
dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya
atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawahnya.
Karena demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan
tujuan untuk membebaskan diri dari kedzaliman dan penindasan para penguasa
terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah sistem yang bersumber
dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu agama.
Dari uraian diatas sangat jelas terlihat bagaimana Nurcholis berusaha
membangun persepsi yang sama antara masyarakat Madani suatu bentuk "Ijtihad
kontemporer" sebagai alternatif konsep ideal masyarakat masa depan Indonesia
dengan masyarakat Rasul di Madinah. Hanya saja ia telah melakukan suatu
penganalogan yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat
masyarakat madinah dari segi kemajemukan semata tanpa mengkaitkan dengan
sistem khas yang telah mengatur tatanan masyarakat madinah tersebut sedemikian
rupa. Jadi apakah masyrakat Madani dalam konsep Nurcholis tersebut lebih dekat
kepada masyarakat Islam di Madinah atau jangan-jangan lebih mirip dengan
masyarakat di Barat?
Dari uraian diatas jelaslah bahwasanya konsep masyarakat Madani tidak
berasal dari Islam tetapi muncul dari pandangan para pengemban mabda
kapitalisme dan sosialisme.
Adapun Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam
azas dan perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum
muslimin.

Masyarakat

tersebut

adalah

masyarakat

yang

didalamnya
56

merealisasikan nilai-nilai khas yang terpancar dari aqidah Islamiyah bukan


egaliter, pluralisme, toleransi apalagi demokrasi.
Oleh karena itu pengusungan ide atau konsep masyarakat Madani ketengahtengah umat adalah malapetaka bagi kaum muslimin, karena merupakan usaha
yang dapat mengaburkan konsep masyarakat ideal didalam Islam dibawah
naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

GLOSARI
aturan hukum Prinsip atau ketentuan yang mengharuskan setiap warga dalam
suatu negara untuk mengikuti atau mentaati hukum.
bangsa Kelompok yang terdiri atas beberapa kelompok masyarakat baik yang
memiliki hubungan etnis, budaya, dan sejarah maupun yang tidak memiliki
hubungan-hubungan tersebut dan menggunakan bahasa yang sama serta memiliki
suatu wilayah tertentu.

57

boikot Pengambilan keputusan secara sepihak untuk tidak memenuhi hal-hal


yang telah disepakati bersama.
checks and balances Mekanisme konstitusional yang memberi kekuasaan
kepada legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan oleh karenanya mereka dapat
memeriksa aktivitas masing-masing.
demokrasi Bentuk pemerintahan di mana kontrol politis diterapkan oleh rakyat
baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih.
demokratis Suatu keadaan yang segala sesuatunya didasarkan pada prinsipprinsip demokrasi.
desentralisasi Penyerahan sebagian kewenangan dalam pemerintahan pusat
kepada pemerintahan daerah.
determinan ekonomi Kepercayaan bahwa semua situasi sosial dan politik
ditentukan oleh lingkungan ekonomi.
eksekutif Pihak yang menjalankan fungsi pemerintahan.
ekstrakurikuler Kegiatan belajar yang alokasi waktunya tidak diatur dalam
susunan program kurikulum.
federal Pemerintah pusat dalam suatu negara yang menganut sistem kesatuan
federal.
federalisme Sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh suatu negara seperti
di Amerika Serikat yang membagi kekuasaan antara tingkat negara-negara bagian
(states) dan nasional (federal).

58

hak asasi manusia Segala hak dasar yang melekat pada diri manusia dan
membentuk kepribadian manusia tersebut.
hak individu Hak yang dimiliki oleh individu antara lain untuk berpikir,
berekspresi, dan berserikat.
indikator/target pencapaian Penjabaran kompetensi dasar secara spesifik yang
dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
inkuiri Salah satu pendekatan dalam mencari atau menyelidiki kebenaran
ilmiah.
inovasi Pembaharuan.
inovatif Suatu karakter yang selalu menunjukkan keinginan atau gagasan yang
mengarah ke pembaharuan.
intrakurikuler Kegiatan belajar yang alokasi waktunya diatur dalam susunan
program kurikulum.
John Locke (1632-1704) Ahli teori kontrak sosial dan filosof ternama tentang
demokrasi liberal klasik.
judicial Upaya menerjemahkan dan/atau menguji suatu produk hukum yang
berlaku melalui sistem peradilan.
kebijaksanaan luar negeri Kebijaksanaan pemerintah di luar batas wilayah
negara, terutama hubungannya dengan negara-negara lain.
kekuasaan Kemampuan atau kapasitas untuk mengendalikan atau mengontrol.

59

koalisi Jika tidak partai politik memenangkan mayoritas kursi di parlemen, dua
atau lebih partai politik akan bergabung untuk membentuk suatu pemerintahan.
Penggabungan seperti itu biasanya tidak stabil dan hidup singkat.
komitmen Kesetiaan atau kesediaan yang ikhlas untuk melakukan sesuatu.
kompetensi dasar Uraian kemampuan yang memadai atas pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang berkenaan dengan standar materi. Kemampuan
dasar harus dapat dikembangkan secara maju dan berkelanjutan seiring dengan
perkembangan siswa untuk menjadi mahir berkinerja dalam memecahkan
masalah. Kompetensi dasar dapat dicapai melalui proses pemahiran yang
dilatihkan dan dialami.
kondusif Mendatangkan, menghasilkan.
konservatif Suatu sifat yang puas dengan sistem seperti adanya dan cenderung
bertahan terhadap perubahan.
konsesus Persetujuan atau mufakat bersama.
konstitusi Dokumen tertulis yang dijadikan pedoman oleh suatu bangsa dalam
menjalankan suatu sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi negara
Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
kontemporer Keadaan atau zaman sekarang.
legislatif Pihak yang menjalankan fungsi pembuatan konstitusi dan undangundang.
liberal Suatu sifat yang suka perubahan cepat, substansial, dan progresif
berdasarkan pada kekuatan legal untuk mencapai tujuan.
60

moderat Suatu sifat yang tidak menerima sepenuhnya suatu perubahan.


nasionalisme Ideologi negara-bangsa.
naturalisasi Suatu keadaan yang terjadi secara alamiah.
negosiasi Proses perumusan masalah melalui pertemuan atau diskusi.
otonomi Pelaksanaan kewenangan untuk membuat dan melaksanakan
keputusan tanpa adanya campur tangan pihak lain.
otonomi daerah Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
otoritas Kewenangan untuk menjalankan suatu peran.
parlemen Dewan Perwakilan Rakyat.
partai politik Kelompok atau organisasi dengan nama tertentu yang memilih
dan menentukan pembentukan pemerintah.
partisipatori Semangat atau keinginan untuk ikut serta bersama-sama dalam
suatu kegiatan.
pemerintahan konstitusional Sistem pemerintahan yang kekuasaannya
dibatasi oleh aturan dalam Konstitusi.
pemerintahan tak terbatas Kekuasaan pemerintah tidak dibatasi melalui
aturan dalam Konstitusi.
61

pemerintahan terbatas Prinsip yang membatasi kekuasaan pemerintah


sebagaimana tercantum dalam Konstitusi.
perwakilan Hak yang diberikan oleh pemilih untuk mewakili pemilih dalam
badan legislatif.
petisi Permohonan atau permintaan.
pluralisme - Proses pembuatan keputusan di mana kehendak orang diwakili oleh
berbagai kelompok.
politik - Cara di mana individu dan kelompok berupaya mempengaruhi
penyelenggaraan pemerintah.
portofolio Koleksi dokumen atau tugas-tugas yang diorganisasikan dan dipilih
untuk mencapai tujuan dan sebagai bukti yang nyata dari seseorang yang
memiliki pertumbuhan dalam bidang pengetahuan, disposisi, dan keterampilan.
radikal Seseorang yang menghendaki perubahan terhadap sesuatu yang ada
secara cepat.
reaksioner Suatu sifat yang suka menanggapi suatu keadaan.
reformasi Suatu bentuk perubahan untuk mengganti suatu sistem yang usang
dengan sistem yang baru.
standar materi Bagian dari struktur keilmuan suatu bahan kajian yang dapat
berupa bidang ajar, gugus isi, proses, keterampilan, konteks, dan atau pengertian
konseptual.

62

sentralisasi Terpusat pada satu arah.


sosialisasi Tindakan untuk menyebarkan gagasan kepada pihak lain.
tirani Kezaliman atau kekejaman.
united nations organization Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang
berkedudukan di New York City, Amerika Serikat.
vandalisme Perusakan kepentingan atau barang milik umum dengan
kesengajaan.
visi Hasil akhir yang dikehendaki di masa depan berdasarkan pada nilai dan
keyakinan (beliefs).
well-informed Suatu sifat atau keadaan yang siap untuk memberi dan
menerima dengan baik.
yudikatif Pihak yang melaksanakan fungsi peradilan.

63

64

Anda mungkin juga menyukai