Diktat Civic Education Jilid 1
Diktat Civic Education Jilid 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan kurikulum merupakan upaya perubahan kualitatif untuk
menanggapi berbagai perkembangan dalam masyarakat dan meningkatkan mutu
pendidikan. Dengan demikian, kurikulum harus dinamik dan responsif terhadap
tuntutan dan perkembangan masyarakat serta kebutuhan dan aspirasi peserta
didik. Di samping itu, kurikulum juga mempunyai makna yang kontributif dalam
rangka untuk menanamkan dan mempertahankan kebanggaan menjadi bangsa
Indonesia melalui pemahaman tentang identitas dan pertumbuhan peradaban
bangsa Indonesia, serta kontribusi Indonesia terhadap peradaban dunia.
Pada awal abad ke-21 banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa
Indonesia.
Salah
satu
diantaranya
adalah
fenomena
globalisasi
yang
B. Rasional
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik
menjadi warganegara yang memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan
atau menjaga keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara
kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara
kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada
semangat kebangsaan --atau nasionalisme-- yaitu pada tekad suatu masyarakat
untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama
walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau
golongannya. [Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998].
Republik Indonesia dapat tetap berdiri sepanjang setiap generasi mampu
mengembangkan pemahaman dan komitmen terhadap prinsip-prinsip kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Konstitusi
Negara Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai
Negara Kesatuan dengan bentuk Republik.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. [Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945]
Rakyat Indonesia sekarang ini, yang telah melakukan reformasi menuju ke
kehidupan demokratis pada penghujung abad ke-21, harus berpikir bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dapat menjadi pendukung dalam mewujudkan
kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
keluarga, civitas akademika, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi
non-pemerintahan.
Demokrasi dalam suatu negara akan tumbuh subur apabila dijaga oleh
warganegara yang memiliki kehidupan demokratis, memberikan suara dalam
perdebatan umum, memilih wakil-wakil yang dapat dimintai tanggung jawab atas
Republik
Indonesia.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
adalah
BAB II
FUNGSI MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
Mata Kuliah Kewarganegaraan berfungsi untuk membentuk warganegara
yang cerdas, terampil, dan berkarakter baik, serta setia kepada bangsa dan negara
Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Mata Kuliah Kewarganegaraan dapat menjadi pengikat untuk menyatukan visi
peserta didik yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan
suku-bangsa tentang budaya kebersamaan atau persatuan yang dapat mendukung
tetap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pada fungsi tersebut, Mata Kuliah Kewarganegaraan harus
dinamis dan mampu menarik perhatian peserta didik, yaitu dengan cara civitas
akademika membantu peserta didik mengembangkan pemahaman baik materi
maupun keterampilan intelektual dan partisipatori dalam kegiatan civitas
akademika yang berupa intra dan ekstra kurikuler. Dengan pembelajaran yang
bermakna, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan dan menerapkan
keterampilan intelektual dan partisipatori yang menghasilkan pemahaman tentang
arti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di samping itu,
peserta didik akan memperoleh keuntungan dan kesempatan dari pembelajaran
yang bermakna untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (politics) dan
penyelenggaraan organisasi yang baik (good governance) pada tingkat kelas dan
civitas akademika mereka sendiri, berpartisipasi dalam simulasi kegiatan
keparlemenan (misalnya, prosedur dengar pendapat dan judicial di lembaga
legislatif), mengamati cara kerja di instansi pemerintahan, belajar bagaimana
anggota pemerintahan dan organisasi non-pemerintahan berusaha mempengaruhi
kebijaksanaan umum dan/atau negara, dan bertemu dengan pejabat-pejabat
publik/pemerintahan.
Keterampilan intelektual dalam Mata Kuliah Kewarganegaraan tidak dapat
terpisahkan dari materi kewarganegaraan sebab untuk dapat berpikir secara kritis
tentang suatu isu, seseorang selain harus mempunyai pemahaman yang baik
tentang isu, latar belakang, dan hal-hal kontemporer yang relevan juga harus
4
BAB III
TUJUAN MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
Mata Kuliah Kewarganegaraan mempunyai tujuan untuk memberikan
kompetensi kepada peserta didik dalam hal:
(1)
(2)
(3)
BAB IV
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Mata Kuliah Kewarganegaraan memiliki tiga ciri khas, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan karakter kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan
bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidimensional yang
memadai untuk menjadi warganegara yang baik.
Isi pengetahuan (body of knowledge) dari Mata Kuliah Kewarganegaraan
diorganisasikan secara interdisipliner dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial
seperti ilmu politik, hukum, tatanegara, psikologi, dan berbagai bahan kajian
lainnya yang berasal dari kemasyarakatan, nilai-nilai budi pekerti, dan hak asasi
manusia dengan penekanan kepada hubungan antara warganegara dan
warganegara, warganegara dan pemerintahan negara, serta warganegara dan
warga dunia.
BAB V
KOMPETENSI MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
A. Kompetensi Umum
Kompetensi-kompetensi yang hendak diwujudkan melalui Mata Kuliah
Kewarganegaraan dibagi ke dalam tiga kelompok: (1) kemampuan untuk
menguasai pengetahuan kewarganegaraan, (2) kemampuan untuk memiliki
keterampilan kewarganegaraan, dan (3) kemampuan untuk menghayati dan
mengembangkan karakter kewarganegaraan. Rincian kompetensi-kompetensi
dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
Kompetensi
untuk
menghayati
dan
mengembangkan
karakter
kewarganegaraan.
8
B. Kompetensi Lulusan
Setelah mempelajari Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dari
pertemuan I sampai VI, peserta didik memiliki: (1) pengetahuan dan (2)
pengalaman belajar untuk menerapkan perilaku dan aturan-aturan yang berlaku,
memiliki kepekaan terhadap lingkungan, menyadari adanya perbedaan kebutuhan
setiap orang, hak dan tanggung jawab sebagai warganegara dalam masyarakat
yang majemuk, serta mengenal prinsip-prinsip atau pilar-pilar dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Setelah mempelajari Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dari
pertemuan VII sampai dengan IX, peserta didik memiliki: (1) pengetahuan tentang
tanggung jawab warganegara, demokrasi, nasionalisme, dan sikap politik, serta
hubungan dengan negara dan bangsa lain; (2) pengalaman belajar; dan (3)
kemampuan berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis.
Setelah mempelajari Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dari pertemuan X
sampai dengan XII, peserta didik memiliki: (1) pengetahuan; (2) pengalaman
belajar; dan (3) kemampuan berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan
Belajar
Kewarganegaraan
sebagai
inovasi
pembelajaran
lain,
peserta
didik
selain
harus
dapat
menguasai
ilmu
tentang
10
atau
mengembangkan
alternatif
pemecahan
masalah
yang
direkomendasikan.
5. mengembangkan rencana tindakan.
6. mengevaluasi pelaksanaan tindakan.
Praktik Belajar Kewarganegaraan pada pertemuan X, XI, dan XII dapat
dilakukan dengan mengaplikasikan metode-metode ilmiah (the application of the
scientific methods) seperti metode pemecahan masalah (problem solving method)
dan metode inkuiri (inquiry method).
11
merumuskan masalah.
2.
3.
4.
mencari data.
5.
6.
7.
8.
9.
menafsirkan data.
10.
11.
2.
3.
mengumpulkan data.
4.
5.
merumuskan kesimpulan.
Hasil pekerjaan peserta didik dari Praktik Belajar Kewarganegaraan yang
12
BAB VII
RAMBU-RAMBU PENGGUNAAN KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN
Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Kuliah Kewarganegaraan memuat
tiga komponen penting, yaitu kompetensi dasar, standar materi, dan Indikator
Pencapaian Hasil Belajar. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Kuliah
Kewarganegaraan memberikan gambaran mengenai seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan karakter kewarganegaraan yang merupakan dasar bagi
terbentuknya warganegara Indonesia yang bertanggung jawab. Peserta didik yang
berinteraksi dengan standar materi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi ini
diharapkan akan mampu mempersiapkan diri secara positif melalui tradisi
kultural-demokratis untuk menjadi warga masyarakat setempat, warganegara
Indonesia yang baik, dan warga dunia sebagai bagian dari keseluruhan umat
manusia.
Dalam penyusunan silabus, para pengembang kurikulum pada tingkat
universitas
dapat
mengembangkan
melakukan
standar
sesuai
materi,
dan
dengan
(2)
kebutuhannya
menambah
atau
untuk:
(1)
mengurangi
13
BAB VIII
KOMPETENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Kompetensi Lulusan:
Peserta didik memiliki: (1) pengetahuan tentang tanggung jawab warganegara,
demokrasi, nasionalisme, dan sikap politik, serta hubungan dengan negara dan
bangsa lain; (2) pengalaman belajar; dan (3) kemampuan berpartisipasi dalam
mewujudkan masyarakat yang demokratis. Demikian halnya pengetahuan,
pengalaman belajar, dan kemampuan untuk berpartisipasi sebagai warganegara
dalam masyarakat yang demokratis.
(Warganegara mempunyai peranan di dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
Peserta didik harus memahami cara untuk berpartisipasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, memiliki keterampilan sebagai seorang warganegara
yang efektif, dan memelihara cara hidup yang demokratis. Menilai, memantau,
dan mempengaruhi kebijaksanaan pada tingkat civitas akademika, daerah, dan
nasional merupakan salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat yang
demokratis).
Praktik Belajar Kewarganegaraan:
Dilakukan dengan cara memilih satu atau lebih kegiatan yang dapat
mengembangkan kemampuan bersikap, berbuat, berpikir kritis, rasional, dan
kreatif.
Kompetensi Dasar:
Berperan untuk menjadi warganegara yang proaktif dalam berbagai kegiatan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Standar Materi
Peranan Warganegara
warganegara
dalam
kehidupan
konstitusi
dan
hukum
mendiskusikan
dalam
memperbaiki
lingkungan
civitas
sosial.
mengidentifikasi kebijaksanaan pemerintah yang
dapat dipantau oleh rakyat.
menilai peranan media yang dapat mempengaruhi
dan membentuk pendapat umum
menganalisis peranan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
untuk
mewujudkan
masyarakat
demokratis
dengan
landasan
kedaulatan
rakyat,
yang
diperintah,
kekuasaan
proses
pembatasan
konstitusional,
hukum
yang
pemerintah
pluralisme
wajar,
secara
sosial
menganut
Nasionalisme
sistem
pemerintahan
kekuatan
nasionalisme
dan
sikap
setelah
politik
berakhirnya
bangsa
masa
17
dan
menganalisis
mengidentifikasi
contoh-contoh
kekuasaan
membuat
18
kebijaksanaan
luar
negeri
kepa
da
pemerintah.
mengidentifikasi
isu-isu
mutakhir
strategi
digunakan
geopolitik
berkenaan
yang
dengan
tersebut.
menguraikan
cara-cara
warganegara
dapat
hal
bagaimana
mempengaruhi
luar
negeri
dengan
aspirasi nasional.
menganalisis bagaimana dan mengapa
politik dalam negeri dapat menentukan
cara dan tindakan kebijaksanaan luar
negeri.
Pengaruh Timbal Balik Hubungan Luar menjelaskan cara-cara Indonesia dan
Negeri Indonesia
negara-negara
lainnya
saling
oleh
Indonesia
diplomatik
19
memecahkan
masalah-masalah
menilai
dampak
signifikan
Indonesia
telah
mengidentifikasi
warganegara
Indonesia
memainkan
kesempatan
untuk
20
BAB IX
PIAGAM JAKARTA
DAN HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA
A. Pengantar
Pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun
KaisarHirohito
dibentuklah
Badan
Penyelidik
Usaha
Persiapan
Soekarno
denganjelas
tentang
bahwa
Pancasila
ia
sendiri
dalam
sidang
mengakui
itu
adanya
21
itu pukul 10:00 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Keesokan harinya
dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta untuk menetapkan UUD.
Ternyata sebelum waktu penetapan Hatta menyampaikan empat
usulan perubahan rancangan UUD yang sudah ditetapkan oleh BPUPKI.
Usulan tersebut sebagai berikut:
1. Kata Mukhadimah diganti dengan kata Pembukaan.
2. Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang Mahaesa.
3. Mencoret kata-kata dan beragama Islam pada pasal 6:1 yang berbunyi
Presiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama Islam.
4. Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun berubah.
Usulan perubahan diterima bulat oleh PPKI. Soekarno juga
menekankan bahwa UUD 1945 tersebut hanyalah sementara, yang akan
diubah oleh MPR setelah Indonesia dalam suasana lebih tenteram. Ada
alasan kuat mengapa Hatta mengajukan empat usulan perubahan. Dalam
buku karya Hatta dengan judul Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 yang dikutip oleh Anshari (1981), Hatta mengatakan bahwa
ia didatangi oleh seorang perwira Jepang, yang ia sendiri lupa namanya,
pada tanggal 17 Agustus 1945 petang. Perwira itu membawa pesan bahwa
bahwa orang Kristen di kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas tujuh
kata dalam Pembukaan UUD.
Walaupun mereka mengakui bahwa tujuh kata itu tidak mengikat
mereka, namun mereka memandang hal itu sebagai diskriminasi terhadap
golongan minoritas. Hatta sendiri sudah menjelaskan kepada perwira
tersebut bahwa ketetapan rancangan UUD merupakan hasil kesepakatan
dua pihak, Islam dan Nasionalis. Perwira tersebut meyakinkan Hatta
bahwa wilayah Indonesia bagian Timur akan menolak bergabung ke
dalam negara persatuan Indonesia. Hatta akhirnya lebih memilih persatuan
ketimbang perpecahan dan menerima keberatan orang Kristen.
24
Tentu saja ketetapan PPKI tersebut membuat sakit hati pihak Islam.
Akan tetapi mereka tidak dapat menolaknya, karena suasana waktu itu
sangat darurat. Mereka masih berpengharapan akan memasukkan misi
mereka di masa yang akan datang.
B. Piagam Jakarta sebagai Sumber Konflik
Pihak Islam fundamentalis tidak menyerah. Mereka masih melihat
peluang perubahan UUD 1945 seperti yang dikatakan Soekarno pada
sidang PPKI. Sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 15
Desember 1955, diadakanlah Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat
untu duduk di Konstituante, sebuah lembaga pembuat UUD sebagai
pengganti UUD 1945. Presiden Soekarno melantik anggota-anggota
Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Partai-partai Islam meraih
230 kursi, sedang partai lainnya (Nasionalis, Kristen, Sosialis, dan
Komunis) meraih 286 kursi.
Pada sidang Konstituante terjadilah perdebatan yang berlarut-larut
tentang dasar negara. Para wakil partai-partai Islam tetap memegang
Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Para wakilwakil lainnya menyetujui kembali kepada UUD 1945. Namun demikian
kedua pokok masalah itu menemui jalan buntu, karena tidak dapat
diputuskan dengan suara sekurang-kurangnya dua pertiga anggota
Konstituante. Menghadapi suasana kritis ini Presiden Soekarno turun
tangan. Pada tanggal 5 Juli ia mengeluarkan dekrit, yang salah satu isinya
ialah pemberlakuan lagi UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.
Bagi sebagian orang Islam Dekrit Presiden mengandung pengertian
hidupnya kembali Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945
dan Piagam Jakarta merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945.
Usaha-usaha untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam agenda
nasional terus berlangsung sampai akhirnya diredam oleh pemerintah
Orde Baru lewat Tap MPR no. II/MPR/1978.
25
Pemberlakuan
Piagam
Jakarta
terhadap
Hubungan
lama yang tidak pernah sampai pada kata sepakat dengan ketulusan hati.
Perdebatan ini menjadi tidak progresif, karena umat Islam garis keras
tidak mau berpikir bagaimana mengatur negara yang majemuk ini dengan
menempatkan semua anasirnya pada posisi yang sama. Alasan klasik yang
dilontarkan selalu saja tentang mayoritas sehingga merasa lebih berhak
untuk mengatur negara ini.
Ketidakpahaman nasabah agama dan negara tidak pernah akan
mencair, jika seluruh umat beragama masih berpikir egois dan melalaikan
perasaan penganut agama lain dan kepentingan bangsa secara serbacakup
(comprehensive). Semestinya agama merupakan urusan pribadi manusia
dengan Allahnya. Baik negara maupun perorangan tidak berhak memaksa
orang lain untuk mengikuti atau menaati agamanya. Memang keruwetan
nasabah agama dan negara acapkali melekat pada Islam, karena Islam
tidak sepenuhnya dipisahkan dengan masalah kenegaraan. Yang patut
menjadi introspeksi bagi umat Islam adalah Islam tanpa negara bukanlah
Islam yang tidak lengkap.
Persengketaan Piagam Jakarta, yang ditambah dengan munculnya
gerakan atas nama Islam untuk mendirikan agama Islam, oleh kalangan
umat lainnya, khususnya Kristen, acapkali diungkit-ungkit sebagai bahaya
laten. Tentunya ini membuka luka lama hubungan antarumat beragama,
khususnya umat Islam dan Kristen. Hal ini makin diperuncing dengan
sikap triumfalistik orang Kristen garis keras dalam penginjilan.
Pemberlakuan Piagam Jakarta tidaklah sama dengan Piagam
Madinah yang dibuat tahun 622. Ada perbedaan hakiki pada hasil yang
dicapainya. Perbedaan tersebut terjadi karena perumusan yang berbeda
antara Piagam Madinah dan Piagam Jakarta. Piagam Madinah tidak ada
tekanan kewajiban dalam hal menganut atau melaksanakan agama
masing-masing. Dengan demikian Piagam Madinah telah melahirkan
persatuan. Kebalikannya dengan Piagam Jakarta yang melahirkan
ancaman perpecahan. Pencatuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta
27
28
BAB X
KEWARGANEGARAAN
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH ISLAM
A. Non-muslim Indonesia Bukan Zimmi
Dalam terminologi fiqhi (fikih) Islam klasik, non-muslim disebut zimmi,
yang diartikan sebagai kaum yang hidup dalam pemerintahan Islam yang
dilindungi keamanan hidupnya dan dibebaskan dari kewajiban militer dan zakat,
namun diwajibkan membayar pajak (jizyah). Akan tetapi, harus dipahami bahwa
pengertian zimmi seperti ini adalah persis yang berlaku di zaman penaklukan
wilayah oleh pemerintahan politik Islam, yang berlangsung secara besar-besaran
sejak zaman Khulafaurrasyidin, kemudian dimapankan dalam zaman Daulah Bani
Umayyah dan Abbasiyah sesudahnya.
Ketika terjadi penaklukan wilayah di zaman itu, maka kaum nonmuslim diberi alternatif, yakni memeluk Islam atau tetap dalam agamanya
dan rela hidup dan diatur oleh pemerintahan politik Islam yang
29
30
niscaya mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
muhajirin. Jika mereka menolak untuk pindah maka beritahukan bahwa mereka
diperlakukan sebagai a`rabnya orang-orang Islam dan terhadap mereka
diberlakukan hukum Islam seperti orang muslim lainnya, tetapi tidak berhak
mendapatkan harta perolehan dan rampasan perang kecuali jika mereka berjihad
bersama dengan muslim lain. Jika mereka tetap menolak status ini, maka
mintalah dari mereka jizyah. Dan jika mereka memenuhinya maka terimalah,
kemudian jaminlah keamanan mereka.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan terhadap nonmuslim di Madinah dengan non-muslim yang mengalami penaklukan politik di
luar Madinah. Non-muslim yang ditaklukkan oleh pasukan Islam di luar Madinah,
diberi sejumlah alternatif pilihan. Salah satu di antaranya ialah tetap menganut
agamanya dan tetap berdiam di negerinya, dan mereka harus membayar pajak.
Mereka inilah yang disebut kaum zimmi, sesuai dengan definisinya dalam
sejumlah buku fikih.
Untuk kita di Indonesia, nenek moyang kita telah berada sejak dahulu dan
hidup di negeri ini sebagai negerinya sendiri. Kemudian penganjur agama Islam
datang, bukan sebagai penakluk terhadap mereka. Mereka datang secara damai
membawa barang dagangan dan dakwah Islam. Kemudian sebagian generasi
bangsa ini menganut Islam, sebagian lagi menganut agama Kristen, Hindu, dan
Budha, dan sebagian masih tetap pada kepercayaan lama. Semua hidup dan punya
hak yang sama di negerinya sendiri.
Setelah bangsa Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda dan Inggris, umat
Islam dan sebagian non-muslim bersama-sama lagi berjuang memerdekakan
bangsa. Karena itu, kasus non-muslim di Indonesia persis sama dengan kasus nonmuslim di Madinah ketika Rasulullah membangun kota itu menjadi sebuah
negara, yakni sama kedudukannya dengan umat Islam yang mayoritas. Karena
sama kedudukannya dengan umat Islam, kemudian terikat oleh satu konstitusi
negara yang mempersatukannya, maka non-muslim di Indonesia dikategorikan
sebagai kelompok mu`ahidun yang punya hak hidup sama dengan muslim tanpa
membayar jizyah. Mereka bersama dengan kaum muslimin membayar pajak,
31
bukan berupa upeti untuk imbalan perlindungan keamanan dari kaum muslimin,
melainkan semata-mata atas kesadaran akan kewajiban bersama membangun
negara. Urusan mempertahankan keamanan adalah kewajiban bersama, seperti
pula dengan praktik di zaman Rasulullah berdasarkan Piagam Madinah, bahwa
muslim dan non-muslim saling melindungi dan bersama-sama menghadapi musuh
mereka dari luar.
Karena itu, sebahagian ketentuan fikih klasik mengenai kaum zimmi (kaum
yang ditaklukkan) tentu saja tidak berlaku untuk non-muslim di Indonesia, sebab
berdasarkan semangat Piagam Madinah di zaman Nabi, non-muslim yang sama
kedudukannya dengan kaum muslimin dalam suatu ikatan konstitusi, diakui
eksistensinya sebagai umat, dan tidak diistilahkan sebagai zimmi. Karena bukan
zimmi, maka jelas; tidak berlaku jizyah.
Jizyah ini, hanya diberlakukan atas mereka yang berstatus zimmi.
Timbulnya pemungutan jizyah atas orang zimmi dimaksudkan sebagai jaminan
kesetiaan mereka kepada negeri dan pemerintahan Islam yang melindungi dan
menjamin keamanannya, yang sebelumnya menaklukkan mereka. Karena itu,
kaum non-muslim yang hidup bersama dengan muslim sejak awal di negerinya
dibebaskan dari jizyah, karena tidak terlibat dalam proses peperangan dan
penaklukan. Bahkan non-muslim yang ditaklukkan lewat peperangan saja, jika
tidak juga terlibat dalam peperangan secara langsung, dibebaskan pula dari jizyah,
seperti anak-anak, perempuan, dan orang tua jompo. Demikian pula para petani
dan peternak yang hanya menekuni profesinya dan tidak melibatkan diri dalam
perang, menurut Imam Ahmad berdasarkan riwayat dari Umar RA, juga tidak
dikenakan jizyah.
Pemungutan jizyah di zaman Rasulullah, berlaku pada tahun 9 H, ketika
jizyah dipungut dari kaum Najran, sebagai kelompok pertama yang dipungut
jizyahnya. Jizyah tidak dipungut dari Bani Taglab, suku Arab yang Kristen,
kecuali sedekah sukarela. Ini karena mereka hidup bersama damai dengan Islam,
dan mereka hanya giat dalam agamanya. Demikian juga riwayat tentang Arab
Kristen dari Bani Tanukh dan Bahra, Umar RA berdamai dengan mereka, tanpa
memungut jizyah, tetapi mereka membayar sendiri sedekah sukarela yang
32
jumlahnya seringkali lebih besar dari jizyah itu sendiri. Karena yang dipungut itu
adalah sedekah, maka para fakir non-muslim juga berhak memperoleh bagian dari
sedekah yang dipungut itu, berdasasrkan hadis Nabi tu`khaz min aghniya-ihim
wa turaddu `ala fuqara-ihim (sedekah itu dipungut dari orang kaya mereka dan
dikembalikan kepada fakir miskin mereka).
B. Konsep Pluralitas dalam Masyarakat Madinah
Perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang
cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam nampak cukup tinggi.
Hal ini ditandai dengan semaraknya aktifitas dan penampilan ummat Islam yang
berusaha mengajak dan mempraktekan syareat Islam secara kaffah, baik secara
individu maupun negara. Perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam
nampak cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan semaraknya aktifitas dan
penampilan ummat Islam yang berusaha mengajak dan mempraktekan syareat
Islam secara kaffah, baik secara individu maupun negara. Namun demikian, ada
juga sekelompok model ummat Islam yang formalistik, dimana dhohirnya
mempraktekan Islam secara formal tetapi kenyataan dalam hidupnya adalah
sekular. Antitesa dari semua ini adalah Islam Liberal yang tidak menghendaki
syareat Islam diterapkan maupun tidak menghendaki adanya simbul-simbul Islam
seperti kalangan formalistik. Oleh Islam Liberal, golongan pertama yang
menghendaki penerapan syareat Islam secara kaffah disebut fundamentalis dan
golongan kedua disebut tradisionalis.
Gerakan Islam Liberal cenderung untuk mengangkat demokrasi sebagai
jalan terbaik bagi msyarakat Muslim yang berkiblat kepada negara-negara Barat
dan Amerika. Sedangkan mereka yang menghendaki Islam sebagai way of life,
tolok ukurnya adalah praktek Rasulullah SAW dalam negara Madinah, sebagai
masyarakat madani yang ideal. Tulisan ini akan menelusuri sejauh mana kualitas
pluralisme yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terhadap masyarakat yang
majemuk itu, sekaligus sebagai masukan kepada Islam Liberal yang menjadikan
ide dasarnya adalah memberi kebebasan (beragama, berfikir, berkeyakinan dan
33
lain-lain) bagi setiap individu dimana mereka diilhami oleh liberalisme Barat
yaitu sebuah paham pemikiran (idiologi) yang muncul di abad ke-16 sampai ke-18
di Barat. Sejumlah tokoh Barat telah menilai sinis kepada Islam sehingga agama
Islam dianggap sebagai belenggu bagi liberalisme.
Seperti Foltaire yang mengatakan bahwa Islam melahirkan fanatisme karena
lebih menekankan dogma, sehingga Islam tidak liberal, karena liberalisme anti
dogma. Sedangkan Montesquieu (penggagas trias politika) berpendapat bahwa
Islam lekat dengan dispotisme, oriental, tiranik, sementara liberalisme anti
dispotisme tiranik. Dan lain-lain pemikir Barat yang sinis terhadap Islam. Maka
tampillah kelompok liberal Islam yang mencoba berfikir untuk mengubah wajah
Islam melalui idiologi liberalisme itu yang ujung-ujungnya menolak Islam yang
paripurna itu (lihat Greg Barton, gagasan Islam Liberal di Indonesia dan Bahaya
Islam Liberal oleh Hartono Ahmad Jaiz).
Menurut
perkiraan para sejarawan, bahwa jumlah tenaga inti warga Yahudi yang ikut
sebagai tentara ada sebanyak 2000 lebih terdiri dari 700 orang dari Bani Qoinuqo,
700 dari Bani Nadhir dan sekitar 700-900 dari Bani Quraidhah.2 Sedangkan
warga lain yang menduduki kota Madinah adalah warga Arab yang berasal dari
Yaman. Mereka terdiri dari dua kabilah yaitu kabilah Aus dan kabilah Khojraj.
Karena jumlah warga Arab dikhawatirkan berkembang, maka warga Yahudi
34
melakukan politik hasud adu domba agar mereka tidak bersatu. Bani Quraidhah
dan Bani Nadhir mendukung kabilah Aus sedangkan Bani Qoinuqo mendukung
kabilah Khojraj. Antara keduanya selalu berseteru. Perseteruan terakhir adalah
perang "Buath", lima tahun sebelum hijrah Rasulullah SAW.
Aisyah meriwayatkan bahwa, "Hari buath adalah hari pendahuluan yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya SAW, dimana pada saat itu terjadi pembunuhan
dan banyak yang terluka, yang menyebabkan mereka masuk Islam." (HR. Bukhori
5/44).
Perdamaian tercapai dengan diangkatnya Abdullah bin Ubay bin Salul
sebagai
pemimpin
mereka.
Tetapi
dengan
hijrahnya
Rasulullah
SAW,
35
Sedangkan Nabi sendiri menghadapi ujian dari mereka yaitu perbuatan makar
yang akan secara bersama membunuhnya. Hal itu diabadikan oleh Al-Qur'an,
surat Al-Anfal: 30, yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir
(Quraisy) berdaya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu
atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka bertipu daya sedang Allah
menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." Allah
melindungi Rasulullah SAW bersama sahabat Abu Bakar sampai ke Madinah dan
kedatangannya disambut oleh kaum Muslimin yang rindu menanti kehadiran
beliau.
Yahudi membunuh muslim itu, karena itu Rasulullah SAW mengusir mereka.
(Ibnul Atsir dalam Al-Kamil 2/65).
Demikian pula Bani Quraidhah yang berkali-kali melanggar janji dan
banyak menimbulkan kejahatan di kalangan kaum Muslimin. Sementara Bani
Nadhir bersekongkol dengan warga kafir dari luar Madinah untuk menyerang
Madinah, padahal dalam perjanjian mereka harus mempertahankannya, sampailah
terjadi perang Ahzab atau Khondak tahun ke-5 H, sehingga mereka pantas diusir.
Pengusiran
warga
Yahudi
dari
Madinah
bukanlah
karena
faktor
Dalam sekup Indonesia, ajakan pluralisme tidak seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW yang disertai dengan peningkatan kualitas warga Muslim dan
perlindungan terhadap mereka, sehingga konsep pluralisme selalu merugikan
ummat Islam karena ketentuan mereka dan gencarnya non Islam melakukan
kampanye kepada ummat Islam melalui berbagai cara baik moril maupun materiil.
Dan cara ini harus dicegah. (Lihat Al-Qur'an surat 109 dan 120).
39
BAB XI
MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY)
A. Pengantar
Suatu masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab adalah wujud dari
suatu masyarakat madani. Masyarakat madani adalah masyarakat yang
berkembang dari rakyat untuk rakyat sendiri. Di dalam kaitan ini masyarakat
madani adalah masyarakat yang berdisiplin sebagai ciri dari suatu masyarakat
industri. Suatu masyarakat industri adalah suatu masyarakat yang serba teratur,
artinya setiap anggota dari masyarakat tersebut adalah masyarakat yang cerdas,
yang well-informed, yang hidup di dalam masyarakat informasi. Dengan
demikian masyarakat madani adalah masyarakat yang mengetahui dan menguasai
sumber-sumber informasi baik di dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
kebudayaan dan keagamaan. Bukan berarti suatu masyarakat madani adalah suatu
masyarakat tanpa kriminalitas. Masyarakat madani adalah masyarakat yang sadar
akan hak-hak warga negara dan kewajibannya. Masyarakat yang hanya mengenal
akan hak-haknya tetapi tidak mengenal dan melaksanakan kewajibannya bukanlah
suatu masyarakat mandiri. Masyarakat madani adalah suatu masyarakat
demokrasi oleh karena setiap warganya mengetahui akan kewajibannya sebagai
warga negara yang bertanggungjawab. Dengan demikian fungsi pemerintah
adalah mengatur dan mengayomi sedangkan pelaksanaan dan perwujudan dari
pada cita-cita mewujudkan negara Pancasila akan lahir dari setiap anggota
masyarakat itu sendiri. Inilah masyarakat Pancasila yaitu masyarakat yang bukan
hanya menghayati tetapi juga mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila di dalam
setiap praktis kehidupan.
B. Peranan Swasta yang Semakin Membesar
Sejalan dengan suksesnya pembangunan nasional dan semakin sejahteranya
rakyat, maka hal ini berarti peranan pemerintah semakin mengecil dan peranan
swasta semakin besar. Peranan semakin mengecil bukan berarti hilangnya
40
41
BAB XII
ISTILAH MASYARAKAT MADANI
DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
A. Pengantar
Asosiasi pengertian "bersantun, berbudaya" dengan "kota" itu sangat
tersebar luas.
Perancis bourgeois, Belanda burgerlijk, Jerman brgerlich itu pun berasal pada
kata burg yang berarti kota, perkotaan. Kata derivasi tersebut dalam ketiga bahasa
ini sekaligus menunjuk kepada klas menengah (middle class) semua. Selain itu,
sejak pertangahan abad ke-19, pengertian gutbrgerlich dalam B.Jerman ini kirakira sama seperti istilah orang baik-baik dalam bahasa Melayu kemarin
(bandingkan juga orangkaya).
Kata-kata Inggeris civil, civic, civilized, civilization itu semua berkaitan
dengan kata Latin civitas yang merupakan asal kata Spanyol ciudad, Perancis cit,
Inggeris city (pinjaman dari bhs Perancis) yang berarti "kota".
Saya pikir, hubungan antara pengertian "beradab, bersantun" dengan
pengertian "kota" itu sangat umum, dan adanya kota yang bernama "kota"
(Madinah) itu mungkin kebetulan. Ini lebih-lebih laga karena pada period
"Klasik" atau Jaman Emasnya kebudayaan Islam/Arab, yaitu periode Kalifat,
yang paling terkenal sebagai pusat-pusat kebudayaan yang halus dan tinggi itu
malah kota-kota seperti Baghdad, Kordoba, dll., sedangkan Madinah kurang
sering disebut.
Saya pikir, kalau kita lihat dari segi sosiologi, pengertian "madani" dan
"masjarakat madani" ini ikatannya dengan pengertian "kota" itu terutama
disebabkan karena pengertian tersebut pertama itu berikatan erat dengan klas
menengah, sedangkan klas menengah itu tipikalnya memang penghuni kota.
Tapi sebelum masuk soal sosiologi itu, masih ada satu salah kaprah
linguistik yang mungkin perlu kita soroti lebih dulu, yaitu aposisi pengertian
42
"civil society" dengan hegemoni ABRI dalam politik. Hal ini tampaknya terjadi
karena terburu-buru menerjemahkan civil society dengan masyarakat sipil.
BIng.
civil
Indonesianya
"bersantun,
madani",
sedangkan
(kweekschool) di Fort de Kock / /Bukittinggi itu, maka banyak juga andil orang
Batak dan Minangkabaunya. Orang Minangkabau itu berkelebihan dengan sudah
adanya tradisi perniagaan pesisiran di Padang (karena setelah Malaka diduduki
Portugis, pelayaran dagang Islam terpaksa mengubengi Sumatra liwat Barat
(maka majulah Aceh, Padang, Bengkulu, Banten). Tak kebetulan, bagian klas
menengah baru yang beragama Islam ini banyak orang Minangkabaunya (orang
Batak banyak beragama Kristen). Pada penglihatan saya, PAN (dan juga
Muhammadiah pada umumnya) banyak mencerminkan klas menengah baru ini
(dalam pengertian "garis besar" tadi). Ini memang lebih berpusat di kota,
ketimbang klas menengah tradisi pesisiran tersebut semula. Itulah mungkin
sebabnya kenapa PAN banyak mendapat suara di kota-kota, dan terutama lagi di
propinsi Sumatra Barat. Kalau tak salah, lumayan juga hasilnya di propinsi Riau,
hal mana mungkin mencerminkan hubungan khusus Sultan di Deli dengan
administrasi kolonial, mengingat artipenting Riau Daratan untuk onderneming
Eropa dulu (terutama penanaman tembakau), dan pencerminan hal itu dalam
persekolahan orang pribumi.
Satu tradisi klas menengah lain lagi yang berakar sejarah cukup mendalam
juga (seperti tradisi klas menengah tersebut pertama tadi), yalah klas menengah
Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan pelayaran Makassar dan Bugis yang tetap
hidup selama periode penjajahan, dan sampai sekarang. Mereka sekarang punya
kedudukan khusus karena akhir 1980-an pemerintahan Orde Baru membuka
peluang khusus untuk kelompok ini dalam struktur ekonomi dan politik yang
dikuasainya. Pada waktu itu sudah dirasakan perlunya ada pembukaan tertentu
kepada klas menengah, hanya saja kurang konsisten dan terbatas pada saluran
"KKN" yang dalam hal Sulawesi Selatan mungkin dilicinkan oleh adanya putra
angkat Pak Harto yang asal dari sana? Pendekkata, dampak politik sektor klas
menengah ini pada penglihatan saya banyak bergerak dalam ICMI, dan partai
Golkar dan PPP. Artinya, ini bagian klas menengah yang tampaknya malah
cenderung akur dengan status quo (atau sekurang-kurangnya menginginkan
perubahan itu "dari dalam/atas"). Hasil pemilu pun kira-kira menunjuk pada
kedudukan demikian.
45
Selain itu masih ada lagi yang lain-lain, seperti klas menengah Aceh (cukup
besar juga, tapi dampak ke luar daerah tidak seperti tiga yang tersebut tadi),
Banjar, Tidore, dll.
Satu hal yang menarik, sebagaimana halnya di Eropa dulu, kebangkitan klas
menengah melawan feodalisme itu berwujudkan perjuangan agama Protestan
(melawan Katolik), maka kebangkitan klas menengah Indonesia, baik pada abad
ke-15 dan 16 melawan feodalism Majapahit, begitupun sekarang waktu
menentang pemerintahan otoriter Orde Baru, bergerak dengan pegangan idiel
agama juga, yaitu agama Islam. Yang menarik, kalau kita bandingkan apa yang
diisukan antara Protestan dan Katolik pada abad ke-15 itu, dan antara Islam dan
Hindu pada zaman Majapahit, kesejajarannya banyak sekali. Dari itu mungkin
dapat dimengerti adanya kebangkitan kembali kesadaran Islam dalam masyarakat
Indonesia sejak dasawarsa 1980-an, yang bertepatan dengan pertumbuhan klas
menengah hasil kemajuan ekonomi itu.
46
BAB XIII
TELAAH KRITIS PARADIGMA
MASYARAKAT MADANI DALAM PRESPEKTIF ISLAM
A. Pengantar
Gaung reformasi terhadap realitas kepolitikan ORBA telah menggiring
pakar ilmu-ilmu sosial melakukan pengkajian paradigma masyarakat ideal
dimasa yang akan datang yaitu masyarakat Madani. Gagasan masyarakat
Madani tersebut dapat dikatakan sebagai reaksi bagi kecendrungan berbagai
analisa terhadap politik di Indonesia, yakni pendekatan negara (state
approach). Menurut Culla pendekatan ini cukup mendominasi berbagai
diskursus politik yang ada sepanjang lebih dari tiga dekade terakhir. Dalam
konteks ini, menurut pendekatan konsep negara tersebut, eksistensi negara
digambarkan sebagai faktor determinan dan paling menentukan proses
politik yang berjalan selama ORBA. Walaupun pada akhirnya kekuasaan
ORBA yang terajut demikian kukuh melalui aliansi strategis antara birokrasi
Golkar dan militer tersebut runtuh. Menurut Arifin "Pelajaran yang dapat
dipetik dari gagalnya ORBA tersebut adalah bahwa kemutlakan
(kemahakuasaan) negara dan ketunakuasaan masyarakat hanya akan
melahirkan berbagai praktek distortif yang dapat meruntuhkan berbagai
tantangan yang ada." Oleh karena itu pembentukan masyarakat Madani
dipandang sebagai suatu keniscayaan agar sejarah kelabu tersebut tidak
terulang kembali. Selain Arifin banyak juga cendekiawan yang menggagas
ide masyarakat Madani ini seperti Nurcholis Majid, Samsudin Haris dan
Muhammad Hatta.
B. Seputar Istilah
Adapun terminologi masyarakat Madani pertama sekali dipopulerkan oleh
Prof Dr.Naquib-Al-Attas, Mujtama madani, yang secara etimologis mempunyai
dua arti :
Pertama, "Masyarakat kota, karena Madani adalah derivat dari kata Bahasa
Arab, Madinah yang berarti kota.Kedua, Masyarakat yang berperadaban, karena
Madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab Tamaddun atau Madaniah
yang berarti peradaban. Dalam Bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau
civilization.maka dari makna ini masyarakat Madani dapat berarti sama dengan
civil society, yaitu masyarakat yang menjujung tingggi nilai-nilai peradaban.".
47
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nurcholis Majid., bahwa istilah tersebut
merujuk kepada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di negeri Madinah.
Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa Nurcholis berusaha melakukan
pendekatan antara konsep masyarakat Madani yang tadinya terlahir sebagai reaksi
terhadap realitas kepolitikan ORBA dengan Islam, yaitu dengan mengidentikan
masyarakat Madani dengan masyarakat Rasulullah di Madinah. Hal ini mudah
untuk dimengerti karena sebenarnya konsep masyarakat Madani yang ingin di
wujudkan di negeri ini sebagai acuan masyarakat ideal yang tidak pernah
terwujud sebelumnya di masa ORBA adalah sebuah konsep masyarakat yang
menjadi prasyarat terciptanya alam demokrasi.
Akar Sejarah Paradigma Masyarakat Madani
Gagasan masyarakat Madani tersebut sebenarnya dilihat dari akar sejarah
kemunculannya bukan merupakan wacana baru. "Gellner telah menelusuri akar
gagasan ini ke masa lampau melalui sejarah peradaban barat (Eropa dan
Amerika), dan antara lain yang menjadi perhatian adalah ketika konsep ini
pertama kali di populerkan secara gamblang oleh pemikir terkenal Skotlandia,
Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil
Society (1767), hingga perkembangan konsep masyarakat Madani lebih lanjut
oleh kalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau, Hegel, Marx dan
Tocqueville, hingga upaya menghidupkan kembali di Eropa Timur dan Barat di
zaman kontemporer."
John Locke seorang pemikir kapitalis mengembangkan istilah civil society
menjadi civillian goverment dan ditulis dalam buku yang berjudul Civillian
Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan
peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan
hak-hak istimewa para bangsawan. Demikian itu demi kepentingan kaum borjuis
yang berkembang setelah itu. Sedangkan JJ Rousseau yang terkenal dengan
bukunya The Social Contract (1762), berbicara tentang otoritas rakyat, dan
perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia untuk ikut menentukan
hari dan masa depannya, serta menghancurkan monooli yang dilakukan oleh
kaum elite yang berkuasa demi kepentingan manusia.
48
49
asosiasi dan institusi, ia dapat dimasuki serta ditinggalkan oleh individu dengan
bebas.
Lebih lanjut Gellner menyatakan bahwa masyarakat Madani tidak hanya
menolak dominasi negara atas dirinya, tetapi juga karena sebagai institusi yang
bersifat non-state, maka dalam penampilan kelembagaanya tidak mendominasi
individu-individu dalam dirinya. Disinilah posisi individu sebagai aktor sosial
yang bebas yang di istilahkan Gellner sebagai manusia moduler (tidak di
pengaruhi kultur), yang menurutnya tidak merupakan prasyarat bagi perwujudan
masyarakat Madani. Jadi masyarakat Madani tidak hanya menerapkan sifat
otonominya terhadap negara, namun dalam konteks internalnya dari sejak
hubungan antar anggotanya, ia juga merupakan institusi yang menghargai
keniscayaan perlunya menghargai otonomi individual.
Sejalan dengan itu Culla mengutip pendapat Hikam, menyatakan bahwa
variabel utama masyarakat madani adalah otonomi (kemandirian), publik & civic,
sesuatu yang meniscayakan demokrasi bagi masyarakat seperti kebebasan dan
keterbukaann untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta
kesempatan sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum.
Sementara Nurcholis dengan "pendekatannya" di atas menyatakan bahwa
masyarakat madani yang di bangun oleh Rasul di Madinah dengan azas yang
tertuang di dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 ciri utama yaitu egalitarianisme,
penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras
dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif),
penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah.
F. Egaliter
Kata egaliter, bermakna kesetaraan. Egalitarian adalah paham yang
mempercayai bahwa semua orang sederajat, sementara egalitarianisme diartikan
sebagai doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia-manusia itu
ditakdirkan sama, sederajat, tidak ada perbedaan kelas dan kelompok. Jadi
masyarakat egaliter atau mayarakat yang mengemban nilai egalitarianisme dapat
digambarkan sebagai mayarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi
51
di
mayarakat
dari
sisi
hak
dan
kewajibannya
tanpa
memandang
52
dilandasi toleransi dan pluralisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain adalah
wujud civility yaitu sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri
sendiri tidak selalu benar, Pluralisme dan toleransi ini merupaka wujud dari
"ikatan keadaban" (bound of civility) , dalam arti masing-masing pribadi dan
kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan
penghargaan, betapapun perbedaan ada tanpa saling memaksakan kehendak,
pendapat atau pandangan sendiri.
Ide pluralisme adalah ide yang dibuat-buat, jauh dari realita dan ditujukan
kepada kaum muslimin untuk menjauhkan ummat Islam dari ajaran Islam yang
mulia. Pluralisme menjadikan seorang muslim tunduk kepada aturan buatan barat,
menjauhkan diri dari aturan buatan Allah SWT. Masyarakat yang dibina oleh rasul
memang terdiri tidak hanya dari kaum muslimin tapi juga kaum Yahudi yang
disebutkan di dalam piagam Madinah yaitu Yahudi Banu Aus, Banu Najjar, Banu
Harits, Yahudi Saidah, Yahudi Jusman, Yahudi Banu Tsasalab, Jafna, dan Banu
Syutaibah. Dalam piagam itu disebutkan "Bahwa orang Yahudi tersebut satu
ummat dengan orang-orang beriman ". Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang
pada agama mereka dan orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama
mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali
orang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah
akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri. Dan mereka atau pengikutpengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui
naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang
meyetujui naskah perjanjian ini". Hal ini menunjukkan bahwa mereka semua
harus tunduk kepada aturan dari Rasulullah SAW.
Sedangkan "pluralisme" dan "toleransi" yang dimaksud oleh Nurcholis dan
dikuatkan juga oleh Alwi Shihab adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut
bukan hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain tetapai juga terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapai kerukunan dalam
kebhinekaan
Ide pluralisme sebenarnya berasal dari suatu pemahaman mengenai
masyarakat. Ide ini berasal dari ideologi kapitalisme yang memandang bahwa
masyarakat itu tersusun atas individu-individu yang mempunyai berbagai aqidah
54
(keyakinan, pandangan), kemaslahatan, keturunan dan kebutuhan yang berbedabeda. Oleh karena itu mereka (penganut kapitalisme) menganggap telah menjadi
keharusan bahwa masyarakat itu majemuk (berbeda-beda), masing-masing
kelompok memiliki tujuan khusus. Perbedaan-Perbedaan yang dimiliki suatu
masyarakat tersebut harus dijaga karena tidak mungkin dapat disatukan, karena
itu berkait dengan konsep kebebasan individual kapitalisme.
Pluralisme dalam ideologi kapitalisme membolehkan munculnya berbagai
kelompok-kelompok yang berdasar pada sesuatu yang haram. Begitu pula halnya
dalam masalah agama, pluralisme diekspresikan dalam bentuk dialog antar
agama, toleransi secara luas antar umat beragama. Dalam bidang politikpun
mencerminkan ide pluralisme ini, sebagaimana yang terlihat dalam konstelasi
politik barat yang membolehkan partai-partai yang bersebrangan aqidah dan
azasnya untuk berkoalisi dalam mencapai dominasi politik melawan partai
penguasa. Semua itu boleh karena konsep pluralisme memang membolehkan hal
itu. Jadi ide pluralisme sebenarnya adalah ide yang dibuat-buat karena
kenyataannya di tengah-tengah masyarakat, adalah suatu sistem, dominannya satu
pemikiran dan perasaan tertentu dalam masyarakat. Kecuali yang dimaksud
pluralisme itu adalah kenyataan yang tidak dapat di sanggah bahwa manusia
terdiri dari berbagai ras, suku, warna kulit,bangsa-bangsa bahkan berbagai agama.
Meskipun demikian interaksi yang mengatur hubugan antar manusia yang
bermacam-macam itu harus tunggal. Sebab tidak mungkin misalnya orang
Nasrani melakukan interaksi dengan penganut agama lain sesuai dengan
agamanya, begitu pula kaum muslimin dengan penganut agama lain. Jika
demikian halnya maka masyarakat seperti itu tidak memiliki sistem-aturan yang
baku, pemikiran dan perasaan yang sama. Bisa dibayangkan jika ada suatu negara
yang sistem/aturannya bermacam-macam, tentu dalam kehidupan sosial, politik,
budaya dan militernya akan berantakan.
Adapun musyawarah-demokrasi menurut Nurcholis ialah partisipasi umum
(universal participation) seperti dalam masyarakat Madinah. Dari berbagai
pernyataannya tentang demokrasi, Nurcholis termasuk kelompok orang yang
meyakini 100 % kebenaran paham demokrasi. Bagi kelompok ini demokrasi
55
bagaikan tiket gratis yang telah diciptakan "Tuhan" untuk membawa masyarakat
menuju pada kehidupan yang lebih baik. Menurut mereka cukup banyak ajaran
Islam yang sejalan dengan prinsip demokrasi. Bahkan Islam itu, ya demokrasi itu
sendiri. Karenanya demokrasi mutlak harus diamalkan, dihayati, diperjuangkan,
tak terkecuali oleh umat Islam. Padahal sesungguhnya dalam pandangan Islam
sudah jelas bahwa demokrasi yang berasal dari barat yang kafir yang telah
dijajakan kenegeri-negeri islam itu sebenarnya adalah sistem kufur. Tidak ada
hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung.
Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar
dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya
atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawahnya.
Karena demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan
tujuan untuk membebaskan diri dari kedzaliman dan penindasan para penguasa
terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah sistem yang bersumber
dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu agama.
Dari uraian diatas sangat jelas terlihat bagaimana Nurcholis berusaha
membangun persepsi yang sama antara masyarakat Madani suatu bentuk "Ijtihad
kontemporer" sebagai alternatif konsep ideal masyarakat masa depan Indonesia
dengan masyarakat Rasul di Madinah. Hanya saja ia telah melakukan suatu
penganalogan yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat
masyarakat madinah dari segi kemajemukan semata tanpa mengkaitkan dengan
sistem khas yang telah mengatur tatanan masyarakat madinah tersebut sedemikian
rupa. Jadi apakah masyrakat Madani dalam konsep Nurcholis tersebut lebih dekat
kepada masyarakat Islam di Madinah atau jangan-jangan lebih mirip dengan
masyarakat di Barat?
Dari uraian diatas jelaslah bahwasanya konsep masyarakat Madani tidak
berasal dari Islam tetapi muncul dari pandangan para pengemban mabda
kapitalisme dan sosialisme.
Adapun Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam
azas dan perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum
muslimin.
Masyarakat
tersebut
adalah
masyarakat
yang
didalamnya
56
GLOSARI
aturan hukum Prinsip atau ketentuan yang mengharuskan setiap warga dalam
suatu negara untuk mengikuti atau mentaati hukum.
bangsa Kelompok yang terdiri atas beberapa kelompok masyarakat baik yang
memiliki hubungan etnis, budaya, dan sejarah maupun yang tidak memiliki
hubungan-hubungan tersebut dan menggunakan bahasa yang sama serta memiliki
suatu wilayah tertentu.
57
58
hak asasi manusia Segala hak dasar yang melekat pada diri manusia dan
membentuk kepribadian manusia tersebut.
hak individu Hak yang dimiliki oleh individu antara lain untuk berpikir,
berekspresi, dan berserikat.
indikator/target pencapaian Penjabaran kompetensi dasar secara spesifik yang
dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
inkuiri Salah satu pendekatan dalam mencari atau menyelidiki kebenaran
ilmiah.
inovasi Pembaharuan.
inovatif Suatu karakter yang selalu menunjukkan keinginan atau gagasan yang
mengarah ke pembaharuan.
intrakurikuler Kegiatan belajar yang alokasi waktunya diatur dalam susunan
program kurikulum.
John Locke (1632-1704) Ahli teori kontrak sosial dan filosof ternama tentang
demokrasi liberal klasik.
judicial Upaya menerjemahkan dan/atau menguji suatu produk hukum yang
berlaku melalui sistem peradilan.
kebijaksanaan luar negeri Kebijaksanaan pemerintah di luar batas wilayah
negara, terutama hubungannya dengan negara-negara lain.
kekuasaan Kemampuan atau kapasitas untuk mengendalikan atau mengontrol.
59
koalisi Jika tidak partai politik memenangkan mayoritas kursi di parlemen, dua
atau lebih partai politik akan bergabung untuk membentuk suatu pemerintahan.
Penggabungan seperti itu biasanya tidak stabil dan hidup singkat.
komitmen Kesetiaan atau kesediaan yang ikhlas untuk melakukan sesuatu.
kompetensi dasar Uraian kemampuan yang memadai atas pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang berkenaan dengan standar materi. Kemampuan
dasar harus dapat dikembangkan secara maju dan berkelanjutan seiring dengan
perkembangan siswa untuk menjadi mahir berkinerja dalam memecahkan
masalah. Kompetensi dasar dapat dicapai melalui proses pemahiran yang
dilatihkan dan dialami.
kondusif Mendatangkan, menghasilkan.
konservatif Suatu sifat yang puas dengan sistem seperti adanya dan cenderung
bertahan terhadap perubahan.
konsesus Persetujuan atau mufakat bersama.
konstitusi Dokumen tertulis yang dijadikan pedoman oleh suatu bangsa dalam
menjalankan suatu sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi negara
Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
kontemporer Keadaan atau zaman sekarang.
legislatif Pihak yang menjalankan fungsi pembuatan konstitusi dan undangundang.
liberal Suatu sifat yang suka perubahan cepat, substansial, dan progresif
berdasarkan pada kekuatan legal untuk mencapai tujuan.
60
62
63
64