Anda di halaman 1dari 10

Tujuan dan Manfaat mempelajari etika

Tujuan menerapkan atau mempelajari etika di masyarakat, yaitu:


1. Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan
buruknya perilaku atau tindakan manusia dalam ruang dan waktu
tertentu.
2. Mengarahkan perkembangan masyarakat menuju suasana yang harmonis,
tertib, teratur, damai dan sejahtera.
3. Mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan
secara otonom.
4. Etika merupakan sarana yang memberi orientasi pada hidup manusia.
5. Untuk memiliki kedalaman sikap; untuk memiliki kemandirian dan
tanggung jawab terhadap hidupnya.
6. Mengantar manusia pada bagaimana menjadi baik.
7. Sebagai norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu
norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh
norma itu terhadap norma yang dapat berlaku
8. Etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, artinya norma yang
tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis dengan sendirinya
akan kehilangan haknya Etika mempersolakan pula hak setiap lembaga
seperti orangtua, sekolah, negara dan agama untuk memberikan perintah
atau larangan yang harus ditaati
9. Etika memberikan bekal kepada manusia untuk mengambil sikap yang
rasional terhadap semua norma
10.Etika menjadi alat pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab bagi
seorang ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang ambingkan
oleh norma-norma yang ada.
Jadi kesimpulannya tujuan untuk mempelajari etika adalah untuk menciptakan
nilai moral yang baik. Etika harus benar-benar dimiliki dan diterapkan oleh setiap
manusia, sebagai modal utama moralitas pada kehidupan di masyarakat. Etika
yang baik, mencerminkan perilaku yang baik, sedangkan etika yang buruk ,
mencerminkan perilaku kita yang buruk dan akan menciptakan suatu keluaran
yaitu berupa penilaian di masyarakat.
Manfaat etika menurut (Ketut Rinjin, 2004) yaitu :

1. Manusia hidup dalam jajaran norma moral, religius, hukum, kesopanan,


adat istiadat dan permainan. Oleh karena itu, manusia harus siap
mengorbankan sedikit kebebasannya.
2. Norma moral memberikan kebebasan bagi manusia untuk bertindak
sesuai dengan kesadaran akan tanggung jawabnya (human act bukan an
act of man). Menaati norma moral berarti menaati diri sendiri, sehingga
manusia menjadi otonom dan bukan heteronom.
3. Sekalipun sudah ada norma hukum, etika tetap diperlukan karena norma
hukum tidak menjangkau wilayah abu-abu, norma hukum cepat
ketuinggalan zaman, sehingga sering terdapat celah-celah hukum, norma
hukum sering tidak mampu mendeteksi dampak secara etis dikemudian
hari, etika mempersyaratkan pemahaman dan kepedulian tentang

kejujuran, keadilan dan prosedur yang wajar terhadap manusia, dan


masyarakat, asas legalitas harus tunduk pada asas moralitas.
4. Manfaat etika adalah mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam
mengambil keputusan secara otonom, mengarahkan perkembangan
masyarakat menuju suasana yang tertib, teratur, damai dan sejahtera.
5. Perlu diwaspadai nahwa power tend to corrupt, the end justifies the
means serta pimpinan ala Machiavellian, yang galak seperti singa dan
licin seperti belut.

Jadi manfaat mempelajari etika adalah, menciptakan standar diri yang baik di
mata masyarakat, mengetahui tingkat kualitas yang baik dan dapat
membedakan prilaku di masyarakat.
Teori Normatif Etika
Etika sering dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran-ukuran
atau norma-norma yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai
perbuatan dan tingkah laku seseorang dalam bermasyarakat. Etika normatif ini
berusaha mencari ukuran umum bagi baik dan buruknya tingkah laku.
Menurut Katt Soff yang dimaksud dengan etika normatif adalah sering dipandang
sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran-ukuran atau norma-norma yang
dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan dan tingkah laku
seseorang dalam bermasyarakat. Etika normatif ini berusaha mencari ukuran
umum bagi baik buruknya tingkah laku.
Etika normatif dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku
manusia yang berkaitan dengan baik buruknya perbuatan atau tingkah laku
dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara tradisional, etika normatif (juga dikenal sebagai teori moral) adalah studi tentang apa
yang membuat tindakan yang benar dan salah. Teori-teori ini menawarkan sebuah prinsip
moral yang menyeluruh yang satu dapat mengajukan banding dalam menyelesaikan
keputusan moral yang sulit.
Pada pergantian abad ke-20, teori-teori moral menjadi lebih kompleks dan tidak lagi sematamata berkaitan dengan kebenaran dan kesalahan, namun tertarik dalam berbagai macam
status moral. Selama abad pertengahan, studi tentang etika normatif menurun sebagai metaetika tumbuh di menonjol. Fokus pada meta-etika itu sebagian disebabkan oleh fokus
linguistik yang kuat dalam filsafat analitik dan oleh popularitas positivisme logis.
Dua perspektif terkemuka telah dikembangkan dalam menanggapi pertanyaan normatif ini.
Satu didasarkan pada gagasan tugas dan disebut etika deontologis, yang lain berfokus pada
konsekuensi dan umumnya disebut sebagai etikas teleologis. Kedua perspektif ini, bersama
dengan dua teori terkemuka lainnya, etika moralitas dan teori moral, akan dibahas dalam bab
ini.
A. Etika Deontologis

Teori Non-Konsekuensi lebih dikenal dengan teori Deontologi. Istilah deontologi


berasal dari kata Yunani deon yang berarti kewajiban. Dalam pemahaman teori
Deontologi memang terkesan berbeda dengan Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme
menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensi, maka dalam Deontologi
benar-benar melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Dalam
suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi perbuatan tidak
boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan dilihat dari hasilnya
melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan. Deontologi menekankan
perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadi
perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat agar
sesuatu yang dihasilkan itu baik.
Contoh : Misalkan kita tidak boleh mencuri, berdusta untuk membantu
orang lain, mencelakai orang lain melalui perbuatan ataupun ucapan,
karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena
ini merupakan suatu keharusan.

Pendukung utama dari posisi deontologis adalah Immanuel Kant. Posisinya


didasarkan pada dua prinsip dasar: Alasan dan hormat. Kant menganjurkan bahwa
pertanyaan Socrates ', bagaimana saya harus bersikap? harus dijawab melalui
penalaran deduktif. Ketika alasan diterapkan untuk dilema ini, Kant menunjukkan
bahwa kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kita harus bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsip universal yang berlaku, terlepas dari konsekuensi dari tindakan.
Mengetahui apa yang harus dilakukan dalam situasi apa pun akan ditentukan oleh
prinsip-prinsip universal, terlepas dari konteks dan konsekuensi dari tindakan tertentu.
Sebagai contoh masalah pencurian. Jika kita tergoda untuk mencuri, Kant
menunjukkan bahwa kita bertanya kepada diri sendiri apakah kita bisa menerima
bahwa kami anak-anak, tetangga, karyawan, dan sebagainya diizinkan untuk mencuri
di akan. . . dari kami!? Kami kemudian dapat menyimpulkan bahwa mencuri adalah
selalu salah, apa pun kondisinya. Menurut Kant etika seperti prinsip, atau aturan,
yang harus senantiasa taat tanpa pengecualian, suatu imperatif kategoris.
Kedua, bagaimanapun, Kant berpendapat bahwa kita memiliki kewajiban untuk
merawat orang lainnya dalam diri mereka sendiri dan untuk bertindak dengan cara
yang menghormati kapasitas mereka untuk bertindak. Kant menunjukkan bahwa siapa
pun yang berperilaku sesuai dengan kedua prinsip-prinsip ini dapat digambarkan
sebagai bertindak keluar dari tugas dan karena itu bertindak secara etis.
Mari kita menerapkan posisi Kant khusus untuk akuntansi. Bagaimana tindakan
seorang akuntan individu dibenarkan dari perspektif Kant? Ketika seorang akuntan
menghadapi dilema etika, mereka harus mempertimbangkan apakah mereka ingin
kursus yang diusulkan mereka dari tindakan untuk menjadi hukum universal. Namun,
kita juga perlu mempertimbangkan apakah fungsi normal dari profesi akuntansi dapat
dibenarkan dari perspektif Kantian. Apakah sistem ekonomi yang berfungsi akuntansi,
baik itu kapitalis, perintah atau campuran keduanya, memperlakukan individu sebagai
sarana atau berakhir?
Posisi Kant umumnya dikritik karena terlalu umum untuk membantu karena
mengabaikan spesifik situasi individu. Ambil contoh kasus seorang ibu muda dalam
perawatan intensif yang telah terlibat dalam kecelakaan mobil yang buruk.

Teori keadilan dari John Rawls merupakan upaya untuk memajukan posisi
deontologis lanjut. Rawls menunjukkan bahwa sementara, sebagai individu, kita
mungkin bisa melihat logika kategoris imperatif dan setuju bahwa itu adalah penting
untuk memperlakukan manusia lain dengan hormat, kami butuh bantuan dalam
penyusunan prosedur untuk prinsip ini. Solusi nya datang dalam bentuk 'selubung
ketidaktahuan'. Menurut Rawls, memutuskan suatu tindakan yang menghormati orang
lain mengharuskan saya menempatkan diri di 'posisi asli', di balik selubung
ketidaktahuan. Dari posisi asli kesetaraan, notknowing saya mungkin menjadi apa
atau siapa, Karena itu saya terdorong untuk menanggapi proposisi Sokrates, dengan
menempatkan diri di posisi orang yang terkena keputusan, atau setidaknya setiap
kategori individu, karena saya lakukan tidak tahu apakah saya akan menjadi salah satu
dari orang-orang.
B. Etika Teleologis
Perbedaan standar dalam literatur normatif umumnya ditarik antara etika deontologis
di satu sisi dan perspektif etika teleologis di sisi lain. Sementara posisi deontologis
berfokus pada kebenaran atau kesalahan dari tindakan itu sendiri, posisi teleologis
menetapkan moralitas dari suatu tindakan tertentu dengan mengacu pada konsekuensi
dari tindakan itu. Ambil contoh pencurian dibahas sebelumnya. Dari pencurian
perspektif deontologis dapat dianggap salah secara moral karena jenis tindakan itu
(yakni bertentangan dengan imperatif kategoris karena kita tidak bisa akan hal itu
sebagai hukum universal), terlepas dari apakah atau tidak tindakan menghasilkan
konsekuensi yang baik, misalnya dalam kasus Robin Hood. Sebaliknya, teleologists
berpendapat bahwa kebenaran atau kesalahan dari tindakan dapat dibentuk dengan
mengacu pada konsekuensinya.
Teori konsekuensialis didasarkan pada perbedaan penting antara perbuatan baik dan
tujuan. Dengan kata lain, menentukan apakah suatu tindakan tertentu adalah benar
atau salah adalah berdasarkan konsekuensi dari tindakan dalam kaitannya dengan
tujuan yang telah ditentukan. Misalkan Anda adalah pengontrol keuangan dari
mediumsized
produsen pakaian. Perusahaan ini berusaha untuk memutuskan apakah untuk
melakukan outsourcing bagian dari proses produksi untuk Indonesia.
Etika teleologis terbagi menjadi dua aliran teleologisme yaitu sebagai berikut :

1. Teori Egoisme
Artinya pandangan bahwa tindakan setiap orang bertujuan untuk mengejar
kepentingan atau memajukan dirinya sendiri atau menekankan kepentingan dan
kebahagiaan untuk pribadi berdasarkan hal yang menyenangkan dan atau hal yang
mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri.

2. Teori Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata
Inggris utility yang berarti bermanfaat (Bertens, 2000). Menurut teori ini, suatu
tindakan dapat dikatan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota
masyarakat, atau dengan istilah yang sangat terkenal the greatest happiness of the
greatest numbers. Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis
terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut
pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut
kepentingan orang banyak (kepentingan bersama, kepentingan masyarakat).

Paham utilitarianisme dapat diringkas sebagai berikut :


1) Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan
atau hasilnya).
2) Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting
adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
3) Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.

https://naynaimah.wordpress.com/2015/03/05/tujuan-dan-manfaat-mempelajarietika-dan-kode-etik/
Rindjin, Ketut. 2004. Etika Bisnis dan Implementasinya. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
https://khoyunitapublish.wordpress.com/2013/12/10/teori-teori-etika/
http://silvi-sosioteknologi.blogspot.co.id/2009/12/teori-etika.html
https://taufananggriawan.wordpress.com/2011/10/10/a-etika-teleologi-bdeontologi-c-teori-hak-d-teori-keutamaan-virtue/
http://belajarkomunikasilagi.blogspot.co.id/2012/11/etika-deskriptif-dan-normatif.html
Etika normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh
manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai
dalam hidup ini jadi etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar
manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan
kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat (Ruslan, 2002 : 38).
Menurut Katt Soff yang dimaksud dengan etika normatif adalah sering dipandang sebagai
suatu ilmu yang mengadakan ukuran-ukuran atau norma-norma yang dapat dipakai untuk
menanggapi atau menilai perbuatan dan tingkah laku seseorang dalam bermasyarakat.
Etika normatif ini berusaha mencari ukuran umum bagi baik buruknya tingkah laku.
Etika normatif dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia
yang berkaitan dengan baik buruknya perbuatan atau tingkah laku dalam kehidupan
bermasyarakat.

Etika normatif ditinjau berdasarkan dari teori terdiri dari dua yaitu :
a. Teori deontologis
Deontologis berasal dari bahasa Yunani Deon artinya kewajiban. Artinya etika
deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik, suatu tindakan
itu baik bukan dinilai dari tindakan tersebut, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri
sebagai baik pada dirinya, motivasi, kemauan dengan niat baik dan dilaksanakan
berdasarkan kewajiban dan bernilai moral.
b. Teori teleologis
Teleologis bahasa Yunani dengan kata Telos berarti tujuan yaitu menjelaskan bahwa
benar salahnya tindakan tersebut justru tergantung dari tujuan yang hendak dicapai atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Suatu tindakan dinilai baik
kalau berakibat atau bertujuan mencapai sesuatu yang baik pula (Sony, 1993 : 29-30).
Etika teleologis terdapat dua aliran teleologisme yaitu sebagai berikut :
1. Egoisme
Artinya

pandangan

bahwa

tindakan

setiap

orang

bertujuan

untuk

mengejar

kepentingan atau memajukan dirinya sendiri atau menekankan kepentingan dan


kebahagiaan untuk pribadi berdasarkan hal yang menyenangkan dan atau hal yang
mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
2. Utilitarianisme
Menilai perbuatan baik buruknya suatu tindakan atau kegiatan berdasarkan tujuan atau
akibat dari tindak tersebut bagi kepentingan orang banyak atau dinilai baik karena dapat
memberikan kegunaan atau manfaat perorangan bagi banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA
Katt Soff Louis. O, 1953, Elements of Philosophy The Ronald Press Company, New York.
Katt Soff Louis. O, 1992, Pengantar Filsafat Alih Bahasa Soejono Soemargono, Tiara Wacana,
Yogyakarta.
Keraf A. Sonny, 1991, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, Jakarta,
Kanisius.
Ruslan Rosady, 2002, Etika Kehumasan Konsepsi dan Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Suseno Frans Magnis, 1987, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,
Yogyakarta.
Sumarno, Kismiyati El Kariman, Ninis Agustini Damayani, 2004, Filsafat dan Etika Komunikasi,
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta.

BAB I PENJELASAN ETIKA NORMATIF Secara umum etika, bisa dikelompokan


dalam tiga kategori, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika (K.
Bertens: 2005). Sedangkan menurut para penulis lain dikelompokan dam dua
katagori, yaitu etika deskriptif dan etika normatif saja (A. Sonny Keraf: 2005). I.1
DEFINISI DAN PENJELASAN ETIKA NORMATIF Etika normatif yaitu etika yang
berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya
dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika
normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan
kerangka tindakan yang akan diputuskan. Etika normatif tidak berbicara lagi
tentang gejala-gejala, melainkan tentang apa yang sebenarnya harus merupakan
tindakan kita. Dalam etika normatif, norma-norma dinilai, dan sikap manusia
ditentukan (Hamersma, 1994:24). Jadi, etika normatif berbicara mengenai
pelbagai norma yang menuntun tingkah laku manusia. Etika Normatif memberi
penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana
seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak
yang baik dan menghindari yang jelek. Hal yang sama juga dirumuskan Bertens
(1993:18) dengan mengatakan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif
melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan
benar-tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Untuk itu ia mengadakan
argumentasi-argumentasi. Jadi, ia mengemukakan alasan-alasan mengapa suatu
anggapan moral dapat dianggap benar atau salah. Berbeda dengan etika
deskriptif yang bersifat penggambaran dan melukiskan sebuah peristiwa yang
terjadi dan berkembang di masyarakat. Para ahli etika normatif dalam
bahasannya tidak bertindak sebagai penonton netral saja, tetapi yang
bersangkutan melibatkan diri dengan kajian penilaian tentang perilaku manusia.
Penilaian baik dan buruk mengenai tindakan individu atau kelompok masyarakat
tertentu dalam etika normatif selalu dikaitkan dengan normanorma yang dapat
menuntun manusia untuk bertindak secara baik dan menghindarkan hal hal yang
buruk sesuai dengan kaidah dan norma yang disepakati dan berlaku di
masyarakat. Dalam pembahasan etika normatif, seorang ahli memberikan suatu
argumentasi argumentasi yang mengemukakan latar belakang mengapa suatu
perilaku dianggap baik atau buruk sisertai analisis moral yang dianggap benar
dan salah yang bertumpu kepada norma norma atau prinsip prinsip etis yang
dapat dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun empiris. Para ahli
memberikan penilaian objektif yang mempertimbangkan seluruh situasi dari
individu atau kelompok masyarakat yang melakukan suatu tindakan didasari
acuanacuan yang meliputi kondisi fisik, psikologi, pendidikan, budaya dan
sebagainya. Nilai Normatif adalah suatu hal yang preskriptif (memerintahkan) ,
jadi merupakan suatu hal hal yang tidak dapat ditawar tawar lagi karena
memberlakukan suatu kondisi perilaku individu atau kelompok masyarakat
didasari oleh suatu penilaian moral. BAB II PENERAPAN ETIKA NORMATIF Dalam

etika normatif ini, subyek yang bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton
netral, tetapi dia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang
prilaku individu, masyarakat, dan kebudayaannya. Penilaian tersebut dibuat atas
dasar norma-norma. Martabat manusia harus dipelihara dan dihormati dapat
dianggap sebagai contoh norma tersebut. Contoh penerapan etika normatif
adalah, 1. Kebiasaan minum tuak harus ditolak, karena dapat menghilangkan
kesadaran manusia dan merusak organ tubuhnya. 2. Kebiasaan prostitusi, harus
ditolak, karena bertentangan dengan martabat manusia. 3. Kebiasaan
menggunakan NARKOBA harus ditolak karena dapat merusak organ tubuh
(menyiksa diri sendiri) 4. Dilarang menghilangkan nyawa orang lain yang tidak
bersalah 5. Menolak kebiasaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) karena
dapat merugikan orang lain. 6. Menolak kebiasaan aborsi karena termasuk
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dan menyiksa diri sendiri.
Berdasarkan contoh di atas dapat dirumuskan bahwa etika normatif tidak
deskriptif, melainkan preskriptif (memerintahkan). Etika normatif tidak
menggambarkan, tetapi menentukan benar tidaknya suatu perbuatan. Etika
normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat dipergunakan dalam praktek.
BAB III KESIMPULAN Etika normatif menjelaskan tentang norma-norma yang
menjadi rujukan dalam bertindak, yaitu: penilaian dan himbauan kepada
manusia tentang bagaimana harus bertindak sesuai dengan norma yang berlaku,
dan berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang
seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika normatif tidak menggambarkan, tetapi menentukan benar tidaknya suatu
perbuatan. Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat dipergunakan dalam praktek.
DAFTAR PUSTAKA Bertens, K. 1993. Etika. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
http://yusup-doank.blogspot.com/2011/05/etika-profesi-dalam-kerangkaetika.html [Diakses 18 Desember 2011, 12.45 WIB]
http://blog.unsri.ac.id/destyrodiah/etika-profesi/penjelasan-mengenai-etikadeskriptif-etika-normatif-etika-umum-etika-khusus-etika-pribadi-dan-etika- sosialbeserta-contoh/mrdetail/17177/ [Diakses 15 Desember2011, 19.30 WIB]
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Teori Keadilan
Pada tahun 1971, John Rawls menerbitkan A Theory of Justice, patut dicatat dalam mengejar
argumen moral dan menjauhkan diri dari meta-etika. Publikasi ini menetapkan tren untuk
minat baru etika normatif.
John Rawls (1921-2002) adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh sangat besar di
bidang filsafat politik dan filsafat moral. Melalui gagasan-gagasan yang dituangkan di dalam
A Theory of Justice (1971),[1] Rawls menjadikan dirinya pijakan utama bagi perdebatan
filsafat politik dan filsafat moral kontemporer. Para pemikir setelah Rawls hanya punya dua
pilihan: Menyetujui atau tidak menyetujui Rawls. Tidak ada pilihan untuk mengabaikan
Rawls sama sekali. Hal ini dikarenakan jangkauan pemikiran Rawls yang sangat luas dan

dalam, yakni: Upaya untuk melampaui paham utilitarianisme yang sangat dominan di era
sebelum Rawls serta merekonstruksi warisan teori kontrak sosial dari Hobbes, Locke dan
Kant sebagai titik tolak untuk merumuskan sebuah teori keadilan yang menyeluruh dan
sistematis.[2]
Sebagai ilustrasi atas pengaruh besar Rawls dalam bidang filsafat politik dan filsafat moral
tersebut, ada baiknya bila kata-kata dari Robert Nozick, seorang filsuf politik sezaman dan
sekaligus kritikus paling utama bagi pikiran-pikiran Rawls, dikemukakan di sini:
A Theory of Justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat,
mendalam, subtil, luas, sistematik, yang tidak pernah terlihat lagi semenjak karya-karya
John Stuart Mill, atau sebelumnya. Buku ini merupakan sumber mata air ide-ide,
terintegrasi bersama dalam satu kesatuan yang bagus. Para pemikir filsafat politik
sekarang harus bekerja di dalam teori Rawls, atau harus menjelaskan mengapa tidak.[3]
Tanggapan-tanggapan atas pemikiran Rawls dalam A Theory of Justice tersebut datang dari
berbagai kalangan, terutama dari para pemikir yang berada di barisan libertarian, feminis,
pembela utilitarianisme, dan komunitarianisme neo-Aristotelian. Debat antara Rawls dan
pendukungnya di satu sisi, serta pengkritiknya dari kalangan komunitarian neo-Aristotelian di
lain sisi bahkan kemudian menjadi sangat terkenal sebagai debat liberal-komunitarian
dalam percaturan filsafat kontemporer. Beberapa di antara filsuf terkenal yang melibatkan diri
di dalam perdebatan ini adalah Rawls sendiri, Jurgen Habermas, Charles Taylor, Michael
Sandel, dan Michael Walzer.[4]

Kesimpulan-kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan tentang teori keadilan Rawls
ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk
menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika
masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsipprinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya. Titik-tolak Rawls dalam
merancang teori keadilannya adalah konsepsinya tentang person moral yang pada dasarnya
memiliki dua kemampuan moral, yakni: 1) kemampuan untuk mengerti dan bertindak
berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu kerja
sama sosial; dan 2) kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara rasional
mengusahakan terwujudnya konsep yang baik. Rawls menyebut kedua kemampuan ini
sebagai a sense of justice dan a sense of the good.
Kedua, Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya
prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak memihak, prinsipprinsip keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah
keadilan prosedural murni. Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh mereka yang terlibat
dalam proses perumusan konsep keadilan hanyalah suatu prosedur yang fair (tidak memihak)
untuk menjamin hasil akhir yang adil pula.

Ketiga, Rawls menekankan posisi penting suatu prosedur yang fair demi lahirnya keputusankeputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal yang adil. Adapun prosedur yang
fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat iklim kontrak yang memungkinkan lahirnya
keputusan dengan kemampuan menjamin distribusi yang fair atas hak dan kewajiban. Rawls
menegaskan pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses pemilihan prinsip-prinsip
keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya posisi asali (the original
position). Di sini, posisi asali merupakan suatu tuntutan agar keadilan dalam arti fairness bisa
didapatkan. Posisi asali ini juga berfungsi sebagai penghubung antara konsep person moral di
satu pihak, dengan prinsip-prinsip keadilan di lain pihak.
Keempat, Rawls yakin bahwa person-person moral yang melakukan musyawarah dalam
posisi asali pasti akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang dirumuskannya sebagai berikut:
1. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang; 2. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur
sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan member keuntungan bagi setiap orang, dan (b)
semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
Namun demikian, dari gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Rawls tentang teori
keadilan, setidak-tidaknya terdapat empat hal yang perlu ditanggapi secara kritis; 1)
pandangan Rawls tentang subjek yang bersifat abstrak dan atomistik; 2) metode Rawls dalam
merumuskan prinsip-prinsip keadilan yang cenderung terjebak dalam monologi di mana
prinsip keadilan bisa dikonstruksi secara rasional oleh seorang atau sekelompok orang ahli
sembari mengabaikan ruang-ruang dialogis yang bersifat deliberatif; 3) pandangan Rawls
tentang perbedaan sosio-ekonomi yang diperbolehkan sejauh menguntungkan kelompok yang
paling tidak beruntung; dan 4), peluang untuk menerapkan pajak progresif dalam teori
keadilan Rawls telah menjadikan kelompok yang beruntung di dalam masyarakat sebagai alat
untuk kepentingan orang-orang yang tidak beruntung.

Anda mungkin juga menyukai