HALAMAN SAMPUL
KOMPLIKASI PERTUSIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Kesehatan Ilmu Anak
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh:
Nurul Attikah Zain
Diajukan Kepada:
dr. H. Heru Wahyono, Sp.A
HALAMAN PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS
KOMPLIKASI PERTUSIS
Disusun Oleh:
Nurul Attikah Zain
20100310120
Disetujui oleh:
Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Pediatri
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
A.
PENDAHULUAN..................................................................................................1
B.
DEFINISI PERTUSIS............................................................................................1
C.
ETIOLOGI.............................................................................................................2
D.
PATOGENESIS......................................................................................................3
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS.....................................................................................4
F.
DIAGNOSIS BANDING...........................................................................................6
G.
TATALAKSANA..................................................................................................11
H.
KOMPLIKASI.....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16
iii
A.
PENDAHULUAN
Pertusis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif Bordetella pertussis pada
saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas. Diperkirakan pada tahun
2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara sedang
berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak.
Masa inkubasi pertusis 910 hari (620 hari) yang terbagi atas 3 stadium, yaitu:
1) stadium kataral (2-7 hari), stadium paroksismal (1-2 minggu, namun bisa mencapai 8
minggu) adalah karakteristik batuk pertusis terutama pasien anak usia 6 bulan s/d 5
tahun, dan stadium konvalesens. Masa stadium kataral sampai konvalesens dapat
berlangsung sampai berbulan-bulan. Sindrom pertusis memberikan tanda dan gejala
mirip dengan pertusis, namun manifestasi klinisnya ringan dan tidak memiliki stadium
sebagaimana yang disebabkan B. pertussis. Penyebab sindrom pertusis adalah virus dan
bakteri lain diluar B. pertussis.
Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu yang belum
diimunisasi atau imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai angka 100%.
B.pertussis merupakan patogen pada manusia, sedangkan B. bronchiseptica, B.
parapertussis, dan B. holmesii mampu mengakibatkan infeksi saluran napas baik pada
manusia
maupun
mamalia.
B.
bronchiseptica
umumnya
menyerang
yang
DEFINISI PERTUSIS
Pertusis (batuk rejan, whooping cough) adalah infeksi pada saluran pernafasan
akut sangat menular disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Pertusis ditandai
dengan batuk yang diakhiri dengan suara pernafasan dalam bernada tinggi
(melengking). Pertusis bisa menginfeksi individu di semua umur, namun secara
umum bayi kurang dari 6 bulan yang belum imunisasi dan anak-anak 11-18 tahun
dimana kekebalan tubuh terhadap pertusis mulai hilang. Infeksi pertusis yang pertama
tidak selalu memberikan kekebalan penuh. Anak bisa mengalami serangan pertusis
kedua tetapi bersifat ringan dan tidak selalu dikenali sebagai pertusis.
C.
ETIOLOGI
Penyebab
pertusis
adalah
Bordetella
pertusis
atau
Haemoephilus
PATOGENESIS
Bordetella pertusis ditularkan melalui udara setelah memasuki pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi
oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat fase yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit
sistemik.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF),
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas.
Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang
dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis
mempunyai 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan engan
reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi
enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah
infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, sehingga menimbulkan perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran
histamine
dan
serotonin,
efek
memblokir
beta
adrenergic dan
Penumpukan mucus akan menimbulkan mucus plug yang dapat menyebabkan obstruksi
dan kolaps paru.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Curiga pertusis
jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika terdapat kontak dengan
penderita pertusis dan belum diimunisasi atau imunisasi tidak adekuat. Tanda dan gejala
klinis tergantung dari stadium.
1. Stadium Kataral (prodomal, preparoksimal)
Stadium kataral terjadi pada minggu 1-2. Gejala klinisnya minimal menyerupai
common cold, gejala muncul dengan atau tanpa demam, rinorea, konjungtiva, lakrimasi
anoreksi, frekuensi batuk bertambah. Stadium kataral merupakan stadium yang sangat
infeksius.
2. Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal terjadi pada minggu kedua hingga minggu keempat. Batuk
paroksismal yang dicetuskan oleh aktivitas fisik dan stress (kondisi menangis, sedih
atau gembira). Pada stadium ini batuk khas, dimana batuk pada fase inspiratori
(inspiratory whooping), post-tussive vomiting, dapat pula dijumpai muka merah atau
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher
selama serangan, apatis, dan penurunan berat badan. Pada bayi muda memiliki resiko
lebih tinggi untuk terjadi apneu.
3. Stadium Konvalesens
Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan,
dapat terjadi petekie pada kepala atau leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar
crackles difus. Bayi kurang 6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan
gejala seperti hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis, muntahmuntah sampai menimbulkan dehidrasi, kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala
sianosis dan apneic spell, tanpa disertai whoop. Pada beberapa pasien, akan timbul
serangan batuk paroksimal berulang yang sering didiagnosis dengan infeksi saluran
nafas atas.
Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan:
a)
b)
c)
d)
Leukosit dan hitung jenis sel ditemukan leukositosis dengan limfositosis absolut
IgG terhadap toksin pertusis, didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis).
Kultur dari swab nasofaring posterior merupakan Gold standard.
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mengetahui terjadinya oytbreak
pertusis. PCR memiliki sensitivitas tinggi namun juga memiliki angka false
F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding anak yang datang dengan batuk dan atau kesulitan bernapas :
Anamnesis
Perhatikan terutama pada hal berikut:
1.
Batuk dan kesulitan bernapas (lama dalam hari, pola batuk apakah saat malam
atau dini hari, faktor pencetus, paroksismal dengan whoops atau muntah atau
2.
3.
4.
5.
6.
7.
sianosis sentral).
Kontak dengan pasien TB (atau batuk kronik) dalam keluarga
Gejala lain (demam, pilek, wheezing, dll)
Riwayat tersedak atau gejala yang tiba-tiba
Riwayat infeksi HIV
Riwayat imunisasi: BCG, DPT, campak, Hib
Riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll) pada pasien atau keluarga.
Pemeriksaan fisis
Umum
1.
Sianosis sentral
2.
3.
4.
5.
Dada
1.
2.
Napas cepat:
3.
4.
5.
6.
7.
dinding dada bagian bawah tertarik saat anak menarik napas. Bila hanya jaringan lunak
antar iga atau di atas klavikula yang tertarik pada saat anak bernapas, hal ini tidak
menunjukkan tarikan dinding dada bagian bawah.
Abdomen
1.
2.
Tabel 1. Diagnosis Banding Anak umur 2 bulan-5 tahun yang datang dengan
Batuk dan atau Kesulitan Bernapas
DIAGNOSIS
Pneumonia
Bronkiolotis
Asma
Gagal jantung
Bising jantung
Crackles /ronki di daerah basal paru
Pembesaran hati
Sulit makan atau menyusu
Sianosis
Penyakit jantung
bawaan
Bising jantung
Pembesaran hati
Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intra toraks
Efusi/empiema
Tuberkulosis (TB)
Benda asing
Pneumotoraks
10
G. TATALAKSANA
Kasus ringan pada anak-anak umur 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga
pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau
kebiruan setelah batuk.
Penyulit pada pertusis
1. Pneumonia merupakan 90% penyebab kematian. Hal ini disebabkan oleh B.
Pertusis sebagai infeksi sekunder
2. Aktifasi TB laten
3. Atelektasis, ruptur alveoli, emfisema
4. Perdarahan subkonjungtiva
5. Kejang, koma, ensefalitis
6. Dehidrasi, hiponatremia
7. Penurunan BB
Tatalaksana pertusis pada prinsipnya ialah :
1. Pemberian imunisasi DPT untuk mencegah pertusis
2. Isolasi anak dengan pertusis untuk mencegah penularan
3. Pemberian antibiotik eritromisin 50 mg/kg BB/hari pada stadium kataral
4. Nutrisi yang adekuat
Antibiotik
Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis
makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan
menurunkan periode infeksius.
Oksigen
Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau
batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau
kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih
11
dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai
gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi.
Tatalaksana jalan napas
Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah
dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu
pengeluaran sekret. Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. Bila apnu, segera bersihkan jalan napas,
lakukan resusitasi.
Perawatan penunjang
Hindari segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti
pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.
Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin. Obat antitusif
dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam ( 39 C) yang
dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. Beri ASI atau cairan per
oral, jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair
porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres
pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan
mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan
porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui
NGT.
Pemantauan
Anak harus dievaluasi setiap 3 jam, lakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap
serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus
ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan oksigen dan tenaga medis. Edukasi
orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan segera memanggil tenaga medis
bila ini terjadi.
12
Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang
2.
3.
KOMPLIKASI
1) Apneu
2) Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia
bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres
pernapasan secara cepat.
3) Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2
menit, beri antikonvulsan.
4) Ensefalopati
13
Komplikasi neurologis terjadi akibat hipoksia karena batuk atau karena toxin
pertusis. Komplikasi neurologis merupakan komplikasi tersering pada anak-anak.
5) Gizi kurang
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan
makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.
6) Perdarahan dan hernia
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada
terapi khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat.
Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan,
tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.
7) Komplikasi yang jarang terjadi
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain ialah otitis media, anorexia, dan
dehidrasi.
8) Komplikasi karena tekanan intratorakal dan intraabdomen yang tinggi
akibat batuk
Dapat terjadi pneumothorax, epistaxis, subdural hematomas, hernias, and rectal
prolapse.
14
15
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
16