Anda di halaman 1dari 19

REFLEKSI KASUS

HALAMAN SAMPUL

KOMPLIKASI PERTUSIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Kesehatan Ilmu Anak
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:
Nurul Attikah Zain
Diajukan Kepada:
dr. H. Heru Wahyono, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

HALAMAN PENGESAHAN
REFLEKSI KASUS
KOMPLIKASI PERTUSIS

Disusun Oleh:
Nurul Attikah Zain
20100310120

Disetujui oleh:
Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Pediatri
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. H. Heru Wahyono., Sp.A

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
A.

PENDAHULUAN..................................................................................................1

B.

DEFINISI PERTUSIS............................................................................................1

C.

ETIOLOGI.............................................................................................................2

D.

PATOGENESIS......................................................................................................3

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS.....................................................................................4
F.

DIAGNOSIS BANDING...........................................................................................6

G.

TATALAKSANA..................................................................................................11

H.

KOMPLIKASI.....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................16

iii

A.

PENDAHULUAN
Pertusis adalah infeksi akibat bakteri Gram-negatif Bordetella pertussis pada

saluran napas sehingga menimbulkan batuk hebat yang khas. Diperkirakan pada tahun
2008 terjadi 16 juta kasus di seluruh dunia, 95% diantaranya terjadi di negara sedang
berkembang. Angka kematian akibat pertusis mencapai 195.000 anak.
Masa inkubasi pertusis 910 hari (620 hari) yang terbagi atas 3 stadium, yaitu:
1) stadium kataral (2-7 hari), stadium paroksismal (1-2 minggu, namun bisa mencapai 8
minggu) adalah karakteristik batuk pertusis terutama pasien anak usia 6 bulan s/d 5
tahun, dan stadium konvalesens. Masa stadium kataral sampai konvalesens dapat
berlangsung sampai berbulan-bulan. Sindrom pertusis memberikan tanda dan gejala
mirip dengan pertusis, namun manifestasi klinisnya ringan dan tidak memiliki stadium
sebagaimana yang disebabkan B. pertussis. Penyebab sindrom pertusis adalah virus dan
bakteri lain diluar B. pertussis.
Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu yang belum
diimunisasi atau imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai angka 100%.
B.pertussis merupakan patogen pada manusia, sedangkan B. bronchiseptica, B.
parapertussis, dan B. holmesii mampu mengakibatkan infeksi saluran napas baik pada
manusia

maupun

mamalia.

B.

bronchiseptica

umumnya

menyerang

yang

imukompromais seperti pada penderita HIV/AIDS.


Dalam beberapa dekade terakhir, program imunisasi pertusis pada bayi
menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam menurunkan kejadian pertusis berat di
seluruh dunia. Pada tahun 2008, sekitar 82% bayi menerima 3 dosis vaksin pertusis dan
diharapkan mampu menekan angka kematian.
B.

DEFINISI PERTUSIS
Pertusis (batuk rejan, whooping cough) adalah infeksi pada saluran pernafasan

akut sangat menular disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Pertusis ditandai

dengan batuk yang diakhiri dengan suara pernafasan dalam bernada tinggi
(melengking). Pertusis bisa menginfeksi individu di semua umur, namun secara
umum bayi kurang dari 6 bulan yang belum imunisasi dan anak-anak 11-18 tahun

dimana kekebalan tubuh terhadap pertusis mulai hilang. Infeksi pertusis yang pertama
tidak selalu memberikan kekebalan penuh. Anak bisa mengalami serangan pertusis
kedua tetapi bersifat ringan dan tidak selalu dikenali sebagai pertusis.

C.

ETIOLOGI
Penyebab

pertusis

adalah

Bordetella

pertusis

atau

Haemoephilus

pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, din 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius,


traktus gastrointestinalis dan trakturs urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan
suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak anak kecil yang ditandai dengan
batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang. Terdapat tiga stadium
pertusis yaitu stadium kataral (gejala seperti common cold), stadium kedua berupa batuk
berkepanjangan yang dapat menimbulkan komplikasi fraktur iga, dan stadium
konvalesens selama beberapa bulan. Pada stadium konvalesens dapat menimbulkan
komplikasi berupa kerusakan otak.
B.pertusis suatu cocobasilus gram negatif, bersifat obligat, aerob, tidak
membentuk spora dan non motil (tidak bergerak). B. Pertusis didapatkan dengan swab
pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian dikultur pada agar media
Bordet Gengou. Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang
memiliki virulensi tinggi. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis
(TP), protein virulen yang utama (tracheal cytotoxin). Penggolongan serologis
tergantung pada aglutinogen pertusis, dari 14 aglutinogen, 6 bersifat spesifik terhadap
B.pertusis.
B. pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, yang
memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Agglutinin filamentosa (HAF),
beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria
69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel
bersilia saluran pernapasan.
Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP dapat menghambat fagositosis.
Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik, dan adenilat siklase menyebabkan cedera epitel
lokal yang menghasilkan gejala -gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.

TP memiliki beberapa aktifitas biologis seperti mensekresi histamine, sekresi insulin,


dan menyebabkan disfungsi leukosit.
D.

PATOGENESIS
Bordetella pertusis ditularkan melalui udara setelah memasuki pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi
oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat fase yaitu perlekatan, perlawanan
terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit
sistemik.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF),
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis
pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas.
Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang
dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis
mempunyai 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan engan
reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi
enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah
infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, sehingga menimbulkan perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran

histamine

dan

serotonin,

efek

memblokir

beta

adrenergic dan

meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah.


Toksin menyebabkan peradangan ringan sehingga terjadi hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial yang meningkatkan produksi jumlah mukus pada permukaan silia.
Hal ini akan mengganggu fungsi silia, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder. Infeksi
tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus.

Penumpukan mucus akan menimbulkan mucus plug yang dapat menyebabkan obstruksi
dan kolaps paru.

Gambar 1. Patogenesis Pertusis


Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada
saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin
ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible,
pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi. Bordetella pertusis terkadang
menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
E.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Curiga pertusis

jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika terdapat kontak dengan
penderita pertusis dan belum diimunisasi atau imunisasi tidak adekuat. Tanda dan gejala
klinis tergantung dari stadium.
1. Stadium Kataral (prodomal, preparoksimal)
Stadium kataral terjadi pada minggu 1-2. Gejala klinisnya minimal menyerupai
common cold, gejala muncul dengan atau tanpa demam, rinorea, konjungtiva, lakrimasi

anoreksi, frekuensi batuk bertambah. Stadium kataral merupakan stadium yang sangat
infeksius.
2. Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal terjadi pada minggu kedua hingga minggu keempat. Batuk
paroksismal yang dicetuskan oleh aktivitas fisik dan stress (kondisi menangis, sedih
atau gembira). Pada stadium ini batuk khas, dimana batuk pada fase inspiratori
(inspiratory whooping), post-tussive vomiting, dapat pula dijumpai muka merah atau
sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher
selama serangan, apatis, dan penurunan berat badan. Pada bayi muda memiliki resiko
lebih tinggi untuk terjadi apneu.
3. Stadium Konvalesens
Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan,
dapat terjadi petekie pada kepala atau leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar
crackles difus. Bayi kurang 6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan
gejala seperti hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis, muntahmuntah sampai menimbulkan dehidrasi, kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala
sianosis dan apneic spell, tanpa disertai whoop. Pada beberapa pasien, akan timbul
serangan batuk paroksimal berulang yang sering didiagnosis dengan infeksi saluran
nafas atas.
Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan:
a)
b)
c)
d)

Leukosit dan hitung jenis sel ditemukan leukositosis dengan limfositosis absolut
IgG terhadap toksin pertusis, didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis).
Kultur dari swab nasofaring posterior merupakan Gold standard.
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mengetahui terjadinya oytbreak
pertusis. PCR memiliki sensitivitas tinggi namun juga memiliki angka false

positive yang tinggi.


e) Serology
f) Direct fluorescent antibody test memiliki sensitivitas yang rendah.

Gambar 2. Bentuk Tipikal Pertusis

F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding anak yang datang dengan batuk dan atau kesulitan bernapas :
Anamnesis
Perhatikan terutama pada hal berikut:
1.

Batuk dan kesulitan bernapas (lama dalam hari, pola batuk apakah saat malam
atau dini hari, faktor pencetus, paroksismal dengan whoops atau muntah atau

2.
3.
4.
5.
6.
7.

sianosis sentral).
Kontak dengan pasien TB (atau batuk kronik) dalam keluarga
Gejala lain (demam, pilek, wheezing, dll)
Riwayat tersedak atau gejala yang tiba-tiba
Riwayat infeksi HIV
Riwayat imunisasi: BCG, DPT, campak, Hib
Riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll) pada pasien atau keluarga.

Pemeriksaan fisis
Umum
1.

Sianosis sentral

2.

Merintih/grunting, pernapasan cuping hidung, wheezing, stridor

3.

Kepala terangguk-angguk (gerakan kepala yang sesuai dengan inspirasi


menunjukkan adanya distres pernapasan berat)

4.

Peningkatan tekanan vena jugularis

5.

Telapak tangan sangat pucat.

Dada
1.

Frekuensi pernapasan (hitung napas selama 1 menit ketika anak tenang).

2.

Napas cepat:

3.
4.
5.
6.
7.

a. Umur < 2 bulan : > 60 kali


b. Umur 2 11 bulan : > 50 kali
c. Umur 1 5 tahun : > 40 kali
d. Umur > 5 tahun : > 30 kali
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest-indrawing)
Denyut apeks bergeser/trakea terdorong dari garis tengah
Auskultasi didapatkan crackles (ronki) atau suara napas bronkial
Irama derap pada auskultasi jantung
Tanda efusi pleura (redup) atau pneumotoraks (hipersonor) pada perkusi.
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest-indrawing) terjadi ketika

dinding dada bagian bawah tertarik saat anak menarik napas. Bila hanya jaringan lunak
antar iga atau di atas klavikula yang tertarik pada saat anak bernapas, hal ini tidak
menunjukkan tarikan dinding dada bagian bawah.
Abdomen
1.

Masa abdominal: cair, padat

2.

Pembesaran hati dan limpa.

Pulse-oximetry : untuk mengetahui saat pemberian atau menghentikan terapi oksigen.


Foto dada dilakukan pada anak dengan pneumonia berat yang tidak memberi respons
terhadap pengobatan atau dengan komplikasi, atau berhubungan dengan HIV.

Tabel 1. Diagnosis Banding Anak umur 2 bulan-5 tahun yang datang dengan
Batuk dan atau Kesulitan Bernapas
DIAGNOSIS
Pneumonia

GEJALA YANG DITEMUKAN


Demam
Batuk dengan napas cepat

Crackles (ronki) pada auskultasi


Kepala terangguk-angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Merintih (grunting)
Sianosis
Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang

Bronkiolotis

Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai


Kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator
Riwayat wheezing berulang

Asma

Peningkatan tekanan vena jugularis


Denyut apeks bergeser ke kiri
Irama derap

Gagal jantung

Bising jantung
Crackles /ronki di daerah basal paru
Pembesaran hati
Sulit makan atau menyusu
Sianosis

Penyakit jantung
bawaan

Bising jantung
Pembesaran hati
Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intra toraks

Efusi/empiema

Pekak pada perkusi

Tuberkulosis (TB)

Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa


Uji tuberkulin positif ( 10 mm, pada keadaan imunosupresi
5 mm)
Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
Demam ( 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
Batuk kronis ( 3 minggu)
Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
8

spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang


Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop, muntah,
sianosis atau apnu
Pertusis

Bisa tanpa demam


Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap
Klinis baik di antara episode batuk
Riwayat tiba-tiba tersedak

Benda asing

Stridor atau distres pernapasan tiba-tiba


Wheeze atau suara pernapasan menurun yang bersifat fokal
Awitan tiba-tiba

Pneumotoraks

Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada


Pergeseran mediastinum

Gambar 3. Diagnosis Banding Pertusis

10

G. TATALAKSANA
Kasus ringan pada anak-anak umur 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga
pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau
kebiruan setelah batuk.
Penyulit pada pertusis
1. Pneumonia merupakan 90% penyebab kematian. Hal ini disebabkan oleh B.
Pertusis sebagai infeksi sekunder
2. Aktifasi TB laten
3. Atelektasis, ruptur alveoli, emfisema
4. Perdarahan subkonjungtiva
5. Kejang, koma, ensefalitis
6. Dehidrasi, hiponatremia
7. Penurunan BB
Tatalaksana pertusis pada prinsipnya ialah :
1. Pemberian imunisasi DPT untuk mencegah pertusis
2. Isolasi anak dengan pertusis untuk mencegah penularan
3. Pemberian antibiotik eritromisin 50 mg/kg BB/hari pada stadium kataral
4. Nutrisi yang adekuat
Antibiotik
Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari atau jenis
makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek lamanya sakit tetapi akan
menurunkan periode infeksius.
Oksigen
Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau
batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau
kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih

11

dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen. Terapi oksigen dilanjutkan sampai
gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi.
Tatalaksana jalan napas
Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah
dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu
pengeluaran sekret. Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. Bila apnu, segera bersihkan jalan napas,
lakukan resusitasi.
Perawatan penunjang
Hindari segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti
pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.
Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin. Obat antitusif
dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu. Jika anak demam ( 39 C) yang
dianggap dapat menyebabkan distres, berikan parasetamol. Beri ASI atau cairan per
oral, jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan makanan cair
porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres
pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan
mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan
porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui
NGT.
Pemantauan
Anak harus dievaluasi setiap 3 jam, lakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap
serangan apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus
ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan oksigen dan tenaga medis. Edukasi
orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan segera memanggil tenaga medis
bila ini terjadi.

12

Tindakan Kesehatan masyarakat


1.

Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga yang

2.
3.

imunisasinya belum lengkap.


Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.
Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk
setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain
dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga.

Gambar 4. Rekomendasi Antimikroba Pada Pertusis


H.

KOMPLIKASI
1) Apneu
2) Pneumonia
Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi

sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia
bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres
pernapasan secara cepat.
3) Kejang
Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau
sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti dalam 2
menit, beri antikonvulsan.
4) Ensefalopati

13

Komplikasi neurologis terjadi akibat hipoksia karena batuk atau karena toxin
pertusis. Komplikasi neurologis merupakan komplikasi tersering pada anak-anak.
5) Gizi kurang
Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh
berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan
makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.
6) Perdarahan dan hernia
Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada
terapi khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat.
Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan,
tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.
7) Komplikasi yang jarang terjadi
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain ialah otitis media, anorexia, dan
dehidrasi.
8) Komplikasi karena tekanan intratorakal dan intraabdomen yang tinggi
akibat batuk
Dapat terjadi pneumothorax, epistaxis, subdural hematomas, hernias, and rectal
prolapse.

14

Gambar 5. Komplikasi Pertusis

15

DAFTAR PUSTAKA

1.

2.

3.

4.

5.

Centers for Disease Control and Prevention. Recommended antimicrobial agents


for treatment and postexposure prophylaxis of pertusis. 2005. CDC Guidelines.
MMWR 2005;54:116.
Centers for Disease Control and Prevention. Updated recommendations for use of
tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis (Tdap)Vaccine
from the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). 2011. CDC
Guidelines. MMWR 2011;60:13-15.
Cherry JD. The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the
disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. 2005.
Pediatrics Journal 2005;115:14227
Centers for Disease Control and Prevention. Preventing tetanus, diphtheria, and
pertussis among adolescents: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine: recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP). 2006. CDC Guidelines. MMWR 2006;55:143.
Centers for Disease Control and Prevention. Preventing tetanus, diphtheria, and
pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and
acellular pertussis vaccine: recommendations of the Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP). 2006. CDC Guidelines. MMWR 2006;17:133.

16

Anda mungkin juga menyukai