Anda di halaman 1dari 1

SEJATINYA CINTA

Siapakah sesungguhnya yang paling engkau cintai dalam hidupmu? Istri, suami, anak, sahabat,
teman dekal atau harta benda, jabatan dan kekuasaan. Ataukah dzat yang tak bisa engkau lihat
dengan mata kasatmu, tetapi Dia adalah pencipta sekaligus penentu apa-apa atas dirimu.
Sehingga, ketika engkau kehilangan harta benda dan kedudukan atau orang yang engkau cintai,
maka engkau tidak perlu berlebihan menangisi atau berduka cita atas kehilanganmu. Karena apaapa yang kita cinta dan miliki di dunia ini tidak ada yang abadi. Dan lebih dan itu, bahwa segala
sesuatu yang menimpa kita pada hakekatnya telah ditentukan oleh Allah. Maka demi cinta kita
kepada Allah, sebagai hamba-Nya, kita mesti merelakan apapun yang Dia minta kembali.
Allah mengingatkan kita dalam surat Al-Hadid ayat 23, "Supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang, luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu."
Adalah Imam Al-Ghozali yang mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tingkatan cinta
paling tinggi (supreme) manusia. Menomorsatukan Allah sebagai muara ketundukan dan
kepatuhan adalah hal yang tak bisa ditawar lagi. Berani berkorban harta, jabatan bahkan nyawa
atau apapun yang kita miliki dan cintai demi mencapai ridha dan kasih sayang Allah adalah
sesuatu yang mulia.
Ada kisah dalam sejarah Islam yang perlu direnungi. Suatu ketika anak Abu Bakar Sidiq berkata,
"Wahai ayahku, ketika aku menyembah berhala dan memerangi orang-orang Islam, engkau
berhadapan denganku dalam pertempuran. Jika aku mau, aku dapat membunuhmu. Tapi cintaku
padamu telah menahanku untuk melakukannya." Lalu Abu Bakar menimpali, "Anakku! Terlepas
dari aku adalah ayahmu, aku bersaksi dengan nama Allah bahwa jika kamu berhadapan
denganku, aku akan memenggal lehermu dengan pedangku."
Dari Dialog di atas jelas Abu Bakar lebih mengagungkan cintanya pada Allah daripada anaknya
walaupun harus memunuh anaknya yang memerangi orang-orang muslim. Cintanya pada
anaknya tak akan mampu menghalanginya menegakkan panji-panji ilahi. Disinilah sesungguhnya
dibutuhkan ketepatan melakukan pilihan apakah kita lebih mencintai Allah daripada apa yang kita
miliki ataukah sebaliknya.
Banyak manusia begitu mencintai kedudukan dan kekuasaannya, sampai ia menggunakan
berbagai macam cara untuk dapat mempertahankannya meskipun dengan cara yang diluar
koridor ajaran Allah, bahkan ada yang memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi. Yang lebih
ironis, fenomena pasangan muda-mudi yang (menurut mereka) untuk membuktikan cintanya
sampai rela melakukan apapun termasuk yang dilarang dan dilaknat Allah. Padahal seperti kisah
Nabi Yusuf ketika dirayu dan diajak Zulaikha -- wanita kaya dan cantik istri seorang raja -- untuk
berbuat zina, Nabi Yusuf dengan tegas tidak mau melayaninya. Penolakan itu karena kedalaman
cinta Yusuf pada Allah sehingga dia takut kalau Allah murka.
Muhammad Umar Ud-din dalam bukunya The Ethical Philosophy of Al-Ghazali menegaskan
bahwa cinta kepada Allah akan melahirkan kepatuhan dan ketaatan kepada-Nya serta tidak akan
pernah ada kemungkinan untuk membandingkan-Nya dengan apapun juga. Manusia yang percaya
kepada Allah sekaligus mencintai-Nya berada pada tingkat spiritual tertinggi daripada manusia
yang percaya bahwa Allah ada tapi tidak mencintai-Nya sama sekali.
Sebagai sebuah kecenderungan (inclination) alamiah terhadap suatu objek, cinta akan dapat
mendatangkan kebahagiaan, dan cinta kepada Allah adalah muara manusia menggapai
kebahagiaan itu.
Ya begitulah Cinta.

Anda mungkin juga menyukai