Anda di halaman 1dari 4

Analisis Arus Energi Pengendapan pada Daerah Banyumeneng

berdasarkan Data Ichnofossil


Verilla Sari Purba1
21100114120002
Verillapurba96@gmail.com
1

Teknik Geologi Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Sari
Gipsum merupakan batuan sedimen evaporit yang pembentukannya melalui evaporasi air asin (salin water). Batuan evaporit memiliki
syarat-syarat kondisi lingkungan yang tepat dalam pembentukannya serta faktor-faktor yang mendukung dalam proses evaporasi air asin
dimana dalam pembentukan batuan gipsum dibutuhkan kondisi klimatologi lingkungan seperti radiasi matahari, temperatur
udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin yang mendukung. Gipsum yang merupakan batuan sedimen evaporit yang terdapat
di Cibinong terbentuk pada daerah Marine dimana endapan evaporit yang dihasilkan dari proses evaporasi cukup tebal. Batuan evaporit
sendiri akan lebih cepat terbentuk pada daerah yang hangat dibandingkan daerah yang dingin. Pembuatan paper ini menjelaskan faktorfaktor evaporasi serta kondisi lingkungan daerah Cibinong, Jawa Barat dalam pembentukan Gipsum.

Kata kunci : Gipsum, Batuan sedimen evaporit, evaporasi

Pendahuluan
Ichnofossil atau trace fossil didefinisikan sebagai suatu
struktur sedimen berupa track, trail, burrow, tube,
boring atau tunnel yang terawetkan (terfosilisasi) sebagai
hasil dari aktifitas kehidupan (selain tumbuh) hewan.
Dengan contoh tanda/jejak yang dibuat hewaninventerbrate saat bergerak, merayap, makan, memanjat,
lari atau istirahat, pada atau di dalam sedimen lunak.
Struktur sedimen ini seringkali terawetkan sehingga
membentuk tinggian atau rendahan (a raised or depressed
form) pada batuan sedimen. Jejak hasil aktifitas organisme
diketahui sebagai trace fossil atau ichofossil yang dikenali
berupa : tracks, trail, burrow, tube, boring atau tunnel.
a) Track = struktur fosil jejak berupa bekas atau jejak yang
tercetak pada material lunak, terbentuk oleh kaki burung,
reptil, mamalia atau hewan lainnya. Istilah lain
untuk track adalahfootprint.
b) Trail = struktur fosil jejak berupa jejak atau tanda
lintasan satu atau beberapa hewan yang berbentuk tanda
seretan menerus yang ditinggalkan organisma pada saat
bergerak di atas permukaan.
c) Burrow = struktur fosil jejak berupa liang di dalam
tanah, biasanya untuk bersembunyi
d) Tube = struktur fosil jejak berupa pipa
e) Borring = struktur fosil jejak berupa (lubang) pemboran,
umumnya berarah vertikal.
f) Tunnel = struktur fosil jejak berupa terowongan sebagai
hasil galian. Ichnofossil dipengaruhi oleh ekologi seperti
Tingkat Sedimentasi, Substrat yang ada, Salinitas,
Keberadaan Oksigen, Turbiditas, Cahaya, Temperatur dan
Energi air (arus dan gelombang). Berdasarkan Ichnofossil
yang didapatkan dapat diketahui ichnofasies yaitu rekaman
fosil dari ichnocoenose (ekologi/ lingkungan), yang

merupakan asosiasi dari jejak-jejak yang saling


berhubungan secara lingkungan (Catuneanu, 2005).
Geologi Regional
Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan
dengan arah memanjang barat-timur yang terletak langsung
di sebelah utara sub zona Ngawi. Pegunungan ini tersusun
oleh batuan sedimen laut dalam yang telah mengalami
deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium.
Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar
maksimum 40 km (de Genevraye & Samuel, 1972)
membentang dari gunungapi Ungaran di bagian barat ke
timur melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto. Di bawah
permukaan, kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga
di bawah selatan Madura. Ciri morfologi Zona Kendeng
berupa jajaran perbukitan rendah dengan morfologi
bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga
200 meter. Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan
erosi pada daerah ini berjalan sangat intensif, selain karena
iklim tropis juga karena sebagian besar litologi penyusun
Mandala Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir
yang mempunyai kompaksitas rendah, misalnya pada
formasi Pelang, Formasi Kerek dan Napal Kalibeng yang
total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter.
Stratigrafi penyusun Zona Kendeng merupakan endapan
laut dalam di bagian bawah yang semakin ke atas berubah
menjadi endapan laut dangkal dan akhirnya menjadi
endapan non laut. Endapan di Zona Kendeng merupakan
endapan turbidit klastik, karbonat dan vulkaniklastik.
Stratigrafi Zona Kendeng terdiri atas formasi - formasi
batuan sebagai berikut :
1. Formasi Pelang

Merupakan formasi tertua di Mandala Kendeng tersingkap


di Desa Pelang, Selatan Juwangi. Tidak jelas keberadaan
bagian atas maupun bawah dari formasi ini karena
singkapannya pada daerah upthrust, berbatasan langsung
dengan formasi Kerek yang lebih muda. Dari bagian yang
tersingkap tebal terukurnya berkisar antara 85 meter hingga
125 meter (de Genevraye & Samuel, 1972 dalam Rahardjo,
2004). Litologi utama penyusunnya adalah napal, napal
lempungan dengan lensa kalkarenit bioklastik yang banyak
mengandung fosil foraminifera besar.
2. Formasi Kerek
Formasi Kerek memiliki kekhasan berupa perulangan
perselang-selingan antara lempung, napal, batupasir tuf
gampingan dan batupasir tufaan yang menunjukkan
struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan bersusun
(graded bedding). Lokasinya berada di Desa Kerek, tepi
sungai Bengawan Solo, 8 km ke utara Ngawi. Di daerah
sekitar lokasi tipe formasi ini terbagi menjadi tiga anggota
(de Genevraye & Samuel, 1972 dalam Rahardjo, 2004),
dari tua ke muda masing-masing :
a. Anggota Banyuurip
Anggota Banyuurip tersusun oleh perselingan antara napal
lempungan, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan
batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter. Di
bagian tengahnya dijumpai sisipan batupasir gampingan
dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atasnya
ditandai dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran
setebal 5 meter dengan sisipan tuf halus. Anggota ini
berumur Miosen tengah bagian tengah atas.
b. Anggota Sentul
Anggota Sentul tersusun atas perulangan yang hampir sama
dengan anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang bertuf
menjadi lebih tebal. Ketebalan anggota Sentul mencapai
500 meter. Anggota Sentul berumur Miosen atas bagian
bawa.
c. Anggota Batugamping Kerek
Merupakan anggota teratas dari formasi Kerek, tersusun
oleh perselingan antara batugamping tufaan dengan
perlapisan lempung dan tuf. Ketebalan anggota ini
mencapai 150 meter. Umur batugamping kerek ini adalah
N17 (Miosen atas bagian tengah).
3. Formasi Kalibeng
Formasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian bawah
dan bagian atas. Bagian bawah formasi Kalibeng tersusun
oleh napal tak berlapis setebal 600 meter, berwarna putih
kekuning-kuningan sampai abu-abu kebiru-biruan, kaya
akan kanndungan foraminifera plantonik.
a. Formasi Kalibeng bagian bawah

Formasi Kalibeng bagian bawah ini terdapat beberapa


perlapisan tipis batupasir yang ke arah Kendeng bagian
barat berkembang menjadi suatu endapan aliran rombakan,
yang disebut sebagai Formasi Banyak (Harsono, 1983
dalam Rahardjo, 2004) atau anggota Banyak dari formasi
Kalibeng (Nahrowi dan Suratman, 1990 dalam Rahardjo,
2004), ke arah Jawa Timur, yaitu di sekitar Gunung
Pandan, Gunung Antasangin dan Gunung Soko, bagian atas
formasi ini berkembang sebagai endapan vulkanik laut
yang menunjukkan struktur turbidit. Fasies tersebut disebut
sebagai anggota Antasangin (Harsono, 1983 dalam
Rahardjo, 2004).
b. Formasi Kaliben bagian atas
Bagian atas dari formasi ini oleh Harsono (1983) disebut
sebagai Formasi Sonde, yang tersusun mula-mula oleh
anggota Klitik yaitu kalkarenit putih kekuning-kuningan,
lunak, mengandung foraminifera plangtonik maupun besar,
moluska, koral, algae dan bersifat napalan atau pasiran
dengan berlapis baik. Bagian paling atas tersusun atas
breksi dengan fragmen gamping berukuran kerikil dan
semen karbonat. Kemudian disusul endapan napal pasiran,
semakin keatas napalnya bersifat semakin bersifat
lempungan. Bagian teratas ditempati oleh lempung
berwarna hijau kebiru-biruan. Formasi Sonde ini ditemukan
sepanjang sayap lipatan bagian selatan antiklinorium
Kendeng dengan ketebalan berkisar 27 589 meter dan
berumur Pliosen (N19 N21).
Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam pembuatan paper ini
adalah studi pustaka melalui referensi di internet, Power
point acara iknofosil tahun 2015, dan observasi lapangan,
Hasil Deskripsi
Pembahasan
Gipsum yang merupakan Batuan sedimen non klastik
merupakan kelompok batuan yang pembentukannya
melalui evaporasi air asin. Proses penguapan atau evaporasi
air asin menjadi uap mengakibatkan tertinggalnya bahan
kimia yang pada akhirnya akan menghablur apabila hampir
semua kandungan air menjadi uap. Dalam proses
penguapan terjadi perubahan molekul dari keadaan cair
menjadi gas dimana pada salin water akan terjadi
peningkatan konsentrasi senyawa kimia di dalamnya
sehingga mengalami kristalisasi membentuk endapan
evaporit. Proses perubahan bentuk dari fase cair menjadi
fase gas dipengaruhi oleh kondisi klimatologi daerah
Cibinong meliputi radiasi matahari, temperatur udara,
kelembaban udara, dan kecepatan angin.
Radiasi Matahari, Pada setiap perubahan bentuk zat;
dari es menjadi air (pencairan), dari zat cair menjadi gas
(penguapan) dan dari es lengsung menjadi uap air
(penyubliman) diperlukan panas laten (laten heat). Panas
laten untuk penguapan berasal dari radiasi matahari dan
tanah. Sinar radiasi matahari merupakan sumber utama

panas dan mempengaruhi jumlah evaporasi di atas


permukaan bumi, yang tergantung letak pada garis lintang
dan musim. Radiasi matahari di suatu lokasi bervariasi
sepanjang tahun, yang tergantung pada letak lokasi (garis
lintang) dan deklinasi matahari. Pada bulan Desember
kedudukan matahari berada paling jauh di selatan,
sementara pada bulan Juni kedudukan matahari berada
palng jauh di utara. daerah yang berada di belahan bumi
selatan menerima radiasi maksimum matahari pada bulan
Desember, sementara radiasi terkecil pada bulan Juni,
begitu pula sebaliknya. Radiasi matahari yang sampai ke
permukaan bumi juga dipengaruhi oleh penutupan awan.
Penutupan oleh awan dinyatakan dalam persentase dari
lama penyinaran matahari nyata terhadap lama penyinaran
matahari yang mungkin terjadi.
Temperatur atau suhu, temperatur udara pada
permukaan evaporasi sangat berpengaruh terhadap
evaporasi. Semakin tinggi temperatur semakin besar
kemampuan udara untuk menyerap uap air. Selain itu
semakin tinggi temperatur, energi kinetik molekul air
meningkat sehingga molekul air semakin banyak yang
berpindah ke lapis udara di atasnya dalam bentuk uap air.
Oleh karena itu di daerah beriklim tropis jumlah evaorasi
lebih tinggi, di banding dengan daerah di kutub (daerah
beriklim dingin). Untuk variasi harian dan bulanan
temperatur udara di Indonesia relatif kecil.
Kelembaban Udara, Pada saat terjadi penguapan,
tekanan udara pada lapisan udara tepat di atas permukaan
air lebih rendah di banding tekanan pada permukaan air.
Perbedaan tekanan tersebut menyebabkan terjadinya
penguapan. Pada waktu penguapan terjadi, uap air
bergabung dengan udara di atas permukaan air, sehingga
udara mengandung uap air. Udara lembab merupakan
campuran dari udara kering dan uap air. Apabila jumlah
uap air yang masuk ke udara semakin banyak, tekanan
uapnya juga semakin tinggi. Akibatnya perbedaan tekanan
uap semakin kecil, yang menyebabkan berkurangnya laju
penguapan. Apabila udara di atas permukaan air sudah
jenuh uap air tekanan udara telah mencapai tekanan uap
jenuh, di mana pada saat itu penguapan terhenti.
Kelembaban udara dinyatakan dengan kelembaban relatif.
Di Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan
perairan laut cukup luas, mempunyai kelembaban udara
tinggi. Kelembaban udara tergantung pada musim, di mana
nilainya tinggi pada musim penghujan dan berkurang pada
musim kemarau. Di daerah pesisir kelembaban udara akan
lebih tinggi daripada di daerah pedalaman.
Kecepatan Angin,
Penguapan
yang
terjadi
menyebabkan udara di atas permukaan evaporasi menjadi
lebih lembab, sampai akhirnya udara menjadi jenuh
terhadap uap air dan proses evaporasi terhenti. Agar proses
penguapan dapat berjalan terus lapisan udara yang telah
jenuh tersebut harus diganti dengan udara kering.
Penggantian tersebut dapat terjadi apabila ada angin. Oleh
karena itu kecepatan angin merupakan faktor penting dalam
evaporasi. Di daerah terbuka dan banyak angin, penguapan
akan lebih besar daripada di daerah yang terlindung dan
udara diam.

Gipsum yang terbentuk pada daerah Cibinong


merupakan hasil endapan evaporasi pada lingkungan
marine dimana Salinitas air laut yang merupakan
banyaknya kadar garam (dalam gram) dalam setiap 1 kg air
laut. Salinitas permukaan air laut di khatulistiwa mencapai
3,50/00 (permil atau perseribu). Hal ini disebabkan adanya
penguapan yang tinggi. Ketika air laut tersebut mengalami
evaporasi karena energi panas matahari, mineral-mineral
evaporit akan terpresipitasi dalam sekuens tertentu
membutuhkan waktu yang relatif lama. Sebagian kecil
minneral karbonat mulai terbentuk seiring dengan
berkurangnya volume air laut hingga setengah dari volume
awalnya Akibatnya konsentrasi air asin akan menjadi dua
kali lipat dari konsentrasi sebelumnya. Umumnya gipsum
mulai terbentuk ketika volume air asin berkurang menjadi
20% dari volum awalnya. Pada kondisi tersebut konsentrasi
air asin dapat meningkat hingga 4-5 kali lebih pekat dari
sebelumnya ( 130-160 % salinity).
Apabila faktor-faktor evaporasi dan kondisi
lingkungan memadai maka gipsum akan terbentuk. Gipsum
sendiri merupakan batuan sedimen non klastik yang
terbentuk pertama kali dari evaporasi air laut yang dapat
diketahui dengan masih terdapatnya kandungan air dalam
batuan. Pembentukan gipsum merupakan satu-kesatuan
dengan anhidrit dalam siklus yang apabila mineral anhidrit
telah terbentuk dari proses dehidrasi gipsum sehingga
kandungan air pada batuan hilang. Apabila Anhidrit
dimasuki air (Rehidrasi) batuan akan kembali mengandung
air dan membentuk Gipsum. Mineral Anhidrit dapat
berubah kembali menjadi mineral gipsum apabila
kedalaman air laut berkurang karena dengan berkurangnya
tekanan air laut akan menyebabkan tekanan yang diterima
oleh anhidrit berkurang, dimana tekanan lingkungan sekitar
anhidrit akan lebih besar dibandingkan tekanan di dalam
anhidrit. Berdasarkan hukum mekanika fluida, fluida akan
bergerak dari tempat dengan tekanan tinggi menuju tempat
dengan tekanan rendah sehingga air di lautan akan kembali
memasuki rongga-rongga pada batuan anhidrit sehingga
anhidrit kembali mengandung unsur air dan menjadi
Gipsum.
Kesimpulan
Dalam pembentukan batuan gipsum dibutuhkan kondisi
klimatologi lingkungan seperti radiasi matahari, temperatur
udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin yang
mendukung. Dimana dapat diketahui berdasarkan
pembahasan paper ini bahwa panas yang dihasilkan radiasi
matahari akan mengakibatkan batuan evaporit lebih cepat
terbentuk karena semakin tinggi temperatur maka energi
kinetik molekul air meningkat sehingga molekul air
semakin banyak yang berpindah ke lapis udara di atasnya
dalam bentuk uap air. Penguapan yang terjadi
menyebabkan udara di atas permukaan evaporasi menjadi
lebih lembab, sampai akhirnya udara menjadi jenuh
terhadap uap air dan proses evaporasi terhenti. Agar proses
penguapan dapat berjalan terus lapisan udara yang telah
jenuh tersebut harus diganti dengan udara kering.
Penggantian tersebut dapat terjadi apabila ada angin.

Gipsum diminati sebagai bahan konstruksi bangunan


karena sejumlah keunggulan dan dan manfaatnya. Setelah
gipsum melalui proses pengolahan oleh pabrik industri
dimana terjdi penambahan bahan-bahan kimia maka
gipsum akan menjadi bahan yang halus, kuat, dan ringan
untuk menjadi bahan tambahan dalam konstruksi
bangunan.

Gambar 1. Batuan Gipsum

Referensi
D.G.A Whitten, J.R.V. Brooks , The Penguin Dictionary Of Geology,
Hazell Watson & Viney Ltd, 1972.
Tim Asisten Petrologi 2015.Buku Panduan Praktikum Petrologi 2015.
Laboratorium Mineralogi, Petrologi, dan Petrografi.Universitas
Diponegoro : Semarang
http://www.galeripustaka.com/2013/04/pengertian-dan-faktorevaporasi.html(Diakses pada Senin,18 Mei pukul 13:50)
https://tanaangga.files.wordpress.com/2010/12/1-mineral-dan-batuan-1pdf.pdf (Diakses pada Senin 18 Mei 2015, pukul 12.04)

Gambar 2. Tabel Klasifikasi mineral evaporit

Lampiran

Gambar 3. Mineral Gipsum

Anda mungkin juga menyukai