Isi
Isi
PENDAHULUAN
Mikotoksin adalah suatu zat racun yang dihasilkan oleh jamur. Banyak
jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur, diantaranya aflatoksin, zearalenon,
trichotenes, oktratoksin dan patuiin, Mikotoksin yang sering tnenyebabkan
keracunan antara lain adalah yang berasal dari jenis Aspergillus, Penicillium dan
Fusarium. Jamur ini hidup secara bebas sebagai cemaran pada berbagai macam
bahan makanan, bijibijian, palawija dan komoditi pertanian, tetapi tidak semua
jamur akan menghasilkan metabolit toksin. Ada pula diantaranya yang berguna
seperti jamur tempe dan oncom (Makfoeld, 1993)
Umumnya mikotoksin merupakan senyawa yang non polar, mempunyai
berat molekul yang rendah, resisten (tahan) terhadap inaktivasi baik secara kitnia,
biologi ataupun fisika serta mempunyai efek racun yang membahayakan.
Bebetapa genus kapang yang tersebut di atas, dapat menghasilkan toksin yang
berbahaya, sebagai contoh yaltu spesies-spesies seperti Aspergilhis nidulans,
AspergiMm versikolor dan Aspergillus flavus (termasuk genus Aspergillus),
adalah kapang penghasil utama aflatoksin. Aflatoksin yang paling berbahaya
adalah yang dihasilkan oleh kapang spesies Aspergillus flavus (Heatcote and
Hibber, 1978)
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis aflatoksin dalam bahan pangan
2. Untuk mengetahui metabolisme aflatoksin didalam tubuh
3. Untuk mengetahui pengaruh aflatoksin dalam tubuh
4. Untuk mengetahui usaha pencegahan kontaminasi aflatoksi
1.3 Manfaat
Dalam penulisan makalah ini ada beberapa manfaat yang dapat diambil
dari penjelasan dalam makalah ini, dalam hal ini manfaat dari penulisan makalah
ini terbagi dua yaitu:
1. Manfaat untuk penulis itu sendiri, manfaat dari yang mambaca yaitu untuk
mengetahui dan mendalami tentang aflatoksin dalam bahan pangan
2. Manfaat dari pembaca adalah untuk mendapatkan informasi, berbagi
pengetahuan dan juga mengetahui pengeruh aflatoksin dalam tubuh dan
usaha pencegahan dari kontaminasi aflatoksin.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Aflatoksin
Pada awal tahun 1960 di Inggris terjadi malapetaka keracunan yang tidak
teratasi yang mengakibatkan hilangnya anak ayam dalam jumlah besar. Dalam
waktu yang singkat sindrom keracunan yang sama terjadi pada anak itik, ayam
dan babi. Hal ini dipelajari ternyata bahwa malapetaka itu ada hubungannya
dengan makanan yang diperdagangkan yang berisi kacang dan ikan, sehingga
toksisitasnya dapat dihilangkan dengan mengganti kedelai dan milk kering.
Seargent dan kawan-kawan, yang pertama mengkaitkan toksisitas dengan
pencemaran jamur beberapa strain dari Aspergillus flavus dan memberikan nama
generic "aflatoksin" kepada prinsip beracun (Prabawati, 2006)
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang sejak tahun 1960 sampai
sekarang masih menjadi perhatian para ilmuwan tetutama ilmuwan negara-negara
yang mempunyai iklim tropik seperti Indonesia. Iklim tropik ini akan memberi
peluang yang cukup besar untuk tumbuhnya kapang yang menghasilkan
aflatoksin. Aflatoksin terdiri dari kata a, fla dan toksin (a = aspergillus, fla =
flavus, toksin = racun). Aflatoksin merupakan senyawa yang bersifat racun yang
dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus. Aflatoksin sangat berbahaya karena
bersifat toksik, karsinogen, dan mutagen. Efek yang dapat ditimbulkan antara lain
kanker, dapat menurunkan kekebalan tubuh dan menghilangkan nafsu makan
(Prabawati, 2006)
Aflatoksin merupakan cemaran alami yang dihasilkan oleh beberapa
spesies dari fungi Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah beriklim panas
dan lembap, terutama pada suhu 27-40C (80-104 F) dan kelembapan relatif 85%
(Robetson, 2005). Sebagai mikotoksin, senyawa tersebut lebih stabil dan tahan
selama pengolahan makanan (Huang and Elmashni, 2007)
Beberapa bahan pangan yang tersebut di berikut ini, cukup rentan
terkontaminasi aflatoksin, seperti: jagung, gandum, kacang, rempahrempah, wijen
dan beras. Sedangkan binatang atau organ binatang yang rentan terserang racun
ini misalnya babi, unggas, hati unggas dan jantung babi (Prabawati, 2006)
Type of aflatoksin
Aspergillus specie(s)
Difurocoumarocyclopenten
one series
Aflatoxin B1 (AFB1)
A. flavus, A. arachidicola, A.
bombycis, A. minisclerotigenes, A.
nomius, A. ochraceoroseus, A.
parasiticus, A. pseudotamarii, A.
rambellii, Emericella venezuelensis
A. arachidicola, A. flavus, A.
minisclerotigenes, A. nomius, A.
parasiticus
A. flavus
A. flavus, A. parasiticus; metabolite of
aflatoxin B1 in humans and animals
and comes from a mother's milk
Metabolite of aflatoxin B2 in milk of
cattle fed on contaminated foods
Metabolite of AFM2
Aflatoxin B2 (AFB2)
Aflatoxin M2 (AFM2)
Aflatoxin M2A
(AFM2A)
Aflatoxicol (AFL)
Difurocoumarolactone
series
Aflatoxicol M1
Aflatoxin G1 (AFG1)
Aflatoxin G2A(AFG2A)
Metabolite of AFM1
A. arachidicola, A. flavus, A.
minisclerotigenes, A. nomius, A.
Parasiticus
A. arachidicola, A. flavus, A.
minisclerotigenes, A. nomius, A.
parasiticus
Metabolite of AFG2
Aflatoxin GM1(AFG1)
A. flavus
Aflatoxin GM2
(AFGM2)
AFGM2A
Aflatoxin B3 (AFB3)
Parasiticol (P)
Aflatrem
Metabolite of AFG2
Aspertoxin
Aflatoxin Q1 (AFQ1)
A. flavus
Major metabolite of AFB1 in in vitro
liver preparations of other higher
vertebrates
Aflatoxin G2 (AFG2)
Metabolite of AFGM2
Aspergillus species not defined
A. flavus
A. flavus, A. minisclerotigenes
Aflatoksin yang paling toksik dari berbagai jenis aflatoksins yang tersebut
di atas adalah jenis AFB1. Jenis ini paling banyak diteliti orang, diantaranya
menyangkut karsigonenitas, struktur dan toksisitas akut. Masing - masing jenis
aflatoksin mempunyai rumus molekul, struktur kimia dan sifat kimia yang
berbeda, seperti dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 2 berikut:
Tabel 2. Sifat Aflatoksin
Jenis
Rumus
Berat
Aflatoksin
Molekul Molekul
AFBl
C17H1206 312
AFB2
C17H1406 314
AFGl
C17H1207 328
AFG2
C17H1407 330
AFMl
C17H1207 328
AFM2
C17H1407 330
AFB2a
C17H1407 330
AFG2a
C17H1408 346
AFGM1
C17H1208 344
AFB3
C16H1406 302
Aflatoksiko C17H1406 314
l
Sumber: Prabawati, 2006
Warna
Fluoresens
e
Biru
Biru
Hijau
Hijau
Biru
Biru
Biru
Hijau
Hijau
Biru
Biru
0.56
0.53
0.48
0.46
0.40
0.30
0.13
0.11
0.12
0.42
20 ppb
100 ppb
200 ppb
300 ppb
0.5 ppb
senyawa
yang
erat
hubungannya
dengan
efek
toksis
dan
Metabolit
terhidroksilasi
yang
terbentuk,
berkonjugasi
dengan
glukuronida dan sulfat. Konjugat yang terbentuk ini bersifat polar dan
diekskresikan melalui urine.
10
Aflatoksikosis
Manusia
dapat
terpapar
oleh
aflatoksin
dengan
seperti
burung
dan
mamalia
antara
lain
hipolipidemia,
11
12
13
2. Pencucian
hasil
pertanian
untuk
membersihkan tanah yang melekat
Praktik penyimpanan
1. Menjaga hasil pertanian tetap kering dan
bersih
2. Pendataan yang tepat terhadap hasil pertanian
(tanggal, dll)
Sumber: Widyastuti, 2002
Usaha-usaha pencegahan tumbuhnya kapang A.flavus dan produksi
aflatoksin serta usaha untuk menghilangkan/merusak aflatoksin telah banyak
dilakukan seperti pengasapan makanan dengan fosfin sebagai insektisida dan
todentisida dapat mencegah pertumbuhan kapang dan aflatoksin dari 23 macam
Aspergillus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fardiaz menunjukkan bahwa
kacang yang difermentasi dapat menurunkan kandungan aflatoksin sebesar 13,43
% begitu pula kacang yang dibuat mentega ternyata dapat menurunkan kandungan
aflatoksin sebesar 20,58 % (Fardiaz, 1991)
Garam-garatn seperti NaCl, KC1, dan NaNO , pada kadar rendah dapat
meningkatkan produksi aflatoksin, akan tetapi sebaliknya apabila kadar garamgaram tersebut dinaikkan, maka justru menghambat produksi aflatoksin. Obatobat tertentu seperti insektisida, metal xantin (kafein dan teofilin) juga telah
terbukti menghambat produksi aflatoksin. Beberapa senyawa lain yang telah
terbukti sebagai pencegah tumbuhnya Aspergillus dan produksi aflatoksin adalah
asam-asam organik seperti asam asetat, asam benzoat, asam sitrat, asam laktat,
asam propionat dan asam sorbet (Rusul and Marth, 1988)
Penggorengan bahan pangan atau makanan yang terkontaminasi aflatoksin
dapat menurunkan kadar AFB1 sebesar 80 % dan AFB2 sebesar 60 %. Penurunan
kadar aflatoksin tersebut kemungkinan disebabkan karena aflatoksin larut dalam
minyak penggoreng. Penggorengan tanpa minyak (disangrai) pada suhu 150C
15
selama 1 jam juga dapat menurunkan kadar AFB1 dan AFB2 sebesar 75 % dan 45
% (Muhila, dkk., 1971)
Strategi pengendalian dapat dilakukan (1) Secara tidak langsung, yaitu
dengan pengendalian infeksi AF (Aflatoksin) di ladang pertanian, pabrik pakan
dan di gudang penyimpanan; dan (2) Secara langsung dengan penggunaan
absorben, bahan kimia maupun secara biologik (Hasheminya and Dehghannya
2013).
Pengikat mikotoksin komersial seperti 0,25% Mycofix plus 3.0 dalam
pakan yang mengandung 2,5 dan 3,5 ppm AFB1 selama 28 hari terbukti dapat
menurunkan residu AFM1 yang terbentuk di hati pada konsentrasi 11 dan 16 ppb
(<20 ppb) (Gargees & Shareef 2009). Terobosan terbaru dengan memvaksinasi
sapi laktasi dengan AnAFB1-KLH hasil konjugasi anaflatoxin B 1 (AnAFB1) yang
bersifat antigenik dengan keyhole limpet hemocyanin (KLH), dapat menurunkan
residu AFM1 yang terbentuk (Polonelli et al. 2011; Giovati et al. 2014).
Biodegradasi aflatoksin juga merupakan salah satu upaya dekontaminasi
yang ramah lingkungan dalam mengontrol keberadaan aflatoksin di pangan
maupun pakan. Biodegradasi tersebut diantaranya menggunakan bakteri tanah/air
(contoh Flavobacterium aurantiacum NRRL B-184), fungi (contoh Aspergillus
niger, Eurotium herbariorum, Rhizopus sp., A. flavus yang nontoksigenik),
protozoa (contoh Tetrahymena pyriformis), yeast Saccharomyces cerevisiae,
bakteri Lactobacillus serta Bifidobacterium ataupun enzim aflatoxin-detoxifizyme
(ADTZ) yang diisolasi dari Armillariella tabescens (Wu et al. 2009).
Penggunaan bahan alami telah dilakukan di Indonesia untuk menurunkan
residu aflatoksin pada produk ternak diantaranya menggunakan bawang putih
16
pertumbuhan A. flavus pada media kaya karbohidrat (96,2%), media kaya lemak
(100%) dan media kaya protein (96,1%) (Lisangan et al. 2014) serta menghambat
pembentukan AFB1 pada media jagung hingga 91,2% (Lisangan, 2014).
17
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aflatoksin merupakan senyawa yang bersifat racun yang dihasilkan oleh
kapang Aspergillus flavus. Aflatoksin sangat berbahaya karena bersifat toksik,
karsinogen, dan mutagen. Efek yang dapat ditimbulkan antara lain kanker, dapat
menurunkan kekebalan tubuh dan menghilangkan nafsu makan.
Berbagai jenis aflatoksin dan metabolitnya yang telah dikenal yaitu AFB l
AFB2, AFG1, AFG2, AFM1, AFM2, AFB2a, dan AFG2a. Di samping aflatoksinaflatoksin tersebut, masih ada aflatoksin yang lain yaitu AFGM 1, AFGM2, AFBG2
dan AFB3.
Kontaminasi aflatoksin dapat dikendalikan dengan cara meminimalkan
pertumbuhan jamur. Untuk melakukannya, beberapa tindakan pengendalian
sebelum panen, tindakan pencegahan saat panen dan juga praktik penyimpanan
merupakakan metode terpenting yang ada untuk mengurangi pertumbuhan jamur
dan produksi aflatoksin
3.2 Saran
Peluang yang besar untuk tumbuhnya Aspergillus flavus pada makanan
akan mengakibatkan hal-hal yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh
karena itu diperlukan suatu upaya pencegahan tumbuhnya kapang Aflavus dan
produksi aflatoksin serta usaha untuk menghilangkan/merusak aflatoksin antara
lain dengan pengolahan dan pemasakan makanan dengan cara yang tepat serta
penggunaan bahan kimia tertentu.
18
DAFTAR PUSTAKA
and
Chemical
19
20
Turner PC, Moore SE, Hall AJ, Prentice AM, Wild CP. 2003. Modification of
immune function through exposure to dietary aflatoxin in Gambian children.
Environ Health Perspect; 111: 217-20.
Wang JS, Huang T, Su J, Liang F, Wei Z, Liang Y, Luo H, et.al. 2001.
Hepatocellular carcinoma and aflatoxin exposure in Zhuqing Village, Fusui
County, Peoples Republic of China. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev.;
10: 143-6.
WH. Butler. 1974. Aflatoxins in Purchase, J.F.H., Mjwtoxins, (New York: Elseviet
Scientific Publishing Company), p. 40.
Widyastuti, P. 2002. Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia dan
Lingkungan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wiryatun, L. 1999. Aflatoksin dan Permasakhannya" Mycotoxin Training
Course, Yogyakarta.
Wogan, GN. 1975. Mycotoxins. Annual'rev. Pharmacol,15: 437.
Wu Q, Jezkova A, Yuan Z, Pavlikova L, Dohnal V, Kuca K. 2009. Biological
degradation of aflatoxins. Drug Metab Rev. 41:1-7.
Yenny. 2006. Aflatoksin dan aflatoksikosis pada manusia. Universa Medicina,
Vol.25
No.1.
http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2012/04/yenni1.pdf. Diakses 30 Desember 2015.
21