Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan merupakan salah satu komponen utama yang dibutuhkan oleh
manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya selain air dan oksigen.
Kebutuhan pangan harus cukup berimbang dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kuantitas pangan yaitu banyak sedikitnya pangan yang dibutuhkan oleh tubuh,
sedangkan kualitas pangan meliputi mutu, kandungan nutrien maupun
keamanannya (Prabawati, 2006)
Makanan dikatakan aman untuk dikonsumsi oleh manusia apabila bahan
pangan tersebut bebas dari adanya komponen atau zatzat yang apabila termakan
dapat menyebabkan sakit atau bahkan mengakibatkan kematian. Makanan
menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia antara lain katena adanya racun
alami yang terdapat dalam bahan pangan yang pengolahannya belum tuntas,
penggunaan bahan aditif yang tidak aman, sisa pestisida, adanya logam berat
berbahaya yang terikut oleh makanan, dan makanan yang terkontaminasi bakteri
atau kapang yang menghasilkan toksin (racun) yang berbahaya (Wiryatun, 1999)
Suatu kelompok kapang yang temasuk dalam mycotoxicfungi sangat
berpotensi untuk menghasilkan suatu racun (toksin) yang berbahaya yang disebut
Mycotoxins. mycotoxin dapat dijelaskan sebagai suatu kelompok metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh kapang yang menyebabkan respon toksik pada
manusia dan atau binatang apabila makanan/ bahan makanan yang mengandung
senyawa tersebut dikonsumsi (Wogan, 1975)

Mikotoksin adalah suatu zat racun yang dihasilkan oleh jamur. Banyak
jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur, diantaranya aflatoksin, zearalenon,
trichotenes, oktratoksin dan patuiin, Mikotoksin yang sering tnenyebabkan
keracunan antara lain adalah yang berasal dari jenis Aspergillus, Penicillium dan
Fusarium. Jamur ini hidup secara bebas sebagai cemaran pada berbagai macam
bahan makanan, bijibijian, palawija dan komoditi pertanian, tetapi tidak semua
jamur akan menghasilkan metabolit toksin. Ada pula diantaranya yang berguna
seperti jamur tempe dan oncom (Makfoeld, 1993)
Umumnya mikotoksin merupakan senyawa yang non polar, mempunyai
berat molekul yang rendah, resisten (tahan) terhadap inaktivasi baik secara kitnia,
biologi ataupun fisika serta mempunyai efek racun yang membahayakan.
Bebetapa genus kapang yang tersebut di atas, dapat menghasilkan toksin yang
berbahaya, sebagai contoh yaltu spesies-spesies seperti Aspergilhis nidulans,
AspergiMm versikolor dan Aspergillus flavus (termasuk genus Aspergillus),
adalah kapang penghasil utama aflatoksin. Aflatoksin yang paling berbahaya
adalah yang dihasilkan oleh kapang spesies Aspergillus flavus (Heatcote and
Hibber, 1978)

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis aflatoksin dalam bahan pangan
2. Untuk mengetahui metabolisme aflatoksin didalam tubuh
3. Untuk mengetahui pengaruh aflatoksin dalam tubuh
4. Untuk mengetahui usaha pencegahan kontaminasi aflatoksi
1.3 Manfaat

Dalam penulisan makalah ini ada beberapa manfaat yang dapat diambil
dari penjelasan dalam makalah ini, dalam hal ini manfaat dari penulisan makalah
ini terbagi dua yaitu:
1. Manfaat untuk penulis itu sendiri, manfaat dari yang mambaca yaitu untuk
mengetahui dan mendalami tentang aflatoksin dalam bahan pangan
2. Manfaat dari pembaca adalah untuk mendapatkan informasi, berbagi
pengetahuan dan juga mengetahui pengeruh aflatoksin dalam tubuh dan
usaha pencegahan dari kontaminasi aflatoksin.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Aflatoksin
Pada awal tahun 1960 di Inggris terjadi malapetaka keracunan yang tidak
teratasi yang mengakibatkan hilangnya anak ayam dalam jumlah besar. Dalam
waktu yang singkat sindrom keracunan yang sama terjadi pada anak itik, ayam
dan babi. Hal ini dipelajari ternyata bahwa malapetaka itu ada hubungannya
dengan makanan yang diperdagangkan yang berisi kacang dan ikan, sehingga
toksisitasnya dapat dihilangkan dengan mengganti kedelai dan milk kering.
Seargent dan kawan-kawan, yang pertama mengkaitkan toksisitas dengan
pencemaran jamur beberapa strain dari Aspergillus flavus dan memberikan nama
generic "aflatoksin" kepada prinsip beracun (Prabawati, 2006)
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang sejak tahun 1960 sampai
sekarang masih menjadi perhatian para ilmuwan tetutama ilmuwan negara-negara
yang mempunyai iklim tropik seperti Indonesia. Iklim tropik ini akan memberi
peluang yang cukup besar untuk tumbuhnya kapang yang menghasilkan
aflatoksin. Aflatoksin terdiri dari kata a, fla dan toksin (a = aspergillus, fla =
flavus, toksin = racun). Aflatoksin merupakan senyawa yang bersifat racun yang
dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus. Aflatoksin sangat berbahaya karena
bersifat toksik, karsinogen, dan mutagen. Efek yang dapat ditimbulkan antara lain
kanker, dapat menurunkan kekebalan tubuh dan menghilangkan nafsu makan
(Prabawati, 2006)
Aflatoksin merupakan cemaran alami yang dihasilkan oleh beberapa
spesies dari fungi Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah beriklim panas

dan lembap, terutama pada suhu 27-40C (80-104 F) dan kelembapan relatif 85%
(Robetson, 2005). Sebagai mikotoksin, senyawa tersebut lebih stabil dan tahan
selama pengolahan makanan (Huang and Elmashni, 2007)
Beberapa bahan pangan yang tersebut di berikut ini, cukup rentan
terkontaminasi aflatoksin, seperti: jagung, gandum, kacang, rempahrempah, wijen
dan beras. Sedangkan binatang atau organ binatang yang rentan terserang racun
ini misalnya babi, unggas, hati unggas dan jantung babi (Prabawati, 2006)

Gambar 1. Asperigillus flavus

2.2 Jenis-jenis Aflatoksin


Aflatoksin merupakan senyawa yang struktur kimianya hampir sama
dengan struktur kimia senyawa-senyawa difuranokumarin. Berbagai jenis
aflatoksin dan metabolitnya yang telah dikenal yaitu AFB l AFB2, AFG1, AFG2,
AFM1, AFM2, AFB2a, dan AFG2a. Di samping aflatoksin-aflatoksin tersebut, masih
ada aflatoksin yang lain yaitu AFGM1, AFGM2, AFBG2 dan AFB3 (Prabawati,
2006). Jenis aflatosin dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Jenis Aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus


Difuranocoumarins

Type of aflatoksin

Aspergillus specie(s)

Difurocoumarocyclopenten
one series

Aflatoxin B1 (AFB1)

A. flavus, A. arachidicola, A.
bombycis, A. minisclerotigenes, A.
nomius, A. ochraceoroseus, A.
parasiticus, A. pseudotamarii, A.
rambellii, Emericella venezuelensis
A. arachidicola, A. flavus, A.
minisclerotigenes, A. nomius, A.
parasiticus
A. flavus
A. flavus, A. parasiticus; metabolite of
aflatoxin B1 in humans and animals
and comes from a mother's milk
Metabolite of aflatoxin B2 in milk of
cattle fed on contaminated foods
Metabolite of AFM2

Aflatoxin B2 (AFB2)

Aflatoxin B2a (AFB2a)


Aflatoxin M1 (AFM1)

Aflatoxin M2 (AFM2)
Aflatoxin M2A
(AFM2A)
Aflatoxicol (AFL)
Difurocoumarolactone
series

Aflatoxicol M1
Aflatoxin G1 (AFG1)

A. flavus, metabolite of AFB1

Aflatoxin G2A(AFG2A)

Metabolite of AFM1
A. arachidicola, A. flavus, A.
minisclerotigenes, A. nomius, A.
Parasiticus
A. arachidicola, A. flavus, A.
minisclerotigenes, A. nomius, A.
parasiticus
Metabolite of AFG2

Aflatoxin GM1(AFG1)

A. flavus

Aflatoxin GM2
(AFGM2)
AFGM2A
Aflatoxin B3 (AFB3)
Parasiticol (P)
Aflatrem

Metabolite of AFG2

Aspertoxin
Aflatoxin Q1 (AFQ1)

A. flavus
Major metabolite of AFB1 in in vitro
liver preparations of other higher
vertebrates

Aflatoxin G2 (AFG2)

Metabolite of AFGM2
Aspergillus species not defined
A. flavus
A. flavus, A. minisclerotigenes

Sumber: Bbosa, et al., 2013


Nama-nama huruf di belakang seperti B,G dan M mempunyai arti sendirisendiri. Huruf B dari kata blue karena pada penyinaran dengan sinar ultra violet,
aflatoksin menunjukkan fluoresensi warna biru. Huruf G dari kata green, karena
menunjukkan fluoresensi warna hijau, sedangkam huruf M menunjukkan bahwa
aflatoksin tersebut terdapat dalam air susu milk (Heathcote and Hibber, 1978).
6

Aflatoksin yang paling toksik dari berbagai jenis aflatoksins yang tersebut
di atas adalah jenis AFB1. Jenis ini paling banyak diteliti orang, diantaranya
menyangkut karsigonenitas, struktur dan toksisitas akut. Masing - masing jenis
aflatoksin mempunyai rumus molekul, struktur kimia dan sifat kimia yang
berbeda, seperti dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 2 berikut:
Tabel 2. Sifat Aflatoksin
Jenis
Rumus
Berat
Aflatoksin
Molekul Molekul
AFBl
C17H1206 312
AFB2
C17H1406 314
AFGl
C17H1207 328
AFG2
C17H1407 330
AFMl
C17H1207 328
AFM2
C17H1407 330
AFB2a
C17H1407 330
AFG2a
C17H1408 346
AFGM1
C17H1208 344
AFB3
C16H1406 302
Aflatoksiko C17H1406 314
l
Sumber: Prabawati, 2006

Warna
Fluoresens
e
Biru
Biru
Hijau
Hijau
Biru
Biru
Biru
Hijau
Hijau
Biru
Biru

Titik Lebur Racing


o
C
Factor (Rf)
276
303-306
244-246
237-240
299
293
240
90
276
217
233

0.56
0.53
0.48
0.46
0.40
0.30
0.13
0.11
0.12
0.42

Struktur kimia beberapa jenis aflatoksin, dapat dilihat pada gambar


berikut:

Gambar 2. Struktur Kimia Jenis-jenis Aflatoksin (Eaton and Gallager, 1994)


Hasil olahannya seperti kacang, oncom, betas, kentang, kemiri, bihun,
tninyak kelapa, dan jamu-jamu telah terdeteksi AFB1 (Wiryatun, 1986). Dengan
terdeteksinya AFB1 dalam bahan makanan dan makanan di Indonesia, maka
dikhawatirkan makanan tersebut telah ikut termakan manusia. Dari hasil
penelitian ditunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut telah terbukti yaitu dengan
terdeteksinya AFB1 dalam serum orang normal, penderita hepatitis, dan hepatoma
dalam urine beberapa pasien yang datang di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta
dengan berbagai macam penyakit (Prabawati, 2006).
Di Indonesia, pemerintah belum menetapkan batas kadar AFB1 yang
diperbolehkan (dianggap tidak berbahaya) untuk bahan makanan yang beredar,
akan tetapi beberapa organisasi dunia telah menetapkannya yaitu kadar
maksimum aflatoksin yang diperbolehkan di dalam makanan dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 3. Kadar Maksimum Aflatoksin dalam Makanan
Jenis Makanan
Kadar
Sebagai konsumsi langsung
Sereal, Kacang, Buah Kering
2 g/kg B1
4 g/kg (total)
Sebagai bahan tambahan
Kacang tanah
8 g/kg B1
15 g/kg (total)
Terhadap kacang dan buah kering
5 g/kg B1
10 g/kg (total)
Susu murni, susu pabrik
0.05 g/kg M1
Sumber: Prabawati, 2006
Assosiasi Bahan Makanan dan Obat (FDA) juga memberikan batasan
untuk kadar aflatoksin dalam makanan yaitu:
1. Untuk makanan manusia
2. Untuk makanan anak sapi

20 ppb
100 ppb

3. Untuk makanan babi dan unggas


4. Untuk makanan sapi
5. Susu

200 ppb
300 ppb
0.5 ppb

Dari kedua tabel 3, dapat terlihat bahwa aflatoksin rawan terkandung di


dalam kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi baik oleh manusia maupun
hewan ternak seperti unggas.

2.3 Metabolisme aflatoksin dalam Tubuh


Telah banyak dilakukan penelitian tentang metabolism aflatoksin di dalam
tubuh dan sebagai objek penelitian yaitu dilakukan pada binatang seperti pada
kelinci, kucing, itik, tikus dan ayam. Berdasarkan atas lamanya aflotoksin
mengalami metabolisme, maka binatang dapat dibagi menjadi 3 kelompok:
(Butler, 1974)
1. Metabolisme berlangsung dalam waktu kurang dari 12 menit. Binatang
yang termasuk kelompok ini adalah kelinci, anak itik dan marmut.
2. Metabolisme berlangsung dalam waktu 1-4 jam. Binatang yang termasuk
kelompok ini adalah ayam, mencit, babi dan biri-biri.
3. Metabolisme berlangsung dalam waktu 0,8-2,6 hari. Binatang yang
termasuk kelompok ini adalah tikus.
Di dalam mitokondria, aflatoksin B 1 mengalami biotransformasi menjadi
berbagai

senyawa

yang

erat

hubungannya

dengan

efek

toksis

dan

karsinogenesitasnya. AFB mengalami biotransformasi menjadi metabolit yang


terhidroksilasi dan mengalami oksidasi menjadi 8,9-epoksida aflatoksin B 1 yang
reaktif.

Metabolit

terhidroksilasi

yang

terbentuk,

berkonjugasi

dengan

glukuronida dan sulfat. Konjugat yang terbentuk ini bersifat polar dan
diekskresikan melalui urine.

Gambar 3. jalur biotransformational untuk aflatoksin B1


(Eaton and Gallager, 1994)
Senyawa 8,9-epoksida aflatoksin B1 yang reaktif tersebut, disamping dapat
berikatan secara kovalen dengan DNA pada N nomor 7 basa guanine, juga dapat
berkonjugasi dengan glutation tereduksi dan dapat mengalami hidrolisis menjadi
dihidrodiol AFB1. DNA yang terikat secara kovalen dengan 8,9-epoksida
aflatoksin B1 ada yang ikatannya stabil dan ada juga yang lepas kembali normal.
Ikatan yang stabil ini dapat mengakibatkan kelainan pada sel sedangkan
dihidrodiol AFB1 yang terbentuk dapat berikatan secara kovalen. dengan protein.
Protein yang terikat secara kovalen ini dapat menyebabkan kematian sel dan
menimbulkan keracunan (Eaton and Gallager, 1994)
Pada dasarnya senyawa-senyawa kimia, racun, dan radiasi dapat
mempengaruhi perkembangan sel. Metabolit hasil biotransformasi AFB1 yang
dapat membentuk ikatan kovalen dengan DNA di N7 guanin dapat mengakibatkan
mutasi gen. Gen yang mengalami mutasi ini dapat mengakibatkan RNA yang
terbentuk dan translasinya menjadi protein dalam sitoplasma memberikan
gambaran sitologis tidak sama dengan sel normal. Pengaruh aflatoksin B1
terhadap sel dapat mengakibatkan kematian sel.
2.4 Pengaruh Aflatoksin

10

Aflatoksikosis

Manusia

dapat

terpapar

oleh

aflatoksin

dengan

mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan


jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam
makanan sulit untuk dicegah. Walaupun kontaminasi bahan makanan oleh
aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di Negara berkembang, namun
diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada
paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan. Gejala awal aflatoksikosis
yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain berupa menurunnya
efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan
pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau
kegagalan terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody
dysentery, erisipelas, salmonellosis, pneumonia (Beasly, 1999)
Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang
ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian
akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaan-keadaan
yang meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada
manusia meliputi terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang
menguntungkan untuk berkembangbiaknya jamur di dalam hasil pertanian dan
bahan-bahan dagangan, dan masih kurangnya sistem yang mengatur monitoring
dan kontrol aflatoksin. Gejala aflatoksikosis yang paling menonjol pada beberapa
spesies

seperti

burung

dan

mamalia

antara

lain

hipolipidemia,

hypercholesterolemia dan hypocarotenaemia di mana hal ini dihubungkan dengan


steatosis hepatik berat dan kehilangan berat badan (Faefan, 1999)
Paparan akut

11

Keracunan akut aflatoksin pada manusia relatif jarang dijumpai dan


kontaminasi yang terjadi kebanyakan tidak cukup serius. Keracunan akut di mana
25% di antaranya menyebabkan kematian, terjadi sebagai akibat paparan
aflatoksin konsentrasi tinggi (Lewis, et al., 2005). Laporan kematian karena
keracunan tersebut biasanya datang dari negara-negara berkembang yang berada
dalam zona atau daerah berisiko. Jumlah kasus keracunan akut tidaklah besar bila
dibandingkan dengan jumlah populasi yang mengalami risiko, ini mungkin
disebabkan karena penduduk yang bersangkutan umumnya menghindari makanan
yang jelas-jelas berjamur, dan juga karena manusia adalah spesies yang cukup
toleran terhadap aflatoksin (Yenny, 2006)
Saluran gastrointestinal manusia dapat dengan cepat mengabsorbsi
aflatoksin segera setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi dan sistem
peredaran darah membawa aflatoksin tersebut ke dalam hati. Selanjutnya, 1-3%
aflatoksin yang dikonsimsi itu akan terikat secara iriversibel pada protein dan
basa-DNA untuk membentuk ikatan seperti misalnya aflatoksin B1-lysine di
albumin. Disrupsi protein dan basa-DNA di dalam sel hepatosit menyebabkan
toksisitas hepar (Azziz-Baumgartner et al., 2004). Manifestasi dini dari
hepatotoksisitas berupa anoreksia, malaise, dan demam (lowgrade). Aflatoksikosis
dapat berlanjut menjadi hepatitis akut yang bersifat letal dengan gejala-gejala
seperti muntah, nyeri perut, hepatitis dan kematian (Yenny, 2006)
Paparan kronis
Paparan kronis aflatoksin dalam makanan merupakan faktor risiko utama
untuk terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan karsinoma hepatoselular
terutama di negara di mana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang

12

endemik. Menurut Azziz-Baumgartner et al. (2004) orang-orang yang mengalami


paparan secara kronis terhadap aflatoksin pada kadar yang tinggi memiliki risiko
untuk menderita karsinoma hepatoseluler tiga kali lebih besar dari pada mereka
yang tidak mengalami paparan tersebut, dan angka kematian karena aflatoksikosis
pada laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Paparan kronis aflatoksin dalam
dosis rendah dapat meningkatkan risiko terhadap karsinoma hepatoseluler,
sedangkan kelainan hepar yang akut dan berat dengan angka mortalitas yang besar
dijumpai pada pada paparan aflatoksin dosis tinggi. Asupan aflatoksin dalam dosis
2-6 mg/hari selama satu bulan dapat menyebabkan hepatitis akut dan kematian
(Krishnamachari, et al., 1975).
Kanker hati
Aflatoksin bersifat karsinogenik pada manusia dan hewan. Karsinoma
hepatoselular secara umum diderita 500.000 orang tiap tahunnya di dunia, dengan
80% kejadian ditemukan di negara berkembang dengan five year mortality >95%.
Karsinoma hepatoselular ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
terutama di Cina dan Afrika (Wang, et al., 2001).
Supresi imunologis
Efek supresi sistem imun oleh aflatoksin kebanyakan didapatkan dari
penelitian yang dilakukan di peternakan atau menggunakan hewan coba yang
terpapar kronis dengan

aflatoksin pada kadar yang cukup tinggi untuk

menimbulkan gejala seperti aflatoksikosis akut. Efek imunosupresi aflatoksin


dapat dipindahkan dari plasenta dan mengenai fetus. Titer dari vaksinasi juga
dapat dipengaruhi oleh paparan aflatoksin. Aflatoksin secara bermakna
mengurangi respon antibodi terhadap vaksinasi. Pada penelitian yang dilakukan

13

terhadap anak-anak di Gambia didapatkan fakta kadar sekretoris imunoglubulin A


(Ig A) lebih rendah pada anak yang terpapar oleh aflatoksin (Turner, et al., 2003)
Gangguan nutrisi
Paparan kronis aflatoksin punya efek utama pada status nutrisi hewan, tapi
seperti halnya terhadap efek imunotoksisitas, ambang dari efek ini tidak dapat
didefinisikan bagi tiap spesies. Hewan yang mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi aflatoksin akan terhambat pertumbuhan dan produktivitasnya.
Aflatoksikosis yang terjadi pada anak ternyata menyebabkan malnutrisi protein
berat (kwashiokor) (Gong, et al., 2002) Aflatoksin juga mempunyai pengaruh
terhadap vitamin dan beberapa mikronutrien. Defisiensi vitamin A dapat timbul
akibat paparan aflatoksin.
2.5 Usaha Pencegahan kontaminasi aflatoksin
Kontaminasi aflatoksin dapat dikendalikan dengan cara meminimalkan
pertumbuhan jamur. Untuk melakukannya, beberapa tindakan pengendalian
sebelum panen, tindakan pencegahan saat panen dan juga praktik penyimpanan
merupakakan metode terpenting yang ada untuk mengurangi pertumbuhan jamur
dan produksi aflatoksin (Tabel 3). Selain tindakan pencegahaan saat panen dan
penyimpanan, skrining terhadap hasil pertanian sebelum diolah dan dijual ternyata
merupakan cara yang penting untuk meminimalkan pemaparan manusia terhadap
aflatoksin (Widyastuti, 2002)
Tabel 3. Metode yang Digunakan untuk Mengurangi produksi Aflatoksin
Sebelum Paanen
1. Pemilihan varietas yang resisten
2. Pencegahan kerusakan fisik pada hasil
pertanian akibat serangan serangga
3. Penggunaan teknik rotasi tanaman yang tepat
Kewaspadaan saat panen
1. Penanganan yang tepat untuk menghindari
kerusakan fisik
14

2. Pencucian
hasil
pertanian
untuk
membersihkan tanah yang melekat
Praktik penyimpanan
1. Menjaga hasil pertanian tetap kering dan
bersih
2. Pendataan yang tepat terhadap hasil pertanian
(tanggal, dll)
Sumber: Widyastuti, 2002
Usaha-usaha pencegahan tumbuhnya kapang A.flavus dan produksi
aflatoksin serta usaha untuk menghilangkan/merusak aflatoksin telah banyak
dilakukan seperti pengasapan makanan dengan fosfin sebagai insektisida dan
todentisida dapat mencegah pertumbuhan kapang dan aflatoksin dari 23 macam
Aspergillus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fardiaz menunjukkan bahwa
kacang yang difermentasi dapat menurunkan kandungan aflatoksin sebesar 13,43
% begitu pula kacang yang dibuat mentega ternyata dapat menurunkan kandungan
aflatoksin sebesar 20,58 % (Fardiaz, 1991)
Garam-garatn seperti NaCl, KC1, dan NaNO , pada kadar rendah dapat
meningkatkan produksi aflatoksin, akan tetapi sebaliknya apabila kadar garamgaram tersebut dinaikkan, maka justru menghambat produksi aflatoksin. Obatobat tertentu seperti insektisida, metal xantin (kafein dan teofilin) juga telah
terbukti menghambat produksi aflatoksin. Beberapa senyawa lain yang telah
terbukti sebagai pencegah tumbuhnya Aspergillus dan produksi aflatoksin adalah
asam-asam organik seperti asam asetat, asam benzoat, asam sitrat, asam laktat,
asam propionat dan asam sorbet (Rusul and Marth, 1988)
Penggorengan bahan pangan atau makanan yang terkontaminasi aflatoksin
dapat menurunkan kadar AFB1 sebesar 80 % dan AFB2 sebesar 60 %. Penurunan
kadar aflatoksin tersebut kemungkinan disebabkan karena aflatoksin larut dalam
minyak penggoreng. Penggorengan tanpa minyak (disangrai) pada suhu 150C

15

selama 1 jam juga dapat menurunkan kadar AFB1 dan AFB2 sebesar 75 % dan 45
% (Muhila, dkk., 1971)
Strategi pengendalian dapat dilakukan (1) Secara tidak langsung, yaitu
dengan pengendalian infeksi AF (Aflatoksin) di ladang pertanian, pabrik pakan
dan di gudang penyimpanan; dan (2) Secara langsung dengan penggunaan
absorben, bahan kimia maupun secara biologik (Hasheminya and Dehghannya
2013).
Pengikat mikotoksin komersial seperti 0,25% Mycofix plus 3.0 dalam
pakan yang mengandung 2,5 dan 3,5 ppm AFB1 selama 28 hari terbukti dapat
menurunkan residu AFM1 yang terbentuk di hati pada konsentrasi 11 dan 16 ppb
(<20 ppb) (Gargees & Shareef 2009). Terobosan terbaru dengan memvaksinasi
sapi laktasi dengan AnAFB1-KLH hasil konjugasi anaflatoxin B 1 (AnAFB1) yang
bersifat antigenik dengan keyhole limpet hemocyanin (KLH), dapat menurunkan
residu AFM1 yang terbentuk (Polonelli et al. 2011; Giovati et al. 2014).
Biodegradasi aflatoksin juga merupakan salah satu upaya dekontaminasi
yang ramah lingkungan dalam mengontrol keberadaan aflatoksin di pangan
maupun pakan. Biodegradasi tersebut diantaranya menggunakan bakteri tanah/air
(contoh Flavobacterium aurantiacum NRRL B-184), fungi (contoh Aspergillus
niger, Eurotium herbariorum, Rhizopus sp., A. flavus yang nontoksigenik),
protozoa (contoh Tetrahymena pyriformis), yeast Saccharomyces cerevisiae,
bakteri Lactobacillus serta Bifidobacterium ataupun enzim aflatoxin-detoxifizyme
(ADTZ) yang diisolasi dari Armillariella tabescens (Wu et al. 2009).
Penggunaan bahan alami telah dilakukan di Indonesia untuk menurunkan
residu aflatoksin pada produk ternak diantaranya menggunakan bawang putih

16

putih (Allium sativum) (Maryam et al. 2003). Penambahan 0,08% sambiloto


(Andrographis paniculata) ke dalam pakan itik (Rachmawati & Hamid 2006).
Demikian pula dengan penambahan 1,5 g inokulum Rhizopus oligosporus ke
dalam pakan yang mengandung 200 ng/kg AFB1 (Kusumaningtyas et al. 2006)
Penelitian terbaru di Indonesia dalam mengendalikan AFB1 telah
dilakukan menggunakan ekstrak bertingkat heksana-etil asetat-metanol (HEM)
dari tanaman asli Papua yaitu daun rumput kebar (Biophytum petersianum
Klotszch) pada konsentrasi 20

mg/mL dan terbukti mampu menghambat

pertumbuhan A. flavus pada media kaya karbohidrat (96,2%), media kaya lemak
(100%) dan media kaya protein (96,1%) (Lisangan et al. 2014) serta menghambat
pembentukan AFB1 pada media jagung hingga 91,2% (Lisangan, 2014).

17

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aflatoksin merupakan senyawa yang bersifat racun yang dihasilkan oleh
kapang Aspergillus flavus. Aflatoksin sangat berbahaya karena bersifat toksik,
karsinogen, dan mutagen. Efek yang dapat ditimbulkan antara lain kanker, dapat
menurunkan kekebalan tubuh dan menghilangkan nafsu makan.
Berbagai jenis aflatoksin dan metabolitnya yang telah dikenal yaitu AFB l
AFB2, AFG1, AFG2, AFM1, AFM2, AFB2a, dan AFG2a. Di samping aflatoksinaflatoksin tersebut, masih ada aflatoksin yang lain yaitu AFGM 1, AFGM2, AFBG2
dan AFB3.
Kontaminasi aflatoksin dapat dikendalikan dengan cara meminimalkan
pertumbuhan jamur. Untuk melakukannya, beberapa tindakan pengendalian
sebelum panen, tindakan pencegahan saat panen dan juga praktik penyimpanan
merupakakan metode terpenting yang ada untuk mengurangi pertumbuhan jamur
dan produksi aflatoksin

3.2 Saran
Peluang yang besar untuk tumbuhnya Aspergillus flavus pada makanan
akan mengakibatkan hal-hal yang merugikan bagi kesehatan manusia. Oleh
karena itu diperlukan suatu upaya pencegahan tumbuhnya kapang Aflavus dan
produksi aflatoksin serta usaha untuk menghilangkan/merusak aflatoksin antara
lain dengan pengolahan dan pemasakan makanan dengan cara yang tepat serta
penggunaan bahan kimia tertentu.

18

DAFTAR PUSTAKA

Azziz-Baumgartner E, Lindblade K, Gieseker K, Rogers HS, Kierszak S, Njapau


H, et al. Case-control study of an acute aflatoxicosis outbreak, Kenya, 2004.
Environt Health Perspect 2005; 113: 1779-83
Bbosa.S.G., D.Kitya, A. Lubega, J.O Okeng, W.W Anokbonggo and D.B
kyegombe. 2013. Review of the Biological and Health Effects of Aflatoxins
on Body Organs and Body Systems. http://cdn.intechopen.com/pdfswm/38731.pdf. Diakses 31 Desember 2015.
Beasley V. 1999. Mycotoxins that affect the liver. New York: International
Veterinary Information Service (IVIS).
Eaton, L.D, and E.P. Gallagher. 1994. Mechanisms of Aflatoxin Carsinogenesis.
Annu. Rev. PharmacoL Toxicol, 34 :135-172
Fardiaz, S. 1991. Destruction of Aflatoxin during Processing of
Aflatoxincontaminated Peanuts into Products. Indon,J.Tro.Agric, vol.3, 2731.
Farfan JA. 1999. Aflatoxin B1-induced hepatic steatosis: role of carbonyl
compounds and active diols on steatogenesis. The Lancet; 353: 747-48.
Gargees MT, Shareef AM. 2009. Reducing liver aflatoxin M1 residues in chicks
with mycofix plus 3.0 during aflatoxicosis. Iraqi J Vet Sci. 23:37-44.
Giovati L, Gallo A, Masoero F, Cerioli C, Ciociola T, Conti S, Magliani W,
Polonelli L. 2014. Vaccination of heifers with anaflatoxin improves the
reduction of aflatoxin B1 carry over in milk of lactating dairy cows. PLoS
One. 9:e94440.
Gong YY, Cardwell K, Hounsa A, Turner PC, Hall AJ, Wild CP. 2002. Dietary
aflatoxin exposure and impaired growth in young children from Benin and
Togo: cross sectional study. Br Med J; 325: 20-1.
Hasheminya SM, Dehghannya J. 2013. Strategies for decreasing aflatoxin in
livestock feed and milk. Int Res J Appl Basic Sci. 4:1506-1510.
Heathcote J.G. and J.R.Hibber. 1978. Aflatoksin:
BiologicalA.specis. Holland: Elsevier North-Holland Inc.

and

Chemical

Huang J, Elmashni D. 2007. Analysis of Aflatoxins Using Fluorescence Detection.


Thermo Scientific Application Note 381.
Krishnamachari KA, Nagarajan V, Ramesh VB, Tilak TBG. 1975. Hepatitis due to
aflatoxicosis: an outbreak in western India. Lancet; 1: 1061-3.

19

Kusumaningtyas E, Widiastuti R, Maryam R. 2006. Penurunan residu aflatoksin


B1 dan M1 pada hati itik dengan pemberian kultur Saccharomyces
cerevisiae dan Rhizopus oligosporus.
Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al. Aflatoxin
contamination of commercial maize products during an outbreak of acute
aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environ Health Perspect. 2005;
113: 1763-7.
Lisangan MM. 2014. Ekstrak daun rumput kebar (Biophytum petersianum)
sebagai antikapang Aspergillus flavus toksikgen dan antiaflatoksin serta
aplikasinya pada sistem pangan [Disertasi]. [Bogor (Indonesia)]: Institut
Pertanian Bogor.
Makfoeld, D. 1993. Mikotoksin Pangati .Yogyakarta: Pusat Antat Universitas
Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.
Maryam R, Sani Y, Djuariah S, Firmansyah R, Mihardja. 2003. Efektivitas
bawang putih (Allium sativum Linn) dalam penanggulangan aflatoksikosis
pada ayam petelur. Dalam: Mathius IW, Setiadi B, Sinurat AP, Ashari,
Darmono, Wiyono A, Purwadaria P, Murdiati TB, penyunitng. IPTEK untuk
menyejahterakan petani melalui agribisnis Peternak yang berdaya saing.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 2930 September 2003. Bogor (Indonesia): Puslitbangnak. p. 454-461.
Muhilal, D Karyadi dan D.D Prawironegoro. 1971. Kadar Aflatoksin dalam
Kacang Tanah dan Masil Olahannya. Penelitian Gizi dan Pangan,1: 87.
Polonelli L, Giovati L, Magliani W, Conti S, Sforza S, Calabretta A, Casoli C,
Ronzi P, Grilli E, Gallo A, et al. 2011. Vaccination of lactating dairy cows
for the prevention of aflatoxin B1 carry over in milk. PLoS One. 6:e26777.
Prabawati, S.Y. 2006. Aspek Kimiawi Racun Afiatoksin Dalam Bahan Pangan
Dan
Pencegahannya.
Kaunia,
Vol.
II,
No.2.
http://digilib.uinsuka.ac.id/7894/1/SUSY%20YUNITA%20PRABAWATI
%20%20ASPEK%20KIMIAWI%20RACUN%20AFIATOKSIN
%20DALAM%20BAHAN%20PANGAN%20DAN
%20PENCEGAHANNYA.pdf Diakses 30 Desember 2015.
Rachmawati S, Hamid H. 2006. Pengaruh penggunaan sambiloto (Andrographis
paniculata Nees) terhadap kandungan residu aflatoksin dalam hati itik dan
WARTAZOA Vol. 24 No. 4 Th. 2014 Hlm. 179-190
Robertson A. 2005. Risk of Aflatoxin Contamination Increases With Hot And Dry
Growing Conditions. Integrated Crop Management IC- 494; 23: 185-186.
Rusul, G., and Marth, E.H. 1988. Food Additives and Plant Components Control
Growth and Aflatoxin Production by Toxigenic Aspergillus Mycopathologia,
101: 13-23

20

Turner PC, Moore SE, Hall AJ, Prentice AM, Wild CP. 2003. Modification of
immune function through exposure to dietary aflatoxin in Gambian children.
Environ Health Perspect; 111: 217-20.
Wang JS, Huang T, Su J, Liang F, Wei Z, Liang Y, Luo H, et.al. 2001.
Hepatocellular carcinoma and aflatoxin exposure in Zhuqing Village, Fusui
County, Peoples Republic of China. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev.;
10: 143-6.
WH. Butler. 1974. Aflatoxins in Purchase, J.F.H., Mjwtoxins, (New York: Elseviet
Scientific Publishing Company), p. 40.
Widyastuti, P. 2002. Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia dan
Lingkungan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wiryatun, L. 1999. Aflatoksin dan Permasakhannya" Mycotoxin Training
Course, Yogyakarta.
Wogan, GN. 1975. Mycotoxins. Annual'rev. Pharmacol,15: 437.
Wu Q, Jezkova A, Yuan Z, Pavlikova L, Dohnal V, Kuca K. 2009. Biological
degradation of aflatoxins. Drug Metab Rev. 41:1-7.
Yenny. 2006. Aflatoksin dan aflatoksikosis pada manusia. Universa Medicina,
Vol.25
No.1.
http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2012/04/yenni1.pdf. Diakses 30 Desember 2015.

21

Anda mungkin juga menyukai