No
: Vita Cahyaningsih
: 36
Kelas : XI IPA-2
Cerita ini dimulai dari Arif Fikri, bocah dari pinggiran Danau
Maninjau Sumatra Barat, yang tidak pernah menginjak tanah di
luar ranah Minangkabau. Alif bercita-cita menjadi Habibie dan
melalui sekolah umum ia dapat mewujudkan semua itu, apalagi
nilainya cukup mendukung. Namun Ibunya menginginkan Alif
menjadi seorang ulama besar seperti Buya Hamka. Pilihan yang
sulit bagi Alif, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mondok di
suatu pesantren di Jawa Timur meskipun dengan keputusan
setengah hati. Tiga hari tiga malam Alif bersama ayahnya
melintasi punggung Sumatra dan Jawa menuju sebuah desa di
pelosok Jawa Timur. Alif tidak mengira dia akan menjadi santri
Pondok Madani yang terkenal dengan kegiatan belajar mengajar
sedemikian padat dengan aturan-aturan kedisiplinan ekstraketat.
Hari pertama, Alif terkesima dengan sebuah pepatah arab man
jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan
mendapatkannya. Akhirnya pepatah arab tersebut menjadi
mantera ampuh untuk membangun mimpi masa depan dan
mewujudkan cita-citanya.
Dipersatukan
oleh
hukuman
jewer
berantai
Alif
menghafal
menggapai
30
impiannya
jus
Alquran
bersekolah
di
sebagai
syarat
Madinah,
untuk
Atang
dari
keras
menyesuaikan
diri.
Cobaan
demi
cobaan
bernostalgia bersama di
dari
London
terduga.
Novel ini mampu mengungkapkan tentang dahsyatnya
sebuah mimpi serta menguak sisi positif dari sebuah pondok
pesantren.
Kebanyakan
orang
menganggap
bahwa
pondok