Anda di halaman 1dari 2

Merdeka.

com - Detroit, Amerika Serikat menjadi kota yang nyaris mati setelah
bangkrut. Kota ini kini sepi dengan rumah-rumah tidak berpenghuni serta tingkat
kriminalitas tinggi.
Detroit terlilit utang menumpuk. Penegakan hukum juga bermasalah. Banyak
permukiman penduduk mengalami kerusakan, sampah bertebaran, kriminalitas
berada di titik-titik kota yang miskin.
Situasi di Detroit tentu diharapkan tidak terjadi di Indonesia. Bukan tidak mungkin,
kota-kota di Indonesia mengalami kebangkrutan seperti Detroit.
"Di Indonesia tentu sangat berpotensi seperti Detroit, apabila pemerintah daerah
tidak dapat mengelola keuangan daerahnya secara akuntabel dan efisien, sehingga
tidak dapat memberikan pelayanan publik yang baik," ujar Direktur Eksekutif Komite
Pelaksana Pemantau Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jeweng kepada
merdeka.com, Selasa (30/7).
Potensi bangkrut muncul jika APBD sebagian besar dipergunakan untuk belanja
pegawai, bukan pembangunan daerah. Berdasarkan kajian Fitra, ada sekitar 291
wilayah kota maupun kabupaten yang sebagian besar APBD digunakan untuk
belanja aparatur, 11 di antaranya anggaran untuk belanja aparatur sebanyak 70
persen lebih dari APBD.
11 daerah salah satu contohnya Kudus di Jawa Tengah dan Lamongan di Jawa Timur.
Kedua daerah tersebut membelanjakan APBD untuk biaya aparatur daerah.
Menurut Robert, kepala daerah harus dapat mengatur APBD secara akuntabel
dengan memprioritaskan instrumen fiskal untuk pembangunan ekonomi dan
pelayanan publik. Kemudian, kepala daerah diperlukan memiliki jiwa
kewirausahaan, sehingga tidak terpatok untuk mengeksploitasi APBD dalam
menjalankan pembangunan daerah.
"Contoh saja seperti di Kota Sawah Lunto itu mantan wali kotanya Arman sekarang
sudah tidak menjabat telah melakukan inovasi dengan mengubah lubang-lubang
bekas galian tambang menjadi objek wisata. Ini tentu, dia dapat melihat potensi di
daerah yang dipimpin, tentu saja akan menciptakan pajak dan retribusi baru kan,"
ungkapnya.
Menurutnya, efisiensi anggaran harus dibarengi dengan reformasi birokrasi.
Maksudnya, jangan melakukan perekrutan pegawai baru apabila dibuat untuk
pemborosan anggaran.
"Efisiensi anggaran harus dibarengi untuk reformasi birokrasi, jangan asal
rekrutmen pegawai baru terus tapi boros pada akhirnya kan," ungkapnya.
Selain itu, dia mengungkapkan peran masyarakat di setiap daerah diperlukan untuk
mengawasi APBD. Begitu pula pemerintah pusat dalam hal ini Mendagri tidak harus

cuci tangan dalam melakukan pengawasan otonomi daerah.


"Selama ini mendagri tidak berperan efektif dan substansial mengawasi daerah, ya
walaupun sudah ada kebijakan otonomi daerah tetapi peran pengawasan
pemerintah pusat tetap dibutuhkan," jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai