Teosentris berasal dar bahasa Yunani, theos, yang memilik iarti Tuhan, dan bahasa
Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentris mengacu pada pandangan
bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi
dibandingkan sistem lainnya. Teosentris adalah sebuah pemikiran dimana semua proses
dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan.
Pada kajian yang lebih mendalam, teosentris berarti menegakan kejayaan Tuhan dengan
melakukan berbagai hal yang baikdan menghalau berbagai hal yang buruk.Terkait hal ini,
perspektif Kristiani serupa dengan Islam. Kitab suci Al-Quran menyatakan bahwa tujuan dari
penciptaan manusia adalah untuk mengagung kan dan menyembah Allah SWT, seperti yang
dinyatakan pada surat Adh Dhariyat 51:56: dan tidaka Kuciptakan jinn dan manusia kecuali
untuk menyembah-Ku. Menyembah, dalam kajian Islam, berarti mengakui pada kesatuan
dan kekuasaan Allah SWT. Kehidupan merupakan perjuangan yang berkelanjutan antara
kebajikan dan kejahatan.
Sementara kajian Kristiani juga mengandung arti yang sama mengenai konsep
keberpusatan pada Tuhan dalam penciptaan manusia. Pada Yesaya 43:7, dikatakan: semua
orang yang disebutkan dengannama-Ku yang kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang
Kubentuk dan jugaKujadikan! Dengan kata lain, tujuan akhir manusia di dunia ini adalah
untuk mengagungkan Tuhan. Perspektif teosentris bahwa Tuhan meminta manusia untuk
mengikuti hukum moralitas disajikan melalui uraian mencitai Tuhan kita dengan sepenuh
hati, sepenuh jiwa, dengan sepenuh tenaga, dan dengan sepenuh pikiran.
Dalam teologi modern, teosentris sering kali dihubungkan dengan pelayanan dan etika
lingkungan. Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa manusia harus menjaga dunia sebagai
pemelihara dan sehingga yang mana Tuhan menginginkan mereka. Manusia seharusnya
memikirkan semua, dari hewan hingga tumbuhan hingga kemanusia sendiri. Hal ini
memelihara bahwa manusia sejatinya di sini untuk waktu yang singkat dan seharusnya
menjaga dunia untuk generasi mendatang.
Dari beberapa uraian diatas maka munculah beberapa permasalahan tentang pengertian
teosentris :
a.
b.
c.
d.
Antroposentris
Antroposentris adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat
dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan
dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya.
Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain
di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi
kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana
bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian
b.
c.
UU NO 20 THN 2003
IMPLEMENTASI UU NO.20 TAHUN 2003 DALAM PENINGKATAN KUALITAS
PENDIDIKAN DI DAERAH
Ki Supriyoko
Abstract
adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses
penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan
secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya
proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu sesuatu yang
secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia.Jadi definisi pendidikan Islam adalah,
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia,
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan
wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk
manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-tadib, karena istilah ini
paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah
tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada
hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan
tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya
dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun
rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari
pengertian itu adalah, pengenalan adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan
denagn apa yang dikenali, sedangkan pengakuan merupakan tindakan yang bertalian
dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan
tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah
seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang
tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya,
keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan
dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang
selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta
terpuji.
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan,
tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang
harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah
laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman
masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
menyebutkan bahwa Pendidikan Islamadalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum hukum Agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran ukuran Islam. Beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian
muslim,nyaitu kepribadian yang memiliki nilai - nilai Agama Islam, memilih dan
memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai - nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai
dengan nilai - nilai Islam.
Menurut Drs. Burlian Shomad, Pendidikan Islamadalah pendidikan yang bertujuan
membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajad tinggi menurut ukuran
Allah dan isi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Beliau
mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut Pendidikan Islam apabila memiliki 2 ciri
yaitu :
1. Tujuannya untuk membentuk individu menjadi bercorak tertinggi menurut ukuran AlQur'an.
2. Isi pendidikannya ajaran Allah yang tercantum dalam Al-Qur'an dalam
pelaksanaannya didalam praktek kehidupan sehari - hari sebagaimana yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Prof. Oemar Muhammad At Taumi As Syaibani, menyabut bahwa
Pendidikan Islamadalah usaha untuk mengubah tingka laku individu dalam kehidupannya,
kemasyarakatannya maupun alam.
PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
A. Pendahuluan
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan telah berkembang
dengan baik. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan sebagai
lembaga sosial telah banyak memberikan warna yang khas dalam wajah masyarakat pedesaan
sebagai lingkungan pesantren.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana
para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru
yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam
komplek pesantren dimana Kiai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah
berupa masjid. Mastuhu mendefinisikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku
sehari-hari. Keberadaan pondok pesantren ditengah-tengah masyarakat mempunyai peran dan
fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman agama Islam sekaligus sebagai pusat
penyebaran agama Islam.
Kebanyakan pondok pesantren didirikan sebagai bentuk reaksi terhadap pola kehidupan
tertentu yang dianggap rawan, dengan demikian berdirinya pondok peantren menjadi salah
satu bagian tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu yang relatif panjang.
Karena hakekat pesantren sebagai titik awal tranformasi , dengan sendirinya pesantren
dipaksa oleh keadaan untuk memperolah alternatif terbaik bagi kehidupan. Pesantren sebagai
pilihan ideal ini sangat sesuai dengan kultur agama Islam di nusantara ini.
Walaupun pesantren diklaim sebagai lembaga pendidikan tradisional, bukan berarti pesantren
tidak mengalami perubahan dan penyesuaian. Pesantren telah menjadi bagian dari sistem
kehidupan sebagian besar umat Islam di indonesia, dan telah mengalami dinamika dan
perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat. Hal ini juga dikatakan
oleh Snouck Hurgronje dengan pernyataannya :
Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya begitu statis dan begitu kuat terbelenggu oleh
pemikiran-pemikiran ulama di abad pertengahan, sebenarnya juga telah mengalami
perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan tersebut
demikian bertahap, rumit dan tertutup. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal
pola pikiran Islam, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa dilihat, walaupun
sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara
seksama
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pesantren merupakan hasil dari dialog dengan
zamannya, sehingga pesantren sebagai institusi pendidikan juga memiliki sistem sebagaimana
lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
Untuk mendapatkan gambaran tentang pendidikan di pondok pesantrem, maka makalah yang
sederahana ini akan membahas tentang Sistem Pendidikan Pondok Pesantren.
B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, adanya pendidikan Islam merupakan kebutuhan
bagi kaum muslimin. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berperan
dalam mengembangkan dan melestartarikan ajaran Islam di Indonesia. Walaupun begitu,
sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama
sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang.
Hanun Asrohah, menyimpulkan bahwa pesantren pertama kali mucul di Jawa sekitar abad ke18 M. Dan beberapa pesantren pada masa awal pertumbuhannya memiliki status perdikan.
Pada abad ke-19 M. Pesantren mengalami perkembangan pesat, yang didirikan oleh ulamaulama independen.
Pada masa penjajahan, Belanda memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru.
Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem
pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Bahkan
pemerintahan penjajah Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan
merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang
bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama
setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama
yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih
ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran
mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang
tidak disukai oleh pemerintah.
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah
penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan pondok pesantren
juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan
sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi
modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak
kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di
Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dahulu tertarik kepada
pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti
pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantrenpesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak.
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda
maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal apabila disimpulkan bahwa
perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam, terutama pendidikan pesantren, cukup
pelan karena ruang gerak yang terbatas. Akan tetapi, ternyata apa yang dapat disaksikan
dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuat dan pesatnya luar biasa,
Seperti yang dikatakan Zuhairini ternyata jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik di
Indonesia.
Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, pada abad ke-19, jumlah pondok
pesantren di Jawa lebih dari 1.853 buah, dengan jumlah santri lebih dari 16.500 orang.
Meskipun data-data yang dikemukakan diatas hanya untuk Jawa, data-data tersebut
merupakan sampel yang menunjukkan bagaimana pondok pesantren secara kuantitatif telah
mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat di Indonesia. Data-data tersebut
juga menunjukkan bahwa pesantren tetap eksis (survive) ditengah berkembangnya berbagai
jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk Madrasah, IAIN dan Sekolah Tinggi Agama
Islam.
Eksistensi pesantren terjadi karena pesantren mampu menyesuaiakan diri dengan kebutuhan
masyarakat, dengan tanpa meninggalkan tradisi lama yang sudah mengakar di pesantren
selama bertahun-tahun yang dianggap masih relevan dan baik, hal ini dapat dilihat dari sistem
pendidikan pesantren.
C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan pondok pesantren dapat diartikan serangkaian komponen pendidikan dan
pengajaran yang saling berkaitan yang menunjang pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
oleh pondok pesantren.
Pondok pesantren tidak mempunyai rumusan yang baku tentang sistem pendidikan yang
dapat dijadikan sebagai acuan bagi semua pendidikan di pondok pesantren. Hal ini
disebabkan karakteristik pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat tergantung
pada Kiai pendiri. Pondok pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi
dari Kiai pendiri. Sedangkan metode mengajar dan kitab yang diajarkan kepada santri
ditentukan sejauh mana kualitas ilmu pengetahuan Kiai dan dipraktekkan sehari-hari dalam
kehidupan. Kebiasaan mendirikan pondok pesantren dipengaruhi oleh pengalaman pribadi
Kiai semasa belajar di pondok pesantren.
Amin Rais, mengemukakan bahwa dalam mekanisme kerjanya, sistem yang ditampilkan
pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam
pendidikan pada umumnya, yaitu:
tujuan pendidikan. Tetapi kurikulum pondok pesantren merupakan urutan kitab yang
dipelajari oleh santri, dimana kurikulum pesantren tidak distandarisasi secara kolektif.
Terkadang suatu kitab yang diajarkan untuk tingkat ibtidaiyh (dasar) di suatu pesantren,
sedangkan pesantren lain mengajarkannya di tingkat thanawiyah (menengah). Namun
demikian diantara pesantren mempunyai banyak kesamaan, antara lain dalam hal pengajaran
ilmu-ilmu tertentu, seperti bidang akidah, fiqh, usul al-fiqih, tafsir/ ilmu al-tasir, hadith/ilmu
al-Hadith, akhlaq, tasawwuf, tajwid, mantiq, nahwu, sharf dan balaghah. Kepada santri
pemula, biasanya diajarkan pesantren mengenalkan pelajaran aqidah dan fiqih yang paling
sederhana, seperti rukun iman, rukun Islam dan cara bersuci. Untuk menentukan urutan kitab
yang pengajarannya didahulukan, pesantren mendasarkan pada kitab yang pembahasannya
sederhana, seperti Safinah al-Najah dan Sullam al-Taufiq bagi santri pemula. Setelah itu baru
dilanjutkan pada kitab yang pembahasannya lebih luas dan terurai.
Depag RI, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan
pendidikan Islam, berupaya untuk menyusun standarisasi kurikulum pendidikan pesantren
yang dikembangkan menjadi lima jenjang pendidikan. Secara global kitab-kitab yang
ditentukan hampir sama dengan kitab-kitab yang beredar di pondok pesantren. Namun
sebagai lembaga pendidikan yang independen, pondok pesantren tetap memakai kurikulum
sesuai dengan keinginan Kiai pengasuhnya.
3. Metode Pengajaran
Pondok pesantren pada bentuk aslinya menggunakan sistem pendidikan non klasikal, dimana
dalam penyampaian pelajaran menggunakan dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan,
yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering
disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan
untuk belajar secara langsung dari Kiai atau pembantu Kiai. Sistem ini biasanya diberikan
dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qurn dan
kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat
sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren .
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau
wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas
dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar
dibawah bimbingan seorang guru.
yang diterbitkan oleh Needham Height Allyn and Bacon, Boston mendefinisikan direct
instruction sebagai sebuah pendekatan mengajar di mana pembelajaran berorientasi pada
tujuan (pembelajaran) dan distrukturisasi oleh guru. (Direct istruction is an approach to
teaching in which lessons are goal-oriented and structured by the teacher p.231).
Jadi model pembelajaran langsung merupakan sebuah model pembelajaran yang bersifat
teacher centered (berpusat pada guru). Saat melaksanakan model pembelajaran ini, guru
harus mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan yang akan dilatihkan kepada siswa,
selangkah demi selangkah. Guru sebagai pusat perhatian memiliki peran yang sangat
dominan. Karena itu, pada direct instruction, guru harus bisa menjadi model yang menarik
bagi siswa. Beberapa pakar pendidikan seperti Good dan Grows, 1985 menyebut direct
instruction (model pembelajaran langsung) ini dengan istilah pengajaran aktif. Atau
diistilahkan sebagai mastery teaching (mengajar tuntas) oleh Hunter, 1982. Sedangkan oleh
Rosenshine dan Stevens, 1986 disebut sebagai pengajaran eksplisit (explicit instruction).
Perlu diketahui dalam prakteknya di dalam kelas, direct instruction (model pembelajaran
langsung) ini sangat erat berkaitan dengan metode ceramah, metode kuliah, dan resitasi,
walaupun sebenarnya tidaklah sama (tidak sinomim). Model pembelajaran langsung atau
direct instruction menuntut siswa untuk mempelajari suatu keterampilan dasar dan
memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah.
Ciri-Ciri/Karakteristik Direct Instruction (Model Pembelajaran Langsung)
Model pembelajaran langsung ini tentu saja dapat dibedakan dari model pembelajaran
lainnya karena ia memiliki karakteristik atau ciri-ciri tersendiri. Berikut beberapa
karakteristik/ciri-ciri model pembelajaran langsung:
Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur
penilaian hasil belajar.
Adanya sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar
kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan baik.
Pada fase pertama ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran khusus, memberi informasi
tentang latar belakang pembelajaran, memberikan informasi mengapa pembelajaran itu
penting, dan mempersiapkan siswa baik secara fisik maupun mental untuk mulai
pembelajarannya.
2. Mendemostrasikan pengetahuan atau keterampilan.
Pada fase kedua ini guru berperan sebagai model dengan mendemonstrasikan pengetahuan
atau keterampilan secara benar, ia harus menyajikan informasi secara bertahap selangkah
demi selangkah sesuai struktur dan urutan yang benar.
3. Membimbing pelatihan.
Pada fase ketiga guru harus memberikan bimbingan dan pelatihan awal agar siswa dapat
menguasai pengetahuan dan keterampilan yang sedang diajarkan.
4. Mencek pemahaman dan memberikan balikan (umpan balik).
Pada fase keempat ini guru melakukan pengecekan apakah siswa dapat melakukan tugas
dengan baik, apakah mereka telah menguasai pengetahuan atau keterampilan, dan selanjutnya
memberi umpan balik yang tepat.
5. Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan.
Pada fase terakhir (kelima) ini guru kemudian menyediakan kesempatan kepada semua siswa
untuk melakukan latihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi
yang lebih kompleks atau penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan Direct Instruction (Model Pembelajaran
Langsung)
Bila guru ingin menerapkan model pembelajaran langsung (direct instruction), maka guru
harus melakukan perencanaan yang hati-hati dan matang. Setiap detil keterampilan yang
diajarkan harus diidentifikasi secara seksama dan teliti, begitupun langkah-langkah dan
penjadwalan demonstrasi dan pelatihan.
Lingkungan belajar, meskipun berpusat pada guru (teacher centered), akan tetapi tetap
menuntuk siswa yang aktif belajar baik secara fisik maupun mental. Pembelajaran langsung
tidak akan berhasil jika hanya guru yang aktif. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus
siswa cukup banyak. sistem ini adalah kurang menggambarkan tercapainya tujuan
pembelajaran sehingga tidak dapat dijadikan ukuran dalam menilai keberhasilan mutu
pendidikan. Demikian juga kriteria keberhasilan tidak tetap dan tidak pasti, bergantung pada
rata-rata kelas, makanya standar penilaian ini disebut stndar relatif. Dalam konteks yang
lebih luas penggunaan standar penilaian ini tidak dapat digunakan untuk menarik generalisasi
prestasi siswa sebab ratarata kelompok untuk kelas yang satu berbeda dengan kelas yang lain,
sekolah yang satu akan berbeda dengan sekolah yang lain. Standar penilaian acuan norma
tepat jika digunakan untuk penilaian formatif. Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ Make
Money Online : http://ow.ly/KNICZ Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
TEORI-TEORI BELAJAR
Dan PEMBELAJARAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar,
dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar
memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan
individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi
suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistim
yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam
dunia nyata dinyatakan oleh McKeachie dalam grendel 1991 : 5 (Hamzah Uno, 2006:4).
Sedangkan Hamzah (2003:26) menyatakan bahwa teori merupakan seperangkat preposisi
yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau
lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari, dianalisis dan
diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz
tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang
dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya. Teori belajar adalah suatu teori yang di
dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa,
perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
B. Teori-Teori Klasik
1. Behavioristik
Teori Behavioristik merupakan teori dengan pandangan tetang belajar adalah
perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau
dengan kata lain belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan
respon. (Hamzah Uno, 7: 2006). Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini adalah
Thorndike, Watson, Hull, Edwin Guthrie dan Skinner. Teori belajar Skinner akan
dijelaskan pada bagian yang khusus yaitu teori belajar proses.
a.
Thorndike
Menurut Thorndike (Hamzah Uno, 7:2006) belajar adalah proses interaksi antara
stimulu dan respon. Menurut Thorndike perubahan tingkah laku bisa berwujud sesuatu yang
dapat diamati atau yang tidak dapat diamati
b.
Watson
Menurut Watson (Hamzah Uno,7:2006) belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon . Stimulus dan respon tersebut berbentuk tingkah laku yang bisa diamati. dengan
kata lain Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam
belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui karena faktor-faktor
tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar telah terjadi atau belum.
c.
Clark Hull
Hull berpendapat bahwa tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan
hidup. Oleh karena itu kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati
posisi sentral. Menurut Hull kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan, stimulus hampir
selalu dikaitan dengan kebutuhan biologis.
d.
Edwin Guthrie
Guthrie mengemukakan bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus dan
respon tertentu. Stimulus dan respon merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu
diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan lebih langgeng. Suatu respon
akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respon tersebut berhubungan dengan
berbagai stimulus.
Guthrie mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
merubah kebiasaan seseorang. Contoh seorang anak perempuan yang setiap kali pulang
sekolah selalu mencampakkan baju dan topinya dilantai. Ibunya menyuruh agar baju dan topi
dipakai kembali oleh anaknya. Lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil
mengantungkan baju dan topinya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan
hal itu, respon menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki
rumah.
NATIVISME
Aliran Nativisme adalah aliran yang lebih menekankan kemampuan dalam diri anak,
sehingga faktor lingkungan dianggap kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhaur (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa
bayi lahir itu sudah dengan bawaan baik dan buruk. Istilah Nativisme dari asal kata natie
yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab
lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Aliran ini
berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Oleh
karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian,
menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Pendidikan anak
yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu
sendiri.
Tetapi pembawaan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan,
masih banyak faktor lain yang mampengaruhinya. Pandangan konvergensi akan memberikan
penjelasan tentang kedua faktor yaitu pambawaan (hereditas) dan dan lingkungan dalam
perkembangan anak. Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas
yakni bahwa dalam diri individu terdapat suatu inti pribadi (G.Leibnitz;Monad) yang
mendorong manusia untuk mewujudkan diri, menentukan pilihan kemauan sendiri, dan
menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Pandanga-
pandangan tersebut tampak antara lain humanistic psychologi (Carl R.Rogers) ataupun
phenomenologi/ humanistik lainnya.
Pendapat dari pendekatan phenomenologi/humanistik (Milhollan dan Forisha):
1. Pendekatan aktualisasi diri atau non-direktif (client centered) dari Cart R.Rogers dan
Abraham Maslow.
2. Pendekatan Pendekatan Constructs (George A.Kelly) yang menekankan memahami
hubungan transaksional antara manusia dan lingkungannya sebagai bekal memahami
perilakunya.
3. Pendekatan Search for Meaning dengan aplikasinya sebagai Logoterapy dari Victor
Franki yang mengungkapkan batapa pentingnya semangat (human spirit) untuk mengatasi
berbagai tantangan/masalah yang dihadapi.
KOGNITIVISME
1. Piaget : Teori Perkembangan Kognitif
Menurut Santrock (2008), perkembangan adalah perubahan pola biologis, kognitif
dan sosioemosional yang dimulai dari masa konsepsi dan terus berlangsung sepanjang hidup.
Perkembangan dinyatakan dalam istilah periode/tahapan. Pola perkembangan anak begitu
kompleks karena melibatkan proses-proses biologis, kognitif dan sosioemosional tadi. Proses
kognitif melibatkan perubahan dalam berpikir, intelegensi dan bahasa anak
Kognitif merupakan teori yang berdasarkan proses berpikir di belakang perilaku.
Perubahan perilaku diamati dan digunakan sebagai indikator terhadap apa yang terjadi dalam
otak peserta didik. Gagasan utama teori kognitif adalah perwakilan mental, semua gagasan
dan citraan (image) seseorang diwakili dalam struktur mental yang disebut skema. Skema
akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima akan dipahami seseorang .
Jika informasi sesuai dengan skema yang ada, maka peserta didik akan menyerap informasi
tersebut ke dalam skema ini. Seandainya tidak sesuai dengan skema yang ada, informasi akan
ditolak atau diubah, atau disesuaikan dengan skema, atau skema yang akan diubah dan
disesuaikan.
Penganut teori kognitif mengakui bahwa belajar melibatkan penggabunganpenggabungan yang dibangun melalui keterkaitan atau penguatan. Mereka juga mengakui
pentingnya penguatan (reinforcement) walaupun lebih menekankan pada pemberian balikan
(feedback) pada tanggapan yang benar dalam perannya sebagai pendorong (motivator).
Walaupun menerima sebagian konsep dari behavioris, para penganut teori kognitif
memandang belajar sebagai perbuatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif di
mana seseorang memproses dan menyimpan informasi.
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual
dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmental karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta
perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan
mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda
usia akan berbeda pula secara kualitatif. Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan
kognitif anak menjadi empat tahap:
Tahap sensory motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun,
Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
Tahap pre operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7
tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya simbol atau bahasa tanda, dan
telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
Tahap concrete operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan
anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak
memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
Tahap formal operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15
tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis
dengan menggunakan pola pikir kemungkinan.
PROSEDURAL
PENDEKATAN PROSEDURAL
Pendekatan Prosedural adalah kedudukan beberapa kompetensiyang menunjukan satu seri
urutan penampilan kompetensi, tetapitidak ada yang menjadi kompetensi prasyarat untuk
yang lainnya.Contoh: dalam memberi materi seorang guru harus memberimateri yang sesuai
budi pekerti,yaitu:
a) Evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan
keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektiffiya
terhadap stimulus yang diterimanya
b) Inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang
diarahkan menuju kondisi siap
c) Moral Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual
taksonornik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah
d) Value Clarjflcation, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa
diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral
e) Value Analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan
f)
PEMBELAJARAN PKN DI SD
engertian Mata PelajaranPendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dan dalam Kurikulum 2004 disebut sebagai mata pelajaran
Kewarganegaraan (Citizenship). Mata pelajaran Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosial kultur,
bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga Negara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Fungsinya adalah sebagai
wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, berkarakter yang setia kepada
bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 (Balitbang, 2002: 7).
Guru
Seorang guru yang profesional dituntut untuk mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu, Guru merupakan pribadi yang berkaitan erat dengan tindakannya di dalam kelas,
cara berkomunikasi, berinteraksi dengan warga sekolah dan masyarakat umumnya.
Membicarakan masalah guru yang baik, (S. Nasution dalam Amin Suyitno, 1997:25)
mengemukakan sepuluh kriteria yang baik adalah: 1) memahami dan menghormati siswa, 2)
menguasai bahan pelajaran yang diberikan, 3) menyesuaikan metode pengajaran dengan
bahan pelajaran, 4) menyesuaikan bahan pengajaran dengan kesanggupan individu, 5)
mengaktifkan siswa dalam belajar, 6) memberikan pengetahuan sehingga terhindar dari sikap
verbalisme, 7) menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa, 8) mempunyai tujuan
tertentu dengan tiap pelajaran yang diberikannya, 9) tidak terikat oleh teks book, dan 10)
tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada siswa melainkan
senantiasa membentuk pribadi anak.
2.
Siswa
Jika ditinjau dari siswa, maka banyak faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian,
lebih-lebih hubungannya dengan belajar PKn. PKn bagi siswa pada umumnya merupakan
pelajaran yang kurang disenangi karena kurangnya antusias siswa terhadap pelajaran ini.
Karena itu dalam interaksi belajar mengajar PKn seorang guru harus memperhatikan faktorfaktor yang menyangkut siswa, yaitu: 1) Apakah siswa cukup cerdas, cukup berbobot, dan
siap belajar PKn? 2) Apakah siswa berminat, tertarik dan mau belajar PKn? 3) Apakah siswa
senang dengan cara belajar yang kita berikan? 4) Apakah siswa dapat menerima pelajaran
dengan baik dan benar? 5) Apakah suasana interaksi belajar mengajar mendorong siswa
belajar? Dengan faktor-faktor tersebut guru dapat menentukan strategi pembelajaran yang
seperti apa agar siswa berhasil dalam belajar.
3.
Pembelajaran akan dapat berlangsung lebih baik jika sarana dan prasaranya
menunjang. Sarana yang cukup lengkap seperti perpustakaan dengan buku-buku PKn yang
relevan.
4.
Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran PKn adalah strategi pembelajaran yang aktif, Pembelajaran
aktif ditandai oleh dua faktor yaitu 1) Adanya interaksi antara seluruh komponen dalam
proses pembelajaran terutama antara guru dan siswa, dan 2) Berfungsi secara optimal seluruh
sence siswa yang meliputi indera, emosi, karsa, dan nalar. Dalam pembelajaran siswa aktif,
metode-metode yang dianjurkan antara lain metode tanya jawab, drill, diskusi, eksperimen,
pemberian tugas, dan lain-lain. Pemilihan metode yang diterapkan tentu saja disesuaikan
dengan mata pelajaran, tujuan pembelajaran, maupun sarana yang tersedia.
D.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
3. Berkembang secara positif, dinamis, dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
pada karakter-karakter masyarakat Indonesia, agar hidup bersama dengan bangsa-bangsa
lain
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam persatuan atau tidak langsung dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
F.
perkembangan anak didik. Hal ini diungkapkan dalam Buku Panduan Pengajaran Pendidikan
Kewarganegaraan kuikulum 1994 adalah sebagai berikut.
1. Mengembangkan dan melestarikan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka,
yaitu nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan yang
terjadi didalam masayarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai Bangsa Indonesia yang
merdeka bersatu dan berdaulat.
2. Mengembangkan dan membina siswa menuju terwujudnya manusia seutuhnya yang sadar
politik, hukum dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, berlandaskan
Pancasila.
3.
Membina pemahaman dan kesadaran siswa terhadap hubungan antara sesame warga
negara dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu
melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
G.
Kewarganegaraan, yaitu membentuk warga negara yang baik, maka selain mencakup dimensi
pengetahuan, karakteristik mata pelajaran Kewarganegaraan ditandai dengan memberi
penekanan pada dimensi sikap dan keterampilan civics. Jadi, pertama-tama seorang warga
negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap tentang konsep dan
prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Setelah menguasai pengetahuan, selanjutnya
seorang warga negara diharapkan memiliki sikap dan karakter sebagai warga negara yang
baik serta memiliki keterampilan Kewarganegaraan dalam bentuk keterampilan berpartisipasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keterampilan menentukan posisi diri, serta
kecakapan hidup (life skills).
H.
6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah
dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya
demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat
demokrasi.
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideology negara,
Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era
globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional,
dan Mengevaluasi globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiamansyah, Dasim. 2002. Portofolio. Bandung: Ganesindo.
Fajar, Arnie. 2004. Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fattah Nanang. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munib. Achmad. 2005. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK Unnes Press.
Nurhadi, Senduk AG. 2003. Pendidikan Pancasila. Semarang: UPT MKKU Unnes.
Rajak, Abdul H. 1995. Sistem Pendidikan Nasional. Solo: Aneka Ilmu
Samana A. 1992. Sistem Pengajaran. Yogyakarta: Kanisius.
Sudjana, Nana. 2004. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Al
Genindo.
Soeparwoto dkk. 2003. Psikologi Pendidikan. Semarang: UPT MKK Unnes Press.
Tijan dkk. 2004. Kewarganegaraan 1. Semarang: Aneka Ilmu.
Tijan, dkk. 2005. Peningkatan Kualitas Proses dan Hasil Pembelajaran Mata Kuliah SSBI.
Laporan Penelitian. Semarang: SP4.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wardani, Igak. 2001. Praktik Mengajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Wardani, Igak. 2001. Dasar-dasar Komunikasi dan Keterampilan Dasar Mengajar. Jakarta:
Dirjen Dikti Depdikbud
Depdiknas. 2006. Model-model Pembelajaran yang Efektif. Bahan Sosialisasi KTSP. Jakarta.
Depdiknas
Depdiknas. 2007. Pedoman Pengembangan Silabus dan Model Pembelajaran. Buku IV.
Jakarta: Dikmenum Depdiknas
Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Lampiran Standar Isi Pendidikan
Kewarganegaraan
Suwarma Al Muchtar, dkk. 2007. Strategi Pembelajaran PKn. Jakarta : UT
Budimansyah, Dasim. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: PT
Genesido.
Fajar, Arnie. 2004. Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2004. Pengetahauan Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Hasan, Karnadi. 2003. Penilaian Hasil Belajar Berbasis Portofolio. Semarang: Fak Tarbiyah
IAIN Walisongo.
Masid, Abdul. dan Andayani, Dian. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Rosda.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nazir, Moh, Ph.D. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nurhadi. 2004. Kuikulum 2004: Pertayaan dan Jawaban, Jakarta: Gramedia.
Priyanto, Sugeng, AT. Pedoman Penilaian Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian. Semarang IKIP Press.
Rina, Tri Kartika. 2006. Model Penilaian Berbasis Portofolio Sebuah Tinjauan Kritis. Tri
Kartika Rina@yahoo. com. (25 Februari 2006).
Slameto. 1998. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana, Nana. 1989. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.
Surapranata dan Hatta. 2004. Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
PAKEM
PENGERTIAN PAKEM
Memahami hakikat PAKEM
1.
Pengertian
PAKEM adalah sebuah pendekatan yang memungkinkan peserta didik
Actor utama dalam PAKEM adala guru dan siswa . keduanya harus dalam
interaksi yang dinamis dan kontekstual. Guru dan siswa harus sama-sama aktif
dan kreatif sehingga pembelajaran menjadi efektif dan menyenangkan.
3.
Dalam pelaksanaan PAKEM ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a.
b.
c.
d.
memecahkan masalah
e. mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
f. memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
g. memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
h. membedakan aktif fisik dan aktif mental
4.
5.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
6.