Anda di halaman 1dari 40

Teosentris

Teosentris berasal dar bahasa Yunani, theos, yang memilik iarti Tuhan, dan bahasa
Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentris mengacu pada pandangan
bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi
dibandingkan sistem lainnya. Teosentris adalah sebuah pemikiran dimana semua proses
dalam kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan.
Pada kajian yang lebih mendalam, teosentris berarti menegakan kejayaan Tuhan dengan
melakukan berbagai hal yang baikdan menghalau berbagai hal yang buruk.Terkait hal ini,
perspektif Kristiani serupa dengan Islam. Kitab suci Al-Quran menyatakan bahwa tujuan dari
penciptaan manusia adalah untuk mengagung kan dan menyembah Allah SWT, seperti yang
dinyatakan pada surat Adh Dhariyat 51:56: dan tidaka Kuciptakan jinn dan manusia kecuali
untuk menyembah-Ku. Menyembah, dalam kajian Islam, berarti mengakui pada kesatuan
dan kekuasaan Allah SWT. Kehidupan merupakan perjuangan yang berkelanjutan antara
kebajikan dan kejahatan.
Sementara kajian Kristiani juga mengandung arti yang sama mengenai konsep
keberpusatan pada Tuhan dalam penciptaan manusia. Pada Yesaya 43:7, dikatakan: semua
orang yang disebutkan dengannama-Ku yang kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang
Kubentuk dan jugaKujadikan! Dengan kata lain, tujuan akhir manusia di dunia ini adalah
untuk mengagungkan Tuhan. Perspektif teosentris bahwa Tuhan meminta manusia untuk
mengikuti hukum moralitas disajikan melalui uraian mencitai Tuhan kita dengan sepenuh
hati, sepenuh jiwa, dengan sepenuh tenaga, dan dengan sepenuh pikiran.
Dalam teologi modern, teosentris sering kali dihubungkan dengan pelayanan dan etika
lingkungan. Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa manusia harus menjaga dunia sebagai
pemelihara dan sehingga yang mana Tuhan menginginkan mereka. Manusia seharusnya
memikirkan semua, dari hewan hingga tumbuhan hingga kemanusia sendiri. Hal ini
memelihara bahwa manusia sejatinya di sini untuk waktu yang singkat dan seharusnya
menjaga dunia untuk generasi mendatang.
Dari beberapa uraian diatas maka munculah beberapa permasalahan tentang pengertian
teosentris :
a.

Apakah manusia memiliki kehendak bebas dalam kajian Teosentris ?

b.

Apakah manusia memiliki kreatifitas dalam kajian Teosentris ?

c.

Apakah manusiame miliki tujuan dalam kajian Teosentris ?

d.

Apakah manusia bertanggung jawab dalam kajian Teosentris ?


Kehendak Bebas dalam Kajian Teosentris
Terkait dengan berkehendak bebas, dalam kajian Teosentris, manusia masih diberikan
kebebasan. Namun kebebasan dibatasi dalam ruang lingkup aturanTuhan, dimana setiap
perbuatan akan mendapatkan ganjaran, baikdan buruk.
Teosentris sangat menekankan fungsi kebebasan dalam kaitannya dengan peran manusia
sebagai kalifah di muka bumi. Dalam peran tersebut, manusia dituntut untuk menjalani hidup
sesuai dengan tuntunan tertentu yang berorientasi pada pelestarian kehidupan dan
keharmonisan hubungan.
Kreatifitas dalam Kajian Teosentris
Setiap manusia memiliki potensi kreatif. Kebebasan yang diberikan pada Teosentris
menumbuhkembangkan aspek kreatifitas yang dimiliki manusia. Namun aspek kreatifitas
yang dimaksud di sini mematuhi pada hukum-hukum Tuhan, atau dapat diistilahkan sebagai
kreatifitas ilahiah. Perpaduan antara aspek kreatifitas manusia dan teosentris merupakan
pemicu lahirnya tradisi dan budaya pemujaan dan pengagungan Tuhan. Selain itu, dengan
kreatifitasnya, manusia dapat mewujudkan berbagai tujuan yang dimilikinya, yang tentunya
sesuai dengan ketetapan Tuhan.

Antroposentris
Antroposentris adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat
dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan
dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya.
Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain
di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi
kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana
bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian

tujuan manusia. Alamti dak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.


Munculnya teori Antroposentris, maka berkembanglah teori yang berkaitan dengan
Antroposentris. Diantaranya :
a.

Teori Etika Egosentris

b.

Teori Etika Homosentris

c.

Teori Etika Ekosentris

UU NO 20 THN 2003
IMPLEMENTASI UU NO.20 TAHUN 2003 DALAM PENINGKATAN KUALITAS
PENDIDIKAN DI DAERAH
Ki Supriyoko

Abstract

IMPLEMENTASI UU NO.20 TAHUN 2003 DALAM PENINGKATAN KUALITAS


PENDIDIKAN DI DAERAH
Undang-Undang (UU) No.20 Tahun 2003 atau yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan
UU Sisdiknas dengan segala kelebihan dan kekurang-annya telah diberlakukan. Itu berarti
penyelenggaraan pendidikan nasional harus berpedoman kepada UU Sisdiknas, dan segala
Peraturan Pemerintah (PP) yang diturunkannya.
Di dalam UU Sisdiknas, standar kualitas menjadi salah satu hal yang dikedepankan. Pasal 35
ayat (1) menyebutkan standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi,
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan pembiayaan, dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala; serta ayat (3)
menyebutkan pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan dan

pengendalian mutu pendidikan.


Adanya kesadaran soal kualitas pendidikan dalam UU Sisdiknas ter-subut perlu diimbangi
dengan aksi nyata peningkatan kualitas, apalagi de facto kualitas pendidikan di Indonesia
memang belum memuaskan.

Hakikat Pendidikan Islam


2.1.1 Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan
memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih daripada
pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan
merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang
dicakupnya.
Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap
pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian.
Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan Islamsebagai suatu system
keagamaanmenimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implicit menjelaskan
karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.
Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan
konotasi istilah tarbiyah, talim, dan tadib yang harus dipahami secara bersama-sama.
Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat
serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal,
formal dan non formal. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu
proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan
nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan
memetik hasilnya di akhirat.
Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan Islam. Menurut
Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan
sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya,
pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis
tutur sapanya. Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam

adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses
penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan
secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya
proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu sesuatu yang
secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia.Jadi definisi pendidikan Islam adalah,
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia,
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan
wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk
manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-tadib, karena istilah ini
paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah
tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada
hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan
tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya
dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun
rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari
pengertian itu adalah, pengenalan adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan
denagn apa yang dikenali, sedangkan pengakuan merupakan tindakan yang bertalian
dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan
tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah
seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang
tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya,
keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan
dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang
selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta
terpuji.

2.1.2 Karakteristik Dalam Pendidikan Islam


Islam diturunkan sebagai rahmatan lil alamin. Untuk mengenalkan Islam ini diutus
Rasulullah SAW. Tujuan utamanya adalah memperbaiki manusia untuk kembali kepada Allah
SWT. Oleh karena itu selama kurang lebih 23 tahun Rasulullah SAW membina dan
memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada
derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan
inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta
isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi
keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan
sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan
manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya
dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan
seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi
yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11). Bahkan
syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak
mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: Andaikata orang yang beakal itu mempunyai dosa pada pagi
dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari
dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan
kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak
bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi. Ada yang bertanya, Bagaimana
hal itu bisa terjadi? Ia menjawab, Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia
segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan
kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung
merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak
amal shalihnya.
Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena
itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT.
Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk
mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah
kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode

pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki


ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat,
kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.

2.1.3 Tujuan Pendidikan Islam


Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat
mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali
Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil alamin, baik dalam
skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga
sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan
Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar
idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini
dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-tahap tertentu proses
pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia
sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia
yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah
kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 : Dan Aku menciptakan Jin
dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. Jalal menyatakan bahwa
sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan
Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya
ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan)
kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia
dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan
manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan,
tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang
harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah
laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman
masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.

PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT TERMINIOLOGIS


Menurut Syah Muhammad An Naqaib Al Atas dalam bukunya Konsep Pendidikan Dalam
Islam, menyebutkan bahwa Pendidikan Islamadalah usaha yang dilakukan pendidik terhadap
anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat - tempat yang benar dan segala sesuatu
didalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan
tempat Tuhan yang tepat didalam tatanan wujud dan kepribadian.
Menurut Drs. Ahmad Marimba dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,

menyebutkan bahwa Pendidikan Islamadalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum hukum Agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran ukuran Islam. Beliau mengatakan kepribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian
muslim,nyaitu kepribadian yang memiliki nilai - nilai Agama Islam, memilih dan
memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai - nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai
dengan nilai - nilai Islam.
Menurut Drs. Burlian Shomad, Pendidikan Islamadalah pendidikan yang bertujuan
membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajad tinggi menurut ukuran
Allah dan isi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Beliau
mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut Pendidikan Islam apabila memiliki 2 ciri
yaitu :
1. Tujuannya untuk membentuk individu menjadi bercorak tertinggi menurut ukuran AlQur'an.
2. Isi pendidikannya ajaran Allah yang tercantum dalam Al-Qur'an dalam
pelaksanaannya didalam praktek kehidupan sehari - hari sebagaimana yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Prof. Oemar Muhammad At Taumi As Syaibani, menyabut bahwa
Pendidikan Islamadalah usaha untuk mengubah tingka laku individu dalam kehidupannya,
kemasyarakatannya maupun alam.
PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
A. Pendahuluan
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan telah berkembang
dengan baik. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan sebagai
lembaga sosial telah banyak memberikan warna yang khas dalam wajah masyarakat pedesaan
sebagai lingkungan pesantren.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana
para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru

yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam
komplek pesantren dimana Kiai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah
berupa masjid. Mastuhu mendefinisikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku
sehari-hari. Keberadaan pondok pesantren ditengah-tengah masyarakat mempunyai peran dan
fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman agama Islam sekaligus sebagai pusat
penyebaran agama Islam.
Kebanyakan pondok pesantren didirikan sebagai bentuk reaksi terhadap pola kehidupan
tertentu yang dianggap rawan, dengan demikian berdirinya pondok peantren menjadi salah
satu bagian tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu yang relatif panjang.
Karena hakekat pesantren sebagai titik awal tranformasi , dengan sendirinya pesantren
dipaksa oleh keadaan untuk memperolah alternatif terbaik bagi kehidupan. Pesantren sebagai
pilihan ideal ini sangat sesuai dengan kultur agama Islam di nusantara ini.
Walaupun pesantren diklaim sebagai lembaga pendidikan tradisional, bukan berarti pesantren
tidak mengalami perubahan dan penyesuaian. Pesantren telah menjadi bagian dari sistem
kehidupan sebagian besar umat Islam di indonesia, dan telah mengalami dinamika dan
perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat. Hal ini juga dikatakan
oleh Snouck Hurgronje dengan pernyataannya :
Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya begitu statis dan begitu kuat terbelenggu oleh
pemikiran-pemikiran ulama di abad pertengahan, sebenarnya juga telah mengalami
perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan tersebut
demikian bertahap, rumit dan tertutup. Itulah sebabnya bagi para pengamat yang tidak kenal
pola pikiran Islam, maka perubahan-perubahan tersebut tidak akan bisa dilihat, walaupun
sebenarnya terjadi di depan matanya sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara
seksama
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pesantren merupakan hasil dari dialog dengan
zamannya, sehingga pesantren sebagai institusi pendidikan juga memiliki sistem sebagaimana
lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
Untuk mendapatkan gambaran tentang pendidikan di pondok pesantrem, maka makalah yang
sederahana ini akan membahas tentang Sistem Pendidikan Pondok Pesantren.
B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia

Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, adanya pendidikan Islam merupakan kebutuhan
bagi kaum muslimin. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berperan
dalam mengembangkan dan melestartarikan ajaran Islam di Indonesia. Walaupun begitu,
sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama
sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang.
Hanun Asrohah, menyimpulkan bahwa pesantren pertama kali mucul di Jawa sekitar abad ke18 M. Dan beberapa pesantren pada masa awal pertumbuhannya memiliki status perdikan.
Pada abad ke-19 M. Pesantren mengalami perkembangan pesat, yang didirikan oleh ulamaulama independen.
Pada masa penjajahan, Belanda memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru.
Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem
pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Bahkan
pemerintahan penjajah Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan
merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang
bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama
setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama
yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih
ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran
mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang
tidak disukai oleh pemerintah.
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah
penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan pondok pesantren
juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan
sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi
modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak
kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di
Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dahulu tertarik kepada
pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti
pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantrenpesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak.
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda

maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal apabila disimpulkan bahwa
perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam, terutama pendidikan pesantren, cukup
pelan karena ruang gerak yang terbatas. Akan tetapi, ternyata apa yang dapat disaksikan
dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuat dan pesatnya luar biasa,
Seperti yang dikatakan Zuhairini ternyata jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik di
Indonesia.
Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda, pada abad ke-19, jumlah pondok
pesantren di Jawa lebih dari 1.853 buah, dengan jumlah santri lebih dari 16.500 orang.
Meskipun data-data yang dikemukakan diatas hanya untuk Jawa, data-data tersebut
merupakan sampel yang menunjukkan bagaimana pondok pesantren secara kuantitatif telah
mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat di Indonesia. Data-data tersebut
juga menunjukkan bahwa pesantren tetap eksis (survive) ditengah berkembangnya berbagai
jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk Madrasah, IAIN dan Sekolah Tinggi Agama
Islam.
Eksistensi pesantren terjadi karena pesantren mampu menyesuaiakan diri dengan kebutuhan
masyarakat, dengan tanpa meninggalkan tradisi lama yang sudah mengakar di pesantren
selama bertahun-tahun yang dianggap masih relevan dan baik, hal ini dapat dilihat dari sistem
pendidikan pesantren.
C. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan pondok pesantren dapat diartikan serangkaian komponen pendidikan dan
pengajaran yang saling berkaitan yang menunjang pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
oleh pondok pesantren.
Pondok pesantren tidak mempunyai rumusan yang baku tentang sistem pendidikan yang
dapat dijadikan sebagai acuan bagi semua pendidikan di pondok pesantren. Hal ini
disebabkan karakteristik pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat tergantung
pada Kiai pendiri. Pondok pesantren mempunyai tujuan keagamaan, sesuai dengan pribadi
dari Kiai pendiri. Sedangkan metode mengajar dan kitab yang diajarkan kepada santri
ditentukan sejauh mana kualitas ilmu pengetahuan Kiai dan dipraktekkan sehari-hari dalam
kehidupan. Kebiasaan mendirikan pondok pesantren dipengaruhi oleh pengalaman pribadi
Kiai semasa belajar di pondok pesantren.
Amin Rais, mengemukakan bahwa dalam mekanisme kerjanya, sistem yang ditampilkan
pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam
pendidikan pada umumnya, yaitu:

1. Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan


sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan Kiai.
2. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja
sama mengatasi problema nonkurikuler mereka.
3. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena
sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan
hatinya untuk masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut.
4. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme, persaudaraan,
persamaan, rasa percaya diri dan keberanian diri.
5. Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka
hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah.
Apa yang dikemukakan oleh Amin Rais tersebut diatas tidak sepenuhnya benar, karena ada
beberapa hal yang perlu dikritisi, seperti semangat demokrasi yang terjadi hanya sebatas antar
sesama santri dan tidak antara santri dengan Kiai. Indikator dari hal ini dapat dilihat sebagai
berikut: pengangkatan Kiai ditentukan atas faktor genetika yaitu keturunan Kiai akan menjadi
Kiai pengganti leluhurnya, ironisnya terkadang tanpa memperhatikan kualitas dan kapasitas
keilmuannya; sistem administrasi dan menejemen yang dikelola yayasan, mulai cara
pengangkatan, penggajian dan pemberhentian guru ditentukan sepihak oleh Kiai. Independen
alumni pondok pesantren mulai ada pergeseran, karena mulai banyak alumni pondok
pesantren yang menduduki jabatan publik. Walaupun ada yang perlu dikritisi, tetapi apa yang
dikemukakan Amin Rais menunjukkan karakteristik dari pondok pesantren yang berbeda
dengan sistem pendidikan yang lain.
Walaupun ada perbedaan-perbedaan didalam mengelola pesantren, tetapi ada titik kesamaan
dalam sistem pedidikan pesantren sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
Sebagian besar Kiai tidak mencantumkan tujuan pondok pesantren secara tertulis, kecuali
diungkapkan dalam bentuk kalimat-kalimat yang berhubungan dengan nilai keagamaan pada
saat pengajian kepada para santri. Tujuan-tujuan yang tidak secara tertulis dalam buku atau
papan statistik, dimaksudkan sebagai upaya secara diam-diam untuk menghindari sikap ria
(memamerkan perbuatan baik).
Tujuan sistem pengajaran pondok pesantren lebih mengutamakan niat untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat dari pada mengejar hal-hal yang bersifat material.
Seseorang yang mengaji disarankan agar memantabkan niatnya dan mengikuti pengajian itu

semata-mata untuk menghilangkan kebodohan pada diri manusia.


Pemerintah melalui Depag RI, membuat standarisasi pendidikan agama di pondok pesantren.
Dalam lokakarya intensifikasi pengembangan pondok pesantren pada tanggal 2-6 Mei 1978
tentang tujuan pondok pesantren adalah :
untuk membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran
agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan sebagai
orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan bangsa.
H.M.Arifin, merumuskan bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup
dengan ilmu agamanya Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amal.
b. Tujuan husus
Mempersiapkan santri untuk menjadi manusia yang alim dalam ilmu agama imasyarakat.
Kedua rumusan tujuan pondok pesantren tersebut diatas, pada dasarnya tidak berbeda jauh,
ada tiga unsur utamanya didalamnya yaitu: membina santri agar berkepribadian muslim,
menghayati ajaran agama dan agar berguna bagi agama, masyarakat dan bangsa. Dengan
demikian tujuan pendidikan pondok pesantren mencerminkan keinginan luhur para ulama
yaitu meningkatkan kualitas muslim dengan jalan tafaqquh fi al-din (menguasai ilmu agama)
dan sekaligus menjadi manusia yang berkepribadian utuh (kaffah).
2. Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan pondok pesantren tidak bisa disamakan dengan lembaga pendidikan formal
seperti sekolah pada umumnya. Kurikulum pondok pesantren lebih banyak ditentukan oleh
otoritas seorang Kiai yang memangkunya, sehingga sering ditemukan kesamaan kurikulum
atau kitab-kitab yang dijadikan standar dalam pengajarannya, bahkan disebagian pondok
pesantren ada yang tidak ditemukan kurikulumnya, walaupun praktek pengajarannya,
bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari merupakan kesatuan
dalam proses pendidikannya. Adanya perbedaan kurikulum dikalangan pondok pesantren
menunjukkan bahwa perhatian kalangan pondok pesantren terhadap kurikulum masih kurang.
Kurikulum pondok pesantren, tidak seperti yang difahami dalam kurikulum pada lembaga
pendidikan formal, yang mencakup seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan

tujuan pendidikan. Tetapi kurikulum pondok pesantren merupakan urutan kitab yang
dipelajari oleh santri, dimana kurikulum pesantren tidak distandarisasi secara kolektif.
Terkadang suatu kitab yang diajarkan untuk tingkat ibtidaiyh (dasar) di suatu pesantren,
sedangkan pesantren lain mengajarkannya di tingkat thanawiyah (menengah). Namun
demikian diantara pesantren mempunyai banyak kesamaan, antara lain dalam hal pengajaran
ilmu-ilmu tertentu, seperti bidang akidah, fiqh, usul al-fiqih, tafsir/ ilmu al-tasir, hadith/ilmu
al-Hadith, akhlaq, tasawwuf, tajwid, mantiq, nahwu, sharf dan balaghah. Kepada santri
pemula, biasanya diajarkan pesantren mengenalkan pelajaran aqidah dan fiqih yang paling
sederhana, seperti rukun iman, rukun Islam dan cara bersuci. Untuk menentukan urutan kitab
yang pengajarannya didahulukan, pesantren mendasarkan pada kitab yang pembahasannya
sederhana, seperti Safinah al-Najah dan Sullam al-Taufiq bagi santri pemula. Setelah itu baru
dilanjutkan pada kitab yang pembahasannya lebih luas dan terurai.
Depag RI, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan
pendidikan Islam, berupaya untuk menyusun standarisasi kurikulum pendidikan pesantren
yang dikembangkan menjadi lima jenjang pendidikan. Secara global kitab-kitab yang
ditentukan hampir sama dengan kitab-kitab yang beredar di pondok pesantren. Namun
sebagai lembaga pendidikan yang independen, pondok pesantren tetap memakai kurikulum
sesuai dengan keinginan Kiai pengasuhnya.
3. Metode Pengajaran
Pondok pesantren pada bentuk aslinya menggunakan sistem pendidikan non klasikal, dimana
dalam penyampaian pelajaran menggunakan dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan,
yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering
disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan
untuk belajar secara langsung dari Kiai atau pembantu Kiai. Sistem ini biasanya diberikan
dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qurn dan
kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat
sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren .
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau
wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas
dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar
dibawah bimbingan seorang guru.

Pada perkembangan selanjutnya sebagian pondok pesantren menyesuaikan diri dengan


perkembangan lembaga pendidikan formal yang ada disekitarnya, yang menggunakan sistem
klasikal, muncullah Madrasah Diniyyah yaitu madrasah yang hanya menyajikan materi
pelajaran agama dengan sistem klasikal.
Dengan demikian pondok pesantren pada saat ini sudah banyak menggunakan metode
pengajaran sebagaimana sistem klasikal dengan tidak meninggalkan sistem lama yaitu
sorogan dan wetonan.
3. Organisasi dan Manajemen Pondok Pesntren
Pada masa awal pondok pesantren organisasi dan manajemen pondok pesantren sangat
sederhana, dimana kehidupan dalam pesantren hampir seluruhnya diatur oleh para santri
sendiri. Kiai tidak tidak terlibat langsung dalam kehidupan para santri. Dia hanya mengajar
membaca kitab, menjadi imam dan khatib salat jumat, menghibur kalau ada sakit yang
datang kepadanya sambil mencoba menasehati dan mengobati dengan doa-doa. peraturan
sehari-hari di pesantren seluruhnya diurus para santri dan keterlibatan Kiai terbatas pada
pengawasan yang diam. Sesudah mendapat persetujuan Kiai, para santri memilih seorang
Lurah Pondok yang akan bertanggung jawab pada kehidupan bersama para santri. Bersama
Kiai, lurah pondok menyusun peraturan untuk persoalan-persoalan praktis,yang
pelaksanaannya diserahkan kepada lurah pondok.
Pada perkembangan selanjutnya, pondok pesantren menggunakan prinsip-prinsip organisasi
dan manajemen sebagaimana yang dipakai dalam lembaga pendidikan formal, walaupun
dalam tingkat yang berbeda. Karena itulah Depag RI, menyusun buku panduan Administrasi
Pesantren, untuk membantu pesantren dalam mengelola organisasi pesantren.
DIRECT INTRUCTION
Direct instruction secara bahasa (arti kata) berarti model pengajaran langsung. Akan tetapi
banyak orang lebih suka mengganti kata pengajaran dengan pembelajaran, sehingga lebih
lazim disebut model pembelajaran langsung. Penggunaan kata pembelajaran lebih disukai
karena terkesan bahwa dalam kegiatan belajar, siswa aktif terlibat. Beberapa orang
menganggap kata pengajaran lebih berkesan hanya guru yang aktif dalam kegiatan belajar,
sementara siswa pasif.
Robert E. Slavin dalam bukunya Educational Psychology dari Johns Hopkins University

yang diterbitkan oleh Needham Height Allyn and Bacon, Boston mendefinisikan direct
instruction sebagai sebuah pendekatan mengajar di mana pembelajaran berorientasi pada
tujuan (pembelajaran) dan distrukturisasi oleh guru. (Direct istruction is an approach to
teaching in which lessons are goal-oriented and structured by the teacher p.231).
Jadi model pembelajaran langsung merupakan sebuah model pembelajaran yang bersifat
teacher centered (berpusat pada guru). Saat melaksanakan model pembelajaran ini, guru
harus mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan yang akan dilatihkan kepada siswa,
selangkah demi selangkah. Guru sebagai pusat perhatian memiliki peran yang sangat
dominan. Karena itu, pada direct instruction, guru harus bisa menjadi model yang menarik
bagi siswa. Beberapa pakar pendidikan seperti Good dan Grows, 1985 menyebut direct
instruction (model pembelajaran langsung) ini dengan istilah pengajaran aktif. Atau
diistilahkan sebagai mastery teaching (mengajar tuntas) oleh Hunter, 1982. Sedangkan oleh
Rosenshine dan Stevens, 1986 disebut sebagai pengajaran eksplisit (explicit instruction).
Perlu diketahui dalam prakteknya di dalam kelas, direct instruction (model pembelajaran
langsung) ini sangat erat berkaitan dengan metode ceramah, metode kuliah, dan resitasi,
walaupun sebenarnya tidaklah sama (tidak sinomim). Model pembelajaran langsung atau
direct instruction menuntut siswa untuk mempelajari suatu keterampilan dasar dan
memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah.
Ciri-Ciri/Karakteristik Direct Instruction (Model Pembelajaran Langsung)
Model pembelajaran langsung ini tentu saja dapat dibedakan dari model pembelajaran
lainnya karena ia memiliki karakteristik atau ciri-ciri tersendiri. Berikut beberapa
karakteristik/ciri-ciri model pembelajaran langsung:

Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur
penilaian hasil belajar.

Adanya sintaks atau pola keseluruhan kegiatan pembelajaran.

Adanya sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar
kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan baik.

Tujuan-Tujuan Pembelajaran yang Dapat Dicapai Melalui Implementasi Direct


Instruction (Model Pengajaran Langsung)
Sebelum kita membahas tujuan pembelajaran apa saja yang dapat dicapai melalui
implementasi model pembelajaran langsung ini sebaiknya kita membahas terlebih dahulu
pembedaan jenis pengetahuan menurut pakar teori pembelajaran.
Pada umumnya, para ahli teori pembelajaran pada umumnya membedakan pengetahuan ke
dalam dua (2) jenis, yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Pengetahuan Deklatarif
Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan mengenai sesuatu dan dapat diungkapkan
dengan kata-kata. Contoh pengetahuan deklaratif misalnya bahwa presiden RI dipilih
melalui pemilu yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Contoh lain, di dalam daun terdapat
mesofil daun yang terdiri dari jaringan palisade dan jaringan spons.
Pengetahuan Prosedural
Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Contoh
pengetahuan prosedural misalnya, bagaimana tata cara dan langkah-langkah pelaksanaan
pemilu di Indonesia. Atau, bagaimana cara melakukan pengamatan struktur anatomi daun
untuk melihat jaringan palisade dan jaringan spons yang menyusun mesofil daun.
Kembali ke tujuan-tujuan pembelajaran yang dapat dicapai bila mengimplementasikan model
pembelajaran langsung (direct instruction), model pembelajaran ini dirancang khusus untuk
mengembangkan pembelajaran siswa baik yang berkaitan dengan pengetahuan prosedural
maupun pengetahuan deklaratif yang tersusun dengan baik dan dapat diajarkan selangkah
demi selangkah.
Sintaks (Langkah-Langkah) atau Fase-Fase Direct Instruction (Model Pembelajaran
Langsung)
Bila guru ingin melaksanakan model pembelajaran langsung ini, maka ada 5 fase atau
langkah-langkah yang harus diperhatikan karena sifatnya memang sangat penting. Adapun
kelima fase itu adalah sebagai berikut:
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa.

Pada fase pertama ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran khusus, memberi informasi
tentang latar belakang pembelajaran, memberikan informasi mengapa pembelajaran itu
penting, dan mempersiapkan siswa baik secara fisik maupun mental untuk mulai
pembelajarannya.
2. Mendemostrasikan pengetahuan atau keterampilan.
Pada fase kedua ini guru berperan sebagai model dengan mendemonstrasikan pengetahuan
atau keterampilan secara benar, ia harus menyajikan informasi secara bertahap selangkah
demi selangkah sesuai struktur dan urutan yang benar.
3. Membimbing pelatihan.
Pada fase ketiga guru harus memberikan bimbingan dan pelatihan awal agar siswa dapat
menguasai pengetahuan dan keterampilan yang sedang diajarkan.
4. Mencek pemahaman dan memberikan balikan (umpan balik).
Pada fase keempat ini guru melakukan pengecekan apakah siswa dapat melakukan tugas
dengan baik, apakah mereka telah menguasai pengetahuan atau keterampilan, dan selanjutnya
memberi umpan balik yang tepat.
5. Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan.
Pada fase terakhir (kelima) ini guru kemudian menyediakan kesempatan kepada semua siswa
untuk melakukan latihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi
yang lebih kompleks atau penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Lingkungan Belajar dan Sistem Pengelolaan Direct Instruction (Model Pembelajaran
Langsung)
Bila guru ingin menerapkan model pembelajaran langsung (direct instruction), maka guru
harus melakukan perencanaan yang hati-hati dan matang. Setiap detil keterampilan yang
diajarkan harus diidentifikasi secara seksama dan teliti, begitupun langkah-langkah dan
penjadwalan demonstrasi dan pelatihan.
Lingkungan belajar, meskipun berpusat pada guru (teacher centered), akan tetapi tetap
menuntuk siswa yang aktif belajar baik secara fisik maupun mental. Pembelajaran langsung
tidak akan berhasil jika hanya guru yang aktif. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus

menjamin terjadinya keterlibatan siswa, terutama memperhatikan saat-saat demonstrasi


dilakukan oleh guru, memberikan kesempatan resitasi (tanya jawab) untuk klarifikasi dan
penguatan. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sesuai akan mendorong
implementasi direct instruction yang dilakukan oleh guru dapat sukses.
PAN
Penilaian Acuan Norma (PAN) adalah penilaian yang menggunakan acuan pada rata-rata
kelompok. Dengan demikian dapat diketahui posisi kemampuan siswa dalam kelompoknya.
Untuk itu norma atau kriteria yang digunakan dalam menentukan derajat prestasi seorang
siswa selalu dibandingkan dengan nilai rata-rata kelasnya. Atas dasar itu akan diperoleh tiga
kategori prestasi siswa, yakni prestai siswa di atas rata-rata kelas, berkisar pada ratarata kelas,
dan prestasi siswa yang berada di bawah rata-rata kelas. Dengan kata lain, prestasi yang
dicapai seseorang posisinya sangat bergantung pada prestasi kelompoknya. Keuntungan
standar ini adalah dapat diketahui prestasi kelompok atau kelas sekaligus dapat diketahui
keberhasilan pembelajaran bagi semua siswa. Tujuan utama penggunaan PAN adalah untuk
mengklasifikasikan mahasiswa. PAN dirancang untuk membedakan tingkat pencapaian nilai
mahasiswa dan untuk membuat rangking pencapaian prestasi mahasiswa tersebut dari yang
tinggi sampai yang rendah. Sistem ini dapat menempatkan mahasiswa dalam kelompok
mengulang atau kelompok berbakat. Metode ini juga digunakan oleh dosen dalam menyeleksi
mahasiswa untuk membedakan tingkat kemampuan tertentu didalam kelompok atau kelas
tersebut Caranya adalah guru menggrade dengan PAN harus menghitung nilai rata-rata kelas
(x) dari hasil ujian kemudian menghitung standar deviasinya (SD). 50% nilai diatas rata-rata
dan 50% nilai dibawah rata-rata. Kemudian dari masing-masing bagian, ada yang ditambah 1
SD dari ni dan ada yang ditambah 2 SD dari meannya. Begitu juga sebaliknya. Nilai yang
tertinggi yaitu x + 2 SD akan mendapat nilai angka A, dan nilai terendah yaitu x 2 SD akan
mendapat nilai angka F secara rinci seperti tabel dibawah ini: Batas Daerah Dalam Kurve
Nilai Huruf > x + 1.5 SD A x + 1 SD x + 1.5 SD B+ x + 0.5 SD x + 1 SD B x
x + 0.5 SD C+ x 0.5 SD x C x 1.5 SD x 0.5 SD D < x 1.5 SD E
Kelemahannya adalah kurang meningkatkan kualitas hasil belajar. Jika nilai rata-rata
kelompok atau kelasnya rendah, misalnya skor 40 dari seratus, maka siswa yang memperoleh
nilai 45 (di atas rata-rata) sudah dikatakan baik, atau dinyatakan lulus, sebab berada di atas
rata-rata kelas, padahal skor 45 dari maksimum skor 100 termasuk rendah. Kelemahan yang
lain ialah kurang praktis sebab harus dihitung dahulu nilai rata-rata kelas, apalagi jika jumlah

siswa cukup banyak. sistem ini adalah kurang menggambarkan tercapainya tujuan
pembelajaran sehingga tidak dapat dijadikan ukuran dalam menilai keberhasilan mutu
pendidikan. Demikian juga kriteria keberhasilan tidak tetap dan tidak pasti, bergantung pada
rata-rata kelas, makanya standar penilaian ini disebut stndar relatif. Dalam konteks yang
lebih luas penggunaan standar penilaian ini tidak dapat digunakan untuk menarik generalisasi
prestasi siswa sebab ratarata kelompok untuk kelas yang satu berbeda dengan kelas yang lain,
sekolah yang satu akan berbeda dengan sekolah yang lain. Standar penilaian acuan norma
tepat jika digunakan untuk penilaian formatif. Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ Make
Money Online : http://ow.ly/KNICZ Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

TEORI-TEORI BELAJAR
Dan PEMBELAJARAN

A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar,
dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar
memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan
individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi
suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistim
yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam
dunia nyata dinyatakan oleh McKeachie dalam grendel 1991 : 5 (Hamzah Uno, 2006:4).
Sedangkan Hamzah (2003:26) menyatakan bahwa teori merupakan seperangkat preposisi
yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau
lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari, dianalisis dan
diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz

tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang
dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya. Teori belajar adalah suatu teori yang di
dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa,
perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
B. Teori-Teori Klasik
1. Behavioristik
Teori Behavioristik merupakan teori dengan pandangan tetang belajar adalah
perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau
dengan kata lain belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan
respon. (Hamzah Uno, 7: 2006). Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini adalah
Thorndike, Watson, Hull, Edwin Guthrie dan Skinner. Teori belajar Skinner akan
dijelaskan pada bagian yang khusus yaitu teori belajar proses.

a.

Thorndike
Menurut Thorndike (Hamzah Uno, 7:2006) belajar adalah proses interaksi antara
stimulu dan respon. Menurut Thorndike perubahan tingkah laku bisa berwujud sesuatu yang
dapat diamati atau yang tidak dapat diamati

b.

Watson
Menurut Watson (Hamzah Uno,7:2006) belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon . Stimulus dan respon tersebut berbentuk tingkah laku yang bisa diamati. dengan
kata lain Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam
belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui karena faktor-faktor
tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar telah terjadi atau belum.

c.

Clark Hull
Hull berpendapat bahwa tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan
hidup. Oleh karena itu kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati
posisi sentral. Menurut Hull kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan, stimulus hampir
selalu dikaitan dengan kebutuhan biologis.

d.

Edwin Guthrie
Guthrie mengemukakan bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus dan
respon tertentu. Stimulus dan respon merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu

diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan lebih langgeng. Suatu respon
akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respon tersebut berhubungan dengan
berbagai stimulus.
Guthrie mengemukakan bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
merubah kebiasaan seseorang. Contoh seorang anak perempuan yang setiap kali pulang
sekolah selalu mencampakkan baju dan topinya dilantai. Ibunya menyuruh agar baju dan topi
dipakai kembali oleh anaknya. Lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil
mengantungkan baju dan topinya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan
hal itu, respon menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki
rumah.

NATIVISME
Aliran Nativisme adalah aliran yang lebih menekankan kemampuan dalam diri anak,
sehingga faktor lingkungan dianggap kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Tokoh aliran Nativisme adalah Schopenhaur (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa
bayi lahir itu sudah dengan bawaan baik dan buruk. Istilah Nativisme dari asal kata natie
yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab
lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Aliran ini
berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Oleh
karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian,
menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Pendidikan anak
yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu
sendiri.
Tetapi pembawaan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan,
masih banyak faktor lain yang mampengaruhinya. Pandangan konvergensi akan memberikan
penjelasan tentang kedua faktor yaitu pambawaan (hereditas) dan dan lingkungan dalam
perkembangan anak. Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas
yakni bahwa dalam diri individu terdapat suatu inti pribadi (G.Leibnitz;Monad) yang
mendorong manusia untuk mewujudkan diri, menentukan pilihan kemauan sendiri, dan
menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Pandanga-

pandangan tersebut tampak antara lain humanistic psychologi (Carl R.Rogers) ataupun
phenomenologi/ humanistik lainnya.
Pendapat dari pendekatan phenomenologi/humanistik (Milhollan dan Forisha):
1. Pendekatan aktualisasi diri atau non-direktif (client centered) dari Cart R.Rogers dan
Abraham Maslow.
2. Pendekatan Pendekatan Constructs (George A.Kelly) yang menekankan memahami
hubungan transaksional antara manusia dan lingkungannya sebagai bekal memahami
perilakunya.
3. Pendekatan Search for Meaning dengan aplikasinya sebagai Logoterapy dari Victor
Franki yang mengungkapkan batapa pentingnya semangat (human spirit) untuk mengatasi
berbagai tantangan/masalah yang dihadapi.
KOGNITIVISME
1. Piaget : Teori Perkembangan Kognitif
Menurut Santrock (2008), perkembangan adalah perubahan pola biologis, kognitif
dan sosioemosional yang dimulai dari masa konsepsi dan terus berlangsung sepanjang hidup.
Perkembangan dinyatakan dalam istilah periode/tahapan. Pola perkembangan anak begitu
kompleks karena melibatkan proses-proses biologis, kognitif dan sosioemosional tadi. Proses
kognitif melibatkan perubahan dalam berpikir, intelegensi dan bahasa anak
Kognitif merupakan teori yang berdasarkan proses berpikir di belakang perilaku.
Perubahan perilaku diamati dan digunakan sebagai indikator terhadap apa yang terjadi dalam
otak peserta didik. Gagasan utama teori kognitif adalah perwakilan mental, semua gagasan
dan citraan (image) seseorang diwakili dalam struktur mental yang disebut skema. Skema
akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima akan dipahami seseorang .
Jika informasi sesuai dengan skema yang ada, maka peserta didik akan menyerap informasi
tersebut ke dalam skema ini. Seandainya tidak sesuai dengan skema yang ada, informasi akan
ditolak atau diubah, atau disesuaikan dengan skema, atau skema yang akan diubah dan
disesuaikan.
Penganut teori kognitif mengakui bahwa belajar melibatkan penggabunganpenggabungan yang dibangun melalui keterkaitan atau penguatan. Mereka juga mengakui
pentingnya penguatan (reinforcement) walaupun lebih menekankan pada pemberian balikan
(feedback) pada tanggapan yang benar dalam perannya sebagai pendorong (motivator).
Walaupun menerima sebagian konsep dari behavioris, para penganut teori kognitif

memandang belajar sebagai perbuatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif di
mana seseorang memproses dan menyimpan informasi.
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual
dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmental karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta
perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu.
Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan
mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda
usia akan berbeda pula secara kualitatif. Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan
kognitif anak menjadi empat tahap:
Tahap sensory motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun,
Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
Tahap pre operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7
tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya simbol atau bahasa tanda, dan
telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
Tahap concrete operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan
anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak
memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
Tahap formal operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15
tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis
dengan menggunakan pola pikir kemungkinan.

PROSEDURAL

PENDEKATAN PROSEDURAL
Pendekatan Prosedural adalah kedudukan beberapa kompetensiyang menunjukan satu seri
urutan penampilan kompetensi, tetapitidak ada yang menjadi kompetensi prasyarat untuk
yang lainnya.Contoh: dalam memberi materi seorang guru harus memberimateri yang sesuai

dengan proseduralnya. Misalnya dalampelajaran penjas seorang guru yang mengajarkan


materi sepakbola harus bisa memodifikasi permainan tersebut yang
tadinyamembosankan/jenuh menjadi menyenangkan agar materi yangdiberikan dapat
dilakukan oleh para peserta didik/siswa.Didalam permainan sepak bola terdapat beberapa
macam teknikyang bisa dilakukan para siswa, yaitu1) Materi passing ball2) Materi shooting
ball3) Materi dribbling ball4) Materi control ballAdapun cara mengajarkan teknik-teknik
materi tersebutdengan cara pendekatan prosedural. Ditahap prosedural inipeserta didik/siswa
tidak dituntut untuk harus wajib menguasaipermainan sepak bola tetapi di pendekatan
prosedural inipeserta didik/siswa hanya diberikan cara bagaimana melakukanmateri-materi
tersebut yang diterangkan oleh pengajar

PENDIDIKAN NILAI IPS


Pendidikan Nilai
Nilai menurut Mulyana adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan,nilai
merupakan sesuatu yang diinginkan sehingga melahirkan tindakan pada diri seseorang
(2004:11). Menurut Frankel nilai adalah standar tingkah laku, keindahan, keadilan,
kebenaran, dan efesiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya untuk dijalankan dan
dipertahankan (Kartawisastra, 1980: 1). Ditegaskan oleh amborise dalam mulyana (2004:27),
yaitu klasifikasi nilai dibagi menjadi dua yaitu nilai instrumntal dan nilai terminal. Nilai
instrimental disebut dengan nilai antara, dan nilai terminal adalah sebagai nilai akhir.
Contohnya manusia yang memiliki nilai instrumental hidup bersih, dia memiliki nilai akhir
secara konsisten yaitu nilai keindahan dan kesehatan.
Selain dua klasifikasi nilai tersebut, nilai yang sering dijadikan rujukan dalam
kehidupan ada enam nilai yang terdapat dalam teori spranger dalam mulyana (2004:32 35)
yakni nilai teoritik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama.
Nilai teoritik melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan
membuktikan sesuatu. Nilai ekonomis terkait dengan perimbangan nilai yang berkadar
untung dan rugi, yang mengutamakan kegunaan sesuatu bagi manusia. Nilai estetik yang
disebut juga dengan nilai keindahan yang sangat bergantung pada subjektif seseorang. Nilai
sosial berakumulasi pada nilai tertinggi yaitu kasih sayang antar manusia. Nilai politik yaitu
kadar nilai bergerak dari pengaruh yang rendah menuju ke tinggi atau sering disebut sebagai
nilai kekuasaan. Nilai agama merupakan nilai yang bersumber dari kebenaran yang paling
tinggi yang kebenaran tersebut datang dari Tuhan.

Nilai merupakan pondasi penting dalam menentukan karakter suatu


masyarakat dan bangsa. Nilai tidak tumbuh dengan sendirinya tapi melalui proses penyebaran
dan penyadaran yang salah satunya melalui pendidikan di sekolah.
Pendidikan nilai menurut mulyana (2004:119) merupakan pengajaran atau bimbingan
terhadap peserta didik agar peserta didik menyadari kebenaran, kebaikan, dan keindahan
melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan tindakan yang konsisten. Pendidikan nilai
dimagsudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami
nilai nilai serta mampu menempatkan secara integral dalam kehidupan. Secara khusus
menurut APEID (Asia and the Programme of Educational Innovation for Developement)
bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk :
1) Menerapkan pembentukan nilai kepada anak
2) Menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai nilai yang diinginkan
3) Membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai nilai tersebut.
2.3

Pendekatan dan Tujuan Pendidikan Nilai


dalam Pembelajaran IPS
Dalam pendidikan nilai yang diberikan pada pembelajaran pendidikan
IPS, dibutuhkan beberapa pendekatan. Banks Martorella dalam Djahiri
(1992) mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai atau

budi pekerti,yaitu:
a) Evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan
keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektiffiya
terhadap stimulus yang diterimanya
b) Inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang
diarahkan menuju kondisi siap
c) Moral Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual
taksonornik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah
d) Value Clarjflcation, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa
diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral
e) Value Analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan
f)

analisis nilai moral;


Moral Awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan

dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu;


g) Commitment Approach, yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak
menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai
h) Union Approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk
melaksanakan secara rill dalam suatu kehidupan.

Menurut Hersh,et.al.(1980), di antara berbagai teori yang berkembang,


ada enam teori yang banyak digunakan, yaitu: pendekatan
pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan
klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan
pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias
(1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga,
yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku
Dengan pendekatan-pendekatan tersebut, dapat diaplikasikan dalam
pendidikan nilai pada pembelajaran PIPS. Tujuan akhirnya adalah agar
peserta didik memiliki konsistensi antara perbuatannya dengan
pertimbangan nilainya, sehingga prilaku sosialnya dapat
dipertanggungjawabkan, konsisten dengan sistem nilai yang berada di
tengah masyarakat. Acting In very consistent with values willingness to
acceptable consequences of action choosen Pendidikan nilai adalah
pendidikan sikap, sikap dalam arti kecenderungan kuat untuk berbuat
berprilaku, bertindak sebagai hasil pengambilan keputusan yang dibentuk
oleh kekuatan-kekuatan sistem nilai yang mempribadi pada setiap
individu dan masyarakat.. Keunikan dan kecenderungan bersikap tersebut
adalah lebih bersifat abstrak, hanya dapat dikenali dari sejumlah
indikatornya misalnya tujuan yang dimilikinya dan dinyatakan, aspirasi
yang diwjudkan dalam prilaku atau harapan yang ditampilkan, perasaan
yang diekspresikan.
Dengan demikian bahwa tujuan dari pendidikan nilai dalam
pembelajaran IPS adalah untuk mengembangkan potensi siswa agar :
1) Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau
lingkungan, melalui pemahaman terhadap nilai nilai sejarah dan
kebudayaan masyarakat.
2) Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan
metode yang diadaptasi dari ilmu sosial yang kemudian digunakan untuk
memecahkan masalah sosial.
3) Mampu mengunakan model dan proses berfikir serta membuat
keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di
masayarakat.

4) Perhatian terhadap isu dan masalah sosial, serta mampu membuat


analisis yang kritis dan mampu mengambil tindakan yang tepat.
5) Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu
membangun diri sendiri agar bertanggung jawab membangun
masyarakat.

PENDEKATAN KONTRUKTIVISME MTK


Proses belajar mengajar adalah serangkaian proses antara guru dengan siswa atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam kondisi edukatif untuk mencapi tujuan
tertentu. Proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme sebagai berikut: (a)
menyiapkan bendabenda nyata untuk digunakan oleh para siswa, (b) memilih pendekatan
yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, (c) memperkenalkan kegiatan yang layak
dan menarik serta beri kebebasan siswa untuk menolak saran guru, (d) menciptaan
pertanyaan dan masalah serta pemecahannya, (e) mengajak siswa untuk saling berinteraksi,
(f) siswa diajak untuk berpikir dengan cara mereka sendiri, dan (g) memperkenalkan kembali
materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun lamanya. Dari proses pembelajaran
matematika dengan pendekatan konstruktivisme dapat memberikan suatu solusi dalam
memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh siswa (Dahar, 1989:160).
Belajar matematika menurut para ahli konstruktivis menyatakan bahwa belajar matematika
melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja.
Para ahli konstruktivis merekomendasikan untuk menyediakan lingkungan belajar dimana
siswa dapat mencapai konsep dasar, ketrampilan, dan kebiasaan bekerja sama. Dari
pernyataan beberapa ahli konstruktivis diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika berdasarkan konstruktivisme adalah pembelajaran yang harus melibatkan siswa
aktif untuk mengkontroksi pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan benda konkrit.
Hudoyo dalam seminar makalah (1998) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika
dengan metode pendekatan konstruktivisme meliputi empat tahap:
a. Tahap persepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi belajar siswa).
Siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan
dibahas. Peran guru memberi pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai
siswa dalam kehidupan sehari-hari dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas.

Selanjutnya, siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengilustrasikan


pemahamannya tentang konsep tersebut.
b. Tahap eksplorasi. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian dan menginterprestasikan data
dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan pada tahap ini akan
terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam lingkungannya.
c. Tahap diskusi dan penjelasan konsep. Siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang
didasarkan pada hasil observasi siswa, di tambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, siswa
membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari, dan
d. Tahap pengembangan dan aplikasi konsep. Guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran
yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui
kegiatan maupun melalui pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu dalam
lingkungan siswa tersebut.
Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2012/05/pendekatan-konstruktivismedalam.html#ixzz47HuKkqhR

PEMBELAJARAN PKN DI SD
engertian Mata PelajaranPendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dan dalam Kurikulum 2004 disebut sebagai mata pelajaran
Kewarganegaraan (Citizenship). Mata pelajaran Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosial kultur,
bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga Negara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Fungsinya adalah sebagai
wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, berkarakter yang setia kepada
bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 (Balitbang, 2002: 7).

Pendidikan Kewarganegaraan adalah wahana untuk mengembangkan dan


melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya Bangsa Indonesia yang
diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari siswa baik
sebagai individu, masyarakat, warganegara dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Perilaku-perilaku tersebut adalah seperti yang tercantum di dalam penjelasan UndangUndang tentang Pendidikan Nasional pasal 39 ayat (2) yaitu perilaku yang memancarkan
iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai
golongan agama, perlaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang
mendukung persatuan bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan
beraneka ragam kepentingan., perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan
kepentingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat atau
kepentingan diatas melalui musyawarah dan mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di samping itu Pendidikan Kewarganegaraan juga dimaksudkan sebagai usaha untuk
membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan
hubungan antara sesama warga negara maupun antar warga negara dengan negara. Serta
pendidikan bela negara agar menjadi warga nagara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan
negara.
PKn merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan terpaan moral
yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala sosial,
khususnya yang berkaitan dengan moral serta perilaku manusia. Pendidikan
Kewarganegaraan termasuk pelajaran bidang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
teori-teori serta perihal sosial yang ada di sekitar lingkungan masyarakat kita.
Oleh karena itu dalam pembelajaran PKn perlu diberikan pengarahan, mereka harus
terbiasa untuk mendengar ataupun menerapkan serta mencatat hal-hal yang berkaitan dengan
ilmu PKn, salah satu keberhasilan pembelajaran adalah jika siswa yang diajar merasa senang
dan memerlukan materi ajar. Selain itu juga dengan diterapkannya pemberian tugas dengan
bentuk portofolio akan dapat memberikan diskripsi baru mengenai pembelajaran PKn, dan
hal tersebut juga sebagai penunjang agar siswa tidak merasa kebosanan dalam mengikuti
pembelajaran portofolio.
C.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran PKn

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran Pendidikan


Kewarganegaraan antara lain adalah sebagai berikut.
1.

Guru
Seorang guru yang profesional dituntut untuk mempunyai kemampuan-kemampuan

tertentu, Guru merupakan pribadi yang berkaitan erat dengan tindakannya di dalam kelas,
cara berkomunikasi, berinteraksi dengan warga sekolah dan masyarakat umumnya.
Membicarakan masalah guru yang baik, (S. Nasution dalam Amin Suyitno, 1997:25)
mengemukakan sepuluh kriteria yang baik adalah: 1) memahami dan menghormati siswa, 2)
menguasai bahan pelajaran yang diberikan, 3) menyesuaikan metode pengajaran dengan
bahan pelajaran, 4) menyesuaikan bahan pengajaran dengan kesanggupan individu, 5)
mengaktifkan siswa dalam belajar, 6) memberikan pengetahuan sehingga terhindar dari sikap
verbalisme, 7) menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa, 8) mempunyai tujuan
tertentu dengan tiap pelajaran yang diberikannya, 9) tidak terikat oleh teks book, dan 10)
tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada siswa melainkan
senantiasa membentuk pribadi anak.
2.

Siswa
Jika ditinjau dari siswa, maka banyak faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian,

lebih-lebih hubungannya dengan belajar PKn. PKn bagi siswa pada umumnya merupakan
pelajaran yang kurang disenangi karena kurangnya antusias siswa terhadap pelajaran ini.
Karena itu dalam interaksi belajar mengajar PKn seorang guru harus memperhatikan faktorfaktor yang menyangkut siswa, yaitu: 1) Apakah siswa cukup cerdas, cukup berbobot, dan
siap belajar PKn? 2) Apakah siswa berminat, tertarik dan mau belajar PKn? 3) Apakah siswa
senang dengan cara belajar yang kita berikan? 4) Apakah siswa dapat menerima pelajaran
dengan baik dan benar? 5) Apakah suasana interaksi belajar mengajar mendorong siswa
belajar? Dengan faktor-faktor tersebut guru dapat menentukan strategi pembelajaran yang
seperti apa agar siswa berhasil dalam belajar.
3.

Sarana dan Prasarana

Pembelajaran akan dapat berlangsung lebih baik jika sarana dan prasaranya
menunjang. Sarana yang cukup lengkap seperti perpustakaan dengan buku-buku PKn yang
relevan.
4.

Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran PKn adalah strategi pembelajaran yang aktif, Pembelajaran

aktif ditandai oleh dua faktor yaitu 1) Adanya interaksi antara seluruh komponen dalam
proses pembelajaran terutama antara guru dan siswa, dan 2) Berfungsi secara optimal seluruh
sence siswa yang meliputi indera, emosi, karsa, dan nalar. Dalam pembelajaran siswa aktif,
metode-metode yang dianjurkan antara lain metode tanya jawab, drill, diskusi, eksperimen,
pemberian tugas, dan lain-lain. Pemilihan metode yang diterapkan tentu saja disesuaikan
dengan mata pelajaran, tujuan pembelajaran, maupun sarana yang tersedia.
D.

Karakteristik Pembelajaran PKn


Pada materi konsep dasar pendidikan kewarganegaraan telah dikemukakan bahwa

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pelajaran dengan keunikan tersendiri. PKn


dimaknai sebagai pendidikan nilai dan pendidikan politik demokrasi. Hal ini mengamndung
konsekwensi bahwa dalam hal perancangan pembelajaran PKn perlu mempertahtikan
karakteristik pembelajaran PKn itu sendiri.
Dalam standar isi 2006 dijelaskan bahwa PKn persekolahan atau mata pelajaran PKn
adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia
yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
PKn dalam kurikulum perguruan tinggi juga tidak lepas dari nilai-nilai bangsa yang
dijadikan arah pengembangan PKn sebagai mata kuliah. Kompetensi dasar mata kulaih PKn
di PT adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air, demokratis berkeadaban; menjadi warga negara yang memiliki daya saing;
berdisiplindan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan
sistem nilai Pancasila (S-K Dirjen Dikti No 43/Dikti/2006).
Dalam hal tujuan, PKN persekolahan memiliki tujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut.

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu


kewarganegaraan
b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsabangsa lainnya
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
Menyimak hal-hal di atas, dapat dinyatakan bahwa PKn mengemban misi sebagai
pendidikan nilai dalam hal ini adalah nilai-nilai filosofis dan nilai konstitusional UUD 1945.
Di sisi lain adalah pendidikan politik demokrasi dalam rangka membentuk warganegara yang
kritis, partisipatif dan bertanggung jawab bagi kelangsungan negara bangsa.
Dalam naskah Kurikulum 2006 dinyatakan bahwa Pembelajaran dalam mata
pelajaran Kewarganegaraan merupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan
belajar kontekstual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan, dan
karakter warga Negara Indonesia. Pendekatan belajar kontekstual dapat diwujudkan antara
lain dengan metode-metode: (1) kooperatif, (2) penemuan (discovery), (3) inkuiri (inquiry)
(4) interaktif, (5) eksploratif, (6) berpikir kritis, dan (7) pemecahan masalah (problem
solving). Metode-metode ini merupakan kharakteristik dalam pembelajaran PKn.
E.

Tujuan Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan


Tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk mengembangkan

kemampuan-kemampuan sebagai berikut.


1.

Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan

2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
3. Berkembang secara positif, dinamis, dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
pada karakter-karakter masyarakat Indonesia, agar hidup bersama dengan bangsa-bangsa
lain
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam persatuan atau tidak langsung dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi

Mata pelajaran PKn terdiri dari dimensi pengetahuan Kewarganegaraan (civics


knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum, dan moral. Dimensi ketrampilan
Kewarganegaraan (civics skill) meliputi ketrampilan, partisipasi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dimensi nilai-nilai Kewarganegaraan (civics values) mencakup antara lain
percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur, nilai keadilan,
demokratis, toleransi, kebebasan individual, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan
berserikat dan berkumpul dan perlindungan terhadap minoritas. Mata pelajaran
Kewarganegaraan merupakan bidang kajian Interdisipliner artinya materi keilmuan
Kewarganegaraan dijabarkan dari beberapa disiplin ilmu antara lain ilmu politik, ilmu negara,
ilmu tata negara, hukum sejarah, ekonomi, moral, dan filsafat (Depdiknas, 2003: 2).

F.

Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan


Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai fungsi yang sempurna terhadap

perkembangan anak didik. Hal ini diungkapkan dalam Buku Panduan Pengajaran Pendidikan
Kewarganegaraan kuikulum 1994 adalah sebagai berikut.
1. Mengembangkan dan melestarikan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka,
yaitu nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan yang
terjadi didalam masayarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai Bangsa Indonesia yang
merdeka bersatu dan berdaulat.
2. Mengembangkan dan membina siswa menuju terwujudnya manusia seutuhnya yang sadar
politik, hukum dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, berlandaskan
Pancasila.
3.

Membina pemahaman dan kesadaran siswa terhadap hubungan antara sesame warga
negara dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mampu
melaksanakan dengan baik hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

G.

Visi dan Misi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan


Dengan memperhatikan visi dan misi mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan, yaitu membentuk warga negara yang baik, maka selain mencakup dimensi
pengetahuan, karakteristik mata pelajaran Kewarganegaraan ditandai dengan memberi
penekanan pada dimensi sikap dan keterampilan civics. Jadi, pertama-tama seorang warga

negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan yang lengkap tentang konsep dan
prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Setelah menguasai pengetahuan, selanjutnya
seorang warga negara diharapkan memiliki sikap dan karakter sebagai warga negara yang
baik serta memiliki keterampilan Kewarganegaraan dalam bentuk keterampilan berpartisipasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keterampilan menentukan posisi diri, serta
kecakapan hidup (life skills).
H.

Visi dan Misi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan


Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek

antara lain adalah sebagai berikut.


1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta
lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di
sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional,
Hukum dan peradilan internasional.
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota
masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan
perlindungan HAM.
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga
masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara.
5.

Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama,


Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara
dengan konstitusi.

6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah
dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya
demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat
demokrasi.

7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideology negara,
Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era
globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional,
dan Mengevaluasi globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiamansyah, Dasim. 2002. Portofolio. Bandung: Ganesindo.
Fajar, Arnie. 2004. Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fattah Nanang. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munib. Achmad. 2005. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK Unnes Press.
Nurhadi, Senduk AG. 2003. Pendidikan Pancasila. Semarang: UPT MKKU Unnes.
Rajak, Abdul H. 1995. Sistem Pendidikan Nasional. Solo: Aneka Ilmu
Samana A. 1992. Sistem Pengajaran. Yogyakarta: Kanisius.
Sudjana, Nana. 2004. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Al
Genindo.
Soeparwoto dkk. 2003. Psikologi Pendidikan. Semarang: UPT MKK Unnes Press.
Tijan dkk. 2004. Kewarganegaraan 1. Semarang: Aneka Ilmu.
Tijan, dkk. 2005. Peningkatan Kualitas Proses dan Hasil Pembelajaran Mata Kuliah SSBI.
Laporan Penelitian. Semarang: SP4.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wardani, Igak. 2001. Praktik Mengajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Wardani, Igak. 2001. Dasar-dasar Komunikasi dan Keterampilan Dasar Mengajar. Jakarta:
Dirjen Dikti Depdikbud
Depdiknas. 2006. Model-model Pembelajaran yang Efektif. Bahan Sosialisasi KTSP. Jakarta.
Depdiknas
Depdiknas. 2007. Pedoman Pengembangan Silabus dan Model Pembelajaran. Buku IV.
Jakarta: Dikmenum Depdiknas
Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Lampiran Standar Isi Pendidikan
Kewarganegaraan
Suwarma Al Muchtar, dkk. 2007. Strategi Pembelajaran PKn. Jakarta : UT
Budimansyah, Dasim. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: PT
Genesido.

Fajar, Arnie. 2004. Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2004. Pengetahauan Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Hasan, Karnadi. 2003. Penilaian Hasil Belajar Berbasis Portofolio. Semarang: Fak Tarbiyah
IAIN Walisongo.
Masid, Abdul. dan Andayani, Dian. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Rosda.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nazir, Moh, Ph.D. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nurhadi. 2004. Kuikulum 2004: Pertayaan dan Jawaban, Jakarta: Gramedia.
Priyanto, Sugeng, AT. Pedoman Penilaian Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian. Semarang IKIP Press.
Rina, Tri Kartika. 2006. Model Penilaian Berbasis Portofolio Sebuah Tinjauan Kritis. Tri
Kartika Rina@yahoo. com. (25 Februari 2006).
Slameto. 1998. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana, Nana. 1989. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.
Surapranata dan Hatta. 2004. Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

PAKEM
PENGERTIAN PAKEM
Memahami hakikat PAKEM
1.

Pengertian
PAKEM adalah sebuah pendekatan yang memungkinkan peserta didik

mengerjakan kegiatan beragam untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan


pemahamannya dengan penekanan belajar sambil bekerja. PAKEM diatur dalam
UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 4 dan Pasal 40 dan PP No.19 Tahun 2005 , Pasal
19
2.

Peran guru dan siswa dalam PAKEM

Actor utama dalam PAKEM adala guru dan siswa . keduanya harus dalam
interaksi yang dinamis dan kontekstual. Guru dan siswa harus sama-sama aktif
dan kreatif sehingga pembelajaran menjadi efektif dan menyenangkan.
3.

proses pelaksanaan PAKEM

Dalam pelaksanaan PAKEM ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a.
b.
c.
d.

memahami sifat yang dimiliki anak


mengenal anak secara perseorangan
memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan kemampuan

memecahkan masalah
e. mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
f. memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
g. memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
h. membedakan aktif fisik dan aktif mental
4.

Kriteria penilaian yang sesuai PAKEM

Berikut adalah criteria penilaian yang sesuai konsep PAKEM, yaitu :


a.
b.
c.

Penilaian otentik yang merupakan proses pengumpulan informasi oleh guru


Bentuk penilaian tes dapat dilakukan secra lisan, tertulis, dan perbuatan
Rangkaian penilaian dilakukan oleh guru

5.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
6.

Tujuan penilaian pembelajaran model PAKEM


Menilai kemampuan individual melalui tugas tertentu
Memetukan kebutuhan belajar
Membantu dan mendorong siswa
Membantu dan mendorong guru agar lebih baik dalam mengajar
Menentukan strategi pembelajaran
Akuntabilitas lembaga
Meningkatkan kualitas pendidikan
Merancang dan melaksanakan penilaian PAKEM
Untuk merancang dan melaksanakan penilaian PAKEM harus berdasarkan dua

hal . Merancang penilaian dilakukan bersamaan dengan merancang


pembelajaran tersebut. Penilaian disesuaikan dengan pendekatan dan metode
yang dilaksanakan dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran dengan
pendekatan PAKEM penilaian dirancang sebagaimana dengan penilaian otentik.
7.

Lingkungan belajar dalam PAKEM


Menurut saroni (2006) lingkungan belajar adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Lingkungan ini


mencakup dua hal utama, yaitu: Lingkungan fisik dan Lingkungan sosial

PAKEM membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang


mendukung tercapainya tujuannya. Penataan ruang kelas yang menarik
,merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Berdasarkan uraian
tersebut bahwa lingkungan belajar yang dapat memacu belajar siswa meliputi :
Lingkungan sekeliling siswa, pajangan karya siswa, pengelolaan alat dan sumber
belajar, pengaturan tempat duduk, sudut baca, dan program sarapan pagi.

SUMBER : Jamal Mamur Asmani.2012. 7 TIPS APLIKASI PAKEM.Diva Press

Anda mungkin juga menyukai