I.
ABSES
A. DEFINISI
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
(bakteri,jaringan nekrotik dan sel darah putih) ( Smelltzer at.al, 2001: 496). Abses adalah
kumpulan nanah (netrofil yang telah mati yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan
karena adanya proses infeksi). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan
untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi kebagian lain dari tubuh.
Abses (Latin: abscessus ) merupakan kumpulan nanah ( netrofil yang telah mati)
yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya
oleh bakteri atau parasit ) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka
peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh. Organisme atau
benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan
sitokin . Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik
kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan
meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses , atau kapsul,
oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah
menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses
enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau
penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri
yang terdapat dalam nanah.
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi
lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi ,
yakni: kemerahan ( rubor), panas (calor ), pembengkakan ( tumor ), rasa nyeri (dolor),
dan hilangnya fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap jaringan solid , tetapi paling sering
terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil . Komplikasi
mayor abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan
kematian jaringan setempat yang ekstensif ( gangren).
B. KLASIFIKASI ABSES
Ada dua jenis abses :
Abses septic
Kebanyakan abses adalah septik, yang berarti bahwa mereka adalah hasil dari
infeksi. Septic abses dapat terjadi di mana saja di tubuh. Hanya bakteri dan respon
kekebalan tubuh yang diperlukan. Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah
putih yang terinfeksi berkumpul di situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia
yang disebut enzim yang menyerang bakteri dengan terlebih dahulu tanda dan
kemudian mencernanya. Enzim ini membunuh bakteri dan menghancurkan mereka ke
potongan-potongan kecil yang dapat berjalan di sistem peredaran darah sebelum
menjadi dihilangkan dari tubuh. Sayangnya, bahan kimia ini juga mencerna jaringan
tubuh. Dalam kebanyakan kasus, bakteri menghasilkan bahan kimia yang serupa.
Hasilnya adalah tebal, cairan-nanah kuning yang mengandung bakteri mati, dicerna
jaringan, sel-sel darah putih, dan enzim.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses yang disebut peradangan. Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi:
Ternyata merah.
Abses steril
Abses steril kadang-kadang bentuk yang lebih ringan dari proses yang sama
bukan disebabkan oleh bakteri, tetapi oleh non-hidup iritan seperti obat-obatan. Jika
menyuntikkan obat seperti penisilin tidak diserap, itu tetap tempat itu disuntikkan dan
dapat menyebabkan iritasi yang cukup untuk menghasilkan abses steril. Seperti abses
steril karena tidak ada infeksi yang terlibat. Abses steril cukup cenderung berubah
menjadi keras, padat benjolan karena mereka bekas luka, bukan kantong-kantong sisa
nanah.
C. ETIOLOGI
Menurut ahli penyakit infeksi penyebab abses antara lain :
1. Infeksi Mikrobial
Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan
kematian sel dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang
spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang merupakan awal radang atau
melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel
2. Reaksi hipersensitivitas.
Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
3. Agen Fisik
Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih
(frostbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi
terjadinya proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan
kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung menyebabkan radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya
makanan pada dearah yang bersangkutan. Menyebabkan kematian jaringan
yang merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah tepi infeksi sering
memperlihatkan suatu respon radang akut. (Underwood,lC.E. 1999: 232 ).
D. FAKTOR RESIKO
Faktor predisposisi dari abses yaitu :
1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Kurang gizi.
3. Anemia.
4. Diabetes
5. Keganasan(kanker)
6. Penyakit lainya
7. Higienis jelek
8. Kegemukan
9. Gangguan kemotatik
10. Sindroma hiper IgE
11. Carier kronik Staphilococcus Aureus.
F. PATOFISIOLOGI
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakanakan jaringan
dengan cara mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik
(sintesis), kimiawi yang secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan
endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi
bila ada perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan perubahan reaksi imun
yang merusak jaringan. Agent fisik dan bahan kimia oksidan dan korosif menyebabkan
kerusakan jaringan,kematian jaringan menstimulus untuk terjadi infeksi. Infeksi
merupakan salah penyebab dari peradangan, kemerahan merupakan tanda awal yang
terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi kalor
terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi
secara sistemik.
Akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi
pada suhu lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi.
Peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler,
kemudian aliran darah kembali pelan. Sel-sel darah mendekati dinding pembuluh darah
didaerah zona plasmatik. Leukosit menempel pada epitel sehingga langkah awal terjadi
emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler lambatnya aliran darah yang mengikuti Fase
hyperemia meningkatkan permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarya plasma
kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat tekanan
hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi akumulasi cairan
didalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu
edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga
abses menyebabkan rasa nyeri. Mediator kimiawi, termasuk bradikinin, prostaglandin,
dan serotonin merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap
reseptor mekanosensitif dan termosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema
akan mengganggu gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas litas.
Inflamasi terus terjadi selama, masih ada pengrusakan jaringan bila penyabab
kerusakan bisa diatasi, maka debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai
terjadi resolusi dan kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang berlebihan menyebabkan
debris terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses di sel jaringan lain membentuk
flegmon. Trauma yang hebat menimbulkan reaksi tubuh yang berlebihan berupa
fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk
mengganti jaringan yang rusak (fase organisasi), bila fase destruksi jaringan berhenti
akan terjadi fase penyembuhan melalui jaringan granulasi fibrosa. Tapi bila destruksi
jaringan berlangsung terus akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila
rangsang yang merusak hilang.
Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan
sehingga terjadi kerusakan Integritas kulit. Sedangkan abses yang diinsisi dapat
mengakibatkan resiko penyebaran infeksi.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:
1. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat
yang paling efektif..
2. Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000
- 30.000) mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan
acidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal.
PT/PTT
mungkin
memanjang
menunjukan
koagulopati
yang
I.
KOMPLIKASI
1) Infeksi sekunder ; merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20%
kasus.
2) Ruptur atau penjalaran langsung ; rongga atau organ yang terkena tergantung
pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga
intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.
3) Komplikasi vaskuler ; ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus
gastrointestinal jarang terjadi
4) Parasitemia, amoebiasis serebral ; E. histolytica bisa masuk aliran darah
sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan
gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.
II.
AKUT ABDOMEN
A. Anatomi dan Fisiologi
Perkembangan dari anatomi rongga perut dan organ-organ visera mempengaruhi
manifestasi, patogenesis dan klinis dari penyakit abdominal peritoneum dan persarafan
sensoris viseral sangat penting untuk evaluasi acute abdominal disease (Gray SW,
1997). Setelah 3 minggu perkembangan janin, usus primitif terbagi menjadi foregut,
midgut, dan hindgut. Arteri mesenterika superior menyuplai dari ke midgut (bagian
keempat duodenum sampai midtransversal kolon). Foregutmeliputi faring, esofagus,
lambung, dan proksimal duodenum, sedangkan hindgut terdiri dari kolon distal dan
rektum. Serabut aferen yang menyertai suplai vaskuler memberikan persarafan sensoris
pada usus dan terkait peritoneum viseral. Sehingga, penyakit pada proksimal
duodenum (foregut) merangsang
serabut
aferen celiac
axis menghasilkan
nyeri
peritoneum parietal. Stimulasi pada saraf perifer akan menghasilkan sensasi yang tajam,
tiba-tiba, dan terlokalisir dengan baik. Rangsangan pada saraf sensorik aferen
intraperitoneal pada acute abdominal pain menimbulkan nyeri yang tumpul (tidak jelas
pusat nyerinya), nyeri tidak terlokalisasi dengan baik, dengan onset gradual/ bertahap
dan durasi yang lebih lama. Nervus vagus tidak mengirimkan impuls nyeri dari usus.
Sistem saraf aferen simpatik mengirimkan nyeri dari esofagus ke spinal cord.
Saraf aferen dari kapsul hepar, ligamen hepar, bagian central dari diafragma, kapsul lien,
dan perikardium memasuki sistem saraf pusat dari C3 sampai C5. Spinal corddari T6
sampai T9 menerima serabut nyeri dari bagian diafragma perifer, kantong empedu,
pankreas, dan usus halus. Serabut nyeri dari colon, appendik, dan visera dari pelvis
memasuki sistem saraf pusat pada segmen T10 sampai L11. Kolon sigmoid, rektum,
pelvic renalis beserta kapsulnya, ureter dan testis memasuki sistem saraf pusat pada
T11 dan L1. Kandung kemih dan kolon rektosigmoid dipersarafi saraf aferen dari S2
sampai S4. Pemotongan, robek, hancur, atau terbakar biasanya tidak menghasilkan
nyeri di visera pada abdomen. Namun, peregangan atau distensi dari peritoneum akan
menghasilkan sensasi nyeri. Peradangan peritoneum akan menghasilkan nyeri viseral,
seperti halnya iskemia. Kanker dapat menyebabkan intraabdominal pain jika mengenai
saraf sensorik.
Abdominal
pain
dapat
berupa
viseral
pain,
parietal
pain,
atau reffered
pain. Visceral pain bersifat tumpul dan kurang terlokalisir dengan baik, biasanya di
epigastrium, regio periumbilikalis atau regio suprapubik. Pasien dengan nyeri viseral
mungkin juga mengalami gejala berkeringat, gelisah, dan mual. Nyeri parietal atau nyeri
somatik yang terkait dengan gangguan intraabdominal akan menyebabkan nyeri yang
lebih inten dan terlokalisir dengan baik. Referred pain merupakan sensasi nyeri
dirasakan jauh dari lokasi sumber stimulus yang sebenarnya. Misalnya, iritasi pada
diafragma dapat menghasilkan rasa sakit di bahu. Penyakit saluran empedu atau
kantong
empedu
dapat
menghasilkan
nyeri
bahu.
Distensi dari small bowel dapat menghasilkan rasa sakit ke bagian punggung bawah.
Selama minggu ke-5 perkembangan janin, usus berkembang diluar rongga
peritoneal,
menonjol
melalui
dasar umbilical
cord,
dan
mengalami
rotasi
180 berlawanan dengan arah jarum jam. Selama proses ini, usus tetap berada di luar
rongga peritoneal sampai kira-kira minggu 10, rotasi embryologik menempatkan organoragan visera pada posisi anatomis dewasa, dan pengetahuan tentang proses rotasi
semasa embriologis penting secara klinis untuk evaluasi pasien dengan acute
abdominal pain karena variasi dalam posisi ( misalnya, pelvic atau retrocecal appendix)
(Buschard K, Kjaeldgaard A,1993).
B. Tanda dan Gejala
1. Nyeri perut
Keluhan yang paling menonjol pada gawat perut adalah nyeri. Nyeri perut ini
dapat berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik, dan dapat berasal dari berbagai
proses pada berbagai organ di rongga perut atau diluar rongga perut, misalnya di
rongga dada.
a) Jenis Nyeri Perut
Nyeri viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur
dalam rongga perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale
yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan
tidak peka terhadap perabaan, atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada
pasien. Akan tetapi bila dilakukan penarikan atau peregangan organ atau
terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot sehingga menimbulkan iskemik,
misalnya pada kolik atau radang pada appendisitis maka akan timbul nyeri.
Pasien yang mengalami nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjukkan
secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh
telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri. Nyeri viseral kadang
disebut juga nyeri sentral (Sjamsuhidajat et all,2004).
pada
bahu
kemungkinan
terdapat
rangsangan
pada
diafragma
Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu
daerah. Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke
bawah pada masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh
perdarahan atau peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada
kolestitis akut, nyeri dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah
diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada permukaan
limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau
kolik pielum ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti
labia mayora pada wanita atau testis pada pria (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf
sensoris akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal
adalah nyeri phantom setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat
herpes zooster. Radang saraf pada herpes zooster dapat menyebabkan
nyeri yang hebat di dinding perut sebelum gejala tau tanda herpes menjadi
jelas (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada
peradangan pada rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering
ditemukan pada peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri
peritoneum parietalis
2004).
Nyeri kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus
menerus karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskuler secara refleks
untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari gerakan atau
usus,
batu
ureter, batu
empedu,
peningkatan
tekanan
intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami oleh jaringan
dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik dirasakan hilang
timbul (Sjamsuhidajat, dkk., 2004). Kolik biasanya disertai dengan gejala
mual sampai muntah. Dalam serangan, penderita sangat gelisah. Yang
khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut yang hilang
Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap,
dan tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam
nekrosis. Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti
takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari
jaringan nekrosis.
Nyeri pindah
Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya
pada tahap awal appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan
peritoneum, nyeri viseral dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual.
Setelah radang mencapai diseluruh dinding termasuk peritoneum viserale,
terjadi nyeri akibat rangsangan yang merupakan nyeri somatik. Nyeri pada
saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang meradang, yaitu perut
kuadran kanan bawah. Jika appendiks mengalami nekrosis dan ganggren
nyeri berubah lagi menjadi nyeri yang hebat menetap dan tidak mereda.
Penderita dapat jatuh pada keadaan yang toksis.
Pada perforasi tukak peptikduodenum, isi duodenum yang terdiri dari
cairan asam garam empedu masuk ke rongga abdomen sehingga
merangsang peritoneum setempat. Pasien akan merasakan nyeri pada
bagian epigastrium. Setelah beberapa saat cairan duodenum mengalir ke
kanan bawah, melalui jalan di sebelah lateral kolon ascendens sampai
sekitar caecum. Nyeri akan berkurang karena terjadi pengenceran. Pasien
sering mengeluh nyeri berpindah dari ulu hati pindah ke kanan
bawah.proses ini berbeda dengan yang terjadi pada appendisitis akut.
Akan tetapi kedua keadaan ini, appendisitis akut maupun perforasi
duodeum akan mengakibatkan general peritonitis jika tidak segera
ditangani dengan baik.
Empyema
Rib fracture
Herpes zoster
Rib fracture
Herpes zoster
RIGHT LOWER
QUADRANT PAIN
Appendicitis
Acute enterocolitis (viral or bacterial)
LEFT LOWER
QUADRANT PAIN
Diverticulitis
Appendicitis
Perforated colon cancer
Intestinal obstruction
Crohn's colitis
Ischemic colitis
Ruptured iliac artery aneurysm
Ruptured ovarian cyst (including
Mittelschmerz)
Ovarian torsion
Endometriosis
Salpingitis (pelvic inflammatory disease)
Ectopic pregnancy
Renal or ureteral calculi
Pyelonephritis
Psoas abscess
Seminal vesiculitis
Rectus sheath hematoma
Herpes zoster
TABLE
3. ETIOLOGY: CAUSES OF MIDLINE ABDOMINAL PAIN
EPIGASTRIC
Peptic ulcer
HYPOGASTRIC
Pancreatitis
Large intestinal obstruction
Gastritis
Intussusception
Esophagitis
Appendicitis
Mesenteric ischemia
Diverticulitis
Appendicitis (early)
Enterocolitis
Myocardial ischemia
Pericarditis
Ovarian torsion
Cholecystitis
Testicular torsion
PERIUMBILICAL
Degeneration or torsion of uterine
Small intestinal obstruction
fibroid
Appendicitis
Cystitis
Pancreatitis
Mesenteric ischemia
Acute glaucoma
1. Ruptur lienalis
3. Pancreatitis acute
3. Pancreatitis acute
4. Hepatitis acute
5. Acute congestive
5. Perforasi colon
hepatomegaly
(tumor/corpus alineum)
6. Pneumonia + pleuritis
6. Pneumonia + pleuritis
7. Pyelonefritis acute
7. Pyelonefritis acute
8. Abses hepar
1. Ileus obstruksi
2. Appendicitis
3. Pancreatitis acute
7. Diverculitis (ileum/colon)
8. Psoas abses
7. Psoas abses
J. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Fokus Pengkajian
Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang
terkena.
Aktifitas I istirahat
Gejala : Malaise
Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah
jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik);
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia
dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari
asidosis/ketidakseimbangan
elektrolit.
Kulit
hangat,
kering,
bercahaya
oliguria, anuria.
Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma
Nyeri I/kenyamanan
Gejala : Kejang abdominal, lokalisasi nyeri/ketidaknyamanan, urtikaria, pruritus
umum.
Pernafasan
Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan
kortikosteroid, infeksi baru, penyakit viral. Tanda : Suhu umumnya meningkat
(37,95C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia mengganggu pasien,
kadang sub normal (dibawah 36,5C), menggigil, luka yang sulit/lama sembuh,
b. Diagnosa Keperawatan
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan
antara lain :
1. Resiko tinggi berhubungan dengan prosedur invasive
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin
pada hipotalamus, perubahan regulasi temperatur.
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan
reduksi aliran darah arteri dan vena.
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
permiabilitas / kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial (ruang ketiga).
5. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
aliran darah.
6. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan
interpretasi informasi.
7. Nyeri
berhubungan
dengan
regangan
dan
distorsi
abses
(kerusakanjaringan).
8. Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh
(gangguan neuromuskular).
9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan
kulit karena destruksi lapisan kulit. (Doenges,2000:241).
c.
Fokus Intervensi
Ada beberapa fokus intervensi yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan
dengan prosedur invasif.
Tujuan : Menunjukan penyembuhan luka seiring perjalanan waktu.
Kriteria Hasil : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.
Intervensi :
a. Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi.
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun
menggunakan sarung tangan steril.
c. Batasi penggunaan alat / prosedur invasif jika memungkinkan.
d. Lakukan inspeksi terhadap luka / sisi alat invasif setiap hari, berikan
perhatian utama terhadap jalur hiperalimentasi
c.
d.
e.
f.
berat.
Selidiki perubahan pada sensorium.
g.
h.
i.
j.
k.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC,
Jakarta.
Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta
http://imadeharyoga.com (diakses 30 juni 2010)
http://www.surabayapost.co.id (diakses 30 juni 2010)
http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html(diakses 30 juni 2010)
http://ruangkesehatan.blog.com/20%abses (diakses 30 juni 2010)
Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta
Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2,
EGC, Jakarta.
S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.