Anda di halaman 1dari 40

BAB II

PEKATAN TEORETIS DAN HASIL PENELITIAN


Pada Bab I penulis telah menguraikan gambaran umum tentang Jemaat Usi Apakaet
Kuankobo. Selanjutnya dalam bab ini penulis akan memaparkan teori-teori mengenai Pendidikan
Agama Kristen (PAK) dalam menjalankan pelayanan terhadap anak dan remaja.
Dalam kegiatan pendidikan, tentunya murid, guru dan materi sangat penting dalam proses
belajar mengajar dengan tujuan yang jelas dan operasional, yang semuanya termasuk bagian dari
kurikulum.1 Selanjutnya akan dipaparkan hasil penilitian, yaitu mengenai realita pelayanan anak
dan remaja serta penggunaan unsur PAK dalam pelayanan anak dan remaja di Jemaat Usi
Apakaet Kuankobo. Terakhir akan dibuat analisa dan kesimpulan.
2.1. Pendekatan Teoritis PAK
2.1.1. Pendekatan Teoritis PAK
Pendidikan agama perlu dijaga dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, semua pihak,
baik itu itu guru agama, orang tua, dan juga para nara didik, dalam hal ini anak dan remaja, perlu
memperhatikan bagaimana pentingnya pendidikan agama itu bagi kehidupan spiritualitas
mereka. Pokok-pokok yang akan dibicarakan dalam pendekatan teoritis PAK tersebut, antara
lain:
2.1.1.1. Pengertian PAK
Istilah PAK dari bahasa Inggris Christian Religious Education (Pendidikan
Agama Kristen), yang oleh beberapa ahli didefinisikan sebagai berikut:
1

Tabita Kartika Christiani, Pendidikan Anak: Penting Tetapi disepelehkan? dalam Andar
Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan: Kumpulan Karangan Seputar PAK, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1999, hlm. 126-127.
Page 1

a.

Augustinus
PAK adalah pendidikan yang bertujuan menghantar para pelajarnya untuk

bertumbuh dalam kehidupan rohani, terbuka dengan Firman Tuhan dan memperoleh
pengetahuan akan perbuatan Allah melalui Alkitab dan bacaan rohani lain. Semuanya
itu untuk memperoleh hikmat dari Allah.2
b.

Martin Luther
PAK adalah pendidikan yang melibatkan semua warga jemaat, khususnya

kaum muda, agar bisa belajar secara teratur dan tertib sehingga sadar akan dosa dan
kemerdekaan yang Allah kerjakan melalui Yesus Kristus. Di samping itu warga
jemaat perlu dilengkapi dengan berbagai sumber iman sehingga mampu mengambil
bagian secara bertanggung jawab dalam pelayanan terhadap masyarakat, negara, dan
gereja.3
c. E. G. Homrighausen
PAK adalah pendidikan yang melaluinya segala pelajar, yang tua dan
muda, memasuki persekutuan iman yang hidup dengan Tuhan sendiri dan dalam Dia
mereka

terhisab

pula

pada

persekutuan

jemaatNya

yang

mengakui

dan

mempermuliakan namaNya di segala waktu dan tempat.4


2.1.1.2. Hakikat PAK

Ibid, hlm. 128.


Ibid, hlm. 342.
4
E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011, hlm 26.
3

Page 2

Ada dua aliran pemikiran yang berbicara mengenai hakekat PAK. Aliran yang
satu mengutamakan aspek pengajaran dan aliran yang lain menitikberatkan aspek
pengajaran atau pendidikan itu hendak membangunkan kepercayaan Kristen dalam diri
para murid itu dengan jalan menyampaikan pengetahuan. Bagi guru PAR yang telah
menerima pengetahuan itu dari generasi yang lampau dan mereka pula telah
menerimanya dari orang tua dan pemimpin rohani mereka dan seterusnya. Inilah jalan
yang dikehendaki Tuhan, supaya FirmanNya yang mendatangkan keselamatan turun
temurun diserahkan dan disampaikan kepada generasi yang berikut. Gereja menjadi alat
Tuhan untuk memelihara dan membagikan harta benda rohani yang berharga kepada
umat manusia di segala waktu dan tempat, khususnya kepada ahli waris perjanjian Tuhan,
yakni jemaat Yesus Kristus. Aliran yang menekankan pengalaman keagamaan
menitikberatkan pengalaman rohani setiap orang Kristen. Segala perhatian mereka
dipusatkan kepada perkembangan pribadi murid-murid. Aliran ini berusaha untuk
mendidik anak-anak dan pemuda-pemuda supaya mereka hidup secara harmonis dan
supaya melayani masyarakat selaku pribadi yang jujur dan luhur.5

Pada hakekatnya tidak perlu seseorang dipaksa untuk memilih antara kedua
pandangan di atas, melainkan mempergunakan unsur-unsur yang baik dan benar dalam
kedua-duanya. Oleh karena itu, maka hakekat PAK adalah usaha yang dilakukan secara
berkelanjutan dalam rangka mengembangkan kemampuan pada nara didik agar dengan
pertolongan Roh Kudus mereka dapat memahami dan menghayati kasih Allah di dalam

Ibid, hlm. 35-36.


Page 3

Yesus Kristus yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama dan
lingkungan hidupnya.6
2.1.1.3. Tujuan PAK
Banyak ahli yang merumuskan tujuan PAK. Menurut Marthen Luther,
tujuan PAK adalah melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda, dalam rangka
belajar secara teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka. Selain itu dapat
bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka. Tujuan PAK juga
memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Alkitab,
dan rupa-rupa kebudayaan. Dengan demikian mereka mampu melayani sesamanya,
termasuk masyarakat dan negara, serta mengambil bagian secara bertanggung jawab
dalam persekutuan Kristen, yaitu gereja.7

Menurut Calvin, tujuan PAK ialah mendidik warga gereja agar mereka dilibatkan
dalam penelaahan Alkitab secara cerdas yang dibimbing oleh Roh Kudus. Mereka
diajarkan untuk mengambil bagian dalam kebaktian.8

Dengan demikian, tujuan pokok Pendidikan Kristen, adalah memperlengkapi


warga jemaat, termasuk di dalamnya anak dan remaja, agar dapat mewujudkan tandatanda kerajaan Allah dalam Yesus Kristus, sambil menantikan penggenapannya. 9 Tujuan
6

Ibid, hlm. 37.


Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembagan dan Pemikiran PAK, Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
2000, hlm. 342.
8
Ibid, hlm. 415.
9
Thomas H. Groome, Christian Religious Education: Sharing our Story and Vision, San
Francisco: Harper & Row, 1980, hlm. 35.
7

Page 4

pendidikan sering disebut juga dengan visi dan misi. Visi (dari bahasa Latin vissio yang
berarti melihat) berarti cara pandang atau melihat ke masa depan, kepada sesuatu yang
diharapkan akan terwujud. Sedangkan misi (dari bahasa Latin mission yang berarti
pengutusan dan mittere yang berarti mengutus) berarti pengutusanNya. Karena itu, visi
dan misi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Visi dan misi pendidikan (anak) adalah
Kerajaan Allah.10 Artinya bahwa kerajaan Allah itu telah datang di dalam Yesus Kristus;
zaman sekarang orang beriman dipanggil untuk hidup dalam kerajaan Allah itu sambil
menantikan kesempurnaanNya pada akhir zaman.

Dalam terang pemahaman di atas, maka tujuan tertinggi dari PAK adalah
membantu peserta didik belajar mengenal Allah di dalam Yesus Kristus dan melalui
FirmanNya. Mengenal Allah berarti memiliki relasi (diperdamaikan) dengan Allah oleh
Yesus Kristus. PAK tidak hanya membimbing murid mengetahui berbagai kebenaran
ilmiah dan mempelajari berbagai ketrampilan hidup, tetapi juga mengenal kebenaran
Allah di dalam dan melalui Yesus Kristus. Hal ini harus menjadi nilai yang mendasari
proses pendidikan dan pembelajaran. Upaya ini tidak cukup hanya melalui penjelasan
(pengajaran), tetapi juga harus melaui keteladanan hidup para guru. Etika dan estetika
pelayanan keguruan berlandaskan pada kasih Allah dan disampaikan melalui dialog,
diskusi, kegiatan-kegiatan bermakna, dan ibadah. Selain itu juga, tujuan PAK, dalam
kerangka keadilan, perdamaian, dan kutuhan penciptaan melalui perhatian gereja,
menjelaskan mengenai hubungan manusia dengan sesama dan juga dengan alam semesta.
10

Tabita Kartika Christiani, Pendidikan Anak: Penting Tapi Disepelekan? dalam Andar
Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan: Kumpulan Karangan Seputar PAK, Jakarta: BPK Gounung
Mulia, 1999, hlm. 130.
Page 5

2.1.1.4. Pelaku dan Tempat Pelaksanaan PAK


Pelaku dan tempat berlangsungnya PAK bagi anak dan remaja terdiri atas tiga
komponen, yaitu:
a. Keluarga
Keluarga merupakan komponen pertama dan utama dari PAK. Keluarga
adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberi penampungan
baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman. Keluarga inti terdiri dari orangtua
dan anak yang merupakan kelompok primer yang terikat satu sama lain karena
hubungan keluarga ditandai dengan kasih sayang, perasaan yang mendalam, saling
mendukung dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan pengasuhan. Suami-istri yang
selanjutnya menjadi ayah-ibu merupakan anggota keluarga

penting dalam

membentuk keluarga yang utuh dan sejahtera.11

Hal ini disebabkan karena adanya peranan dari orang tua dalam mengasuh
dan membimbing anaknya. Akan tetapi sesungguhnya bukan hanya anak yang belajar
dan mengalami pertumbuhan di dalam keluarga, tetapi sesungguhnya seluruh anggota
keluarga dapat saling belajar serta memahami satu sama lain dengan saling
berinteraksi.

11

Yulia Singgih, Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, hlm.
43-44.
Page 6

Ketika orangtua menjalankan peranan pendidikannya terhadap anak, ia sendiri


belajar untuk bertumbuh dalam iman, tindakan atau sikap, bahkan pengetahuan yang
dimilki. Walaupun demikian pusat perhatian lebih dikhususkan kepada peranan orang
tua sebagai agen atau alat pendidikan bagi anak mereka.

Keluarga Kristen adalah pemberian Tuhan yang tak ternilai harganya.


Keluarga Kristenlah yang memegang peranan penting dalam PAK. Di seluruh Alkitab
terlihat betapa pentingnya keluarga yang dipakai oleh Tuhan sebagai saluran dan jalan
keselamatan yang dirancangkan Tuhan bagi umat manusia.12

Relasi yang penuh kasih, hangat, dan terpercaya merupakan landasan paling
penting. Untuk itu, kualitas waktu pada saat bersama anak sangat penting. Kesibukan
ayah dan ibu dalam membina karier akan mengurangi waktu berkumpul bersama
dengan anak. Oleh karena itu, orang tua hendaknya memiliki strategi dalam membina
relasi dengan anak.13

Orangtua mempunyai tanggung jawab untuk mendidik anak mereka di dalam


iman kepada Tuhan serta cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Tidak ada
lembaga lain yang melebihi hak orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dengan

12

E. G. Homrighausen dan I. H. Enklar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung


Mulia, 2004, hlm. 128-129.
13
Sawitri Supardi Sadarjoen, Pernak Pernik Hubungan Orang Tua-Remaja (Anak Bertingkah,
Orang Tua Mengekang), Jakarta: Bulan Kompas, 2005, hlm. 9.
Page 7

adanya pendidikan formal, maka perananan keluarga dalam pendidikan menjadi agak
tergeser. Dahulu, sebelum adanya sekolah, maka seluruh tanggung jawab mendidik
ada pada orang tua dan masyarakat melalui interaksi anak dan lingkungannya. Begitu
pula dengan adanya kegiatan pelayanan dan pendidikan iman, maka banyak orang tua
lebih suka mengirimkan anak ke gereja dan mengabaikan tugasnya dalam mendidik
anak. Kenyataan ini dapat dipahami karena pada satu sisi banyak orang tua tidak
mempunyai pendidikan yang memadai serta karena kesibukan kerja, sehingga mereka
beranggapan bahwa sebaiknyalah anak mereka dididik oleh guru yang professional di
gereja atau di sekolah. Namun apapun alasannya, kenyataan di atas tidak dapat
dibenarkan secara teologis.14
b. Sekolah
Secara umum pendidikan merupakan pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara hukum pendidikan dapat
diartikan seperangkat konsep peraturan yang berlaku dan menjadi titik tolak atau
acuan dalam rangka praktek pendidikan dan studi pendidikan.15

Sekolah sebagai lembaga, harus menunjukkan peran sosialnya. Ada fungsi


sosialisasi dari pendidikan agama Kristen sesuai dengan ajaran Alkitab bahwa
manusia adalah makhluk sosial ciptaan Allah. Sekolah harus menjadi wakil gereja dan
wakil keluarga dalam membawa peserta didik berinteraksi secara sehat dengan
14

Danial [tolong cek ejaan namanya!] Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen (Suatu
Pengantar Untuk Teori dan Praktek), Salatiga: Widya Sari Preses, 2004, hlm. 43-45.
15
Fatmawati Widyansari, Modal Hukum dalam Pendidikan Berkualitas, 11 Juni 2015,
diunduh dari http://eprints. uny.ac.id/20249/
Page 8

sesamanya. Untuk tujuan ini, maka sekolah harus memfasilitasi aktifitas dimana
peserta didik menerima dirinya sebagai makhluk sosial dan mengembangkan berbagai
ketrampilan sosialnya, termasuk berelasi, dan berkomunikasi dengan orang lain
secara efektif. Hidup bersama orang lain, dengan segala keunikannya, harus dipelajari
oleh peserta didik di sekolahnya. Bagaimana murid memperlakukan rekannya yang
berada dengan dirinya, demikian halnya guru juga patut memberi teladan dalam
memperlakukan murid yang keyakinan, sikap, dan pandangan berbeda dengan dirinya
secara baik.
Berbagai program peningkatan ketrampilan sosial dan pembinaan karakter
peserta didik harus menjadi salah satu ciri khas dalam pendidikan Kristen. Untuk
mencapai tujuan itu, tentunya diperlukan pendidik atau guru Kristen yang sungguhsungguh mengenal Allah di landasan atau tolok ukur. Guru hendaknya memiliki
panggilan keguruan yang dipandangnya sebagai karunia Allah. Guru hendaknya
mengasihi dan mendoakan muridnya, dengan kasih Allah dan rindu membawa
mereka berjumpa dengan Allah. Selain itu juga guru mempunyai etos kerja yang
senantiasa diperbaharui oleh Roh Kudus sehingga mengijinkan dirinya digunakan
Allah sebagai saluran kuasa dan hikmat serta kasih.
c. Gereja
Tugas dan panggilan gereja adalah mewujudkan dan melanjutkan misi Yesus
Kristus. Salah satu tugas utama gereja adalah mengajar seperti Kristus. Dalam
pandangan Yesus, gereja dipanggil dari dunia, diutus ke dalamnya menjadi berkat
bagi banyak orang sehingga nama Allah dipermuliakan (Yohanes 17:16, 19). Dalam

Page 9

Matius 28:19-20, Yesus memberi mandat agar gereja melaksanakan tugas


menjadikan semua bangsa muridNya. Tugas ini diwujudkan oleh gereja dengan
melaksanakan penginjilan, pembaptisan, dan pengajaran. Artinya, keseluruhan dasar
atau informasi dalam pelayanan gereja adalah terletak pada pembinaan atau
pendidikan warga jemaat, guna mendorong mereka bertumbuh menuju kedewasaan
dalam Yesus Kristus (Efesus 4:15-16).16

Selanjutnya Iris V. Cully mengatakan bahwa:17


Persekutuan Kristen mendasarkan jaminan bagi pengajaran untuk mengingat
bagaimana Allah telah memimpin dan mengajar umatNya di sepanjang
sejarah. Memang tidak jelas bagi si anak, dan mungkin maknanya berbeda
menurut si anak sendiri, perkembangannya, hubungan pribadinya, kaitannya
dengan gereja dan hubungan sendiiri dengan Allah.
Gereja juga mengajar melalui hubungan-hubungan yang ada antara orang
dewasa dan anak-anak di gereja. Ada gereja di mana anak-anak tidak merasa
diterima. Hal ini tidak dengan sendirinya menunjuk pada kenyataan bahwa
kelas mereka bertemu di dapur, meskipun itu mungkin merupakan gejala
sikap masa bodoh orang-orang dewasa. Ini menunjuk pada sejauh mana
pelayanan anak dan remaja anggota dewasa sungguh-sungguh menkimati
kehadiran anak-anak di tengah mereka ataukah anak-anak sekedar ditolerir.
Karena itu, gereja perlu memperhatikan pelayananan terhadap anak dan
remaja. Perhatian ini sebagai suatu upaya gereja mengajar melalui partisipasi anak
dan orang dewasa dalam keseluruhan umat Kristen.18 Dari sudut pandang ini
wewenang dan fungsi mengajar dari gereja berbeda dengan pengertian umum. Gereja
digambarkan sebagai sebuah sekolah dengan guru-guru rohani yang mengajarkan
ajaran tentang Kristus.19
16

B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen, Yogyakarta: Yayasan Andi, 1999, hlm. 4244.
17
Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, diterjemahkan oleh P. Siahaan dan Stephen
Sulaeman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, hlm 95-97.
18
Ibid, hlm. 98.
19
N. K. Atmadja Hadinoto, Dialog dan Edukasi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993 hlm. 274.
Page 10

Pembekalan bagi guru dengan berbagai alat peraga juga menjadi sangat
penting dalam pendidikan mengingat perkembangan motorik anak-anak sehingga
mereka lebih cepat tangkap lewat alat peraga. Beberapa alat permainan dan alat
bermain yang sederhana seperti kertas koran, bola balok titian, dan tongkat dapat
dipakai untuk membantu memperkembangkan aspek motorik ini.20 Dengan demikian,
maka perhatian gereja pada pendidikan anak-anak tidak hanya sekedar program
pelayanan, tetapi perlu memperhatikan sarana dan prasarana yang ditunjang oleh
pendanaan yang memungkinkan demi terselenggaranya semua kegiatan pelayanan.
2.1.52. Unsur-unsur Penting dalam PAK
Pada

bagian

sebelumnya

telah

dibahas

mengenai

pendekatan teoritis PAK (pengertian, hakekat, tujuan dan pelaku PAK) yang menyatakan
betapa pentingnya pendidikan dan pelayanan iman dalam kehidupan. Berkaitan dengan
hal tersebut, pelaksanaan PAK tidak terlepas dari unsur penting yang menunjang proses
tersebut, di antaranya:
2.1.2.1.a. Kurikulum
Kurikulim dalam bahasa Inggris dipakai kata curriculum, arti aslinya ialah
lapangan perlombaan. Jika diterjemahkan secara harafiah, tentu perlombaan dimulai
dari satu tempat yang tertentu dan berakhir pula pada tempat yang tertentu. Dalam
perlombaan tersebut tentu ada peraturan dan tata cara serta pedoman pelaksanaan
perlombaan. Hal inilah yang dikaitkan dengan kurikulum pelajaran. Sebuah

20

Ibid, hlm. 12.


Page 11

pendidikan diumpamakan sebagai perlombaan yang di dalamnya perlu ada bagian


yang mengantar guru dan murid sebagai peserta lomba hingga pada akhir
perlombaan.21

Menurut Hilda Taba, suatu kurikulum biasanya mengandung suatu pernyataan


mengenai maksud dan tujuan tertentu; ia memberi petunjuk tentang beberapa pilihan
dan susunan isinya; di dalamnya menyiratkan pola-pola belajar dan mengajar tertentu
yang dikehendaki oleh tujuan dan isinya.

Bagi seorang guru, kurikulum berarti kumpulan silabus yang tercetak, uraian
satu per satu mata pelajaran, disertai pengantar yang bersifat umum mengenai tujuan
masing-masing mata pelajaran. Dalam kurikulum terdapat pokok mengenai metode
mengajar dan sebagai guru yang professional diharapkan memahami semua maksud
dan tujuan yang terdapat dalam pengantar.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Dr. Eli Tanya. Kata kurikulum aslinya
berarti lapangan perlombaan yang harus dilalui oleh murid dan guru untuk mencapai
tujuan tertentu. Lazimnya kurikulum dipahami orang sebagai bahan-bahan tercetak
(buku, majalah) berisikan pelajaran, petunjuk-petunjuk, gambar-gambar, soal-soal,
dsb. Tetapi kurikulum sebenarnya mempunyai arti yang luas, yaitu sepanjang hidup
pelajar meringkas segala pengalaman dan pengaruh-pengaruh yang terdapat di
sekeliling murid. Jika dikaitkan dengan artian harafiahnya, maka kurikulum sendiri
21

E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011, hlm. 48,49.
Page 12

merupakan sebuah susunan bahan ajar yang bertindak sebagai peraturan yang
mengatur dan membimbing jalannya perlombaan atau pelajaran dari awal hingga
akhir suatu pelajaran. Di dalamnya juga terdapat hal-hal yang mendukung peraturan
atau bahan ajar tersebut.22

Selain itu International Council of Religious Education mendefinisikan


kurikulum sbb: Kurikulum PAK adalah segala pengalaman si pelajar di bawah
bimbingan. Semua pengalaman murid dalam rumah tangga, gereja, dan sekolah
digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan gereja. Maka dapat disimpulkan bahwa
kurikulum PAK merupakan suatu wadah pelajaran yang di dalamnya terdapat unsurunsur pelajaran yang diatur guna membimbing pengajar dan pelajar mencapai suatu
tujuan dalam pendidikan gereja, yakni ajaran tentang Allah dan karyaNya.
2.1.2.2.b. Metode Pengajaran
Sara Little dalam buku Andar Ismail mengatakan bahwa seorang guru
haruslah merancang sebuah rencana mengajar yang memungkinkan pelajar untuk
secara bertahap tertarik pada pelajaran. Dengan demikian pengajar perlu memilih
pendekatan untuk memberikan pengertian bagi pelajar. Pendekatan ini berguna untuk
mengantarkan pelajaran agar dapat disampaikan melalui proses belajar mengajar.
Pendekatan ini biasa disebut sebagai metode.23

Selanjutnya Sara Litle mengatakan bahwa pengajaran membutuhkan


penggunaan berbagai macam metode yang dipilih secara baik dan tepat. Ragam
22

Yonas Muanley, Kurikulum dalam Alkitab, Modul Bahan Kuliah PAK STT, 2012, hal. 4,
diunduh dari http://www.slideshare.net/YonasMuanleyYonas/kurikulum-13711437.
23
Andar Ismail (ed.), Ajarlah Mereka Melakukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, hlm. 93.
Page 13

metode tersebut bertujuan membantu pribadi pengajar menumbuh-kembangkan


pengajarannya. Setiap metode tersebut akan menunjang pengajar berkreasi dengan
setiap pengajarannya.
Menurut Ruth Kadarmanto dalam buku Andar Ismail, metode yang digunakan
dalam mengajar, khususnya dalam lingkungan gereja, haruslah belajar dari Yesus,
sang guru agung, yang kreatif menggunakan metode dalam mengajar. Seorang
pengajar haruslah memilih metode yang paling tepat untuk memperoleh perhatian dan
mempertahankan minat dari murid. Setiap metode yang digunakan pengajar harus
dapat membangkitkan perhatian murid untuk mendengar, melihat, mengatakan, dan
mengerjakan apa yang diajarkan kepada mereka.24

Selanjutnya Tabita Kristiani juga menjelaskan mengenai metode yang


sebenarnya harus digunakan dalam pelaksanaan pengajaran. Metode cerita
merupakan metode yang biasa digunakan. Namun, seringkali dengan pemakaian
metode cerita, guru yang banyak berbicara di depan kelas tanpa alat bantu dan hanya
dipenuhi dengan banyak nasihat. Padahal cerita pada arti sesungguhnya adalah
membawa anak masuk dalam cerita dan terlibat dalam cerita tersebut sehingga cerita
itulah yang memberi pelajaran bagi anak. Adapula metode kreatif seperti seni musik
atau memahami Alkitab lewat lagu, tarian, atau lewat drama.25

Seorang guru yang menentukan metode mana yang harus digunakan dalam
pengajaran dan karena itu metode harus dipahami terlebih dahulu. Menurut Ruth

24
25

Ibid, hlm 89-98.


ibid. hlm 135-137.
Page 14

Kadarmanto dalam sebuah artikel Ajarlah Mereka Melakukan, masalah penting


bukan semata-mata memilih metode mengajar yang menarik, akan tetapi penting bagi
pengajar untuk terlebih dahulu mengenali kebutuhan nara didik dan kelompoknya:
usia, kebiasaan, serta dinamika kelompok tersebut. Metode dalam mengajar tidak
sekedar mengantarkan pokok bahasan dengan baik, akan tetapi lebih mengupayakan
terciptanya relasi dalam kelompok untuk menjadi dasar dan pengalaman berharga
guna membangun ketrampilan, perilaku, dan mengembangkan kualitas relasi dengan
sesamanya dan dengan Tuhan.26

Secara umum, metode mengajar dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama
disebut metode otoriter. Dengan metode ini guru memakai kuasa (otoritas) dari
atas. Metode kedua dinamai metode kreatif, yaitu metode yang hendak
menciptakan sesuatu. Metode otoriter menghendaki setiap anak menerima saja apa
yang disampaikan seperti dalam militer, sedangkan metode kreatif memberi
kebebasan bagi setiap anak untuk secara bebas berpikir sendiri.27 Jadi menurut penulis
penggunaan metode militer lebih bersifat monoton, atau dengan kata lain berpusat
pada pengajar sedangkan metode kreatif lebih menekankan keterlibatan semua pihak.
Baik itu pengajar maupun naradidik. Hal ini tentunya memupuk semangat tiap-tiap
naradidik dan pengajar untuk aktif.

Metode juga dapat dikelompokan dalam beberapa macam seperti yang


dikemukakan oleh E.G. Homrighausen dan I.H. Enklaar:28
26
27
28

Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998, hlm. 91.
E. G. Homrighausen dan I. H. Enklaar, Op. Cit, hlm 75.
Ibid, hlm. 80-83.
Page 15

Metode kuliah atau ceramah. Metode kuliah atau ceramah adalah cara
mengajar sebagai pembentangan suatu pokok oleh guru.
Metode bercerita. Metode ini merupakan suatu cara tertua dalam sejarah
manusia. Cerita mengandung kebenaran dan menyampaikan suatu
pelajaran yang penting bagi pendengar.
Metode kelompok berbincang (30-40 menit). Seluruh peserta dibagi
menjadi kelompok kecil (3-5). Dalam waktu singkat (5-7 menit) kelompok
membahas secara bebas beberapa pertanyaan dan melaporkan hasilnya,
yang kemudian oleh pemimpin dirangkumkan.
Metode studi kasus (1-3 jam). Sebuah kisah atau uraian tentang suatu
masalah disajikan kepada kelompok untuk dianalisa, diolah dan
mengusulkan pemecahan yang terlebih dahulu diberikan pertanyaan
sebagai penuntun.
Metode diskusi (1-2 jam). Dibagi dalam beberapa kelompok yang terdiri
dari 15 orang dalam formasi lingkaran. Peserta diharapkan turut ambil
aktif ambil bagian.
Metode peragakan peran (60-90 menit). Beberapa orang yang telah dibagi
dalam beberapa kelompok diminta untuk memperagakan suatu masalah,
situasi, lingkungan, kebiasaan atau kegiatan tertentu sehubungan dengan
pokok yang dibahas selama 10-15 menit.
Metode induktif (60-90 menit). Anggota kelompok aktif mencari arti dari
bahan PA yang dibahas melalui pertanyaan seperti siapa, di mana,
mengapa, kepada siapa dan apa arti bacaan tersebut.
Metode kunjungan lapangan (1 hari). Dengan metode ini peserta dapat
mempelajari sesuatu melalui kunjungan lembaga sosial atau masyarakat
tertentu.
c2.1.2.4. Media Pengajaran
Secara etimologis, kata media merupakan bentuk jamak dari medium,
yang berasal dari bahasa Latin medius yang berarti tengah. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia, kata medium dapat diartikan sebagai antara sehingga pengertian media
dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar atau meneruskan informasi (pesan)
antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan.29 Media pengajaran adalah suatu
alat, bahan, atau berbagai macam unsur yang diperlukan dalam kegiatan belajar
mengajar untuk menyampaikan pesan dari pemberi pesan kepada penerima pesan
29

H. Asnawir, Media Pembelajaran, Jakarta: Delia Citra Utama, 2002, hlm. 68.
Page 16

untuk mempermudah penerima pesan dalam menerima suatu konsep. 30 Media


pengajaran

berbeda

dengan

metode.

Metode

adalah

cara/alat

untuk

mengkomunikasikan pelajaran atau kebenaran kepada pelajar dan antara isi pelajaran
dengan pengalaman. Sedangkan media pengajaran adalah alat-alat atau fasilitas dan
perlengkapan lain untuk mendukung metode.

Agar proses transformasi pesan tersebut menjadi optimal, maka diperlukan


kesesuaian jenis media yang akan digunakan. Ada beberapa jenis media
pembelajaran, yaitu: alat bantu lihat (visual), alat bantu dengar (audio), dan alat bantu
lihat dan dengar (audio-visual).31
d2.1.2.5. Motivasi Belajar
Secara etimologis, kata motivasi berasal dari kata motif yang
berarti segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu.
Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang bermakna bergerak. Istilah
ini bermakna mendorong dan mengarahkan tingkah laku manusia. Motivasi adalah
perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan
reaksi untuk mencapai tujuan. Menurut kebanyakan definisi, motivasi mengandung
tiga komponen pokok, yaitu menggerakan, mengarahkan, dan menopang tingkah laku
manusia.32
Bagi seorang guru, tujuan motivasi berarti menggerakkan atau memacu para
siswanya agar timbul keinginan dan kemauannya untuk meningkatkan prestasi

30

Dien Sumiyatiningsih, Mengajar dengan Kreatif dan Menarik, Yogyakarta: Andi Offset,
2006, hlm. 124.
31
Sadirman, Media Pembelajaran, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006, hlm. 86.
32
Baharudin, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jogjakarta: Ar_Ruzz Media, 2007, hal 64-65.
Page 17

belajarnya sehingga tercapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan.


Secara umum, motivasi dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut:33
Motivasi Intrinsik
Motivasi instrinsik tercakup dalam keadaan belajar yang bersumber dari
kebutuhan dan tujuan siswa sendiri. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang menjadi
aktif dan berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu
sudah ada dorangan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, individu terdorong
untuk bertingkah laku ke arah tujuan tertentu tanpa adanya faktor pendorong dari luar.
Nara didik yang memiliki motivasi intrinsik menunjukkan keterlibatan dan aktivitas
yang tinggi dalam belajar. Seseorang mempunyai motivasi intrinsik karena didorong
oleh rasa ingin tahu untuk mencapai tujuan menambah pengetahuan. Motivasi intrisik
muncul dari sendiri, bukan karena ingin mendapat pujian atau pengajaran.
Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik berbeda dari motivasi intrinsik karena keinginan nara
didik untuk belajar sangat dipengaruhi oleh adanya dorongan atau rangsangan dari
luar dirinya. Dorongan dari luar tersebut dapat berupa pujian, celaan, hadiah,
hukuman, dan teguran dari guru. Motivasi ekstrinsik adalah motif yang aktif dan
berfungsinya karena adanya rangsangan atau dorongan dari luar. Motivasi ekstrinsik
juga sangat diperlukan oleh nara didik dalam pembelajaran karena adanya
kemungkinan perubahan keadaan nara didik dan juga faktor lain seperti kurang
menariknya proses belajar mengajar bagi nara didik. Motivasi ekstrinsik dan
instrinsik harus saling menambah dan memperkuat sehingga individu dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
33

Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Asdi Mahasatya, 2006, hlm. 200-201.
Page 18

2.1.62.8. Pelayan PAR dalam PAK


Guru umum sangat berbeda dengan guru PAK. Guru PAK harus
mampu menanamkan nilai-nilai Etika Kristiani kepada anak didiknya. Hal itulah yang
menjadi letak perbedaan guru PAK dengan guru umum. Homrighausen dan Enklaar
mengatakan bahwa:
Guru PAK adalah seorang penginjil, yang bertanggung jawab atas
penyerahan diri setiap orang pelajarnya kepada Yesus Kristus. Tujuan itu
ialah supaya mereka sungguh-sungguh menjadi murid-murid Tuhan Yesus,
yang rajin dan setia. Guru tak boleh merasa puas sebelum anak didiknya
menjadi orang Kristen yang sejati.34
Sedangkan Boelkhe mengatakan: Guru PAK adalah seorang penganjur,
pengalaman belajar yang siap memanfaatkan berbagai sumber buku, peralatan,
objek dan sebagainya guna menolong orang lain bertumbuh dalam pengetahuan
iman Kristen dan pengalaman percaya secara pribadi.35 Dengan demikian seorang
guru PAK harus benar-benar memahami tugas dan panggilannya sebagai seorang
pengajar yang mampu memberikan dorongan bagi para nara didiknya sehingga
mereka memiliki keinginan untuk tetap belajar akan Firman Tuhan.
Guru PAK sangat berperan dalam mengelola proses belajar mengajar dan
harus bertindak sebagai motivator dengan berusaha menciptakan kondisi belajar
mengajar yang aktif dan mengembangkan bahan pengajaran yang baik dan dapat
dinyatakan dalam tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Guru juga yang
memegang peran sentral dalam proses belajar mengajar, maksudnya di sini adalah
34

Homrighausen dan I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2005 hlm. 164.
35
R. Boelkhe, Sejarah Perkembagan dan Pemikiran PAK, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000,
hlm. 698.
Page 19

seorang guru harus dapat memilih, menerapkan, memperhatikan, dan mengelola


kegiatan belajar mengajar dengan baik. Untuk itu, guru PAK dituntut untuk
professional.36
Dalam hal pengajaran, Marthen Luther mengatakan bahwa:
Tuhan sendiri yang menjadi pengajar utama. Tetapi perlu ditambah
segera bahwa Tuhan pengajar utama itu jarang mendidik secara
langsung. Dia cenderung mendidik secara efektif melalui usaha seorang
guru yang berbakat mengajar dan yang rela membuka dirinya kepada
perkembangan berkat tersebut, dan serentak dengan yang ingin
dimanfaatkan demikian oleh Tuhan sendiri.37
Dari pemahaman di atas, tenaga pengajar bertindak selaku penghubung
antara pengajar utama, dalam hal ini Tuhan, dengan para murid. Menjadi seorang
pengajar merupakan salah satu bagian dari pekerjaan Tuhan untuk memberikan
pendidikan bagi para murid. Proses pekerjaan menetapkan tingkat dan jenis
pendidikan. Acuan bagi calon pengajar dapat datang dari berbagai macam sumber
intern gereja, seperti pemimpin dan pengurus gereja yang mengetahui bahwa
seorang pengajar dibutuhkan.38
Penetapan tingkat dan jenis pendidikan itu dipandang penting dalam
metode perekrutan tenaga pengajar atau guru karena pertama-tama pengajar atau
guru adalah penafsir iman Kristen.39 Seorang guru harus mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang isi iman Kristen. Untuk itu, ia sendiri perlu didik dan dilatih
sebelum ia mengajar orang lain40 sebab dalam proses belajar mengajar, seorang

36

Ibid, hlm. 5.
Ibid, hlm. 11-12.
38
Edgar Walz, Bagaimana Mengelola Gereja Anda, Jakarta: BPK gunung Mulia, 1996, hlm. 9798.
39
E. G. Homrighausen dan I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996, hlm. 164.
40
Ibid, hlm. 165.
37

Page 20

guru dipandang sebagai orang yang serta tahu dan serba mampu. Oleh sebab itu,
apa yang dikatakan guru dianggap selalu pasti dan benar.41
Apabila pemahaman yang berlaku bagi anak dan remaja demikian, maka
pemahaman guru dituntut untuk benar-benar menguasai materi sehingga apa yang
disampaikan adalah sungguh-sungguh benar dan pasti. Karena itu, sebelum menjadi
seorang tenaga pengajar perlu adanya persiapan dalam rangka membekali diri
dengan berbagai keterampilan ilmu. Untuk menunjang tugasnya, para pengajar
perlu dibekali dengan pemahaman teologis, pedagogis, dan psikologis.
2.2. Realita PAK dalam PAR
Pendidikan agama Kristen (PAK) merupakan pendidikan yang berupaya menolong anak
dan remaja untuk hidup dalam terang Injil, menemukan kepribadian yang tepat, dan menerima
tanggung jawab bagi makna dan nilai yang menjadi jelas bagi mereka. Pendidikan ini bertujuan
untuk menjadikan anak dan remaja bertumbuh sebagai anak Allah dalam persekutuan Kristen
yang dinyatakan dalam pelayanan kepada mereka.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa anak-anak yang aktif dalam kegiatan PAR
berjumlah 155 anak dengan jumlah pelayan PAR sepuluh orang. Penulis mewawancarai anak
PAR berjumlah 12 orang dan pelayan PAR berjumlah 5 orang.
2.2.1. Pengertian PAK menurut Jemaat Usi Apakaet Kuankobo
Dari hasil penilitian yang dilakukan oleh penulis, Jemaat Usi Apakaet
memberikan pendapat tentang apa yang mereka mengerti tentang Pendidikan Agama
Kristen (PAK). Mereka semua memiliki pendapat yang sama tentang PAK, yaitu ilmu

41

Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995, hlm. 113.
Page 21

yang mempelajari tentang norma Kristen sesuai dengan apa yang tertulis dalam Firman
Tuhan.
2.2.2. Pelaksanaan PAK dalam PAR
Dalam proses pelaksanaan pendidikan dan pelayanan iman bagi anak dan remaja
diperlukan unsur-unsur pendidikan sebagaimana telah disajikan dalam teori PAK dan
asas-asas mengajar di atas. Unsur-unsur tersebut digunakan dalam proses pendidikan dan
pelayanan iman ataukah diabaikan. Berikut dipaparkan mengenai unsur-unsur pendidikan
yang berhubungan dengan realita pelayanan yang dilakukan oleh gereja terhadap PAR di
antaranya:
2.2.2.1. Kurikulum
Dari hasil wawancara dengan lima orang pelayan PAR, Usi Apakaet Kuankobo
yang sudah melayani selama dua tahun, tiga tahun, dan tujuh tahun, diperoleh informasi
bahwa sejauh ini pelayan PAR menyampaikan materi sesuai dengan keinginan mereka
masing-masing. Selama ini mereka belum menggunakan kurikulum yang baku yang
digunakan sebagai rancangan atau rencana pembelajaran.
Menurut pelayan PAR, ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
persiapan tidak berjalan secara maksimal. Tidak adanya susunan bahan ajar yang
diperlukan sehingga dapat digunakan.42 Selanjutnya sepuluh orang pelayan PAR
mengakui bahwa hal ini juga bisa dikatakan sebagai penyebab utama persiapan tidak
terlalu berguna dalam pelaksanaan pelayanan. Faktor ini akhirnya menyebabkan
pelayanan tidak terarah dan tidak mencapai tujuan yang jelas.
2.2.2.3. Metode

42

Empy Tifana Tsey (pelayan PAR), wawancara, Kuankobo, 16 Februari 2015.


Page 22

Berdasarkan hasil wawancara, jenis metode yang sering digunakan oleh para
pelayan PAR di setiap kelas (indria, tanggung, dan remaja) adalah cerita dan tanya jawab.
Pertama-tama pelayan PAR bertanya mengenai materi minggu lalu serta ayat hafalan
yang telah diberikan pada proses pendidikan dan pelayanan iman minggu sebelumnya.
Selain metode cerita dan tanya jawab, pelayan PAR kadang-kadang memberikan
permainan bagi nara didik.
Tabel 1
Tanggapan nara didik terhadap metode bercerita dan tanya jawab

NO.

1.
2.
3.

KELAS

INDRIA
TANGGUNG
REMAJA
JUMLAH

FREKUENSI
JAWABAN
L
P
4
2
1
7

3
3
2
8

KATEGORI JAWABAN
SUKA
3

KURANG
SUKA
5
-

TIDAK
SUKA
7
-

PERSENTASE
(%)
47
33
20
100

Berdasarkan jawaban dari responden dalam tabel 1, diketahui bahwa 33% anakanak kurang suka dengan metode yang sering digunakan setiap minggu oleh karena
kebanyakan dari mereka menyukai permainan. Ada 20% di antara mereka yang suka
metode cerita dan tanya jawab karena mereka dapat mengetahui cerita Alkitab yang
mereka belum dengar sebelumnya dan juga mereka dapat menulis buku mingguan.
Sedangkan 47% di antara mereka memilih tidak suka metode tersebut oleh karena mereka
merasa bosan dan mengantuk karena hanya bisa mendengar.
2.2.2.4. Media Pengajaran

Page 23

Media pengajaran yang digunakan bergantung pada metode apa yang digunakan
dalam proses penyampaian materi. Dalam pemberitaan Firman, ada beberapa media yang
dipersiapkan oleh pelayan PAR, yaitu batu, sapu tangan, gardus dan kertas putih. untuk
menunjang permainan. Namun ada pula pelayan yang tidak menggunakan media sama
sekali dalam pengajarannya. Hal ini terjadi karena seringnya mereka menggunakan
metode cerita sehingga jarang menggunakan media. Buku cerita bergambar pun tidak
dimiliki sebagai alat peraga visual. Mereka belum pernah memutarkan film, tetapi mereka
sudah merencanakan itu, hanya media yang diperlukan, yaitu LCD, belum tersedia.43
2.2.2.5. Motivasi Belajar
Dalam pelayanan yang terjadi di Jemaat Usi Apakaet Kuankobo, terlihat dengan
jelas bahwa motivasi belajar yang diberikan oleh pelayan PAR terhadap nara didik belum
begitu membuahkan hasil yang maksimal. Mereka belum sepunuhnya menaruh perhatian
yang penting dalam membina nara didik yang sedang bertumbuh dalam rohani dan juga
jasmani. Hal ini terlihat dari masih banyaknya nara didik yang tidak mengambil bagian
dalam kegiatan pendidikan dan pelayanan iman. Dari hasil wawancara penulis kepada
anak PAR, ketidakhadiran mereka ini disebabkan karena mereka lebih memilih untuk
menonton televisi dan bermain bersama teman-teman mereka di rumah. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa di satu pihak sebagian nara didik belum memiliki motivasi belajar
dari dalam dirinya sendiri dan di pihak lain para pelayan PAR juga belum memiliki
ketrampilan untuk menarik minat nara didik untuk mengikuti kegiatan penidikan iman
serta motivasi mereka untuk dapat belajar.44

43
44

Heni Taneo (Koordinator PAR), wanwancara, Kuankobo, 16 April 2015.


Novita Banoet (pelayan PAR), wawancara, Kuankobo 21 Februari 2015.
Page 24

2.2.2.6. Pelayan PAR


Pelayan PAR adalah anggota jemaat yang dipersiapkan sebagai pelayan yang akan
mendidik anak dan remaja sehingga dapat dewasa dalam iman, artinya bahwa pelayan
PAR berperan penting dalam pembentukan anak dan remaja ke arah yang lebih baik.
-

Rekrutmen
Rekrutmen pelayan PAR di Jemaat Usi Apakaet tidak dilakukan setiap saat,
karena menurut Pdt. Niko Tulu, selaku ketua majelis, para pelayan PAR ini tidak
dipilih, namun mereka memberi diri secara sukarela untuk mengajar. Pelayan PAR
yang ingin masuk, direkrut dengan cara sukarela dari segala bidang tanpa ada
keahlian yang jelas; yang terpenting adalah kemauan mereka untuk melayani.45

45

Pdt. Niko Tulu, Wawancara Ketua Majelis Jemaat Usi Apakaet, Kuankobo, 29 Maret 2015.
Page 25

- Kualifikasi
Tabel 2
Pelayan PAR dan Tingkat Pendidikan
No

Nama

1
2
3

Yati Lopo
Empy Tifana Tsey
Yanti Liufeto

Jenis
Kelamin
Perempuan
Perempuan
Perempuan

4
5
6
7

Heni Taneo banik


Novita Banoet
Elim Alumpah
Marisa Lopo

Perempuan
Perempuan
Laki-laki
Perempuan

8
9
10

Alvian Banamtuan Laki-laki


Susan Tuan
Perempuan
Sani Namah
Perempuan

Jabatan
Upp PAR
Ketua
Wakil
Sekretaris
Koodinator
Bendahara
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota

Pendidikan
S1
SMA
Pergurun
tinggi
semester 3
SMA
SMA
SMA
Perguruan
tinggi
SMA
SMA
Perguruan
tinggi
semester 3

Lama
Mengajar
7 tahun
3 tahun
3 tahun
9 tahun
3 tahun
2 tahun
2 tahun
2 tahun
2 tahun
2 tahun

Dari kesepuluh pelayan PAR, lima orang memiliki latar belakang SMA, dan yang
sementara bersekolah di perguruan tinggi berjumlah tiga orang.
Sepuluh orang pelayan PAR ini Mereka sudah mengajar cukup lama. Ada yang
sudah mengajar selama sembilan, tujuh, empat, tiga, dan dua tahun.
Mereka Pernah ada pelayan PAR ini pernah mengikuti pelatihan pengajar PAR
sebanyak satu kali yang diselenggarakan di Hotel Cendana pada tahun 2014. Tidak
semuanya mengikuti pelatihan pelayan PAR ini karena persyaratannya hanya enam
orang yang diutus dari setiap jemaat. Pelatihan tersebut berisi caranya mengajar
secara kreatif dan inovatif, pelatihan menghafal Firmasn Tuhan, lagu, dan
penggunaan alat peraga secara kreatif. Kelima pelayan PAR yang diwawancarai
Page 26

mengatakan bahwa pelatihan yang mereka dapatkan kurang mereka pahami karena
dijelaskan terlalu cepat. Selain itu pelatihan ini hanya bisa diterapkan pada kelas
tanggung dan remaja.46
-

Motivasi mengajar

Pelayan PAR di Jemaat Usi Apakaet memiliki motivasi pribadi masing-masing dalam
menjalankan pelayanannya. Beberapa pelayan mengakui bahwa motivasi mereka
untuk mengajar adalah karena kesukaan mereka terhadap anak-anak. Ada juga yang
memiliki motivasi untuk melayani dan mau belajar dari anak-anak.

Persiapan Pelayan PAR Secara Umum


Persiapan pelayan PAR secara umum untuk membahas tentang susunan liturgi dan
pembagian tugas serta pemberitaan Firman hanya dilakukan sekali dalam satu minggu
dengan durasi waktu yang cukup cepat (15-20 menit). Pertemuan tersebut
dilaksanakan pada hari Minggu setelah selesai ibadah PAR. Peserta dalam pertemuan
itu hanya membahas tentang beberapa hal dalam ibadah yang baru saja selesai,
pengisian absen, penghitungan kolekte, dan kemudian berpisah. Hanya jika ada hal
terlalu mendesak, seperti ada hari raya gerejawi, baru ada pembicaraan tentang liturgi
dan pembagian tugas.
Tidak adanya persiapan bersama disebabkan oleh tidak adanya koordianasi antara
pelayan PAR untuk dapat hadir. Tidak adanya komunikasi yang jelas antara
koordinator PAR degan pelayan PAR dan juga pelayan PAR dengan pelayan PAR.
Sehingga kegiatan sekolah minggu berjalan dengan tidak teratur. Tidak adanya
persiapan bersama ini membuat masing-masing pelayan mengajar dengan panduan

46

Marisa Lopo, wawancara, Kuankobo, pada tanggal 21 Februari 2015.


Page 27

yang berbeda sehingga akhirnya pelayan PAR tidak bisa menyamakan persepsi. Tidak
adanya persiapan ini juga mengakibatkan adanya perbedaan pemahaman yang
dimiliki setiap anak di setiap kelas PAR karena setiap pengajar tidak
memperbincangkan materi yang dipersiapkan sebelumnya. Hal inilah yang
menyebabkan pelayanan menjadi kurang maksimal. Tidak adanya pertemuan para
pelayan mengakibatkan tidak ada pembagian petugas, dalam hal ini untuk
menjalankan liturgi pada hari minggu nanti. Tidak ada juga pembahasan bersama
antara para pelayan PAR seputar bahan yang diambil dan metode yang akan
digunakan untuk pemberitaan Firman.
Menurut pelayan PAR, persiapan secara bersama yang tidak ada ini juga
menganggu persiapan pribadi. Sebelum mengajar mereka sudah mempersiapkan
bahan ajar sejak malam, tetapi mereka terganggu oleh karena terkadang pagi-pagi
mereka baru mendapatkan sms dari ketua PAR tentang Firman yang akan diajarkan
kepada anak sekolah minggu.47
-

Persiapan Pelayan PAR Secara Pribadi


Setiap pelayan PAR di Jemaat Usi Apakaet melakukan persiapan mengajarnya
masing-masing pada hari Sabtu malam. Persiapan tersebut meliputi pemilihan nats,
ayat hafalan, penyiapan pertanyaan sesuai dengan isi Firman, dan pembacaan buku
rohani Kristen yang menggali nats tersebut. Ada juga yang mengambil bahan dari
internet.
Selanjutnya ada pemilihan metode dan persiapan metode. Metode yang biasanya
digunakan di kelas indria adalah cerita, sedangkan pelayan PAR jarang menggunakan

47

Elim Alunpah, wawancara, Kuankobo, 21 Februari 2015.


Page 28

gambar atau alat peraga yang lain. Sedangkan metode yang dipakai untuk kelas
tanggung dan remaja adalah cerita, tanya jawab, dan diskusi. Jika waktu masih tersisa,
kadang-kadang nara didik diberikan permainan sesuai dengan isi Firman yang sudah
disampaikan. Persiapan yang kurang seperti ini berdampak secara negatif
sebagaimana yang ditemukan oleh para pelayan PAR. Ketika nara didik diberikan
pertanyaan, ada yang tidak bisa menjawabnya dengan baik.
2.2.1.8. Tingkat Partisipasi
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan mengenai bagaimana realita pelayanan
gereja terhadap anak dan remaja di Jemaat Usi Apakaet Kuankobo. Pada bagian ini akan
dilihat partisipasi nara didik dalam mengikuti kegiatan PAR yang juga merupakan
tanggung jawab orangtua dan pihak gereja sendiri.
2.2.1.8.1. Partisipasi Anak dan Remaja dalam Kegiatan PAR
Seluruh anak PAR Jemaat Usi Apakaet Kuankobo berjumlah 210 orang. Jumlah
kehadiran anak PAR dalam yang mengikuti kebaktian sekolah minggu akan
dipaparkan alam tabel sebagai berikut.

Tabel. 3
Persentase kehadiran anak PAR dalam kegiatan sekolah minggu

(November 2014-Maret 2015)

Page 29

No

Tanggal

Jumlah Kehadiran

Persentase
(%)

1
2 November 2014
21 orang
10
2
9 November 2014
30 orang
14
3
16 November 2014
27 orang
13
4
23 November 2014
37 orang
17
5
30 November 2014
22 orang
10
6
7 November 2014
20 orang
9
7
14 November 2014
24 orang
11
8
11 Januari 2015
80 orang
38
9
18 Januari 2015
77 orang
37
10
25 Januari 2015
67 orang
32
11
1 Februari 2015
82 orang
39
12
8 Februari 2015
79 orang
38
13
15 Februari 2015
78 orang
37
14
22 Februari 2015
60 orang
28
15
1 Maret 2015
55 orang
26
16
8 Maret 2015
58 orang
27
17
15 Maret 2015
73 orang
35
Sumber: data absen anak dan remaja, Jemaat Usi Apakaet, November 2014Maret 2015
Berdasarkan Tabel 4 empat di atas dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi nara
didik dalam mengikuti kegiatan pelayanan anak dan remaja sangat minim. Kehadiran
mereka tidak pernah melebihi 50%. Mengenai ketidakaktifan anak dan remaja dalam
mengikuti kegiatan PAR, sebagian telah dipaparkan pada bagian realita pelayanan.
2.1.2.9.2. Tanggapan Jemaat
PAR di Jemaat Usi Apakaet Kuankobo memiliki beberapa masalah, yaitu tidak
tersediannya buku panduan, tidak adanya kurikulum, dan kurangnya persiapan pengajar
yang mengakibatkan lemahnya pelayanan. Ketika masalah-masalah ini dibawa kepada
Ketua Majelis Jemaat Usi Apakaet Kuankobo untuk diminta tanggapanya, maka ia
berkomentar sebagai berikut. Pertama, telah lama ia menghibau kepada para majelis untuk
memperlengkapi pelayan PAR dengan buku panduan dan alat peraga, tetapi hingga saat ini

Page 30

mereka belum menyediakannya. Ketika penulis mewawancarai majelis jemaat dan


menanyakan mengenai masalah ini, maka seorang majelis menjawab bahwa faktor dana
yang masih minim.48 Kedua, guru sekolah minggu kurang kreatif di dalam memilih metode
pengajaran dan daya imajinasi tidak tinggi.
Kendati demikian, Ketua Majelis Jemaat Usi Apakaet, juga mengakui bahwa ada
hal-hal yang belum diperhatikan oleh Jemaat Usi Apakaet Kuankobo sehubungan dengan
PAR, antara lain pelayan PAR belum memiliki kurikulum pengajaran PAR yang tetap. Hal
ini mengakibatkan tidak terarahnya pelayanan PAR di jemaat tersebut.49
Dalam rangka lebih menunjang PAR di jemaat tersebut, ketua majelis jemaat
mengatakan bahwa ke depan Jemaat Usi Apakaet akan melakukan sejumlah hal. hal
berikut: Pertama, majelis jemaat akan berupaya menambah anggaran pelayanan PAR di
tahun berikut untuk menunjang program-program UPP PAR Jemaat Usi Apakaet
Kuankobo, seperti perekrutan tenaga pengajar PAR baru, dan pengadaan kurikulum dan
buku panduan. Kedua, pendeta akan memberikan pembekalan kepada pelayan PAR agar
mereka dapat mengetahui psikologi anak serta cara mengajar kreatif di setiap kelas. Ketiga,
ketua majelis dan anggota majelis akan mengadakan evaluasi atau penilaian tahunan
terhadap seluruh pelayanan jemaat sepanjang tahun, termasuk pelayanan PAR di jemaat
tersebut. Program dan kegiatan yang berjalan baik akan dilanjutkan dan ditingkatkan pada
tahun pelayanan berikutnya. Sedangkan, program-program atau kegiatan-kegiatan yang
tidak berjalan akan diberikan perhatian lebih serius pada tahun berikutnya sehingga dapat
dijalankan dengan baik. Keempat, Majelis Jemaat Usi Apakaet Kuankobo akan berusaha
semaksimal mungkin untuk melakukan pengawasan terhadap berbagai macam badan

48
49

Yosafat Nenobais, wawancara, Kuankobo, 14 Juni 2015.


Pdt. Niko Tullu, wawancara, Kuankobo, 25 Maret 2015.
Page 31

pelayanan jemaat, termasuk UPP PAR Jemaat Usi Apakaet, untuk memastikan bahwa
program-program

dan

kegiatan-kegiatan

pelayanan

badan-badan

tersebut

dapat

dilaksanakan dengan baik.


2.2.3. Analisis
PAR adalah kegiatan gereja yang dilaksanaan pada hari Minggu. Para pelayan PAR
mengajar dan membimbing tentang pesan Alkitab untuk mendapatkan pengharapan
keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus.50 Tugas pelayan PAR yang paling utama ialah
mengajarkan Firman Allah sedemikian rupa sehingga anak itu
1) akan menyadari bahwa ia membutuhkan Kristus dan menerima Dia sebagai
Juruselamat Pribadinya (Roma 3:23; 10:9);
2) akan menerima pengajaran hidup suci berdasarkan Firman Allah (Kol. 3:17); dan
3) akan mengetahui bagaimana menuntut kuasa Kristus dalam kehidupan dan
pelayanannya (Roma 6:14; 1-17; 12:1).
Pelayan PAR merupakan agen pembelajaran yang mempunyai tugas berat
dalam mempersiapkan dan menentukan masa depan gereja. Mau menjadi gereja yang
bagaimana, seperti apa, dan sampai dimana, itu tidak terlepas dari peran pelayan PAR.
Gereja saat ini dan masa depan ditentukan oleh proses pendidikan dan pembelajaran yang
dilakukan oleh pelayan PAR saat ini.
Oleh karena itu pelayan PAR haruslah dilakukan dengan sebaik mungkin sehingga
pesan Alkitab yang disampaikan bisa sampai di tujuan dengan tepat. Untuk melakukan
penyampaian dengan baik, maka perlu ada persiapan yang baik pula. Pada pelaksanaannya,
pelayan PAR di Jemaat Usi Apakaet sedikit melupakan hal ini. Penyampaian pesan Alkitab
sudah dilakukan dengan usaha yang baik, namun terkadang belum dapat tiba pada sasaran
50

Rianto. L, Kompetensi Guru Sekolah Minggu, Jakarta: UIN SUKA, 2010, hlm. 29.
Page 32

dengan tepat karena persiapan yang kurang. Baik liturgi maupun pemberitaan Firman
kurang begitu dipersiapkan dengan baik sehingga masih terdapat banyak kendala dalam
penyampaiannya.
Kita perlu menganalisa penyebab mengapa persiapan mengajar belum bisa dengan
sempurna memenuhi tugas penyampaian pesan Alkitab? Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab persiapan pelayan PAR di Jemaat Usi Apakaet sehingga belum bisa dengan
sempurna memenuhi tugas penyampaian pesan Alkitab. Faktor tersebut termasuk faktor
motivasi pengajar, pengaturan terkait bahan pengajaran, faktor dukungan jemaat terhadap
pelayanan PAR, dan faktor manajemen pelayanan.

1. Faktor Ketidakseriusan Pelayan PAR


Motivasi mengajar seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya menjadi
penting dalam rangka menjawab pertanyaan, mengapa para pelayan anak dan remaja di
Jemaat Usi Apakaet belum bisa dengan sempurna memenuhi tugas penyampaian pesan
Alkitab?
Bagi penulis Motivasi mengajar diperlukan karena pelayanan itu terkait dengan
panggilan menjadi pelayan anak dan remaja. Pelayan anak dan remaja Jemaat Usi
Apakaet perlu jiwa pengabdian/pelayanan sehingga memiliki kemampuan untuk
melaksanakan tugas pelayanannya dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab.
Pada pelaksanaannya, motivasi ini tidak ada dalam diri beberapa pelayan PAR.
Hal ini terlihat pada saat mengajar hanya beberapa orang saja yang memberi diri untuk
mengajar. Selain itu juga pada saat kebaktian sekolah minggu, tidak semua pelayan PAR
hadir oleh karena kesibukan yang mereka kerjakan di luar. Hal ini mencerminkan bahwa
Page 33

belum adanya jiwa pengabdian/pelayanan yang dimiliki sebagai motivasi seorang pelayan
PAR.
Berdasarkan pengamatan penulis, ketidakseriusan pengajar juga disebabkan oleh
kurangnya koordinasi antara koordinator PAR dan anggota pengajar PAR. Komunikasi
yang sangat minim antara mereka mengakibatkan ketidakaktifan sebagian pengajar PAR.
Hal lain lagi ialah ketidakprihatinan gereja kepada para pengajar PAR dalam hal
daya dan dana. Artinya bahwa belum adanya pengembangan kepada pengajar, pengadaan
melalui buku-buku, dan pelatihan-pelatihan khusus, serta pengadaan biaya bagi para
pengajar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa program pengembangaan pada UPP Par belum
maksimal sehingga memberi pengaruh yang sangat kuat bagi dinamika pengajaran yang
ada dalam Jemaat Usi Apakaet Kuan Kobo.

2. Faktor

ketiadaan

Bahan

pengajaran

dan

berbagai

sarana-prasarana

pendukung.
Selain faktor motivasi, adapula faktor ketiadaan kurikulum yang cocok untuk
kebutuhan PAR di Jemaat Usi Apakaet Kuankobo. Kurikulum PAR yang telah
disediakan oleh badan pengurus (BP) PAR GMIT tidak dimiliki oleh BP PAR Jemaat
Usi Apakaet, apalagi digunakan. Walaupun ada asumsi bahwa bahan tersebut adanya
kurikulum tertentu di baiknya, tetapi dari segi topik, isi, metode pengajaran, maupun
teknik evaluasi yang digunakan, belum tentu cocok dengan karakteristik anak-anak di
masing-masing kelas di Jemaat Usi Apakaet Kuankobo. Keadaan ini dipersulit lagi

Page 34

dengan bahan ajar dalam buku tersebut diambil begitu saja dan diajarkan tanpa melalui
pertemuan persiapan para guru.
Dengan demikian PAR di Jemaat Usi Apakaet belum bisa dengan sempurna
memenuhi tugas penyampaian pesan Alkitab karena bahan ajar yang dirasa merupakan
suatu jalan menuju tujuan pun belum cocok dengan karakteristik anak dan remaja,
antara lain karena disusun dan digunakan tanpa ada persiapan bersama pengajar yang
lebih intens terhadap bahan ajar tersebut.
Selain kurikulum dan bahan ajar, sarana dan prasarana pendukung isi materi dan
bahan pengajaran juga yang tidak memadai. Alkitab memang untuk semua golongan
umur, baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Namun, tidak semua bagian dari
Alkitab cocok untuk anak dan remaja. Oleh karena itu pelayan PAR semestinya
menyiapkan sarana dan prasarana penunjang sehingga mampu menjelaskan nats yang
sulit kepada anak dan remaja dengan pemahaman mereka. Sarana prasarana tersebut
meliputi gambar audio visual, seni musik, tari dan drama serta permainan yang
bermakna.
Dalam pelaksanaan PAR di Jemaat Usi Apakaet, sarana prasarana penunjang
yang disebutkan di atas tidak disediakan. Pelayan PAR hanya mempersiapkan alat
bantu seperlunya dan jika tak ada alat bantu yang menunjang, maka pilihan terakhir
adalah metode cerita dan tanya jawab yang tidak perlu alat bantu yang rumit. Tarian
dan drama juga hanya ditampilkan jika ada hari raya gerejawi.
Dengan demikian salah satu faktor penyebab PAR di Jemaat Usi Apakaet belum
bisa dengan baik memenuhi tugasnya karena persiapan bantu dan sarana prasarana
Page 35

pendukung belum dipersiapkan sehingga pesan Alkitab tidak terlalu cocok dengan
pemahaman dan karakteristik anak-anak disetiap kelas sehingga sulit dicerna dan
diresap oleh anak-anak.
3. Faktor Kurangnya Koordinasi Dalam Gereja
Penulis melihat bahwa salah satu hal penting yang menjadi faktor terhambatnya
pelayanan gereja terhadap anak Par ialah persoalan koordinasi dalam UPP Par. Padahal
menurut penulis Pembentukan UPP ini bertujuan agar setiap pelayanan gereja benarbenar dirasakan oleh setiap kelompok/kategori dalam gereja. Tugas UPP ini, selain
bertanggung jawab kapada setiap kategori yang dipimpin, ia juga bertugas
menyampaikan dan menganalisa sejauah mana pelayanan bagi tiap kategoti untuk
kemudian disampaikan kepada pemimpin jemaat (ketua majelis). Yang terakhir ia juga
memiliki tugas untuk mengusulkan program-program pelayanan yang tepat bagi setiap
kategori dalam jemaat.
Secara khusus, bagi UPP PAR kepekaan UPP PAR dalam melihat dan
merealisasikan tiap kebutuhan anak sangatlah minim. Program pengembangan anak Par
tidaklah mengalami perkembangan sebab tidak didukung dengan oleh kesadaran akan
pentingnya kepekaan terhadap kebutuhan anak. Hal itu juga dipengaruhi oleh minimnya
koordinasi antara UPP dan BP PAR.
Selain koordinasi yang kurang antara UPP PAR dan BP PAR, penulis juga melihat
bagaimana peranan majelis jemaat dalam pelayanan anak.

Jika dilihat Ttugas

majelis jemaat selain untuk melayani jemaat, ia juga berperan untuk mengambil
keputusan

jika

terdapat

persoalan

besar

yang

menghambat

pelayanan.

Ketidaksadaran dan kepekaan terhadap tugas dan fungsi inilah yang berpengaruh
pada prinsip kerja dan pembiaran terhadap persoalan pengajaran PAR. Memang
Page 36

berdasarkan pernyataan Ketua Majelis, pelayanan terhadap anak amatlah penitng,


namun semua pelayanan yang maksimal dapat terealisasi dengan baik dan benar
apabila adanya kerja sama yang baik pula dari UPP PAR, BP PAR, bahkan semua
majelis jemaat.
4.

Faktor dukungan jemaat


Salah satu faktor lagi yang menjadi penyebab masalah PAR adalah faktor

dukungan Jemaat Usi Apakaet terhadap pelaksanaan PAR yang tidak kuat. Jemaat Usi
Apakaet tidak menfasilitasi pelayan PAR untuk mengikuti pelatihan atau pembekalan.
Selain itu jemaat tidak memperlengkapi badan pengurus PAR jemaat dan para pelayan
PAR dengan kurikulum dan bahan ajar, literatur penunjang, serta prasarana pelayanan
yang memadai. Padahal ketersediaan hal-hal ini dalam jumlah yang memadai
merupakan tanggung jawab jemaat. Ketua majelis jemaat telah brulang-ulang kali
menghimbau kepada anggota majelis jemaat untuk menyediakan buku panduan, namun
yang terjadi sampai saat ini adalah buku panduan tersebut belum diberikan untuk
pelayan PAR. Sedangkan menurut KMJ seorang pelayan PAR harus kretif dalam
mengajar dan daya imajinasi yang tinggi. Menurut penulis, bagaimanakah seorang
pelayan PAR itu dapat mengajar dengan kreatif, sedangkan pelayan PAR tidak dibekali
dengan buku-buku panduan dan juga pelatihan? Jemaat kurang memberi perhatian
kepada pelayan PAR yang juga memiliki kelemahan-kelemahan dari segi motivasi dan
pendidikan. Dalam hal perekrutan dan pembagian tugas juga belum ada tindakan tegas
dari jemaat untuk mempertahankan pelayan PAR dan memberikan tugas yang jelas.

Page 37

Dengan keadaan seperti ini kita perlu melihat akar masalah dengan bertanya:
Apakah dukungan seperti demikian sudah cukup untuk mendukung pelayanan PAR?
Dengan melihat keadaan dalam PAR di Jemaat Usi apakaet, maka dapat disimpulkan
bahwa Jemaat Usi Apakaet kurang mementingkan pelayanan terhadap anak dan remaja.

Selain itu manajemen pelayanan yang dikembangkan oleh jemaat belum begitu
memberikan efek positif bagi PAR Usi Apakaet. Pembahasan pelayanan yang bersifat
transformatif seperti perekrutan pelayan PAR, penggunaan kurikulum, dan pembagian
tugas pelaksanaan pelayanan hingga pada evaluasi pelayanan anak dan remaja tidak
menjadi pokok persidangan.

Keadaan ini berakibat pada jalannya pelayanan tanpa ada kejelasan. Misalkan
rekrutmen Pelayan PAR yang dilakukan tidak jelas kapan dan bagaimana sehingga
tenaga pelayan PAR selalu susah dicari. Kurikulum PAR yang tidak dibicarakan
mengakibatkan tenaga pengajar tidak membuat bahkan tidak menggunakan kurikulum
karena tidak ada dalam rencana program.

Akibat-akibat tersebut akhirnya berimbas pada PAR, khususnya yang berjalan


tanpa ada dukungan jemaat yang kuat sehingga pelayan anak dan remaja tidak bisa
dengan baik memenuhi tugas penyampaian pesan Alkitab.

Page 38

Rangkuman
Setelah menguraikan teori pelaksanaan PAK dalam PAR, maka dipaparkan realita/
keadaan pelayanan anak dan remaja di Usi Apakaet. Ternyata terlihat bahwa pelayanan anak dan
remaja di Jemaat Usi Apakaet berjalan dengan segala kekurangan. Kekurangan inilah yang
mengakibatkan persiapan hingga pada tugas penyampaian pesan Alkitab pada nara didik, tidak
dapat dengan sempurna dilakukan.
Dari kekurangan-kekurangan yang telah dijabarkan diatas, maka penulis menganalisa
penyebab yang mengakibatkan kekurangan tersebut terus berlanjut. Beberapa akar masalah
ditemukan yang mengakibatkan persiapan hingga pada tugas penyampaian pesan Alkitab pada
anak, tidak dapat dengan sempurna dilakukan.
1. Akar masalah atau faktor penyebab tersebut adalah motivasi dari dalam diri pelayan PAR
itu sendiri terlihat kurang. Selain itu kualifikasi pelayan PAR yang tidak dikembangkan,
baik oleh pelayan PAR. Kedua hal ini merupakan permasalahan yang timbul dari dalam
2.

diri pelayan PAR itu sendiri.


Faktor ketiadaan kurikulum, buku panduan dan berbagai sarana-prasarana pendukung
yang berhubungan dengan konten dan isi pengajaran.

Selain itu juga gereja jarang

memberikan pelatihan bagi pelayan PAR agar mereka dapat mengajar dengan kreatif.
Faktor inilah yang mengakibatkan pelayanan anak dan remaja Usi Apakaet berjalan tanpa
ada arah yang jelas, pelayanan anak dan remaja Usi Apakaet berjalan tanpa ada alat bantu
untuk menyampaikan pesan Alkitab dan berjalan dengan mengandalkan keterbatasan
kualifikasi dan motivasi pengajar.
3.
4. Faktor lain adalah kurang seriusnya dukungan jemaat terhadap PAR Usi Apakaet
Kuankobo.
5.
6.
Page 39

Page 40

Anda mungkin juga menyukai