Anda di halaman 1dari 28

REFRAT BEDAH

KARSINOMA KOLON

oleh
Rama Firmanto
00-056

Pembimbing:

dr. Adjinul B. SpB.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA

PENDAHULUAN

ANATOMI

Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang


sekitar 1,5m yang terbentang dari sekum sampai kanalis analis, dengan
diameter rata-rata sekitar 6,5cm tetapi makin dekat anus diameternya makin
kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum.
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah sedangkan
kolon kiri sampai rektum berasal dari usus belakang. Kolon dibagi menjadi
kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat dimana kolon
membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturutturut dinamakan fleksura hepatika dan lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi
krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah
membelok kekiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, yang
menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi
enema, karena pada posisi ini gaya berat membantu mengalirkan air dari
rektum ke fleksura sigmoid.
2

Usus besar mempunyai empat lapisan morfologik seperti juga bagian


usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa gambaran yang khas pada usus besar
saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul
dalam tiga pita yang dinamakan taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid
distal, dengan demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang
lengkap. Panjang taenia lebih pendeh daripada usus, hal ini menyebabkan usus
tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang dinamakan

haustra. Apendises epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang


berisis lemak dan melekat disepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar
jauh lebih tebal dari lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau
rugae. Kriptus Lieberkhun (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan
mempunyai lebih banyak sel goblet daripada usus halus.

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan
dengan

suplai

darah

yang

diterima.

Arteri

mesenterika

superior

memperdarahi belahan bagian kanan (sekum, kolon asenden dan dua pertiga
proksimal kolon tranversum) dan arteri mesenterika inferior memperdarahi
belahan kiri (sepertiga distal kolon tranversum, kolon desenden dan sigmoid,
dan bagian proksimal rektum)

Alir balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena
mesenterika superior-inferior dan vena hemorioidalis superior, yaitu bagian
dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemoroidalis media

dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari
sirkulasi sistemik.

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan


perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar.
Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon
transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai
bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf
splangnikus untuk mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.

FISIOLOGI

Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan


dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah
mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian
kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoar yang menampung massa
feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kolon mengabsorbsi

sekitar 600ml air perhari, kapasitas absorbsi usus besar adalah 2000ml
perhari. Bila jumlah ini dilampaui, misalnya karena adanya kiriman yang
berlebihan dari ileum, maka akan terjadi diare. Berat akhir feses yang
dikeluarkan perhari sekitar 200g, dan 75% diantaranya berupa air. Sisanya
terdiri dari residu makanan yang tidak terabsorbsi, bakteri, sel epitel yang
mengelupas dan mineral yang tidak diabsorbsi.
Sedikitnya pencernaan yang terjadi diusus besar terutama diakibatkan
oleh bakteri dan bukan karena kerja enzim. Usus besar mengekskresikan
mukus alkali yang tidak mengandung enzim. Mukus ini bekerja untuk melumasi
dan melindungi mukosa. Bakteri usus besar mensintesis vitamin K dan
beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dari sisa-sisa protein menjadi
asam amino dan zat-zat yang lebih sederhana seperti peptida, indol, skatol,
fenol, dan asam lemak. Pembentukkan berbagai gas seperti NH3, CO2, H2,
H2S dan CH4 membantu pembentukkan flatus dikolon. Beberapa substansi ini
dikeluarkan dalam feses sedangakan zat lainnya diabsorbsi dan diangkut
kehati dimana zat-zat ini akan diubah menjadi senyawa yang kurang toksik
dan diekskresikan melalui kemih. Fermentasi bakteri pada sisa karbohidrat
juga melepaskan CO2, H2, dan CH4 yang merupakan komponen flatus. Dalam
sehari secara norma l dihasilkan sekitar 1000ml flatus.
Pada umumnya, pergerakan usus besar adalah lambat. Pergerakan usus
besar yang khas adalah gerakan mengaduk haustra. Haustra teregang dan
dari waktu ke waktu otot sirkuler akan berkontraksi untuk mengosongkannya.
Pergerakannya tidak progresif tetapi menyebabkan isi usus bergerak bolakbalik dan meremas-remas sehingga memberi cukup waktu untuk absorbsi.

KARSINOMA KOLON

EPIDEMIOLOGI
Karsinoma kolon merupakan keganasan terbanyak kedua setelah
karsinoma paru. Di indonesia insidensi karsinoma kolon dan rektum cukup
tinggi, demikian juga angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding
dengan wanita, lebih banyak pada orang muda dan sekitar 75% ditemukan
di rektosigmoid. Di negara barat insiden lelaki dan perempuan adalah 3:1
dan kurang dari 50% ditemukan pada rektosigmoid serta merupakan
penyakit orang usia lanjut, menurut statistik insiden meningkat dari 10
per100.000 pada usia 40-45 tahun menjadi 300 per 100.000 pada usia 7580 tahun.

FAKTOR RESIKO

Polip adenomatous

93% karsinoma kolon berkembang dari polip adenomatous

5% adenoma berukuran 5mm menjadi karsinoma kolon

Riwayat keluarga tumor kolon jinak atau ganas

Kolitis ulseratif kronik

Penyakit crohn

Radiasi pelvis

Karsinoma rahim atau payudara pada wanita

Retinitis pigmentosa

Familial poliposis

Sindroma Gardener

Perokok, peminum alkohol dan kegemukan

Pria dengan anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi pada wanita setelah menopause

ETIOLOGI / PATOFISIOLOGI
Walaupun penyebab karsinoma kolon, seperti kolon lainnya, masih
belum diketahui, telah dikenali beberapa faktor predisposisi. Berbagai
polip kolon dapat berdegenerasi maligna dan setiap polip kolon harus
dicurigai. Radang kronik kolon seperti kolitis ulseratif atau kolitis amuba
kronik juga beresiko tinggi. Faktor genetik kadang berperan walaupun
jarang.
Faktor

predisposisi

penting

lain

mungkin

berhubungan

dengan

kebiasaan makan karena karsinoma kolon (seperti juga divertikulosis)


adalah sekitar 10 kali lebih banyak pada penduduk di dunia barat, yang
mengkonsumsi lebih banyak makanan yang mengandung karbohidrat

refined dan rendah serat kasar, dibandingkan penduduk primitif (afrika)


dengan diet kaya serat kasar. Burkitt (1971) mengemukakan bahwa diet
rendah serat, tinggi karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada
flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil
pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat
karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang
berpotensi karsinogenik ini dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain
itu, masa transisi feses meningkat akibatnya kontak zat yang berpotensi
karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.

PATOLOGI ANATOMI
Secara mikroskopis, neoplasma adalah karsinoma sel kolumnar yang
terdapat pada lapisan sel epitelial kolon atau pada kripta Lieberkhun.
Secara makroskopis, pertumbuhan dari neoplasma mempunyai 4 bentuk
yaitu :
Skirus (anular dan tubular), mengakibatkan penyempitan sehingga
terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di kolon
desenden, sigmoid dan rektum. Bentuk anular berhubungan erat dengan
prognosis yang baik, bukan karena pertumbuhannya adalah keganasan
tingkat rendah, namun karena bentuk ini memberikan gejala obstruktif
secara dini maka sering dilakukan ekstirpasi sebelum terjadinya
metastase
Ulseratif, terjadi karena nekrosis dibagian sentral dan terdapat pada
rektum
Polipoid/vegetatif/kembangkol,

terdapat

pada

sekum

dan

kolon

asenden, merupakan bentuk keganasan yang paling jarang

KLASIFIKASI
Klasifikasi Dukes
Klasifikasi Dukes
A
B1

Kedalaman infiltrasi
Keterlibatan KGB
Terbatas pada mukosa
Tidak ada
Sampai
lapisan Tidak ada

B2

muskularis
Menembus

C1

muskularis
Sampai

C2

lapisanmuskularis
Menembus
lapisan Ada/KGB

muskularis
Metastasis jauh

lapisan Tidak ada


Ada/KGB dekat tumor
jauh

dari

tumor
Tidak diketahui

Klasifikasi TNM

T :

tumor primer

T0

tidak dapat ditemukan

T1

lesi jinak pada mukosa atau submukosa

T2

sampai dinding muskularis atau serosa

T3

semua lapisan kolon dan perluasan ke struktur dan organ sekitar


Tanpa adanya fistel

T4

adanya fistel

T5

T3 atau T4 dengan perluasan langsung ke struktur atau organ


sekitar

Tx

tidak dapat ditentukan

10

N:

kelenjar getah bening regional

N0

tidak menunjukan kelainan

N1

ada metastasis dikelenjar regional

Nx

tidak dapat ditentukan

M :

metastase/penyebaran

M0

tidak ada metastasis jauh

M1

metastasis jauh

Mx

tidak dapat ditentukan

Non-invasif karsinoma (in situ)


Stage 0

T0/N0/M0

Invasif karsinoma
Tingkat 1

T0,1/N0/M0
T0,1/NX/M0

Tingkat 2

T2-5/N0/M0
T2-5/N0/M0

Tingkat 3

T apapun/N1/M0

Tingkat 4

T apapun/N apapun/M1

PENYEBARAN / METASTASIS

11

Karsinoma kolon mulai berkembang pada mukosa dan bertumbuh sambil


menembus dinding dan memperluas secara sirkuler ke arah oral dan
aboral. Penyebaran per-kontinuitatum menembus jaringan sekitar atau
organ sekitarnya misal ureter, buli-buli, uterus, vagina atau prostat.
Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka, mesenterium, dan
paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke hati (berhubungan dengan
vaskularisasi).

Penyebaran

peritoneal

mengakibatkan

peritonitis

karsinomatosa dengan atau tanpa asites.

GEJALA KLINIS
Karsinoma kolon kiri dan rektum cenderung menyebabkan perubahan
defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks. Diare, nyeri, kejang
dan kembung sering terjadi. Karena lesi kolon kiri cenderung melingkar,
sering timbul gangguan obstruksi. Feses dapat kecil dan berbentuk
seperti pita. Baik mukus maupun darah segar sering terlihat pada feses.
Dapat terjadi anemia akibat kehilanagn darah kronik. Pertumbuhan pada
sigmoid atau rektum dapat mengenai radiks saraf, pembuluh limfe atau
vena, menimbulkan gejala-gejala pada tungkai atau perineum. Hemoroid,

12

nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi atau sering berkemih


dapat timbul sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut.
Karsinoma kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap
tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menimbulkan
obstruksi karena lumen usus lebih besar dan feses masih encer. Anemia
akibat perdarahan sering terjadi , dan darah bersifat samar serta hanya
dapat dideteksi dengan tes Guaiak (suatu tes sederhana yang dapat
dilakukan diklinik). Mukus jarang terlihat karena tercampur dalam feses.
Gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada. Umumnya gejala
pertama timbul karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi,
perdarahan, atau akibat penyebaran.
Nyeri pada kolon kiri lebih nyata pada kolon kanan. Tempat yang
dirasakan berbeda karena asal embrionik yang berlainan, yaitu dari usus
tengah dan usus belakang. Nyeri dari kolon kiri bermula dibawah umbilikus
sedangkan dari kolon kanan di epigastrium.

13

Faktor yang menentukan gejala dan tanda


Tipe tumor

Kolon kanan
Vegetatif

Kolon kiri
Stenotik

Ulseratif
Kaliber viskus Besar
Isi viskus
Setengah cair
Fungsi utama Absorpsi

Rektum
Infiltratif
Ulseratif

Kecil/pipih
Setengah padat
Penyimpanan

Vegetatif
Besar
Padat
Defekasi

Gambaran klinik karsinoma kolorektal lanjut


Aspek klinis
Nyeri

Kolon kanan
Kolitis
Karena

Kolon kiri
Obstruksi
Karena obstruksi

Rektum
Proktitis
Tenesmi

Defekasi

penyusupan
Diare/diare

Konstipasi progesif

Tenesmi

Hampir selalu
Samar/makroskopi

menerus
Tidak jarang
Makroskopik
Perubahan bentuk
Jarang
Lambat
Lambat

Obstruksi
Darah

berkala
Jarang
pada Samar

feses
Feses
Dispepsi
Memburuknya

Normal/diare
Sering
Hampir selalu

k
Normal
Jarang
Lambat

keadaan umum
Anemia

Hampir selalu

Lambat

teus

14

DIAGNOSIS
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila
teraba, menunjukkan keadaan sudah lanjut. Massa didalam sigmoid lebih
jelas teraba daripada massa dibagian lain kolon. Pemeriksaan colok dubur
merupakan keharusan.
Foto kolon dengan barium merupakan kelengkapan dalam menegakkan
diagnosis. 90-95% karsinoma kolon dapat dideteksi dengan pemeriksaan
sinar Roentgen. Dapat memberikan gambaran filling defek polipoid,
annular konstriksi (apple-core lesion), ambaran lead-pipe, dan mungkin
kalsifikasi.

15

Test darah samar, hanya mendeteksi secara kimia. Salah satu prosedur
laboratorium adalah, sample kecil dari feses ditempatkan pada tempat
khusus, lalu teteskan dua buah larutan sebagai control positif dan
negative, lalu lihat perubahan warna yang terjadi (biasanya biru) yang
nenunjukkan adanya darah dalam feses.
Flexible sigmoidoskopi, telah banyak digunakan untuk mengurangi
insidens dan kematian kanker kolon dengan deteksi secara dini. Dilakukan
tanpa menggunakan sedative dan dapat dilakukan di ruangan poliklinik.
Dapat mendeteksi 65-75% polip dan 40-65% kanker kolorektal. Test ini
memakan waktu 3-5 menit.
Kolonoskopi, merupakan Gold Standart untuk visualisasi, biopsi dan
pengangkatan polip kolon. Pengangkatan semua polip dengan alat ini telah
terbukti mampu mengurangi resiko dari kanker kolon 76-90%.

16

Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi


anatomi.

Penentuan diagnosa karsinoma kolorektal


Cara pemeriksaan
Colok dubur
Rektosigmoidoskopi
Foto kolon dengan barium/ kontras

Persentase
40 %
75 %
90 %

ganda
Kolonoskopi

100 % (hampir)

Diagnosa banding
Kolon kanan
Abses
appendiks
Massa
appendiks

Kolon tengah
Tukak peptik
Karsinoma
lambung
Abses hati

Kolon kiri
Kolitis
ulserosa
Polip
Divertikulitis

Amuboma

Karsinoma hati Endometriosis

Enteritis

Kolesistitis

Rektum
Polip
Proktitis
Fissura

anus

hemoroid
Karsinom anus

17

regionalis

Kelainan
pankreas
Kelainan
saluran
empedu

PENATALAKSANAAN
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindak bedah. Tujuan
utamanya adalah memperlancar saluran cerna yang bersifat kuratif
maupun non-kuratif. Tindak bedah, terdiri dari reseksi luas karsinoma
primer dan kelenjar limfe regional. Bila sudah ada metastasis jauh, tumor
primer

akan

direseksi

juga

dengan

maksud

mencegah

obstruksi,

perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel dan nyeri.


Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran baik
dekat maupun jauh. Pada tumor caecum atau colon ascenden dilakukan
hemikolektomi kanan, kemudian anastomosis ujung ke ujung. Pada tumor di
fleksura hepatik, dilakukan juga hemikolektomi. Pada tumor kolon
transversum dilakukan reseksi kolon transversum, kemudian anstomosis
ujung ke ujung sedangkan pada tumor kolon desenden dilakukan
hemikolektomi kiri. Pada tumor sigmid dilakukan reseksi sigmoid dan pada
tumor rektum sepertiga proksimal dilakukan reseksi anterior. Pada tumor
rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan
sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi
rektum melalui reseksi abdomino perineal Quenu-Miles, pada operasi ini

18

anus

turut

dikeluarkan

rektum

dan

sigmoid

dengan

mesosigmoid

dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperitoneal.


Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya
beserta rektum melalui abdomen).

19

Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparatomi


dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anstomosis kolorektal
atau koloanal rendah.

Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma


terbatas. Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain
dengan menggunakan endoskopi ultrasonografi untuk menentukan tingkat
penyebaran di dalam dinding rektum dan adanya kelenjar ganas pararektal.

20

Sebagai terapi paliatif dengan indikasi dan seleksi khusus dapat


menggunakan fulgerasi (koagulasi listrik) ataupun koagulasi dengan laser.
Pada cara ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan histopatologik. Cara ini
kadang digunakan pada penderita dengan resiko pembedahan tinggi.
Sebagai

terapi

tambahan

(adjuvant)

dapat

digunakan

radioterapi,

kemoterapi dan imunoterapi. Tindakan bedah yang didahului dan diikuti


radioterapi disebut terapi sandwich.

KOLOSTOMI

Merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus preternaturalis


yang dibuat untuk sementara atau menetap. Kolostomi sementara dibuat
misalnya pada penderita gawat perut dengan peritonitis yang telah
dilakukan reseksi sebagian kolon. Pada keadaan demikian, membebani
anstomosis, aliran feses dialihkan untuk sementara melalui kolostomi dua

21

stoma yang biasanya disebut stoma laras ganda. Dengan cara Hartman
pembuatan anstomosis ditunda sampai radang di perut telah reda.
Kolostomi tetap, yang dibuat pada reseksi rektoanal abdominoperineal
menurut Quenu-Miles berupa anus preternaturalis benar. Esofagostomi,
gastrotomi, yeyunostomi dan sekostomi biasanya merupakan stroma
sementara. Ileostomi dan kolostomi sering berupa stroma tetap.
Indikasi kolostomi ialah dekompresi usus pada obstruksi, stroma
sementara untuk bedah reseksi usus pada radang, atau perforasi dan
sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anstomosis
distal. Kolostomi dapat berupa stroma kait ( loop kolostoma) atau stroma
ujung (end kolostoma).
Pada kolostoma sigmoid biasanya pola defekasi sama dengan semula.
Banyak penderita mengadakan pembilasan sekali sehari, sehingga mereka
tidak terganggu oleh pengeluaran feses dari stromanya. Kolostoma pada
kolon transversum mengeluarkan isi usus beberapa kali sehari karena isi
kolon transversum tidak padat, sehingga lebih sulit diatur.
Anus preternaturalis sering menyebabkan penyulit. Hernia parastoma
dapat berisi kolon, omentum atau usus halus yang sering terjadi pada
orang gemuk. Prolaps, stenosis, nekrosis dan retraksi merupakan
komplikasi teknik yang kurang sempurna. Infeksi dinding perut kadang
terjadi dan iritasi kulit sering dilihat karena rangsang sisa pencernaan.
Terapis enterostoma merupakan ahli yang bertugas khusus untuk merawat
dan membimbing penderita dan keluarganya untuk menghadapi hidup
dengan anus preternaturalis.

22

Saat ini telah dikenal terapi tambahan untuk pasien pada stadium TNM
3 Atau Dukes B2 dan C. kombinasi 5 fluorourasil (5FU) dan levamisole
pada TNM 3 atau Dukes C untuk penggunaan 1 tahun post operasi. Terapi
tersebut ditambah dengan terapi radiasiuntuk TNM 4 atau Dukes B2.

PROGNOSIS
Sangat berkaitan erat dengan waktu saat ditemukannya karsinoma
pertama kali.
5 year survival rate

Dukes A

>90%

Dukes B1

70-85%

Dukes B2

55-65%

Dukes C1

45-55%

Dukes C2

20-30%

Dukes D

<1%

23

Prognostik yang buruk dapat disebabkan oleh:

5 atau lebih nodus limfe yang terlibat.

Tumor menyebar ke kelenjar limfe regional.

Penetrasi tumor ke dinding usus.

Perforasi kolon.

Tumor meluas ke organ sekitar.

Metastasis ke organ yang jauh.

SCREENING
Langkah yang paling tepat menghadapi karsinoma kolon adalah dengan
kewaspadaan, jika pedoman skreening diikuti maka berbagai kondisi yang
menuju kearah keganasan dapat diketahui sebelum menjadi karsinoma.
Beberapa prosedur skreening yang disarankan oleh American Cancer
Society yaitu pemeriksaan rektum secara digital (colok dubur) yang
dimulai pada usia 40, tes darah samar yang dimulai pada usia 50, dan
sigmoidoskopi setiap 3-5 tahun yang dimulai usia 50 dilakukan pada
individu yang tidak beresiko tinggi terhadap karsinoma kolon. Pada
individu yang memiliki resiko tinggi harus lebih sering dan lebih dini
tergantung factor resikonya. Skreening dengan menggunakan CEA atau
carcinoembrionik antigen tidak direkomendasikan karena baru meningkat
setelah tumor menjadi besar dan menyebar, serta pemeriksaan ini tidak
spesifik untuk karsinoma kolon sebab dapat pula meningkat pada perokok.

24

PREVENTIF
Menghentikan kebiasaan merokok merupakan hal penting abgi mereka
yang ingin menurunkan insidensi karsinoma kolon
1 tablet aspirin dewasa (325 mg) yang dikonsumsi tiap hari juga dapat
menurunkan

insidensi

karsinoma

kolon,

dalam

hal

ini

aspirin

berpengaruh dalam metabolisme prostaglandin


Makanan tambahan dengan kalsium 1500mg atau lebih mempunyai
hubungan dengan insidensi yang rendah dari karsinoma kolon
Menurunkan

berat

badan

serta

olahraga

yang

teratur

sangat

berpengaruh dalam menurunkan insidensi karsinoma kolon


Penggunaan

obat-obatan

antioksidan

juga

dipercaya

mempunyai

pengaruh yang signifikan dalam menurunkan insidensi

25

PENUTUP
Semua makanan yang masuk kedalam tubuh dapat merupakan makanan
yang terbaik dengan vitamin dan suplemen yang terbaik pula, namun bila kolon
tidak mengolahnya dengan baik maka makanan tersebut tidak ada gunanya dan
hanya menjadi sampah. Oleh karena itu makanan haruslah bergizi dan dapat
diolah oleh kolon.
Anthony Basser, seorang Gastroenterologist menyatakan bahwa,
setiap klinikus sebaiknya memperhatikan bahwa racun saluran pencernaan
merupakan hal yang paling penting dan utama dalam memberikan kontribusi
untuk menyebabkan berbagai macam gangguan dan penyakit pada tubuh
manusia.
Berbagai usaha dapat dilakukan untuk membuat kolon yang sehat, yang
antara lain:
Mengkonsumsi

serat

dalam

diet, telah terbukti

memiliki

keuntungan dalam meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit


serta merupakan komponen dalan terapi nutrisi
Bakteri Lactic, yang merupakan probiotik atau agen proteksi
hidup
Makanan alami
Menghindari stress
Kesehatan yang baik adalah suatu komitmen jangka panjang yang
merupakan hasil (reward) dari berbagai usaha hidup sehat yang dilakukan
mulai hari ini dan saat ini. Kesehatan adalah merupakan aset / harta yang
paling berharga dan sebagai dasar eksistensi dalam menjalankan hidup. Dan

26

yang penting untuk selalu diperhatikan bahwa kesehatan tubuh yang baik
diawali oleh kesehatan kolon.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. 1997. Jakarta:
EGC
2. Price S A, Wilson L M. Patofisiologi Buku 1. Edisi 4. 1995. Jakarta: EGC

28

Anda mungkin juga menyukai