Anda di halaman 1dari 18

Arsitektur Bali 2

TUGAS 1
Arsitektur Palemahan (Setra Biaung)

Anggota Kelompok 3
1.
2.
3.
4.
5.
6.

I Gusti Ngurah Putra Narakrishna


Ni Komang Puja Astiti Adra Saraswati
Muhammad Putra Utomo
David Ario Mulyo Irawan
I Pt Gd Kresnanda W
Aliya Hudiyanita

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
Kata Pengantar

1404205072
1404205088
1404205091
1404205093
1404205094
1404205095

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat karunia-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Arsitektur Palemahan (Setra
Biaung).
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada;
1. Ibu Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, M.Si.,selaku tim dosen pengampu kelas C
dan D mata kuliah Arsitektur Bali 2.
2. Bapak I Nyoman Susanta, ST., M.Erg., selaku tim dosen pengampu
kelas C dan D mata kuliah Arsitektur Bali 2.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca dan semoga makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat
baik untuk pembaca maupun penulis.

Bukit Jimbaran, 12Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
I.1.

LATAR BELAKANG..............................................................3

I.2.

RUMUSAN MASALAH..........................................................3

I.3.

TUJUAN PENELITIAN...........................................................3

I.4

METODE PENELITIAN..........................................................3

BAB II LANDASAN TEORI.........................................................................4


II.1. KONSEP TRI HITA KARANA..................................................4
II.2.KONSEP PITRA YADNYA........................................................5
BAB III PEMBAHASAN
III.1 PENGERTIAN SETRA..............................................................15
III.2 SEJARAH SETRA ....................................................................15
III.3 BANGUNAN PADA SETRA....................................................16
BABIV PENUTUP..........................................................................................18
IV.1. KESIMPULAN.........................................................................18
IV.2. SARAN.....................................................................................18

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Ilmu arsitektur pada umumnya hanya membahas tentang bangunan yang
bermanfaat serta dapat digunakan oleh manusia secara efektif dan efisien selama
masa hidupnya. Bangunan-bangunan tersebut juga harus memiliki fungsi yang
dapat mewadahi aktivitas didalamnya. Selaini tu, bangunan tersebut dinilai dari
segi estetika dan efisiensinya.
Dalam ilmu arsitektur tradisional Bali terdapat konsep Tri Hita Karana
yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan
tuhan, manusia, dan alam semesta. Keharmonisan antara manusia dengan tuhan
disebut Parahyangan yang diantaranya meliputi bangunan pura, keharmonisan
antara manusia dengan manusia disebut Pawongan yang diantaranya meliputi
bangunan griya, puri, dan umah, sedangkan keharmonisan antara manusia dengan
alam semesta disebut Palemahan yang diantaranya meliputi kuburan atau yang
dalam bahasa Bali disebut Setra.
Arsitektur palemahan atau setra sering kali diabaikan oleh banyak orang.
Kebanyakan orang
lebih memperhatikan arsitektur pawongan dan juga
parahyangan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas
tentang arsitektur palemahan yang memfokuskan pada setra.
I.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian setra?
2. Bagaimana sejarah pembangunan kawasan setra?
3. Apa saja syarat untuk membangun sebuah setra?
4. Bangunan apa saja yang ada di setra beserta fungsinya?
5. Bagaimana proses upacara?
I.3. Tujuan Penilitian
Penulis membuat makalah ini dengan tujuan sebagai berikut.
1. Mempelajari tentang ilmu arsitektur palemahan.
2. Memahami lebih dalam akan proses upacara pengabenan.
I.4. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah observasi langsung dan pengumpulan
materi dengan cara browsing internet.

BAB II
LANDASAN TEORI
II.3 Konsep Tri Hita Karana
Dalam konsep Hindu untuk mewujudkan keharmonisan dan kerukunan
umat manusia terutama Umat Beragama serta lingkungan dan semua ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa ( Brahman / Ida Sang Hyang Widi Wasa ) adalah
Berpedoman pada ajaran Tri Hita Karana dan Tat Twam Asi. Tri Hita Karana
mempunyai pengertian tiga penyebab keharmonisan yakni : keharmonisan
hubungan antara manusia dengan Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa),
keharmonisan hubungan antara 5ymbol Umat manusia dan keharmonisan
hubungan antara Umat manusia dengan alam lingkungan . Sedangkan pengertian
dari pada Tat Twam Asi yakni engkau adalah aku dan aku adalah engkau. Kedua
ajaran tersebut yang menjadi konsep untuk mewujudkan keharmonisan dan
kerukunan bukan hanya diketahui dan dipahami melainkan yang terpenting adalah
diamalkan dengan sebaik mungkin di masyarakat sehingga suasana yang menjadi
dambaan bersama dapat di rasakan.
Bagian dari Tri Hita Karana:
A. Parhyangan
Parahyangan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang
Hyang Widi Wasa / Brahman sang pencipta / Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai
Umat beragama atas dasar konsep theology yang diyakininya khususnya Umat
Hindu yang pertama harus dilakukan adalah bagaimana berusaha untuk
berhubungan dengan Sang Pencipta melalui kerja keras sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.
B. Pawongan
Pawongan adalah hubungan harmonis antara 5ymbol umat manusia. Dalam
hal ini ditekankan agar 5ymbol umat beragama untuk selalu mengadakan
komunikasi dan hubungan yang harmonis melalui kegiatan Sima Krama Dharma
Santhi / silahturahmi. Dan kegiatan ini dipandang penting dan strategis mengingat
bahwa umat manusia selalu hidup berdampingan dan tidak bisa hidup sendirian.
Oleh karena itu tali persahabatan dan persaudaraan harus tetap terjalin dengan
baik.

C. Palemahan
Palemahan adalah hubungan harmonis antara umat manusia dengan alam
lingkungannya. Ajaran ini menekankan kepada umat manusia untuk tetap menjaga
kelestarian lingkungan alam sekitar, sehingga terwujud keharmonisan alam dan
tetap terjaganya keseimbangan ekosistem. Untuk mewujudkan keharmonisan
dengan alam lingkungan, bentuk-bentuk nyata yang dapat dipedomani dan
dilaksanakan khususnya bagi Umat Hindu adalah melalui pengamalan makna
Tumpek Uduh, Tumpek Kandang dan Caru ( Bhuta Yajna ) dengan berbagai
tingkatannya. Semuanya itu merupakan suatu tatanan yang mendasar serta
mengandung konsep konsep keseimbangan yang pada intinya memberikan
dorongan untuk menumbuh kembangkan rasa cinta kasih kepada 6ymbol dan
alam lingkungan.

II.4 Konsep Pitra Yadnya


Pitra Yadnya berasal dari dua kata yaitu Pitra yang berarti Bapak/ Ibu
atau leluhur yang terhormat (sinuhun). Dan kata Yadnya berarti penyaluran
tenaga, sikap, tingkah laku, dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan
bersama atau pengorbanan. Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas
untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar
hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna.Tanpa ada
leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu
hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
Disamping bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih penting dilakukan
masa kini adalah bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan
kehormatan leluhur dan orang tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban
sebagai siswa adalah dengan belajar sebaik-baiknya sebagaimana harapan orang
tua. Melayani orang tua semasih hidup dengan ikhlas serta tidak mengecewakan
dan menyakiti hati orang tua adalah merupakan pitra yadnya utama.
II.4.1 Pembagian Upacara Pitra Yadnya
Upacara Pitra Yadnya itu dibagi menjadi dua macam yaitu :
A. Mependem
Mependem berarti upacara pitra yadnya yang dengan cara dikubur dahulu
baru diikuti dengan prosesi upacara. Adapun pemaparannya sebagai
berikut :

1.) Hembusan nafas penghabisan (Wau Lampus)


Terhadap orang yang baru meninggal dunia dilakukan doa (puja
7Symbol7) oleh keluarga/orang yang menjumpai pertama kali (pegat angkihan).
Adapun maksudnya adalah untuk mendoaakan rokh orang yang meninggal
diterima oleh Hyang Widhi dan mencapai kesucian. Upacara ini disertai dengan
mantra Om A Ta Sa Ba I, Om Wa Si Ma Na Ya, Om Mang Ang Ung.
7ymbol7mini dapat dilanjutkan dengan mreyantu, swargantu, samantu, Om
Kesama sampurna Ya Namah Swaha. Hal ini juga dapat dilakukan dengan
sesontengan.
Setelah selesai jenazah dibaringkan sedemikian rupa, agar terhindari dari
pengelihatan yang mengerikan dan terhindar dari bau busuk. Secara simbolis
diukup dengan daun cendana. Yang lebih praktis adalah menggunakan alat
modern yaitu dengan suntik formalin dan lain-lain. Biasanya disisi jenazah yang
terbaring itu ditempatkan basa tampinan : Daun sirih, kapur, tembakau dan
pinang.
2.) Nyiramang layon (memandikan jenazah)
Perlengkapan yang dibutuhkan adalah pepaga (tandu), Ulap-ulap (secarik
kain putih yang dibentang diatas tempat memandikan dinatar pekarangan), daun
pisang, air penyiraman (air tawar, air asem, air kumkuman), dan alat-alat
pengeringkesan (pengelelet), jika mungkin dapat diusahakan; keramas, kakerik,
bablonyoh putih kuning, gadung, daun tunjung, kapas, daun intaran, bunga
menuh, waja, daun terung, pecahan cermin, bunga-bungaan, bebek, ampokampok, kwangen, angkeb rai, tempatkan pada suatu tempat. Jika semuanya sulit
didapatkan maka janganlah dijadikan penghalang, karena yang dicari memang
tidak didapatkan, gunakan apa yang ada diantara bahan-bahan tersebut. Selain
yang tersebut diatas yang perlu diperhatikan dan yang perlu adalah Tirtha
Khayangan Tiga, Tirta Pangentas metanem, Tirtha dari khayangan yang
bersangkutan, Tirtha pembersihan, dan tirta pengelukatan. Jika semua khayangan
diatas tidak ada, dirikanlah sanggah pengyengan yang bersifat sementara, dari
sana ngayeng Hyang sesuwunan.
Dibawah ini akan dijelaskan rangkaian upacara mependem:
1. Menurunkan jenazah dari balai-balai
Terlebih dahulu jenazah diturunkan dari balai-balai dan diusung
kehalaman rumah dan diletakan diatas pepaga,selanjutnya jenazah ditelanjangi,
kemudian disirang dengan air tawar dan bersihkan seperlunya dan yang terakhir
adalah tahap kedua jenazah disiram dengan air kumkuman. Ini dimaksudkan
untuk menyucikan roh orang yang sudah meninggal.

2. Memasang Ramuan
Yang dinamakan memasang ramuan adalah sarana-sarana seperti : gadung,
kapas, wangi-wangian, dan lain-lain. Jika telah selesai memandikan yang
harus kita lakukan adalah makerik kuku tangan dan kaki, meitik-itik yaitu
mengikat kedua ibujari kaki dan tangan dengan benang, pada tangan
diletakan satu buah kwangen pangubaktian, selanjutnya makramas dan
masigsig. Maksud upacara ini untuk mempersatukan roh yang meninggal
kearah tujuan yang didoakan.
3. Bablonyoh
Bablonyoh dipasang masing-masing yaitu yang putih diletakan dikepala
dan yang kuning diletakan di kaki. Maksudnya untuk kesempurnaan roh
kealam asalnya.
4. Eteh-eteh
Setelah Bablanyoh dipasang selanjutnya dilanjutkan dengan memasang
sarana pada tubuh jenazah yaitu daun intaran dikening, gadung didada,
pusuh menuh dilubang hidung, cermin dimata, waja digigi, daun tuwung
pada kemaluan (laki) dan daun tunjung pada kemaluan wanita. Maksudnya
adalah untuk sempurnanya kembali 8ymbol panca indranya.
5. Bebek
Bebek adalah bahan bedak (boreh, anget-anget). Ini dipasang pada
perutnya. Maksudnya untuk dapatnya roh angisep sarining wangi, yakni
menikmati kesucian.
6. Lenga wangi
Lenga wangi adalah minyak harum, bedak wangi yang dipasang pada
tubuh jenazah, dengan maksud untuk penuda lara gati sengsara, yakni
membasmi segala yang bersifat sengsara roh orang yang meninggal.
7. Kwangen-kwangen.
Pemasangan kwangen pada tubuh jenazah dengan cara : satu buah
diletakan dikepala, satu buah di ulu hati, satu buah didada, dua buah di
siku (kanan dan kiri), dua buah di lutut kanan dan kiri. Hal ini bertujuan
untuk mengembalikan 8ymbol panca maha bhuta dan 8ymbol panca tan
matra keasalnya.
8. Mewastra.
Kemudian jenazah itu dipasang kain selengkapnya dan secara simbolik
berfungsi untuk persiapan muspa (tidak dikerubung seluruh tubuhnya).
Maksud pakaian itu adalah untuk menyatukan Bayu, Sabda Idep kesemua

symbol baik yang bersifat sekala maupun niskala dan kembali amor pada
asalnya.
9. Maktiang ke Surya.
Setelah lengkap semuanya, maka yang bertugas menjalankan upacara
tersebut, memohon kehadapan Sang Hyang Surya Raditya, tirta
panglukatan dan pabersihan. Barulah jenazah itu diperciki tirtha
panglukatan dan pabersihan, dan tirtha dari khayangan lainnya.
10. Banten arepan.
Setelah menyembah kehadapan Sang Surya, jenazah diayapkan bebanten
yang disebut bubur pirata, nasi angkeb, dan saji. Maksudnya untuk bekal
roh yang akan meninggalkan dunia maya ini.
11. Mapegat.
Sebagai tanda perpisahan, maka kaum kerabat yang ditinggalkan
menghadapi banten yang letaknya didekat kaki orang yang meninggal.
Banten ini disebut banten sambutan/papegat. Para keluarga yang
ditinggalkan mula-mula menyembah pada Surya kemudian kepada roh
orang yang meninggal.
12. Malelet.
Barulah jenazah itu dilelet (dibungkus) dengan ketentuan yaitu pertama
dibungkus dengan kain kapan, tikar/kelasa, tali kendit/ante 9ymbol dan
akhirnya dengan kain putih.
3.) Mendem Sawa.
Setra adalah tempat dimana umat Hindu mendem sawa dan ngeseng.
Setelah jenazah selesai diupacarai sebagai mana mestinya lalu diusung dan
dibawa kesetra. Disetra telah disiapkan bangbang. Sebelum dilakukan mendem
ada beberapa hal yang harus dilalui yaitu sebagai berikut :
1. Jenazah dibuka, baik tikar maupun pengleletannya dan tali kendit/ante.
2. Diperciki tirtha oleh pelaksana upacara; yakni tirtha panglukatan
maksudnya untuk menghilangkan kecemaran. Kemudian dilanjutkan dengan tirtha
pabersihan maksudnya untuk menyucikan roh orang yang meninggal. Dilanjutkan
dengan tirtha pengentas, maksudnya untuk memberikan jalan yang benar kepada
roh orang yang meninggal. Terakhir diperciki tirtha kawitan, khayangan tiga,
maksudnya adalah memberikan restu (pemarisudha) kepada roh orang yang
meninggal.
3. Selesai memercikan tirtha, kembali jenazah dibungkus dan dimasukan
kedalam peti dan kemudian dipendem.

4.) Sebagai tanda selesainya upacara mendem sawa, maka disetra tersebut
dilakukan upacara sebagai berikut :
1. Banten yang dihaturkan kehadapan Sang Hyang Prajapati, dengan puja
penunas ica, maksudnya menyerahkan kepadaNya dan memohon ampun atas
karma yang tidak baik yang pernah dilakukan dimayapada ini. Juga memohon
agar diterima disisiNya.
2. Banten untuk Ibu Pertiwi dengan pengastawa yang bertujuan untuk berkenan
menerima 10ymbol-unsur Panca Maha Bhuta yang meninggal dipangkuannya.
3. Banten yang dihaturkan kehadapan Sedahan Setra, dengan pengastawa yang
bermmaksud agar Sedahan/pengulun bangbang tidak menghalangi jenazah itu
dipendem.
5.) Maktiang.
Upacara terakhir dalam mendem sawa dilakukan pengubaktian para sentana dan
pratisentana. Dengan demikian selesailah upacara mendem sawa yang dimaksud.
B. Megeseng.
Mageseng yang berarti melakukan upacara pitra yadnya dengan membakar
jasad yang sudah mati dengan prosesi yang sudah ditentukan. Tata cara
pelaksanaan ngeseng sawa terdapat beberapa hal yang sama dengan tata
cara pelaksanaan mendem sawa, antara lain dari sejak meninggal hingga
mengusung kesetra. Oleh karena itu kali ini tidak diuraikan lagi tata cara
tersebut. Dibawah ini akan dibahas tentang tata cara pitra yadnya atau
upacara atiwa-tiwa dengan cara megeseng (dibakar) yang dimana ada dua
proses yaitu : 1) Proses pengembalian badan wadag (Sthula sarira)
keasalnya (10ymbol panca maha bhuta). 2) Proses pengembalian roh (atma
sarira) keasalnya (paramaatman).
Dalam pengertian pengembalian badan wadag kepada 10ymbol panca
Maha Bhuta yang dilakukan dengan cara megeseng terjadi dalam beberapa bagian
yaitu:
1.) Sawa Wedana.
Yaitu ngeseng sawa secara langsung dengan segala upacaranya. Adapun
tata cara pelaksanaan ngeseng dalam waktu singkat dibenarkan menurut
sastra yaitu Yama Purwana tattwa dan Purwa Pubha Sesana. Tata cara itu
disebut mapendem ring geni dan bertempat di petulangan. Adapun tata
caranya adalah setelah sawa tiba di setra. Sawa diusung mengelilingi bale
pebasmian sebanyak 3 kali searah dengan putaran jarum jam. Kemudian

sawa diturunkan dan diletrakan pada tempat pegesengan, tali kendit/ante


diputus dengan belakas yang telah disediakan (blakas diisi dengan bakangbakang kayu dan kayu pemuhun). Kain pengerubung sawa dibagian kepala
dibuka dan bentangkanlah kain penyaring diatasnya sebagai sarana untuk
menyaring tirtha. Kemudian dilanjutkan dengan memercikan tirtha
penembak/pemanah, panglukatan, pabersihan, pangentas, dan tirtha dari
sesuhunan, khayangan tiga, dan tirta purwa.
3.) Megeseng.
Setelah semua prosesi diatas selesai maka dilajutkan dengan ngeseng,
tetapi didahului dengan meletakan diatas dadanya upakara-upakara sebagai
berikut : Bubur pirata putih kuning 2 tanding, canang 7 tanding, beras catur warna
masing-masing 1 ceper (putih, merah, kuning, dan hitam), kemudian dilanjutkan
dengan ngeseng dengan saang pengeseng yang telah berisi api upacara. Dan
selama pengesengan diharapkan jenazah digeseng secara alami dengan tidak
mencoma untuk memotong jenazah, karena itu dikatakan tidak wajar.
4.) Penyeeb.
Setelah sawa jadi abu semuanya, diatasnya ditutupi dengan dua buah
(papah) daun pinang, kemudian tuangkan air secukupnya dan penyeeb.
5.) Neraka.
Pungut sekedar abu tulangnya, tempatkan pada payuk kedas isi dengan
air dan air kumkuman. Abu tulang di haluskan dan dimasukan kedalam kelapa
gading yang sudah dikasturi dan diwujudkan dalam bentuk puspa asti. Abu
lainnya direka seperti bentuk manusia dan dipasangi kwangen di ubun-ubun
1buah, dahi 1buah, dikerongkongan 1 buah, dihulu hati 1 buah, dipusar 1 buah,
diantara pusar dan kemaluan 1 buah, diantara kemaluan dan pantat 1 buah, dimata
2 buah, telinga 2 buah, hidung 2 buah, bahu 1 buah, kaki 2 buah, tangan 2 buah,
diperut 1 buah, dikemaluan 1 buah, dan dipantat 1 buah.
Kemudian siapkan daksina pejati selengkapnya, untuk dihaturkan di
mrajapati, pengulun setra. Bubur pirata, nasi angkeb, banten arepan ketupat
panjang, diuskamaligi, puspa, rantasan untuk rerekayan. Pemimpin upacara
melakukan pemujaan dan mengucapkan doa untuk melakukan persembahan
keluarga yang meninggal. Persembahan itu ditujukan kehadapan kehadapan Sang
Hyang Surya, Mrajapati, Sedahan setra, khayangan tiga, dan sesuhunan.
Kemudian rerekayan itu dibungkus diusung dan dibuang kesungai/laut. Ini disertai
dengan upakara penganyutan yaitu daksina, peras penganyutan dan wangi-wangi.

2.) Asti Wedana.


Upacara ngeseng yang proses pembakarannya dilakukan dengan cara jenazah
dikubur terlebih dahulu (ngangkid) dan disertai dengan segala upacaranya.
Adapun prosesi pada upacara Asti wedana yaitu sebagai berikut:
1. Mempermaklumkan atau matur piuning di pura dalem dengan membuat
simbolis orang yang telah meninggal atai diaben berupa tegteg. Tegteg ini diusung
kepura dalem disertai dengan upakara ; peras, penyeneng, daksina, pengulapan,
pengambean, segehan, dan sesayut.
2. Ngulapin ke Merajapati yaitu selesai dipura dalem dilanjutklan dengan
ngulapin dipura merajapati. Tuntun tegteg itu kepura Merajapati disertai dengan
upakara yang sama.
3. Ngangkid yaitu tegteg diusung kesetra dimana tempat jenazah ditanam. Diatas
bangbang selenggarakan upacara ngangkid dengan upakara sebagai berikut ; suci,
peras, penyeneng, punjung, daksina, segehan berisi jeroan mentah, darah dan
tetabuhan tuak berem arak. Bangbang dibongkar untuk mendapatkan tulangtulang orang yang meninggal yang akan diaben dikumpulkan pada satu tempat
yang telah disediakan.
4. Ngulapin disetra (ngeplugin) yaitu apabila ngangkid dilaksanakan secara
simbolis disebabkan karena tempat jenazah ditanam tidak ditemukan, cukup
dilaksanakan upacara ngulapin disetra tersebut sesuai dengan ketentuan sastra
Agama. Pada bangbang yang telah dibongkar, lakukan upacara sekedarnya dengan
banten ; peras, suci, daksina, dan sambleh ayam hitam, lalu bangbang itu ditimbun
kembali.
5. Ngeringkes (sama dengan upacara ngeringkes diatas).
6. Ngeseng (sama dengan yang sebelumnya).
7. Ngayut (sama dengan yang sebelumnya).
C. Swasta.
Upacara atiwa-tiwa tehadap mayat yang tidak mungkin dijumpai lagi,
sehingga mayat diwujudkan dengan adegan (badan lain) berupa ilalang, air dan
sebagainya. Dalam pengertian umum, adalah suatu usaha untuk melakukan
upacara Pitra yadnya yang bertujuan menjadikan arwah yang meninggal menjadi
suci.
Adapun yang tergolong kedalam Swasta adalah Racadana atau Tirtha
Yadnya Pranawa yakni sawa itu diganti dengan 12ymbol tirtha (Toya Sarira). Tata
cara pelaksanaannya sama dengan tahap pelaksanaan asti wedana, baik dari hatur
piuning dipura dalem sampai dengan nganyut. Hanya terdapat beberapa perbedaan
antara ngangkid dan ngeringkes.

D. Ngelungah.
Bayi yang telah berumur 42 hari hingga sebelum tanggal gigi bila meninggal
dunia agar segera dikubur. Upacara selanjutnya yaitu Ngelungah dan dapat
dilaksanakan bilamana ada kegiatan upacara pengabenan yang lain. Adapun tata
cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. Piuning kepura dalem dengan banten ; canang meraka, daksina, ketipat
kelanan, telur bekasem, dan segehan putih kuning.
2. Piuning ke Merajapati dengan banten sebagai berikut ; canang, ketipat,
daksina, dan peras.
3. Piuning kesedahan setra dengan banten ; sorohan, pengambean,
pangulapan, peras, daksina, kelungah nyuh gading dirajah Om Kara.
4. Rokh bayi dengan banten ; bunga pudak, bangsah pinang, kereb sari,
punjung dan banten bajang.
5. Tirtha pengerapuh yang dimohon dipura dalem.
Semua banten diatas diletakan diatas gegumuk bangbang. Mulailah
dilaksanakan upacara pemujaan memohon agar rokh si bayi kembali suci. Selesai
memercikan tirtha maka bangbangpun diratakan lagi dan semua banten itu
ditanam.

BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Pengertian Setra
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam ilmu arsitektur
tradisional bali terdapat konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari Parahyangan
(hubungan manusia dengan tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan
manusia), dan yang terakhir adalah Palemahan (hubungan manusia dengan alam
semesta).
Palemahan merupakan ajaran tentang hubungan harmonis antara umat
manusia dengan alam semesta. Ajaran ini menekankan agar manusia menjaga
kelestarian lingkungan supaya tercipta keharmonisan dengan alam semesta dan
terjaganya keseimbangan ekosistem. Bentuk-bentuk nyata yang dilaksanakan
oleh umat manusia di Bali sendiri khususnya umat Hindu adalah melalui
pengalaman makna Tumpek Uduh, Tumpek Kandang, dan Caru (Bhuta Yajna)
dengan berbagai tingkatannya. Semua itu merupakan tatanan yang mengandung
konsep-konsep keseimbangan yang pada intinya memberikan dorongan untuk
menumbuhkan rasa kasih saying kepada 14ymbol dan tentu saja alam semesta.
Untuk arsitektur yang masuk kategori palemahan sendiri salah satu nya adalah
Setra.
Setra merupakan tempat dimana dilaksanakan nya upacara kematian di
Bali yang lebih umum dikenal dengan Ngaben. Maka dari itu, setra juga termasuk
salah arsitektur untuk orang mati.
III.2 Sejarah Setra Biaung
Setra Biaung terletak di desa Pakraman Biaung, Penebel, Tabanan. Setra
Bianung sendiri memiliki luas 70 Are dan tepat di sebelah setra terdapat Pura
Dalem Anyar Desa Pakraman Biaung. Pengguna dari Setra Biaung ini sendiri
terdiri dari 3 banjar yaitu banjar Widya Darma Biaung Kaja, Tridarma Santi
Biaung Tengah, dan Mertadadi Biaung Kelod. Pintu masuk setra ini terdapat di
sebelah utara. Pada setra, terdapat 3 pemuun (tempat pembakaran) yang berupa
gundukan tanah yang masing-masing merupakan tempat pembakaran dari klan
Pasek (paling utara), Arya (tengah), dan Ratu (paling selatan). Apabila terjadi
kematian, proses pembakaran mayat dilakukan di pemuun tersebut sesuai dengan
klan dari mayat tersebut.
Sebelum Setra Biaung dibangun 60 tahun yang lalu, masyarakat di Desa
Pakraman Biaung menggunakan setra yang terdapat di Cacap Jangkahan. Setra
Cacap ini memiliki pura dalem yang disebut Pura Dalem Putra (karena pura dalem

di desa Cacap sudah berdiri duluan sebelum pura dalem di desa Biaung). Setra
Biaung sendiri dibangun karena pada waktu itu masyarakat Desa Pakraman
Biaung merasa harus memiliki setra sendiri dan disamping itu juga setra Cacap
juga sudah mulai penuh. Maka dibangunlah Setra Biaung. Sistem
pembangunannya sendiri pun masih menggunakan system gotong royong antar
masyarakat desa dan menggunakan sistem sumbangan bahan bangunan (untuk
membangun pura dalem) sesuai dengan ketetapan yang disepakati bersama oleh
masyarakat desa. Setra Biaung pun selesai dan sampai saat ini masih digunakan
oleh masyarakat Desa Pakraman Biaung.
III.3.1 Bangunan Yang Terdapat Pada Setra
A. Pura Mrajapati

Foto 3.1 Pura Prajapati


Sumber: David Ario Mulyo, 2015

B. Pura Dalem

Foto 3.2 Pura Dalem


Sumber: David Ario Mulyo, 2015

C. Kawasan Setra

Foto 3.3 Kawasan Setra


Sumber: David Ario Mulyo, 2015

Khusus untuk di daerah Setra Biaung sistem penguburannya seperti berikut:


Apabila ada seseorang yang meninggal di desa Biaung, keluarga wajib
melapor ke pejuru banjar. Setelah itu pejuru banjar akan melapor ke pejuru desa
dan akhirnya bendesa akan memberitahukan apakah pelaksanaan ngaben bias
dilaksanakan atau harus ditunda dikarenakan di desa sendiri masih terdapat acara
pada saat itu (upacara yadnya atau acara lain nya). Apabila terbentur dengan acara
desa maka akan dicarikan di hari lain yang tentu merupakan hari baik.

Setelah itu, keluarga juga akan memuput baik ke sulinggih, griya, atau tergantung
dari masing masing klan (Pasek, Arya, dan Ratu) untuk meminta hari baik. Hari
baik ini bermacam-macam, ada yang 3 hari atau ada yang 1 minggu tergantung
dari hari baik untuk menentukan hari h. Setelah hari-h di dapatkan maka proses
ngaben akan dijalankan.
Masyarakat Desa Pakraman Biaung sendiri masih memiliki toleransi
bermasyarakat yang sangat baik sehingga apabila ada upacara-upacara baik
ngaben ataupun yang lain nya masyarakat selalu bergotong royong. Masyarakat
Desa Pakraman Biaung juga masih bias dibilang memiliki sifat budaya yang
kental sehingga pada proses ngaben pun mereka akan tetap berjalan tanpa
menggunakan mobil walaupun jalan sudah diaspal dengan baik sehingga
kendaraan dapat lewat atau berjalan disana.
Proses ngaben desa Biaung sendiri diawali dari rumah tempat tinggal
mayat, dibawa menuju setra dan dilakukan upacara pembakaran di pemuun sesuai
dengan klan mayat tersebut (Pasek:utara, Arya:tengah, Ratu:selatan). Setelah
pembakaran akan dilakukan Ngreka, lalu abu akan dihanyutkan dalam proses
Nganyut. Setelah Nganyut atma akan ditebus lalu dibawa pulang dan setelah itu
akan dilakukan proses Pengrorasan dimana atma akan dibersihkan kembali lalu
yang terakhir akan dilakukan kegiatan Nyegara Gunung atau yang dapat juga
disebut Maajar Ajar. Itulah serangkaian prosesi ngaben masyarakat Desa
Pakraman Biaung di setra Biaung.

BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Setiap desa tentu memiliki setra sebagai tempat upacara Ngaben tanpa
terkecuali desa Pakraman Biaung yang memiliki setra Biaung. Setiap setra (walau
tidak semua) juga memiliki keunikan keunikan sendiri baik dari segi situasi nya,
segi peletakan (layout) nya, maupun segi proses nya seperti yang dapat kita lihat
pada setra Biaung yang memiliki 3 pemuun yang berbeda sesuai dengan klan nya.
Disamping itu juga setiap desa memiliki proses yang harus ditaati oleh
masyarakat desa pada saat Ngaben dijalankan dan tentu saja proses ini tidak boleh
dilanggar.

Anda mungkin juga menyukai