Anda di halaman 1dari 27

1

TUGAS KOAS PADA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN GIGI DAN MULUT

I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit-penyakit periodontal merupakan kumpulan beberapa penyakit inflamasi yang
terjadi pada jaringan penyokong gigi akibat interaksi kompleks antara bakteri-bakteri gram
negative yang menghasilkan produk-produk perusak kesehatan lingkungan rongga mulut dan
adanya factor host yang mendukung.Keadaaan tersebut menyebabkan destruksi dari ligament
periodontal dan tulang alveolar yang progresif.Pada awalnya periodontitis terbatas pada penyakit
yang terjadi di dalam rongga mulut.Namun saat ini, beberapa penelitian telah menunjukkan
beberapa bukti bahwa infeksi local seperti periodontitis ini memiliki efek sistemik yang
signifikan.
Beberapa peneitian telah mendapatkan bahwa Periodontipathic-gram negative bacteria
dan produk bakteri seperti lipopolisakarida, dapat mengaktivasi respon imun host yang secara
nyata berimbas pada pada jaringan periodontal.Terdapat peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi
seperti alfa2-macroglobulin, alfa1-antitrypsin dan C-reactive protein pada fase destruksi dari
periodontitis1-4.Mediator-mediator inflamasi tersebut memiliki peran paa pathogenesis dari
beberapa penyakit sistemik.
Sejumlah penelitian belakangan ini mendapati adamya hubungan antara penyakit
periodontal dengan penyakit kardiovaskular yang bermakna seperti aterosklerosis dan infark
myokard5-10.Selain itu, ada juga penelitian yang mempublikasikan bahwa terdapat peningkatan
prevalensi penyakit periodontal pada pasien dengan penyakit ginjal, khususnya pada penerima
transplantasi gnjal dan pasien dengan dialisis11-19.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi penyakit periodontal antara
sekelompok pasien dengan penyakit ginjal predialisi dari populasi India Selatan. Selain itu,
kami ingin membandingkan status periodontal mereka dengan yang kontrol sehat.
1.3 Manfaat penelitian
1. Bagi Pembaca
Pada penelitian ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui prevalensi penyakit periodontal
pada pasien dengan penyakit ginjal predialisis.

2. Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai prevalensi penyakit
periodontal antara sekelompok pasien dengan penyakit ginjal predialisis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Penyakit Periodontal
2.1.1 Definisi
Penyakit periodontal adalah suatu inflamasi pada gusi dan tulang yang mengelilingi dan

menyokong gigi. pada tahap awal, disebut gingivitis, dimana gusi dapat bengkak dan merah, dan
mungkin berdarah. Pada tahap yang lebih parah, disebut perodontitis, dimana gusi dapat terlepas
dari gigi, tulang penyokong bisa rusak, dan gigi dapat goyang bahkan terlepas. Penyakit
periodontal dan kerusakan gigi merupakan dua ancaman terbesar bagi kesehatan gigi.1
2.1.2. Epidemiologi
Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit dental yang paling banyak ditemui
yang mengenai populasi manusia secara global dengan prevalensi yang tinggi. Pada sebagian
besar studi epidemiologi secara global, telah diobservasi hubungan signifikan antara status
sosioekonomi dengan penyakit periodontal; misalnya pendapatan yang rendah maupun tingkat
pendidikan yang rendah berkontribusi terhadap status penyakit periodontal. Menurut Drury dkk.,
ada sebanyak 10%-20% perbedaan pada prevalensi serta keparahan diantara masyarkat
berpenghasilan tinggi dan rendah di Amerika. Perbedaan penting pada terjadinya penyakit
periodontal yang ditemukan melalui adanya urbanisasi, dan faktor lingkungan sosioekonomi
sangat berperan terhadap adanya perbedaan pada profil penyakit periodontal yang diobservasi
pada populasi pada wilayah tertentu.2
Distribusi penyakit periodontal pada suatu negara juga bervariasi berdasarkan kelompok
suku atau ras tertentu terhadap prevalensi dan derajat keparahan. Beck dkk., menunjukkan bahwa
ras kulit hitam memiliki risiko terjadinya destruksi periodontal tiga kali lebih besar dibandingkan
ras kulit putih pada usia yang sama, dan studi oleh Borrell dkk., menemukan bahwa ras AfrikaAmerika dua kali lebih berisiko menderita penyakit periodontal dibandingkan dengan ras
Amerika kulit putih. Efek dari ras terhadap status kesehatan periodontal telah didokumentasikan
pada dewasa di beberapa negara berkembang.2
Selain dari kebersihan oral yang buruk, faktor risiko penting lainnya pada penyakit
periodontal yang berat adalah merokok, malnutrisi, konsumsi alkohol berlebihan, diabetes
melitus, serta kondisi sistemik lainnya. Pada beberapa studi yang mengaplikasikan metode

analisa multifaktor, gaya hidup yang tidak sehat memilki efek yang signifikan terhadap
terjadinya beberapa penyakit kronik. Penyakit periodontal memiliki faktor risiko yang sama
dengan beberapa kondisi dan penyakit non communicable, dan memfokuskan kepada faktor
risiko lingkungan dan perilaku yag sama dapat menjadi instrumen dalam pencegahan efektif
penyakit periodontal.2
2.1.3. Etiologi
Bakteri di mulut menginfeksi jaringan di sekitar gigi, menyebabkan inflamasi di sekitar
gigi yang mengarah ke penyakit periodontal. Ketika bakteri bertahan pada gigi cukup lama,
bakteri akan membentuk sebuah film yang disebut plak, yang akhirnya makan mengeras menjadi
kalkulus. Kalkulus dapat menyebar di bawah garis gusi, yang mebuat gigi menjadi lebih sulit
dibersihkan.1
2.1.4. Faktor Resiko
Kesehatan oral dan kesehatan sistemik amat berkaitan erat. Hal ini disebabkan oleh
adanya fakta yang menjelaskan bahwa penyakit oral yang parah dan penyakit tak menular kronik
memiliki faktor resiko umum seperti penggunaan tembakau, diet, konsumsi alcohol berlebihan,
stress, dan rendahnya higinitas.2
a. Tembakau
Penggunaan tembakau melibatkan terjadinya banyak penyakit. Perokok lebih sering
terkena kanker paru-paru, mulut, tenggorokan, pankreas, ginjal, dan saluran kemih dan penyakit
jantung koroner dan stroke, penyakit pernapasan, diabetes, dan ulseratif daripada yang bukan
perokok. Diperkirakan merokok menyebabkan terjadinya 30% dari kejadian kanker dan
kematian dan 90% adalah kanker paru. Perokok

juga memiliki resiko yang tinggi untuk

terjadinya penyakit periodontal dan mempermudah terjadinya lesi pada mukosa mulut. Penelitian
menunjukkan merokok berkontribusi terhadap lebih dari separu kasus periodontal pada orang
dewasa di Amerika Serikat.
b.

Diet
Beberapa penyakit kronis menunjukkan peningkatan insidensinya pada maju dan
berkembang, dan hal ini merupakan penyebab utama terjadinya kematian dini. Banyak penyakit
kronis, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, obesitas, dan penyakit gigi berkaitan

erat dengan diet. Penelitian menyimpulkan hal ini secara khusus diakibatkan oleh diet yang kaya
akan asam lemak jenuh dan gula ekstrinsik non-susu dan diet rendah lemak poli tak jenuh, serat,
dan vitamin A, C, dan E. Defisiensi vitamin C yang parah dan malnutrisi mempercepat terjadinya
penyakit periodontal. Diperlukan penelitian lebih dalam dalam meneliti hubungan makanan dan
penyakit periodontal.
c.

Alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan meningkatkan resiko terjadinya banyak penyakit seperti
peningkatan tekanan darah, sirosis hati, penyakit kardiovaskular, diabetes, dan kanker mulut.
Penelitian baru-baru ini menunjukkan adanya hubungan konsumsi alkohol berlebihan dengan
peningkatan keparahan penyakit periodontal. Konsumsi alcohol, penggunaan tembakau, dan diet
yang tidak sehat biasanya berjalan beriringan. Orang yang mengonsumsi tembakau akan lebih
sering minum alkohol dan diet tinggi lemak dan gula, tetapi rendah serat dan asam lemak poli tak
jenuh. Orang yang mengonsumsi tembakau dan alkohol akan meningkatkan resiko keparahan
penyakit periodontal dan kanker mulut.

d.

Stres
Telah diketahui bahwa penyakit kardiovaskular, diabetes, dan penyakit kronis lainnya
berhubungan dengan faktor psikososial, tetapi terdapat bukti yang juga menjelaskan hubungan
stres dengan penyakit periodontal. Selain itu, peristiwa kehidupan juga berkaitan dengan
penyakit periodontal, kemungkinan adanya respon psikologis yang meningkatkan mudahnya
terkena penyakit periodontal.
2.1.5. Patogenesis3,4,5
Karena plak berakumulasi dalam jumlah sangat besar di regio interdental yang
terlindungi, inflamasi gingiva cenderung dimulai pada daerah papilla interdental dan menyebar
dari daerah ini ke sekitar leher gigi.
Histopatologi dari gingivitis kronis dijabarkan dalam beberapa tahapan: lesi awal timbul
2-4 hari diikuti gingivitis tahap awal, dalam waktu 2-3 minggu akan menjadi gingivitis yang
cukup parah.
1.

Lesi awal
Manifestasi pertama pada inflamsi gingiva adalah perubahan vaskular yang terdiri dari

vasodilatasi dan peningkatan aliran darah. Perubahan inflamasi inisial ini terjadi sebagai respons

terhadap aktivasi leukosit oleh mikroba dan stimulasi pada sel endotel. Secara klinis, respons ini
pada gingiva terhadap plak bakteri ini tidak jelas.
Perubahan terlihat pertama kali di sekitar pembuluh darah gingiva yang kecil disebelah
apikal dari epitelium jungtional. Pembuluh ini mulai bocor dan kolagen perivaskuler mulai
menghilang, digantikan dengan beberapa sel inflamasi, sel plasma dan limfosit terutama limfosit
T cairan jaringan dan protein serum.
Secara mikroskopik, gambaran klasik dari inflamasi akut terlihat pada jaringan ikat di
bawah epitel, misalnya pelebaran pembuluh darah dan adhesi neutrofil terjadi dalam 1 minggu
setelah akumulasi plak. Leukosit terutama neutrofil polimononuklear (PMNs), meninggalkan
kapiler dengan migrasi melalui dinding dan terlihat di dalam jaringan ikat, epitel dan sulkus
gingiva.Namun, infiltrasi dan perubahan patologik tidak terjadi sehingga tidak berhubungan
dengan kerusakan jaringan.
Karakter dan intensitas pertahanan seseorang menentukan apakah lesi inisial ini sembuh
dengan cepat dengan restorasi jaringan kembali ke status normal atau berevolusi menjadi lesi
inflamasi kronis. Jika evolusi terjadi, infiltrasi makrofag dan sel limfoid akan tampak dalam
beberapa hari.
2.

Gingivitis tahap awal


Evolusi lesi dini dari lesi inisial terjadi dalam 1 minggu setelah terjadi akumulasi plak.

Secara klinis, lesi dini dapat tampak sebagai gingivitis awal. Seiring waktu, gejala eritema
muncul akibat proliferasi pembuluh darah.Perdarahan saat probing juga mungkin jelas. Aliran
cairan gingiva dan jumlah leukosit yang transmigrasi mencapai maksimum dalam 6-12 hari
setelah permulaan gingivitis klinis.
Bila deposit plak masih tetap ada, perubahan inflamasi tahap awal akan berlanjut disertai
dengan meningkatnya aliran cairan gingiva dan migrasi Polymorphonuclear Neutrophils (PMN).
Perubahan yang terjadi baik pada epithelium jungsional maupun pada epithelium krevikular
merupakan tanda dari pemisahan sel dan beberapa proliferasi dari sel basal.
Pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan infiltrasi leukosit ke dalam jaringan ikat di
bawah epitel, yang sebagian besar terdiri dari limfosit terutama sel T serta neutrofil, makrofag,
sel plasma dan sel mast.Terjadi peningkatan destruksi kolagen yaitu sebanyak 70% kolagen di
sekitar infiltrasi seluler. Perubahan morfologi pembuluh darah juga terlihat.

PMNs yang meninggalkan pembuluh darah sebagai respons terhadap stimuli kemotaktik
dari komponen plak,melintasi epitel dan basal lamina ke dalam area poket. PMNs menelan
bakteri melalui proses fagositosis dan melepaskan lisosom yang bersifat sitotoksik terhadap
fibroblas sehingga menurunkan kapasitas kolagen.
3.

Gingivitis tahap lanjut


Seiring waktu, terjadi evolusi lesi lanjut yang ditandai dengan predominasi sel plasma

dan limfosit B serta pembentukan poket gingiva kecil dilapisi oleh epitel poket.Secara
mikroskopis, terlihat invasi sel plasma ke dalam jaringan ikat, sekitar pembuluh darah, dan di
antara serat kolagen. Debris seluler granular yang terdiri dari neutrofil, limfosit dan monosit
mengandung lisosom yang dapat merusak komponen jaringan.
Dalam waktu 2-3 minggu, akan terbentuk gingivitis yang lebih parah. Perubahan
mikroskopik terlihat terus berlanjut, pada tahap ini sel-sel plasma terlihat mendominasi. Limfosit
masih tetap ada dan jumlah makrofag meningkat. Pada tahap ini sel mast juga dapat ditemukan.
Pada gingivitis kronis yang terjadi setelah 2 hingga 3 minggu setelah terjadi akumulasi plak gigi,
pembuluh darah membesar dan terkongesti, aliran balik vena terganggu dan aliran darah menjadi
lambat. Hasilnya terjadi anoksemia gingiva terlokalisir sehingga terjadi warna kebiruan pada
gingiva yang eritem. Ekstravasasi eritrosit ke dalam jaringan ikat dan kerusakan hemoglobin
yang menghasilkan pigmen juga dapat menyebabkan penggelapan gingiva. Lesi lanjut dapat
digambarkan sebagai inflamasi gingiva sedang hingga berat. Gingiva sekarang berwarna merah,
bengkak, dan mudah berdarah.
Terdapat dua tipe lesi lanjut, satu tipe yang tetap stabil dan tidak berkembang selama
beberapa bulan hingga tahun serta satu tipe lagi yang lebih aktif dan berubah menjadi lesi yang
destruktif dan progresif. Namun, lesi lanjut ini bersifat reversible dengan terapi periodontal yang
sukses.
2.1.5.Gambaran Klinis
Perkembangan penyakit periodontal dapat tidak terasa nyeri dan menunjukkan sedikit
gejala bahkan pada tahap yang lebih lanjut. Meskipun begitu, penyakit ini tidak berarti tidak
menunjukkan gejala sama sekali. Penyakit periodontal terdiri dari gingivitis dan periodontitis.6
a.

Gingivitis
Gejala Gingivitis dapat berupa pembengkakan dan perdarahan pada gusi, perubahan
kontur dan konsistensi gusi, napas bau, atau perasa yang buruk pada mulut. Keberadaan kalkulus

atau plak juga dapat terjadi dan tidak ada bukti radiografik kehilangan tulang krestal. 6,7 Namun
sikat gigi dan flossing dapat mengembalikan efek gingivitis ini. Pada kejadian Acute necrotizing
ulcerative gingivitis (ANUG) terjadi gingivitis yang berat dan invasive yang mengakibatkan gusi
sakit dan terbentuk membrane keputihan. Pada keadaan ini diperlukan antibiotik.6
b.

Periodontitis
Sementara pada periodontitis, terjadi ketika toksin bakteri dan enzim bakteri
menghancurkan jaringan ikat dan tulang. Gusi terdorong ke belakang dan akar gigi terekspos.
Gigi menjadi sangat sensitif dengan perubahan temperatur atau kavitas dapat terbentuk. Poket
atau kantong antara gigi dan gusi semakin dalam; Plak pada area ini akan sangat sulit
dihilangkan. Bakteri akan masuk ke struktur tersebut. Ketika gusi ditarik dari gigi, pus akan
keluar antara gigi dan gusi atau gigi permanin menjadi longgar terhadap soketnya.6
Pada periodontitis kronis dapat dijumpai gambaran edema, kemerahan/eritema,
perdarahan gingival pada saat probing, dan supuratif. 8
2.1.6. Pencegahan
Penyakit periodontal dapat dicegah dengan beberapa kebiasaan yang sebaiknya dilakukan secara
rutin, meliputi:1,9

Menggosok gigi setelah makan dapat membantu membersihkan sisa makanan dan plak

yang terperangkap di antara gigi dan gusi.


Membersihkan sela gigi dengan menggunakan dental floss dapat membantu
membersihkan partikel makanan dan plak yang berada di antara gigi dan sepanjang garis

gusi yang tidak dapat dicapai dengan menggosok gigi


Menggunakan mouthwash dapat membantu mengurangi plak dan dapat menyingkirkan

sisa partikel makanan yang tidak dapat dibersihkan dengan menggosok gigi dan flossing.
Kenali faktor risiko yang dimiliki seseorang seperti faktor usia, merokok, diet, dan
genetik yang keseluruhannya dapat meningkatkan risiko penyakit periodontal. Bila
seseorang memiliki risiko yang tinggi, sebaiknya segera konsultasikan dengan dokter gigi

yang berkompetensi.
Pergilah ke dokter gigi minimal sekali setahun untuk melakukan pemeriksaan rutin, dan
dapat dilakukan lebih sering bila memiliki keluhan maupun faktor risiko yang disebutkan
sebelumnya. (perio.org dan CDC)

2.1.7. Penatalaksanaan

10

Gingivitis dan periodontitis merupakan penyakit yang reversible dan terapinya terutama
mengacu pada pengurangan faktor etiologi untuk mengurangi inflamasi.Perawatan secara
personal maupun professional dibutuhkan untuk pencegahan terjadinya inflamasi berulang. Hal
yang terpenting untuk menangani plak dan gingivitis adalah mengurangi bakteri oral dan deposit
kalsifikasi dan non-kalsifikasi. Pada pasien tanpa kalkulus, perubahan morfologi gingival, atau
penyakit sistemik yang mempengaruhi kesehatan oral, terapi dapat mencakup penanganan plak
secara personal, yaitu dengan pengurangan plak secara mekanikal maupun secara kimiawi.
Untuk pasien dengan gingivitis yang mempunyai kalkulus atau faktor lokal yang lain, biasanya
dibutuhkan bantuan professional untuk menghilangkan plak, kalkulus, dan faktor lokal lainnya.10
Berikut perawatan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan plak dan gingivitis yaitu :
10,11,12

1. Skeling dan Root Planing


Skeling adalah suatu proses membuang plak dan kalkulus dari permukaan gigi, baik supragingiva
maupun subgingiva. Sedangkan root planing adalah proses membuang sisa sisa kalkulus yang
terpendam dan jaringan nekrotik pada sementum untuk menghasilkan permukaan akar gigi yang
licin dan keras. Tujuan utama skeling dan root planing adalah untuk mengembalikan kesehatan
gusi dengan cara membuang semua elemen yang menyebabkan radang gusi baik plak maupun
kalkulus dari permukaan gigi.
Prosedur skeling dan root planing perlu dilakukan dan banyak menggunakan waktu. Penelitian
menunjukkan pada kondisi yang klinis terjadi peningkatan secara umum setelah root planing.
Namun demikian, terdapat beberapa daerah yang tidak memberikan respon terhadap terapi ini.
Faktor berikut dapat membatasi keberhasilan perawatan root planing yaitu : anatomi akar gigi,
furkasi, dan kedalaman probing.Beberapa minggu setelah root planing, evaluasi ulang harus
dilakukan untuk melihat respon perawatan.
2. Penyikatan gigi dan flossing
Dalam suatu penelitian mengenai kebiasaan menyikat gigi di Amerika menunjukkan hanya 60%
masyarakat melakukannya dengan ketat. Hasil ini menunjukkan pentingnya motivasi dan
penyuluhan tentang penjagaan kebersihan mulut. Selain itu kesempurnaan hasil penyikatan lebih
penting daripada teknik penyikatannya.Penyikatan gigi dianjurkan 2 hingga 3 menit dua kali
sehari (setiap pagi dan malam hari).
Sikat gigi yang digunakan adalah sikat dengan bulu yang lembut, dan mampu menjangkau
daerah antara gigi dan gingival.Sikat gigi yang dianjurkan adalah sikat gigi elektrik.Menurut
beberapa studi, sikat gigi elektrik memberikan angka yang siknifikan bila dibandingkan dengan

11

sikat gigi manual dalam mengurangi plak dan gingivitis.Pasta gigi yang digunakan adalah pasta
gigi yang mengandung Fluoride.
Selain menyikat gigi, flossingbermanfaat untuk membuang plak dari daerah proksimal yang tidak
dapat dicapai oleh penyikatan gigi.Telah terbukti bahwa flossing daerah proksimal dapat
mengurangi terjadinya peradangan dan perdarahan gingiva pada orang dewasa.
3. Berkumur dengan obat (mouthwash)
Berbagai obat kumur hanya sedikit yang berisi bahan kimia yang mampu mematikan bakteri
plak, sehingga hanya obat kumur tertentu yang mendapatkan pengakuan dari American Dental
Assosiation. Bahan aktif obat ini adalah thymol, menthol, eucalyptol, dan methylsalicylate.
Selain itu dua bahan aktif lainnya adalah chlorhexidine digluconate dan triclosan. Keunggulan
obat kumur adalah dapat menyerap ke daerah subgingiva walaupun hanya beberapa milimeter
saja. Jadi obat kumur tetap paling efektif terhadap plak supragingiva.
4. Irigasi gingiva
Air yang digunakan sebagai irigator selain berhasil membuang partikel makanan, juga dapat
membuang produk bakteri sehingga lebih efektif daripada berkumur. Irigasi ini bermanfaat
karena dapat dilakukan ke dalam sulkus maupun poket sehingga ditemukan jumlah spesies
Actinomyces maupun Bacteroides dapat berkurang.
Selain itu peradangan gingiva juga dapat dihilangkan dengan penggunaan irigasi subgingiva
tunggal selama empat minggu berupa klorheksidin atau larutan saline.
5. Antibiotik
Antibiotik topikal maupun sistemik dapat digunakan untuk mengurangi plak bakterial dan juga
untuk mencegah dan mengobati gingivitis pada pasien-pasien tertentu
2.2.

Predialisis pada penyakit ginjal


Penyakit ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan global yang utama.Penyakit ini

semakin umum karena peningkatan insidensi penyakit seperti diabetes, hipertensi, obesitas dan
penuaan dalam populasi di dunia ini.Penyakit ini jika kelanjutan boleh menyebabkan penurunan
fungsi ginjal sehingga terjadinya penyakit ginjal kronik (CKD). Jika pasien CKD berkembang
menjadi penyakit ginjal tahap akhir (ESRD), pasien akan membutuh terapi transplantasi ginjal
dan dialysis.13,14
Perawatan predialisis pada penyakit ginjal dimulai berdasarkan tahap-tahap penyakit
ginjal kronik.Perawatan predialisis dilakukan apabila pasien didiagnosis dengan penyakit ginjal.
Perawatan ini ditujukan karena pada kebanyakan kasus penyakit ginjal kronik akan berkembang
menjadi ESRD yang membutuhkan terapi transplantasi ginjal dan dialysis.13,14

12

Predialisis juga membantu pengendalian faktor resiko seperti kontrol glikemik tubuh,
kontrol tekanan darah, koreksi dislipidemia, pengurangan proteinuria dengan obat ACE/ARB dan
pengurangan maslah kardiovaskular.Tindakan predialisis yang optimal dapat menurunkan
morbiditas, mortalitas dan keperluan untuk dialisis serta transplantasi ginjal. Sasaran perawatan
predialisis adalah (1) membuat diagnosis; (2) menyingkirkan faktor resiko yang reversibel; (3)
melambatkan perkembangan penyakit; (4) menilai dan mengobati komplikasi; (5) mengobati komorbiditas; (6) mengurangkan resiko kardiovaskular; (7) mempersiapkan terapi trasplantasi; dan
(8) memilih waktu yang tepat untuk memulai terapi trasplantasi ginjal.15,16
Garis pedoman US NKF-DOQI (National Kidney Federation- Kidney Dialysis Outcomes
Quality Initiative) menetapkan penyakit ginjal dikatakan kronik apabila Glomerular Filtration
Rate (GFR) kurang daripada 60ml/min/1,73m2 selama 3 bulan, tanpa atau tidak tanpa
kerusakan ginjal , dengan atau tidak dengan penurunan GFR yang berlangsung selama 3 bulan
ditandai dengan microalbuminuria, proteinuria, glomerular haematuria, abnormalitas patologik
dan abnormalitas anatomi. Tabel 2.1 menunjukkan klasifikasi dan tindakan klinis pada penyakit
ginjal.16

Tabel 2.1 Klasifikasi dan tindakan klinis pada penyakit ginjal.15,16


Tahap eGFR
ml/min/1.73m2
0
90

90

Gambaran

Tindakan klinis

Peningkatan resiko CKD:


Hipertensi
Diabetes
Obesitas
Kerusakan ginjal dengan

Pemeriksaan dini untuk


mengurangkan
resiko
CKD
Penegakan

diagnosis

13

fungsi ginjal normal

60-89

30-59
50-45
44-30

15-29

< 15

untuk mengobati penyakit


dasar

Kerusakan ginjal dengan kontrol tekanan darah


penurunan fungsi ginjal kontrol
of
diabetes
yang sedang
Penurunan Proteinuria
Penurunan
resiko
penyakit kardiovaskular
GFR sedang
Semua di atas +
3A
Monitor GFR per 3 bulan
3B
Menghindari
obat
nefrotoxic
obat antiproteinuria
(ACE
&/atau ARB)
Pengelolaan komplikasi
Jika ada indikasi segera
dirujuk
Tahap 4 CKD
Semua di atas +
fungsi ginjal yang berat
Persiapan untuk terapi
transplantasi ginjal
Tahap gagal ginjal D:- Semua di atas +
Dialisis
Mempertimbangkan RRT
T:- Transplantasi
(dialisis, transplantasi)

2.3. Hubungan Penyakit Ginjal Kronis dengan Kesehatan Periodonsium


Beberapa penelitian telah dipublikasikan dalam jurnal, dan memberikan bukti bahwa
adanya peningkatan prevalensi penyakit periodontal pada pasien penyakit ginjal kronis,
khususnya yang menjalani hemodialisis dan transplantasi ginjal. Penyakit ginjal kronis tidak
hanya berpengaruh pada kesehatan umum pasien saja, namun kesehatan gigi dan periodonsium
juga.18
Penyakit ginjal kronis dapat memengaruhi jaringan periodontal, karena berkaitan dengan
kelainan fungsi limfosit, perubahan homeostasis kalsium, sindrom uremik, dan pengaruh dari
medikasi penyakit ginjal kronis.
2.3.1. Kelainan Fungsi Limfosit
Pada penyakit ginjal kronis terbukti adanya penurunan respon imun tubuh terhadap
infeksi. Hal ini dikarenakan pada penderita penyakit ginjal kronis akan mengalami keadaan

14

uremia. Infeksi pada pasien dengan uremia disebabkan beberapa hal yaitu akibat kadar ureum
yang tinggi dan bersifat toksik.19
Pada uremia, penurunan respon imun disebabkan penurunan fungsi fagositosis leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan gangguan fungsi limfosit T dan B, serta monosit dan makrofag,
sehingga menyebabkan penurunan respon imun terhadap mikroorganisme gram negatif yang ada
pada subgingiva.20 Selain itu penurunan respon imun disebabkan penekanan cell mediated
immunity yang disebabkan oleh memendeknya umur limfosit, limfopenia, hambatan pada
transformasi limfosit, dan penekanan aktivitas limfosit T.21
Pada penyakit periodontal, plak yang terbentuk akan melekat pada permukaan gigi dekat
gingiva, dan akan memicu sekresi sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-1, IFN-, dan PGE2
serta mediator inflamasi lainnya, hal ini dikarenakan adanya enzim bakteri, endotoksin dan
eksotoksin, dan sisa hasil metabolisme dari plak yang melekat pada permukaan gigi. Akibat
adanya tanda inflamasi, respon imun dengan kedua komponen humoral dan cell mediated
immunity akan aktif 20. Namun, pada pasien penyakit ginjal kronis terjadi penurunan sistem imun
akibat adanya penurunan respon leukosit pada daerah inflamasi.21
2.3.2. Perubahan Homeostasis Kalsium
Pasien penyakit ginjal kronis menunjukkan abnormalitas, yang paling sering diantaranya
adalah anemia dan masalah homeostasis. Masalah homeostasis yang diteliti pada pasien penyakit
ginjal kronis akan menyebabkan perlekatan dan penyatuan platelet yang abnormal (kerusakan
faktor Von Willebrand).22
Perubahan

metabolisme

tulang

yang

terjadi

disebabkan

oleh

secondary

hyperparathyroidism, akibat dari tingginya serum phosphorus dan rendahnya level serum
kalsium dan kalsitrol. Hiperparatiroidisme sekunder pada pasien PGTA ditandai dengan
kehilangan tulang alveolar pada populasi pasien hemodialisis.22
Perubahan yang terjadi dapat memicu resorpsi tulang, sehingga hal tersebut dapat
menimbulkan

demineralisasi

atau

lesi

intraboni. 22Hamid

dkk

dalam

penelitiannya

mengemukakan bahwa pada penderita penyakit ginjal kronis metabolisme fosfat dan vitamin D
mengalami kerusakan. Berkurang atau hilangnya kalsium dari tulang, diakibatkan karena
meningkatnya produksi parathormon (PTH). Demineralisasi tulang yang terjadi dapat memicu
destruksi tulang yang cepat dan periodontitis.22

15

2.3.3. Sindrom Uremik


Tanda dan gejala pada pasien dengan gagal ginjal disebut dengan sindrom uremik. Istilah
sindrom uremik mengacu pada istilah yang menunjukkan adanya urea di dalam darah. Sindrom
uremik pada dasarnya terjadi akibat akumulasi berbagai solut dalam cairan tubuh dengan
konsentrasi cukup tinggi, sehingga menyebabkan toksisitas terhadap tubuh. Solut-solut ini dalam
keadaan normal dikeluarkan oleh ginjal. Pada tahun 1829, pertama kali dilaporkan bahwa
terdapat peningkatan kadar urea darah pada pasien yang mengalami penyakit degenerasi ginjal.
Penemuan ini ditafsirkan bahwa urea merupakan toksin utama pada keadaan uremia.18
Sindrom uremik mempunyai manifestasi di rongga mulut. Adapun manifestasi oral pasien
penyakit ginjal kronis menunjukan tanda dan gejala oral pada jaringan keras dan jaringan lunak.
Perubahan yang sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis diantaranya uremic
stomatitis, xerostomia, tingginya urea dalam saliva, peningkatan deposit kalkulus, meningkatnya
insiden gingivitis, periodontitis, dan secondary renal hyperparathyroidism.18
Akibat dari berkurangnya fungsi ginjal dan meningkatnya level urea dalam darah dan
juga saliva, akan menyebabkan pasien menderita halitosis (uremic fetor), yang biasanya terjadi
pada penderita yang menjalani hemodialisis. Halitosis yang dialami berpengaruh terhadap
persepsi rasa yang tidak menyenangkan, yaitu rasa metalik.18
Faktor lain yang berpengaruh terhadap rongga mulut adalah meningkatnya konsentrasi
fosfat dan protein yang dapat merubah pH saliva. Tingginya pH salivapada pasien penyakit ginjal
kronis dapat menurunkan insiden karies, karena saliva pasien bersifat basa. Namun, pH saliva
yang meningkat tersebut dapat mengakibatkan peningkatan deposit plak dan kalkulus sehingga
pada akhirnya menyebabkan tingginya prevalensi periodontitis.21. Selain itu, sindrom uremik juga
menyebabkan perdarahan pada gingiva akibat disfungsi platelet dan tidak berfungsinya
antikoagulan, serta inflamasi gingiva akibat imunosupresi dan uremia. 22Mayoritas hasil
penelitian mengemukakan bahwa pada pasien penyakit ginjal kronis terjadi peningkatan insiden
penyakit periodontal, kehilangan tulang, resesi gingiva, dan poket periodontal yang dalam.
Kebersihan mulut pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis biasanya
buruk, banyak deposit kalkulus, dan meningkatnya pembentukan plak. Selain itu, pasien
penyakit ginjal kronis tidak begitu peduli dengan kebersihan rongga mulut, sehingga
menyebabkan kondisi rongga mulut bertambah parah.23

16

2.3.4. Perubahan Periodonsium Akibat Pengaruh Medikasi Penyakit Ginjal Kronis


Pembesaran gingiva sekunder akibat terapi imunosupresif menimbulkan manifestasi di
rongga mulut. Diketahui, sebanyak 30% medikasi pasien penyakit ginjal kronis menggunakan
siklosporin, yang secara klinis dapat menyebabkan pembesaran gingiva. Apabila medikasi pasien
ginjal kronis mengkombinasikan penggunaan siklosporin dan nifedipin, prevalensi pembesaran
gingiva meningkat hingga 50%. Patogenesis dari penyakit ini bersifat multifaktorial, namun
faktor utamanya adalah variasi obat, plak yang memicu inflamasi, kerentanan fibroblas gingiva,
dan juga faktor genetik. Oleh karena itu, tidak semua pasien yang menggunakan siklosporin
mengalami pembesaran gingiva. Pembesaran gingiva biasanya mengenai gingiva cekat, namun
dapat meluas secara koronal sehingga dapat menghalangi oklusi, mastikasi, dan berbicara.23
2.3.5. Kebutuhan Perawatan Periodontal
Hubungan antara kesehatan rongga mulut dan penyakit ginjal kronis masih terus diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh M Dencheva mengemukakan bahwa,
perawatan periodontal merupakan hal yang sangat penting pada penderita penyakit ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis. Penderita yang menjalani hemodialisis sangat membutuhkan
perawatan periodontal dan pembersihan rongga mulut, dikarenakan pasien tersebut mempunyai
kecenderungan mengalami kehilangan gigi akibat penyakit periodontal. Menurut penelitian ini,
pasien yang menjalani hemodialisis menunjukan status periodontal yang buruk dan
membutuhkan perawatan yang kompleks, dibandingkan dengan pasien yang tidak menjalani
hemodialisis. Oleh karena itu, kebutuhan perawatan yang utama adalah mengenai instruksi
kebersihan mulut serta pembersihan plak dan kalkulus secara profesional oleh dokter gigi.23
Pada penelitian yang dilakukan J Borawski dkk, membandingkan prevalensi periodontitis
pada penderita penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis dengan populasi umum.
Periodontitis yang parah didapati pada penderita yang menjalani hemodialisis, ditandai dengan
banyak gejala dari subjek dan membutuhkan perawatan yang kompleks. Penelitian ini
membandingkan keparahan penyakit periodontal pada penderita penyakit ginjal kronis yang
menjalani perawatan pre dialisis, CAPD, dan hemodialisis. Dari hasil penelitiannya didapati
penyakit periodontal yang parah pada penderita yang menjalani hemodialisis. Terdapat poket
yang dalam yaitu dengan skor indeks periodontal 4, pada pasien penyakit ginjal kronis yang

17

menjalani hemodialisis, yang mirip dengan penderita periodontitis kronis. Kebutuhan perawatan
periodontal yang kompleks diperlukan bagi penderita penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis.24

BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Bahan Dan Metode

18

3.1.1. Populasi penelitian


Penelitian ini dirancang sebagai studi case control. Kasus yang diidentifikasi adalah
pasien klinik rawat jalan di Departemen of Nephrology, Medical College, Calicut, Kerala, India,
dalam jangka waktu lebih enam bulan, dari Juli 2007 sampai Desember 2007. Hanya pasien yang
didiagnosis dengan penyakit ginjal yang disertakan. Penyakit ini termasuk penyakit ginjal kronis
dengan etiologi bervariasi yang mencakup nefropati diabetik, lupus nephritis, gangguan
glomerulus,dan sindrom nefrotik. Individu secara sistemik sehat yang menemani
pasien ke Govement Dental College, Calicut, selama periode yang sama terpilih sebagai
subjek kontrol. Kontrol memiliki usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi yang sama.
Subyek yang sebelumnya telah menjalani dialisis atau transplantasi ginjal dikeluarkan
dari penelitian. Subyek dengan riwayat merokok,mereka yang telah menerima terapi periodontal
atau antibiotik sistemik Terapi dalam jangka waktu enam bulan sebelum pemeriksaan dansubyek
dengan kondisi akut yang kontraindikasi pemeriksaan periodontal juga dikecualikan. Untuk
menilai status periodontal, semua subjek diminta untuk memiliki setidaknya enam gigi alami.
Sebuah persetujuan tertulis diperoleh dari semua peserta dalam studi.
Penelitian dilakukan bersama Departemen Nefrologi, Medical College, dan Departemen
Periodontik, Goverment Dental College. Studi ini disetujui oleh Institutional Review Board
untuk Etika Manusia, Govement Dental College, Calicut.
3.2. Pengumpulan data
Semua subjek diminta untuk menjawab kuesioner rinci. Informasi yang dikumpulkan
termasuk karakteristik demografi seperti nama, umur, alamat, jenis kelamin, pekerjaan dan lainlain.Riwayat medis dan riwayat gigi juga dikumpulkan dari semua subjek.
3.3. Pemeriksaan mulut dan gigi
Pemeriksaan gigi dan periodontal semua subjek dilakukan oleh satu orang pemeriksa
terlatih. Status gigi ditentukan oleh pemeriksaan visual di bawah pencahayaan langsung dan
tidak langsung, dengan menggunakan pesawat cermin gigi dan explorer gigi. Oral Hygiene Index
Simplified (OHI-S) (Greene dan Vermillion) digunakan untuk menilai status kesehatan oral.
Indeks ini dihitung dengan menggunakan Indeks enam gigi: 16, 11, 26, 36, 31, 46. Modifikasi
gingiva Index (MGI) (Lobene dkk.) , untuk seluruh gigi, dihitung sebagai ukuran inflamasi
gingiva.
3.4. Pemeriksaan periodontal

19

Pemeriksaan periodontal dilakukan dengan periodontal probe dikalibrasi dengan tanda


William. Status periodontal adalah ditentukan dengan menggunakan pengukuran Probing Pocket
Depth (PPD), Resesi gingiva dan klinis pengukuran Lampiran Tingkat (CAL) dari empat situs di
setiap gigi (bukal, mesial, lingual / palatal,distal). PPD diambil sebagai jarak dari margin gingiva
ke dasar gingiva sulkus / saku periodontal. Resesi gingiva diukur sebagai jarak dari enamel
junction cemento- dengan margin gingiva. Skor ini kemudian ditambah hingga tidak langsung
mendapatkan nilai untuk CAL.
Semua subjek dikategorikan menjadi tiga kelompok (ringan/tidak ada periodontitis,
periodontitis moderat dan periodontitis berat) berdasarkan pengukuran CAL dan PPD, dengan
menggunakan kriteria yang diusulkan oleh kelompok kerja bersama dari Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit bekerjasama dengan American Academy of Periodontology pada tahun
2003 yang digambarkan dalam Tabel 127.
3.5 Analisis statistik
Statistik deskriptif termasuk nilai rata-rata untuk OHI-S, Indeks gingiva dimodifikasi,
PPD dan CAL dihitung. Untuk perbandingan antara kasus dan kelompok kontrol,the Students ttest and chi- square tests digunakan untuk variabel kuantitatif dan kualitatif masing-masing.
Perbedaan proporsi pada kedua kelompok diuji dengan menggunakan chi-kuadrat tes. Semua
analisa statistik dilakukan dengan menggunakan Paket Statistik untuk paket Ilmu Sosial untuk
Windows, versi 13. 95%interval kepercayaan diambil (p-value <0,05).

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil

20

Sebanyak 154 pasien dilibatkan dalam studi (77 dalam setiap kelompok). Usia rata-rata
pasien adalah 40,38 + 7,47 tahun. Ada total 71 laki-laki dan 83 perempuan dalam studi. Grup
didistribusikanberdasarkan umur dan jenis kelamin dan subyek digambarkan dalam tabel
4.1.Pada tabel ttersebut dapat dilihat bahwa tidakditemukan perbedaan yang signifikanantara
kedua grup kontrol maupun kasus berdasarkan

distribusi usia dan jenis kelamin.. Tabel

4.2menunjukkant distribusi beberapa jenis penyakit ginjal yang terdapat pada grup kasus. Nilai
rata-rata untuk OHI-S, MGI,PPD dan CAL ditunjukkan dalam Tabel 4.3 dan didapati
peningkatan yang signifikan pada semua parameter periodontal pada grup kasus dibandingkan
dengan grup kontrol (p <0,001). Tabel 4.4 menunjukkan tingkat keparahan penyakit periodontal
pada kelompok kasus; 71 pasien (92,3%) dari total 77 memiliki statusperiodontitis moderat
sampai berat dan pasien yang tersisa (6, 7,7%) termasuk kategori ringan /tidak ada periodontitis.
Tabel 4.5 menunjukkan keparahan periodontitis dalam kelompok kontrol. 66 dari 77 subyek
(85,7%) milik kategori ringan / tidak ada periodontitis, hanya 11 (14,3%) subjek termasuk
periodontitis. kategori moderat-berat Ketika proporsipenyakit periodontal kategori moderat-berat
antara kedu kelompok (kontrol dan kasus) dibandingkan dengan menggunakan tes chi-kuadrat,
terlihat bahwa prevalensi dan keparahan penyakit periodontal secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok kasus sebagai dibandingkan dengan kontrol (p <0,001).
Tabel 4.1 Distribusi grup berdasarkan usia dan jenis kelamin
Kasus
kontrol
Usia (umur)
40.63 7.92
40.147.04
Laaki-laki (%)
34 (44.2%)
37 (55.8%)
Perempuan (%)
43 (48.1%)
40 (51.8%)

Tabel 4.2 Distribusi penyakit ginjal pada grup kasus


Penyakit
Frekuensi (%)
Penyakit ginjal kronis
Penyakit ginjal diabetes
34 (44)
Penyakit tubule-interstisial kronik
15 (19)
Hypertensive nephrosclerosis
9 (12)

p-value
0.6834
0.6276

21

Other chronic glomerulonephritis


Lupus nephritis
Total
Sindroma nefrotik
Total (n)

2 (3)
1 (1)
61 (79)
16 (21)
77 (100)

Tabel 4.3 Nilai rata-rata parameter periodontal pada kedua grup


Grup kasus
Grup kontrol
OHI-S
2.49 0.57
1.37 0.48
MGI
1.58 0.39
0.86 0.53
PPD
2.48 0.40
1.37 0.49
CAL
2.76 0.66

p-value
<0.001
<0.001
<0.001
<0.001

Tabel 4.4 Distribusi penyakit periodontal berdsarkan keparahan pada grup kasus
Severity
Frekuensi
(%)
Mild/No Periodontitis
6
7.8
Moderate
34
44.2
Severe
37
48.0
Total
77
100.0

Tabel 4.5 Distribusi penyakit periodontal berdasarkan keparahan pada grup kontrol
Severity
Frekuensi
(%)
Mild/No Periodontitis
66
85.7
Moderate
8
10.4
Severe
3
3.9
Total
77
100.0

4.2. Diskusi
Penyakit periodontal merupakan hasil dari interaksi antara bakteri yang ada di biofilm
plak gigi dengan komponen respon imun individu yang terpapar. Inflamasi lesi di periodontitis
memanjang dari gingiva untuk lebih dalam ikat jaringan mengakibatkan kantong periodontal dan
kehilangan tulang alveolar. Saku periodontal berfungsi sebagai portal masuk untuk bakteri
patogen dan produk mereka ke dalam sirkulasi sistemik. Permukaan besardaerah lesi periodontal
agregat sehingga berfungsi sebagai signifikan sumber peradangan pada pasien dengan
periodontitis sedang atau berat. Penelitian epidemiologi memberikan bukti bahwa inflamasi
kronis sistemik penyakit periodontal berkontribusi untuk cedera endotel dan aterosklerosis,

22

mungkin dimediasi oleh reaktan

fase akut. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

peradangan kronis kontribusi untuk aterosklerosis progresif pada pasien dengan stadium akhir
penyakit ginjal (ESRD) menjalani hemodialysis. Data yang tersedia menunjukkan bahwa sitokin
pro-inflamasi dan respon fase akut memainkan peran sentral dalam asal-usul kedua malnutrisi
dan komplikasi kardiovaskular pada pasien ini. Muncul bukti juga yang menunjukkan bahwa
penyakit periodontal dapat menyediakan sumber rahasia peradangan sistemik pada ini dan
mungkin, pada kenyataannya, memprediksi pengembanganESRD dan pengembangan nefropati
diabetik terbuka pada pasien.
Sebuah studi longitudinal baru ini dilakukan menunjukkan bahwa penyakit periodontal
merupakan faktor risiko non-tradisional yang signifikan untuk penyakit ginjal kronis Studi kami
membandingkan status kesehatan periodontal pasien dengan berbagai bentuk penyakit ginjal
dengan yang kontrol yang sehat dari populasi India Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan
dengan bahwa prevalensi yang lebih besar dan tingkat keparahan penyakit periodontal ada pada
pasien dengan penyakit ginjal. Meskipun banyak penulis sebelumnya memiliki memperoleh hasil
yang sama, laporan yang saling bertentangan juga tersedia dan mereka gagal untuk mendeteksi
perbedaan dalam kesehatan periodontal pada pasien yang menjalani hemodialysis. Dalam
penelitian ini, semua parameter periodontal (OHI-S, MGI, PPD dan CAL) meningkat pada
kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol dan hasilnya signifikan secara statistik.
Perusakan periodontal seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan PPD danTingkat CAL
secara signifikan lebih buruk pada kelompok kasus (2,4 + 0,40 dan 2,76 + 0,66) dibandingkan
dengan kontrol (1,3 + 0,49 dan 1,50 + 0,72). Prevalensi sedang sampai parah periodontitis dalam
kasus kelompok (92%) sangat tinggi dibandingkan dengan yang di kontrol (14,3%).Sementara
authors14 sebelumnya, 18, 22 telah melakukan penelitian serupa di dialisis populasi, populasi
penelitian kami termasuk hanya predialytic pasien. Prevalensi diperoleh dalam penelitian ini
adalah lebih besar dari itu diamati oleh penelitian sebelumnya pada pasien hemodialisis
Prevalensi tinggi penyakit periodontal antara pasien dengan penyakit ginjal predialytic 17 Braz J
Oral Sci. 8 (1): 14-8 (58,914 dan 25,9% 22) dan di ambulatory peritoneal dialysis kronispasien
(67,3%) 1Oleh karena itu, hasil penelitian kami menegaskan hipotesis kami bahwa prevalensi
yang lebih besar dan tingkat keparahan penyakit periodontal ada pada pasien dengan penyakit

23

ginjal dibandingkan dengan kontrol sistemik sehat.Ini mungkin radang periodontal yang parah di
pasien ini bisa juga memberikan kontribusi ke tingkat ginjal mereka beban penyakit.
Beban penyakit sistemik bisa juga mempengaruhi perkembangan penyakit periodontal
pada pasien ini. Telah ditetapkan bahwa kondisi ginjal kronis bisa memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap prevalensi dan keparahan periodontal disease24,45. Sebuah studi terbaru
yang dilakukan pada populasi Jepang menunjukkan bahwa peningkatan kejadian gagal ginjal
kronis yang terjadi dengan usia mungkin meningkatkan kemungkinan periodontal yang parah.
Para penulis juga mendalilkan bahwa penyakit periodontal dipengaruhi oleh ginjal kronis
kegagalan karena metabolisme tulang tidak cukup. Penelitian sebelumnya memberikan bukti
bahwa vitamin D dapat mempengaruhi polimorfisme untuk kedua penyakit ginjal kronis dan
periodontitis. Oleh karena itu adalah mungkin bahwa penyakit periodontal dan kekuatan penyakit
ginjal kronisberbagi faktor risiko umum.
Studi kami, menjadi cross-sectional dalam desain, tidak membangun menyebabkan dan
hubungan efek. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan hubungan
yang kompleks antara kronis ini penyakit. Untuk menyimpulkan bahwa perkembangan penyakit
periodontal mendahului onset atau perkembangan kondisi ginjal, lanjut Studi dengan desain studi
longitudinal yang diperlukan.Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah bahwa kelompok kasus
termasuk subyek dengan penyakit ginjal diabetik. Ini dapat dianggap sebagai perancu suatu
diabetes mellitus merupakan faktor risiko untuk kedua, ginjal dan periodontal penyakit
Studi yang telah menilai efek terapi periodontal pada inflamasi sistemik memberikan
hasil yang menjanjikan. Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa terapi periodontal, yang
terdiri dari scaling dan akar perencanaan dan pengendalian plak mikroba, hasil di penurunan
kadar penanda inflammation47,48 sistemik dan mungkin berkontribusi untuk meningkatkan
function49,50 endotel. Namun, lanjut penelitian dengan uji klinis acak terkontrol dengan baik
diperlukan untuk menentukan apakah deteksi dini penyakit periodontal diikuti dengan terapi
periodontal yang efektif benar-benar akan menghasilkan menurun komplikasi aterosklerosis pada
pasien dengan ginjal penyakit.
Studi ini memberikan bukti untuk prevalensi yang lebih besar dan keparahan penyakit
periodontal antara pasien dengan predialytic penyakit ginjal. Evaluasi periodontal tidak

24

dilakukan sebagai bagian penilaian medis rutin pada pasien ini, periodontal yang sumber
peradangan dapat diabaikan. Kami berharap bahwa hasil dari penelitian kami memberikan
penekanan untuk fakta bahwa periodontal yang kesehatan dari semua pasien dengan penyakit
ginjal harus dipantau hati-hati.

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini memberikan bukti prevalensi dan tingkat keparahan penyakit periodontal
yang lebih besar diantara pasien dengan penyakit ginjal. Kesehatan periodontal dari semua
pasien dengan penyakit ginjal perlu dimonitor. Evaluasi periodontal tidak dilakukan sebagai
bagian penilaian medis rutin pada pasien ini, periodontal yang sumber peradangan dapat
diabaikan.

25

5.2. Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk peneletian selanjutnya diharapkan dapat melanjutkan melihat hubungan antara
penyakit periodontal dan penyakit sistemik lainnya, seperti penyakit kardiovaskular,
antara lain aterosklerosis dan miokard infark sehingga hasilnya dapat diterapkan pada
populasi yang lebih luas.
2. Untuk rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya, diharapkan untuk mengisi data
rekam medis pasien dengan lengkap agar mempermudah dalam penelitian

Daftar Pustaka
1. Center for Diseases Control and Prevention. Periodontal Disease. 2015. Available from:
http://www.cdc.gov/oralhealth/periodontal_disease/. [Accessed at 22nd October 2015].
2. Petersen, P.E, Ogawa, H. Strengthening the Prevention of Periodontal Disease: The WHO
Approch. J Periodontal 2005: 2188-90.
3. Jannah, Luthfi Laukhatul.Perbedaan Nilai Status Kesehatan Gingiva antara Prapubertas
di SD dengan Pubertas di SMP TaMirul Islam Surakarta. Surakarta: 2014. Available
from: www.ums.ac.id. [Accessed at 24th October 2015]
4. Dalimunthe SH. Periodonsia. Medan : Bagian Periodonsia FKG USU, 2008
5. Carranza, F. and Newman, M. 2012. Carranza's clinical periodontology. 11th ed. St.
Louis, Mo.: Elsevier Saunders, pp.71-75, 243-245.

26

6. Snyder TC. 2014. Health Periodontal (Gum) Disease Diagnosis. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/periodontal_gum_disease/page4_em.htm [Accessed
23rd October 2015].
7. Parameters of Care Supplement. Parameter on Plaque-induced Gingivitis. J Periodontol
2000; 71:851-852.
8. Parameters of Care Supplement. Paremeter on Chronic Periodontitis with Slight to
Moderate Loss of Periodontal Support. J Periodontol 2000; 71:853-855
9. American Academy of Periodontology. Preventing Periodontal Disease. Available from:
https://www.perio.org/consumer/prevent-gum-disease[accessed 24th October 2015].
10. American Academy of Periodontology. Treatment of Plaque-induced Gingivitis, Chronic
Periodontitis, and other Clinical Comditions. 2004. Reference Manual. Vol 36 (6): 360369.
11. Gurenlian, RJ. The Role of Dental Plaque Biofilm in Oral Health. 2007. Journal of Dental
Hygiene. Vol. 81 (5).
12. Chapple, ILC, et al. Primary Prevention of Periodontitis: Managing gingivitis. Journal of
Clinical Periodontology. 2015. Vol 42(16): S71-S76.
13. Roggeri D.P., Roggeri A., Salomone M. (2014). Chronic Kidney Disease: Evolution of
Healthcare Costs and Resource Consumption from Predialysis to Dialysis in Piedmont
Region, Italy. Advances in Nephrology vol 2014; page 6
14. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo (2008). Harrisons
Principles of Internal Medicine. 7th ed. s.1. : McGraw-Hill Companies.
15. Swanepoel C.R. (2007). Predialytic Treatment of Chronic Kidney Disease. CME, August
2007. Vol. 25, no 8.
16. Hase N.K. (2012). Chronic Kidney Disease- Pre-Dialysis Management: The Action Plan.
Medicine Update 2012. Vol. 22
17. Bhatsange A, Patil SR. Assessment of periodontal health status in patients undergoing
renal dialysis: a descriptive, cross-sectional study. J Indian Soc Periodontol
2012;16(1):37-38.
18. Pusparini. Perubahan respons imun pada penderita ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis. J Kedokter Trisakti 2000;19(3): 119-20.
19. Ismail G, Dumitriu HT, Dumitriu AS, Ismail FB. Periodontal disease: a covert source of
inflammation in chronic kidney disease patients, review article. Hindawi Publishing
Corporation International Journal of Nephrology 2013;6: 2-3.
20. Jenabian N, Mirsaeed AMG, Ehsani H, Kiakojori A. Periodontal status of patients
underwent hemodialysis therapy. Caspian J Intern Med 2013;4(2): 658-661.

27

21. Hamid MJ, Dummer CD, Pinto LS. Systemic conditions, oral findings and dental
management of chronic renal failure patients: general considerations and case report.
Braz Dent J 2006; 17(2): 168
22. Haider SR, Tanwir F, Momin IA. Oral aspect of chronic renal failure: review article.
Pakistan Oral & Dental Journal 2013; 33(1): 89
23. Dencheva M. Research of periodontal status and treatment needs by cpitn in patients on
haemodialysis and renal transplanted patients. J of IMAB 2009;15(2):3-5.
24. Borawski J, et al. The periodontal status of pre-dialysis chronic kidney disease and
maintenance dialysis patients. Nephrol Dial Transplant 2007;22: 461-2

Anda mungkin juga menyukai