BAB I
1. PENDAHULUAN
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. UNAIDS memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada
Desember 2004 adalah 35,9 44,3 juta orng. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari
HIV/AIDS. Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian,
dari beberapa literature sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi surveilans
AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Kasus pertama AIDS di Indonesia
dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga
negara Belanda di Bali. Dan kini, kasus HIV/AIDS ini kini semakin meluas dan menyerang
berbagai lapisan dan strata sosial. (1)
BAB II
2.1 DEFINISI
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang system kekebalan
tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akubat infeksi HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi
HIV.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan
yang terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan
15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri
diperkirakan berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen
Kesehatan, pada tahun 2005 terdapat 4.186 kasus AIDS. (1,6,7.8,9)
dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini, dilaporkan adanya pertambahan
kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena AIDS di Rumah
Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi ditemukan adanya
ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS.(1,6,7,8,9)
2.3 ETIOLOGI
Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus lentivirus diketemukan oleh Luc
Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus
dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (national Institute of Health, USA 1984)
menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab
AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga
berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO
memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula
menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun
antigenic. HIV-2 dianggap kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan,
kedua virus itu disebut sebagai HIV saja. (1,6)
Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel
individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat di deteksi dengan
hibridisasi in situ dalam 7- 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah
infeksi . Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan
dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan
limfoid kemudian menurun secara cepat dan di hubungkan sementara dengan pembentukan
respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel
limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8+
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan
steady-state beberapa bulan setelah infeksi . Kondisi ini bertahan relatif stabil selam
beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat
replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah
heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu. (1,8)
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level
steady state. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat
melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. (1,8)
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, di mulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun,
dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-pogresor). Seiring dengan makin
memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar
getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dll. (1,8)
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi
yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut
penyakit HIV. Manifetasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan
mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid,
yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ.Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (1,8)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bias mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari. (1,8)
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang
tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntik , makin
mudah terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan
efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif. (1,8)
Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada
tahapan AIDS adalah: (1,6,7,8,9)
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
meningkatkan perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan tes
secara massal, mereka mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya. Banyak
negara di Asia melakukan gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan surveilans sentinel.
(1,6,7,8,9)
10
11
12
PEMBERIAN ARV PROFILAKSIS PADA BAYI YANG LAHIR DARI IBU HIV(3).
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------POSTPARTUM
13
Jenis pajanan: Perlukaan kulit, pajanan pada selaput mukosa, pajanan melalui kulit
SEGERA(2)
luka tusuk: bilas dengan air mengalir dan sabun atau antiseptik.
pajanan mukosa mulut: ludahkan dan kumur.
pajanan mukosa mata: irigasi dengan air atau garam fisiologis.
pajanan mukosa hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan air.
Jangan dihisap dengan mulut, jangan ditekan.
desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu: (1) betadine (povidone
iodine 2,5%) selama 5 menit atau (2) alkohol 70% selama 3 menit. chlorhexidine
cetrimide bekerja melawan HIV tetapi tidak HBV
LAPORKAN(2)
catat dan laporkan kepada: (1) panitia PIN, (2) panitia K3, (3) atasan langsung, agar
setelahnya.
pantau sesuai denga protokol pengobatan ART.
hitung sel darah, LFT, kepatuhan dan beri dukungan.
Pertimbangan profilaksis didasarkan pada derajat pajanan, status infeksi dari sumber
pajanan dan ketersediaan obat PPP.
14
15
CATAT
risiko transmisi HIV setelah terpajan darah adalah 0,3% jika sumber pasien adalah
HIV positif
risiko transmisi sesuai dengan jenis kecelakaan.
PPP tergantung pada kegawatan pajanan dan status HIV dari sumber pasien.
PPP tidak 100% efektif.
Minum ARV
efek samping ARV
hindari hubungan seks yang tidak terlindungi sampai konfirmasi setelah 3 bulan.
Ingat!
HIV dan virus-virus lebih cenderung ditularkan melalui hubungan seksual atau
Follow up(2)
Amati tanda-tanda yang menunjukkan serokonversi HIV 50-70% dalam kurun waktu 3
sampai 6 minggu:
demam akut
limfadenopati yang tersebar
erupsi kulit
faringitis
gejala flu non spesifik
ulkus mulut atau area genital
2.9
PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL(3,5)
Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan
sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obat-obat ini biasanya
adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor reverse
transcriptase dan protease.
Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat
yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987.
Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir.
Sampai saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan
penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena
pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang
resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS
saat ini, yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian,
cara ini juga masih belum efektif.
Nama generik
Formulas
Zinovudin
i
Tablet:
Semua umur
(NRTIs)
300mg
18
2x/hari (profilaksis)
minggu 13 tahun: 180
2.
3.
4.
Lamivudin
Tablet:
(NRTIs)
150 mg
Semua umur
Kombinasi
Tablet:
tetap
300
Zinovudin
(AZT)
plus
plus 150
Lamivudin
Nevirapin
mg (3TC)
Tablet:
Semua umur
(NNRTIs)
200 mg
mg
2x/hari (profilaksis)
> 30 hari atau <60kg: 4
mg/kg/dosis. 2x/hari.
Dosis
maksimal:
150
mg/dosis, 2x/hari.
Dosis maksimal: < 13 tahun atau >
60 kg: 1 tablet/dosis, 2x/hari (tidak
untuk berat badan 30 kg)
Efavirenz
600mg
(NNRTIs)
Selanjutnya 2x/hari.
Hanya untuk anak
10-15
kg:
>3 tahun dan berat
>10 kg
Stavudin, d4T 30 mg
Semua umur
Abacavir
300 mg
mg
1x/sehari.
15 - <20 kg: 250 mg
1x/sehari.
20 - <25 kg: 300 mg
1x/hari
25 - <33 kg: 350 mg
1x/hari
33 - <40 kg: 400 mg
1x/hari
Dosis maksimal: > 40 kg:
600 mg 1x/hari
< 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
2x/hari
30 kg atau lebih : 30
mg/dosis, 2x/hari
< 16 tahun atau < 37.5 kg:
(NRTIs)
7.
200
(NRTIs)
8 mg/kg.dosis, 2x/hari
Dosis maksimal: >16 tahun
atau > 37.5 kg
8.
Tenofovir
Tablet:
disoproxil
300 mg
obat
fumarat
9.
(NRTIs)
Tenofovir
dengan
ddl,
tidak
lagi
emtricitabin
mg/ 300
mg
Nama generik
Formulasi
.
1.
Data
Dosis
farmakokin
Lopinavir/
etik
Tablet tahan suhu 6 bulan
ritonavir (PI)
panas, 200 mg
Lopinavir + 50
dengan
mg ritonavir
tanpa
bila
dikombinasi
2.
Tenofovir
mg/lgBB/dosis lopinavir
Diberikan setiap 24 jam interaksi
Tablet: 300 mg
disoproxil
obat
fumarat
(NRTIs)
20
dengan
ddl,
tidak
lagi
Lamivudine(3TC)
Nevirapine
(NVP)
menurut WHO
Dosis/tablet (mg)
Paediatric FDC 12 12
Dosis/tablet (mg)
60
Dosis/tablet (mg)
-
dual
Paediatric FDC 12 12
60
100
tripel
BB
setelah
minggu
Tab
pengobatan inisial
Tab dual Tab tripel Tab
tripel am
pm
am
am
tripel pm
pm
efavirens
pm
68.9 kg
9-12 kg
12-13.9
0.5
1
1
0.5
0.5
1
0.5
1
1
0.5
0.5
1
1
1
0.5
1
200 mg
200 mg
kg
14-16.9
1.5
1.5
1.5
200
mg
kg
plus
50
17-19,9
mg
200
mg
kg
plu
50
20-24.9
mg
200
mg
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
kg
plus 2x50
25-29.9
mg
200
2
21
mg
kg
plus 3x50
mg
Klinis
WHO stadium 1
WHO stadium 2
WHO stadium 3 atau 4
TB aktif
Rekomendasi
CD4 < 350
CD4 < 350
CD4 berapa pun
CD4 berapa pun diberikan
secepatnya setelah OAT 2
Ibu hamil
bulan
CD4 berapa pun
22
Pilihan
Dewasa remaja
direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC atau Piliha regimen yang sesuai
Perempuan hamil
yang Catatan
gunakan FDC
Tidak boleh menggunakan
EFV pada trimester pertaa
TDF bisa merupakan pilihan
Pada perempuan HIV yang
pernah menjalani regimen
PMTCT, lihat rekomendasi
Koinfeksi
dibagian lain
AZT atau TDF + 3TC atau Mulailah terapi ARV secepat
FTC + EFV
Koinfeksi HIV/HBV
digunakan.
TDF + 3TC atau FTC + Pertimbangkan
EFV atau NVP
screening
penggunaan
Stadium klinis
Status imunologis
Semua diobati
Stadium 4 (setelah stabilisasi
IO)
Stadium 3 (setelah stabilisai
23
(OI)
Stadium 2
Stadium 1
Selain itu regimen lini pertama yang digunakan pada bayi dan anak adalah sebagai berilut;
Bayi:
1. pada bayi yang belum terpapar terapi ARV, mulai terapi dengan NVP + 2 NRTI
2. Pada bayi sudah terpapar NVP atau NNTRI lain pada saat dikandungan atau pada saat
bayi untuk pengobatan ibu atau PMTCT, mulai ARV dengan LPV/r + 2NRTI.
3. Untuk bayi yang terpapar terhadap terapi ARV tidak diketahui mulai dengan NVP +
2NRTI.
Anak :
1. untuk anak yang berumur antara 12-24 bulan yang susah terpapar NVP atau NNRTI
lain pada saat di kandungan atau pada saat bayi untuk pengobatan ibu atau PMCTC.
2. Untuk anak berumur antara 12-24 bulan yang belu terpapar NNRTI, mulai terapi ARV
dengan NVP + 2 NRTI.
3. Untuk anak yang berumur lebih 24 bulan dan kurang 3 tahun mulai terapi ARV
dengan NVP + 2 NRTI.
4. Untuk anak yang berusia 3 tahun atau lebih, mulai terapi ARV dengan regimen NVP
atau EFV + 2 NRTI.
5. Untuk bayi dan anak dasar nukleosida untuk regimen art harus satu diantara berikut
ini (tersusun menurut pilihan yang disarankan) 3TC + AZT atau 3TC + ABC atau 3TC
+ d4T.
Semua ODHA dengan tbc aktif merupakan indikasi memulai terapi ARV berapapun jumlah
CD4. Terapi tb dooberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan terapi ARV sesegera
setelahnya (dalam delapan minggu pertama). EFV merupakan NNRTI pilihan pada pasien
yang akan memulai terpai ARV selama dalam terapi TB.
Lini
Lini
pertama
Regimen
2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP
Pilihan
Lanjutkan dengan 2 NNRTI + EFV
Ganti NVP ke EFV atau
Ganti ke regimen 3 NRTI atau
Lini
2 NRTI + PI
kedua
Komentar
Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi harus dibedakan dari
berulang
SPI
Kondisi WHO stadium 3
tertentu (TB paru, infeksi
bacteria
berat)
dapat
pengobatan.
Penurunan CD4 kembali seperti awal Tanpa infeksi penyerta lain
sebelum pengobatan (atau lebih rendah) yang
atau
menyebabkan
CD4
yang
pernah
dicapai
ketika
pengobatan atau
Virologis
untuk
kegagalan
kopi/ml
berhubungan
dengan
perkembangan
penurunan CD4
Penatalaksanaan kepatuhan
Pemeriksaan ulang VL
VL <5000 kopi/ml
VL >5000 kopi/ml
Jangan pindah ke
lini kedua
Pindah ke lini
kedua
2.9.10.1
27
klinis
dan
Rekomendasi regimen lini kedua adalah 2NRTI + boosted- PI (Bpi). Regimen lini kedua
direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah dalah TDF/AZT + 3TC +
lopinavir/ritonavir (LPV/RTV). Apabila padalini pertama menggunakan d4T atau AZT maka
gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada
lini pertama menggunakan TDF makan gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada
regimen lini kedua.
Panduan penggunaan regimen lini-2
Berbasis AZT/d4T
Berbasis TDF
Regimen lini 1
Regimen lini 2
AZT/d4T + 3TC + NVP/EFV TDF +3TC/FTC + LPV/r
TDF
+
3TC/FTV
+ AZT + 3TC + LPV/r
Hepatitis B
NVP/EFV
TDF
+
3TC/FTC
NVP/EFV
28
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons dari terapi ARV. Monitoring klinis
perlu dilakukan pada minggu 2,3,8,12,24 minggu sejak memulai terapi ARV.
Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat
atau gagal terapi dan frekunsi ( infeksi bacterial, kandidiansis dan atau infeksi oportunistik
lainya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhannya.
Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun untuk memonitor pasien dalam terapi ARV. (3,5)
Tahap terapi ARV
Pada saat diagnosis HIV
Sebelum memulai ARV
Pada saat memulai ARV
untuk NVP
Hb untuk AZT, keratinin
CD4
bulan
dengan
lanjutan
dalam 12 bulan
Monitoring lain(3,5)
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi
klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk
digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan penting.
Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan imonologi kea rah
yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain
itu bisa juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana pasien sepertinya mengalami
29
perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu keadaan pemulihan respon imunitas
(yang kadang sampai menimbulkan gejala peradangan/inflamasi berlebihan)
Efek samping
Supressi sum sum tulang
Anemia
Substitusi
Jika digunakan pada terapi lini pertama,
makrositi
neutropenia
lain)
d4T
hepatic
Pancreatitis,
neuropati
hepatitis (jarang)
Reaksi hipersensitivitas
fatal),
Demam, ruam kelelahan, mul
muntah, tidak napsu makan
Gangguan
pernapasan
(sakit
tenggorok, batuk)
Asidosis laktat dengan steatosis
Tenofovir
hepatitis (jarang)
Asthenia, sakit kepala, diare, mual Jika digunakan pada lini pertama AZR
muntah,
sering
insufisiensi
buang
ginjal,
fanconi
Secara
pendekatan
kesehatan
Osteomalasia
kemungkinan
dipertimbangkan
TDF
Ditoleransi dengan baik
e
Nevarapin
Reaksi hipersensitivitas
EFV
Sindroma steven-johnson
Ruam
NNRTI
Toksisitas hepar
Ritonavir
Lopinavir
hiperlipidemia
Hiperlipidemia
Jika digunakan pada lini kedua.
Intoleransi gastrointertinal, mual, Jika digunakna pada lini kedua.
pancreatitis,
hiperglikemial,
pemindahan
Efavirenz
lemak
dan
abnormalitas lipid
Reaksi hipersensitivitas sindroma NVP
steven-johnson
Ruam
NRTI
Toksisitas hepar
kehamilan
trimester
kontrasepsi
yang
adekuat)
antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau
ribozyme yang berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA target.
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi menjadi
RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan
berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga
tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil
diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan
antisense, ribozyme juga menghalangi produksi
suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya Pendekatan yang dilakukan dengan
fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi karena tidak mengakibatkan respons
imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan pendekatan melalui protein yang
menyebabkan timbulnya respons imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini,
dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel
yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen
yang dimasukkan (gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu
sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV sebagai
vector
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen asing ini
diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari DanaFarber Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai
vektor untuk terapi gen berkembang pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of
Philadelphia bekerja sama dengan Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil
menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat
protein (enzim yang esensial untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga
berhasil menghambat perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme. (1)
Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari hasil
percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vector yang bisa
mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti
otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi
vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan.
32
Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi
menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme,
tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga lebih
mudah digunakan.
Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA) berhasil
menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein
CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem
pengiriman gen. Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk pengobatan AIDS di
seluruh dunia.(1)
33
Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat
disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase
terminal sebelum datangnya kematian.
Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah
bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual,
sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.
Tabel beberapa jenis infeksi oportunistik dan keganasan serta obat-obatannya.
Infeksi oportunistik dan keganasan
Pneumocystis carinii (PCP)
Toxoplasma gondii
Pyrimetamin+sulfadiazine
Candidiasis
Cryptococcus Neoformans
Amphotericine B IV
Histoplasmosis
Amphotericine B
Coccidioidomycosis
Amphotericine B
Mycobacterium tuberculosis
Herpes virus
Aksiklovir
Cytomegalo virus
Ganciclovir, Foscarnet
Cryptoccocc sporidiosis
Somastitatin analogues
Isosporiasis
Trimethoprim+Sulfamethoksazol.
Aksiklovir, Sitarabin
Kanker oportunistik:
Kaposi
34
BAB III
PENUTUP
Telah dibahas berbagai aspek immunodefisiensi pada infeksi HIV. Infeksi HIV
mempunyai target utama sel limfosit CD4 yang berfungsi sentral dalam system imun. Pada
mulanya system imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun dengan perjalanan dari
waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel limfosit CD4, sehingga fungsi
imunitas seluler terganggu. Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (sitotoksi T
limfosit atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh limfosit CD4. Demikian
juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel
Ganas secara direk nonspesifik, disamping secara spesifik membunuh sel yang dibungkus
oleh antibody melalui mekanisme antibody dependant cell mediated cytotoxic (ADCC).
Mekanis ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV.
Disamping itu penurunan jumlah dan fungsi sel T CD4 ini mengakibatkan
terganggunya homeostasis dan fungsi sel lainnya dalam system imun humoreal, yaitu sel
limfosit B yang berperan dalam imunitas hummoral. Terganggunya fungsi limfosit B karena
regulasi oleh sel limfosit CD4 akan menimmbulkan respon imun humoreal yang
tidakbrelevan dan terbentuknya hipergammaglobulinemia.
Dapat dirangkumkan, defiseinsi imun akibat HIV dapat mengakibatkan terjadimya
infeksi oportunistik, timbulnya reaksi autoimun, mudah terjadi reaksi hipersensitivitas
35
terhadap obat-obat yang sering dipakai dan pertumbuhan tumor ganas sekunder, seperti
Limfoma Non Hodgkin, Sarkoma Kaposi dan karsinoma serviks.
Pemberian obat retroviral dapat meningkatkan CD4 sehingga risiko infeksi opprtunistik
menurun. Namun pemulihan system imu juga dapat menimbulkan sindrom rekonstitusi
imun. Sedangkan pada disfungi imun, perbaikan klinik tidak diserta dengan peningkatan CD4
secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
1. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
2. M. Leng see. Penanganan pajanan hiv bagi petugas kesehatan. Kesehatan kedokteran.
2
disember
2010.
Available
at:
Available
http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html.
Accessed
at:
on
march.
5. Mitchell. H. Katz, MD, Andrew R. Zolopa, MD. HIV Infection and Aids. 2009
Current Medical Diagnosis dan Treatment. McGaw Hill, 48th ed. Hal. 1176-1205.
6. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N and others. Hiv. Scribd. Available at:
http://www.scribd.com/doc/40951928/Hiv. Accessed on 2 march.
7. Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In Triyanti
Kuspuji, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI; 2000. Hal162-163
8. Lan, Virginia M. Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
and Acquired
36
9. Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku ajar ilmu
penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: 2006. Hal 545-6
37