Anda di halaman 1dari 16

BAB I

KLARIFIKASI ISTILAH

1.1.

Poliklinik

Poliklinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar
danlatau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan
dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (Permenkes RI No. 028, 2011).
1.2.

Trauma
Trauma merupakan kerusakan psikologis atau emosional (Dorland, 2012)

1.3.

Kesemutan
Kesemutan atau paresthesia adalah sensasi sentuh abnormal seperti rasa terbakar,

tertusuk, kesemutan, dan seringkali tanpa adanya rangsangan luar (Dorland, 2012)

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
1.
2.
3.
4.

Mengapa ketajaman penglihatan pasien menurun?


Mengapa tidak ada kacamata yang cocok?
Mengapa pasien banyak minum, sering kencing dan kesemtan di kakinya?
Hubungan makan mie instan 2 bungkus sebelum tidur, dan sering minum

jamu kuat lelaki dengan keluhan sekarang ?


5. Mengapa berat badan dan vitalitasnya menurun?

BAB III
ANALISIS MASALAH
3.1.

Ketajaman penglihatan menurun


Ketajaman penglihatan menurun pada pasien dikarenakan adanya gangguan

pada retina, yaitu timbulnya angiopati dan degenerasi retina. Angiopati dapat
menyebabkan mikroaneurisma dan eksudat lunak. Sedangkan mikroaneurisma
dapat menimbulkan perdarahan (Pandelaki, 2015). Vaughan, Asbury & RiordanEva (2000) menyatakan bahwa fungsi retina adalah untuk menangkap sinar
cahaya yang masuk ke mata, dimana impuls cahaya kemudian dikirim ke otak
untuk diproses, melalui saraf optik. Disamping itu retina tidak hanya mendeteksi

cahaya, melainkan juga memainkan peran penting dalam persepsi visual. Oleh
karena itu, apabila ada gangguan yang serius pada retina, maka akan
mengakibatkan terjadinya penurunan ketajaman penglihatan.

3.2.

Tidak ada kacamata yang cocok


Untuk gangguan pada retina mata yang menyebabkan visus menurun tidak

dapat dikoreksi oleh kacamata, sehingga jelas tidak ada kacamata yang cocok
untuk memperbaiki penglihatan pada kasus gangguan retina seperti yang terjadi
pada pasien. Penurunan tajam penglihatan yang dapat dikoreksi oleh kacamata
adalah pada kasus gangguan refraksi (Vaughan, Asbury & Riordan-Eva, 2000;
James, Chew & Bron, 2006; Ilyas et al., 2010) .
3.3. Banyak minum, sering kencing dan kesemutan
Menurut Depkes RI (2005) banyak minum, sering kencing dan kesemutan
merupakan manifestasi klinis dari DM. Pada penderita diabetes DM, masuknya
glukosa ke dalam jaringan otot dan adiposa sangat berkurang. Akibatnya glukosa
tetap berada dalam darah dan terjadi hiperglikemia (tingginya kadar glukosa
dalam darah) yang normalnya adalah sekitar 100 mg glukosa/100 ml plasma.
Salah satu efek dari hiperglikemi tersebut adalah meningginya kadar glukosa
melebihi threshold atau ambang batas ginjal untuk melakukan reabsorpsi sehingga
terjadi glikosuria. Selanjutnya, glikosuria atau adanya glukosa dalam urin, akan
menginduksi diuresis osmotik yang menyebabkan poliuria (sering kencing),
Pada penderita diabetes, kesemutan diakibatkan oleh gangguan pada
pembuluh darah kapiler yang kecil dan rusaknya pembuluh darah tepi. Hal ini
menyebabkan volume darah yang mengalir di ujung saraf berkurang, sehingga
dapat menyebabkan

penderita akan mengalami kesemutan yang biasanya

dirasakan pada malam hari. Kejadian tersebut bersumber dari hiperglikemia yang
berkepanjangan (Subekti, 2015).
3.4. Hubungan pasien sering minum jamu kuat dengan keluhan
Pasien sering minum jam kuat dengan maksud untuk memperbaiki
vitalitasnya yang menurun. Dimana penurunan vitalitas tersebut berhubungan
dengan DM yang dideritanya.

Depkes RI (2005)

dan Subekti (2015)

menyatakan bahwa penurunan vitalitas merupakan salah satu komplikasi dari DM


yang diakibatkan oleh hiperglikemia yang berkepanjangan.
3.5.

Berat badan dan vitalitas turun


Dalam kasus ini pasien menderita retinopati DM, dimana pada penderita

DM

berat badan menurun itu bukan akibat diet, melainkan akibat adanya

kelainan di pankreas yang menggangu sekresi insulin. Fungsi pankreas adalah


memproduksi insulin untuk memproses asupan glukosa sebagai sumber energi.
Pada orang yang menderita DM, tubuhnya gagal mengelola gula menjadi energi
akibat adanya gangguan sekresi insulin tersebut. Mengingat bahwa energi tetap
dibutuhkan, maka tubuh mencari alternatif dengan cara memecah lemak untuk
menjadi energi, kalau dari lemak tidak cukup maka diambil dari protein tubuh,
sehingga lama kelamaan berat badan menyusut drastis (Depkes RI, 2005; Suyono,
2015).
Menurut Depkes RI (2005) terjadinya vitalitas menurun merupakan
komplikasi dari DM akibat adanya hiperglikemia. Dimana menurut Subekti
(2015) hiperglikemia yang berkepanjangan selain menurunkan produksi NO
(nitric oxide), akan menyebabkan juga terbentuknya AGEs (advance glicosilation
and products) yang sangat toksik yang dapat merusak semua protein tubuh
termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol maka sintesis dan
fungsi NO akan menurun yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke
saraf menurun termasuk aliran ke saraf penis. Produksi NO dan pasokan aliran
darah sangat mempengaruhi aktivitas penis, sehingga kalau NO dan aliran darah
terganggu maka vitalitas terganggu dan menjadi menurun.

DAFTAR PUSTAKA (Step 1-3)


Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Dorland, W.A.N. (2012). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Ilyas, S., Mailangkay, H.H.B., Taim, H., Saman H.H., Simarmata, M. & Widodo,
P.S. (2010). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Sagung Seto.

James, B., Chew, C. Bron, A. (2006). Lecture Notes : Ophthalmology. Bandung :


Penerbit Erlangga.
Permenkes RI No. 028. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 Tentang Klinik. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Subekti, I. (2015). Neuropati Diabetik. In S. Setiati, I. Alwi, A.W. Sudoyo, M.
Simadibrata, B. Setiyohadi & A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. (2397-2409). Jakarta : Interna Publishing.
Suyono, S. (2015). Diabetes Mellitus di Indonesia. In S. Setiati, I. Alwi, A.W.
Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi & A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. (2317-2324). Jakarta : Interna Publishing.
Vaughan, D.G., Asbury, T. & Riordan-Eva, P. (2000). Oftalmologi Umum. Jakarta
: Widya Medika.

BAB VII
BERBAGI INFORMASI
1. All About Retinopati Diabetik
a. Definisi
Retinopati diabetik adalah suatu kelainan mata pada pasien diabetes yang
disebabkan karena kekurangan kapiler retina dalam berbagai tingkatan, sehingga
menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang ringan samopai yang berat
bahkan sampai terjadi kebutaan total dan permanen (Pandelaki, 2015).
b. Etiologi
Walaupun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap
sebagai faktor resiko utama.

Beberapa proses biokimia yang terjadi pada

hiperglikemia dan diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati diabetik yaitu

aktivasi jalur poliol glikasi nonenzimatik dan peningkatan diasilgliserol yang


menyebabkan aktivasi PKC (protein kinase C). Selain itu, hormon pertumbuhan
dan beberapa faktor pertumbuhan lain seperti VEGF (vascular endothelial growth
factor) diduga juga berperan dalam progresifitas retinopati diabetik (Pandelaki,
2015).

c. Klasifikasi

Menurut Pandelaki (2015) retinopati diabetik dapat diklasifikasikan


sebagai berikut :
1) Retinopati diabetik non proliferatif. Merupakan bentuk retinopati yang paling
ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi
hanya dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung.
Cara pemeriksaan yang paling baik adalah dengan menggunakan foto warna
fundus atau dengan FFA.

Gambar 1. Retinopati diabetik non proliferatif


2) Retinopati diabetik preproliferatif. Ditandai dengan pembuluh darah baru.
Dinding prmbulh darah baru tersebut hanya terdiri dari 1 lapis sel endotel saja
tanpa sel perisit dan membran basalis sehingga sangat rapuh dan mdah
mengalami pendarahan.

Gambar 2. Retinopati diabetik preproliferatif


3) Makulopati diabetik. Merupakan penyebab kebutaan yang paling sering pada
pasien DM. Makulopati diabetik cenderung berhubungan dengan DM tipe 2
usia lanjut.

Adapun

klasifikasi

menurut

ETDRS

(Early

Treatment

Retinopathy Study) adalah seperti pada tabel berikut :


Tabel 1. Klasifikasi retinopati diabetik menurut ETDRS

Diabetic

Sumber : Sitompul (2011).


d. Epidemiologi
Menurut Sitompul (2011) dan Pandelaki (2015) epidemiologi retinopati
diabetik sebagai berikut : Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular
DM yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa. Penelitian
epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah
penderita retinopati diabetik akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010
menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% diantaranya terancam
mengalami kebutaan. Studi The DiabCare Asia tahun 2008 melibatkan 1.785
penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan
melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan
6,4% di antaranya merupakan retinopati diabetik proliferatif.
Kebutaan akibat retinopati diabetik menjadi masalah kesehatan yang
diwaspadai di dunia karena kebutaan akan menurunkan kualitas hidup dan
produktivitas penderita yang akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat.

Masalah utama dalam penanganan retinopati diabetik adalah keterlambatan


diagnosis karena sebagian besar penderita pada tahap awal tidak mengalami
gangguan penglihatan.
e. Patofisiologi
Menurut Sitompul (2011) dan Pandelaki (2015) fatofiologi retinopati DM
adalah sebagai berikut : Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis
pada retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur.
Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates
(ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak
perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif
seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan
endotelin yang akan memperparah kerusakan.
Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan
glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol.
Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel
pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel.
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein
kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor
pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit
dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah
retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut
menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia
menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang
pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran
basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah
perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam
retina dan vitreous.
e. Manifestasi Klinis
Menurut Sitompul (2011) sebagian besar penderita retinopati diabetik, pada
tahap awal tidak mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila telah

terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma, eksudat


lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi oklusi
kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan serabut saraf
retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal. Hambatan transportasi
tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang tampak sebagai gambaran
soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan tanda
RDNP (retinopati diabetik non proliferatif). Hipoksia akibat oklusi akan
merangsang pembentukan pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda
patognomonik RDP (retinopatidiabetik proliferatif). Kebutaan pada DM dapat
terjadi akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif intravitreous, atau
ablasio retina traksional.
f. Faktor Resiko
Menurut Sitompul (2011) faktor resiko retinopati diabetik adalah :

Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin


lamanya seseorang menyandang DM.

Ketergantungan insulin pada penyandang DM tipe II

Nefropati

Hipertensi.

Pubertas dan kehamilan dapat mempercepat progresivitas retinopati DM


g. Penegakkan Diagnosis
Menurut James, Chew & Bron (2006), Paulus & Gariano (2009) dan

Pandelaki (2015) penegakkan diagnosis dilakukan dengan :


1) Anamnesis, meliputi riwayat kesehatan maupun manifestasi klinis yang
dirasakan.
2) Pemeriksaan Fisik
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan
melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus
photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina. Metode diagnostik
terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology (AAO)
adalah fundus photography. Keunggulan pemeriksaan tersebut adalah mudah

dilaksanakan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga


mampu laksana di pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya, retinopati DM
dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic Retinopathy
Study (ETDRS).
Di pelayanan primer pemeriksaan fundus photography berperanan
sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada pemeriksaan ditemukan edema
makula, retinopati DM nonproliferatif derajat berat dan retinopati DM
proliferatif maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata lengkap oleh
dokter spesialis mata. Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata
terdiri dari pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit-lamp biomicroscopy,
gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus photography dengan
pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan
dengan optical coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography
bila perlu. OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk menemukan
kelainan yang sulit terdeteksi oleh pemeriksaan lain dan menilai edema
makula serta responsnya terhadap terapi. Ocular ultrasonography bermanfaat
untuk evaluasi retina bila visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous
atau kekeruhan media refraksi.
3) Pemeriksaan Penunjang
Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema makula pada
retinopati

diabetik

nonproliferatif

dapat

digunakan

stereoscopic

biomicroskopic menggunakan lensa + 90 dioptri.


Di samping itu, angiografi flouresens juga sangat bermanfaat dalam

mendeteksi kelainan mikrovaskuler retinopati diabetik non proliferative.


Dijumpai kelainan pada elektroretinografik juga memiliki hubungan dengan
keparahan retinopati dan dapat membantu memperkirakan perkembangan

retinopati.
Tes angiografi menggunakan kontras untuk melihat aliran darah dan
kebocoran. Kontras yang digunakan berbeda dengan yang digunakan di CTscan atau IVP, karena kontras ini tidak memakai yodium.

h. Penatalaksanaan

Menurut Rahmawati (2007), Paulus & Gariano (2009), Fante, Durairaj &
Oliver (2010) dan Pandelaki (2015) penatalaksanaan retinopati diabetik dapat
dilakukan sebagai berikut :
1) Terapi farmakologi
Dewasa ini sedang dilakukan uji klinik beberapa obat diantaranya :

Inhibitor aldose reduktase. Penggunaan aminoguanidin (Sorbinil) pada


hewan

percobaan

terbukti

dapat

menghambat

timbulnya

dan

memburuknya retinopati diabetik, namun penggunan pada manusia tidak


memberikan hasil yang memuaskan. Saat ini sedang dilakkan penelitian
pada hewan dan manusia inhibitor aldose reduktase yanag lebih kuat yaitu

ARI 809.
Inhibitor protein kinase C. Penggunaan ruboxistaurin mesilat pada hewan
sangat potensial mencegah timbulnya retinopati diabetik.

Uji klinik

terhadap manusia pemberian ruboxistaurin mesilat 32 mg sehari dengan


kontrol plasebo terhadap 685 pasien DM selama 36 bulan menunjukkan
angka kejadian hilangnya visus pada kelompok terapi ruboxistaurin
mesilat hanya 5,5%, sedangkan pada plasebo 9,1%. Pengamatan selama 3
tahun

mendapatkan

40%

pasien

RDNP

sedang

dapat

dicegah

perkembangannya menjadi RDNP berat.


Anti VEGF. Beberapa uji klinis mendapatkan bahwa VEGF berperan
penting dalam timbulnya retinopati diabetik.

Uji klinik pada pasien

retinopati diabetik yang mendapat suntikan anti VEGF setiap 6 minggu


mengalami

perbaikan

visus

sehingga

tidak

memerlukan

terapi

fotokoagulasi. Suntikan intravitreal 4 dosis selama 6 minggu pada pasien


DM dengan penurunan visus mendapatkan 85% mengalami perbaikan

visus.
Analog sumatostatin. Hipofisektomi merupakan salah satu cara zaman
dulu untuk pengobatan RDP. Sekarang metode tersebut dikembangkan
dengan menggunakan analog somatostatin untuk mencegah RDP. Uji
klinik octreotide (analog somatostatin) terhadap pasien RDNP dan RDP
mendapatkan penurunan jumlah pasien yang memerlukan terapi

fotokoagulasi dibanding yang mendapat terapi konvensional.


Anti imflamasi. Selama ini penelitian yang dilakukan

dengan

menggunakan aspirin dosis tinggi hanya bermanfaat untuk mencegah

timbulnya retinopati diabetik.

Penggunaan kortikosteroid seperti

triamsinolon asetonida intravitreal dilaporkan cukup selektif untuk


pengobatan retinopati diabetik, namun dapat menimbulkan komplikasi
peningkatan tekanan intraokuler dan infeksi.
2) Fotokoagulasi
Uji klinik skala besar yang dilakukan National Institute of Health di Amerika
Serikat mendapatkan bahwa fotokoagulasi dengan sinar laser apabila
dilakukan tepat pada waktunya sangat efektif untuk pasien RDP dan edema
kula. Terdapat 3 metode terapi fotokoagulasi sinar laser : (1) scatter
(panretinal) photocoagulatin, dilakukan pada kasus dengan kemunduran
visus yang cepat dan untuk menghilangkan neovaskular pada saraf optikus
dan permukaan retina atau pada sudut chamber anterior; (2) focal
photocoagulatin, untuk mikroaneurisma di fundus anterior yang mengalami
kebocoran untuk mengurangi atau menghilangkan edema makula; (3) grid
photocoagulation, teknik penggunaan laser dimana pembakaran dengan
bentuk kisi-kisi diarahkan pada daerah edema.
3) Virektomi
Virektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang mengalami kekeruhan
(opacity) vitreus, pendarahan dan neovaskularisasi aktif. Virektomi dapat
juga membantu pasien dengan neovaskularisasi yang ekstensif atau yang
mengalami proliferasi fibrovaskular. Virektomi juga dindikasikan bagi pasien
yang mengalami ablasio retina, pendarahan vitreus setelah fotokoagulasi,
RDP berat dan pendarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.

i. Prognosis
Menurut James, Chew & Bron (2006) dan Pandelaki (2015) prognosis
retinopati diabetik adalah sebagai berikut :

Walau terapi laser dan bedah telah sangat meningkatkan prognosis pasien,
penyakit ini masih menyebabkan kehilangan penglihatan berat pada beberapa
kasus.

Pasien RDNP (retinopati diabetik

nonproliferatif) minimal yang hanya

ditandai mikroaneurisma yang jarang, memiliki prognosis baik sehingga cukup

dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1 tahun


Pasien yang tergolong RDNP sedang tanpa disertai edema makula, perlu
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan dikarenakan sering bersifat

progresif.
Pasien RDNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema makula
yang secara klinik tidak signifikan, perlu diperiksa kembali dalam waktu 4-6
bulan dikarenakan memiliki resiko untuk berkembang menjadi edema makula

yang secara klinik signifikan


Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula
signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah
perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu

dievaluasi setiap 2-4 bulan.


Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk
menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan
berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita

harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan.


Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita
retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai
edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser
photocoagulation menjadi terapi pilihan.

j. Deteksi dini retinopati diabetik


American Diabetes Association (2010) menetapkan beberapa rekomendasi
pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati diabetik yaitu :
1) Orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I
harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam
waktu lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.
2) Penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter
spesialis mata segera setelah didiagnosis DM.
3) Pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin
setiap tahun oleh dokter spesialis mata.

4)

Frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil
pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila

ditemukan tanda retinopati progresif.


5) Perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak
trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko
terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus
menerima penjelasan menyeluruh tentang risiko tersebut.

k. Pencegahan retinopati diabetik


Menurut Pandelaki (2015) pencegahan retinopati diabetik meliputi :

Kontrol glukosa darah

Kontrol tekanan darah

Kontrol profil lipid

Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan atau radiasi (jarang dilakukan).

DAFTAR PUSTAKA (step 7)

American Diabetes Association. (2010). Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care, 33(Suppl1), S11-61.
Fante, R.J., Durairaj, V.D. & Oliver, S.C.N. (2010). Diabetic retinopathy: An
update on treatment. The American Journal of Medicine, 123(3), 213216

Ilyas, S., Mailangkay, H.H.B., Taim, H., Saman H.H., Simarmata, M. & Widodo,
P.S. (2010). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Penerbit Sagung Seto.
James, B., Chew, C. & Bron, A. (2006). Lecture Notes : Ophthalmology.
Bandung : Penerbit Erlangga.
Pandelaki, K. (2015). Retinopati Diabetik. In S. Setiati, I. Alwi, A.W. Sudoyo, M.
Simadibrata, B. Setiyohadi & A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. (2402-2409). Jakarta : Interna Publishing.
Paulus, Y.M. & Gariano, R.F. (2009). Diabetic retinopathy : A growing concern
in an aging population. Geriatrics, 64(2), 16-26.
Rahmawati, R.L. (2007). Diabetik Retinopati. Medan : Departemen Ilmu Penyakit
Mata FK Universitas Sumatera Utara.
Sitompul, R. (2011). Diabetic retinopathy. Journal of Indonesian Medicine
Association, 61(8), 338-341.
Vaughan, D.G., Asbury, T. & Riordan-Eva, P. (2000). Oftalmologi Umum. Jakarta
: Widya Medika.

Anda mungkin juga menyukai