Diskusi Film
Diskusi Film
REVIEW FILM
Born into Brothels
Feti Anggraini
15/388988/PSA/18214
kamera, serta hasil pemotretan mereka. Salah satu anak yang fotonya cukup menonjol adalah
Avijit. Hasil potretannya cukup bervariasi. Agak berbeda dengan gambar sebelumnya yang
memperlihatkan kondisi lokalisasi, gambar selanjutnya adalah suasana ketika anak-anak
tersebut melakukan perjalanan ke kebun binantang dan ke pantai. Mobil taksi yang berwarna
kuning tampak memadati perkotaan ketika anak-anak melakukan perjalanan ke kebun binatang,
sedangkan ketika menuju ke pantai yang terlihat adalah persawahan, jalan, jembatan, hewan
ternak, beberapa kendaraan seperti bus dan truk juga melintas. Keceriaan anak-anak tersebut
tampak di malam hari, sepulang dari mengunjungi pantai. Mereka menari-nari di dalam bus.
Pada Bagian Akhir, tampak keceriaan ketika anak-anak tersebut difoto untuk keperluan
mendaftar sekolah. Dengan memakai pakaian yang rapi, anak perempuan memakai rok,
mungkin pakaian terbaiknya, rambut diikat rapi, anak laki-laki memakai baju berkrah, dan
celana panjang. Gambar tersebut juga berbeda dengan ketika mereka bermain, terlihat mereka
memakai pakaian yang sobek. Film ditutup dengan memperlihatkan foto-foto anak-anak
tersebut dengan diberi tulisan (caption) yang menerangkan bahwa dari ke-8 anak tersebut,
pada akhirnya hanya 3 orang anak yang melanjutkan sekolah di asrama.
Film disajikan melalui perpaduan gambar bergerak dan gambar diam (foto). Foto yang
ditampilkan ada yang berwarna, ada yang hitam putih. Adegan-adegan tertentu ditampilkan
secara slow motion, dan adegan lainnya ditampilkan secara close up seolah-olah pembuat film
ingin menegaskan sesuatu kepada penonton. Dalam film dokumenter, sutradara tidak dapat
mengontrol lingkungan, waktu, cerita, maupun karakter. Melalui film dokumenter ini si pembuat
film ingin menunjukkan berbagai fenomena yang terjadi di salah satu sudut kota di India,
berbeda dengan film Bollywood yang sering kita lihat di televisi. Bagaimana anak-anak memiliki
kehidupan yang suram. Lampu yang redup, tikus berkeliaran, lorong sempit dan kotor, kondisi
wilayah itu yang sangat kumuh dan tidak layak huni. Anak-anak yang kesulitan untuk
bersekolah, mereka kadang bekerja sampai malam, membantu tetangganya mencuci piring,
mengambil air, seringkali dimaki-maki bahkan oleh orang tuanya sendiri.
Mengacu pada pendapat Heideger bahwa fenomena tidak berbicara sendiri, namun ada
yang menafsirkan, maka pembuat film tersebut juga mengajak penonton untuk menafsirkan isi
film tersebut melalui adegan-adegan yang ditampilkan. Ada beberapa kesan kontras yang
ditampilkan, misalnya kondisi pemukiman kumuh dengan salah satu sekolah asrama yang
siswanya memakai seragam rapi, suasana pedesaan ketika mereka menuju ke pantai. Ketika
anak-anak bermain, mereka mengenakan pakaian seadanya, namun ketika untuk keperluan
tertentu yang dianggap penting, mereka seperti mengenakan pakaian terbaik mereka. Wajah
mereka juga berbeda ketika mereka mendengar makian dan kata-kata kotor, dengan ketika
mereka bersenda gurau di bus dan ketika mereka menghadiri pameran foto. Melalui film
3
dokumenter ini, pembuat film ingin memperlihatkan hal yang jarang sekali dibahas, kondisi
salah satu wilayah di India yang cukup memprihatinkan dengan kehidupan anak-anak yang
menyedihkan. Melalui film dan foto ini, si pembuat film menceritakan kepada penonton apa
yang tidak terlihat yaitu fenomena kehidupan anak-anak yang hidup di lingkungan lokalisasi dan
mengajak penonton untuk menginterpretasi makna dari film tersebut.
Pertanyaan: meskipun dalam film dokumenter pembuat film tidak mengontrol
lingkungan, waktu, cerita dan karakter, apakah tetap ada sisi subyektif? Tampak dalam film ini
India diperlihatkan dengan kota yang kumuh, pelayanan administrasi pemerintah India yang
tidak baik, sedangkan orang Barat digambarkan banyak memberi kemudahan-kemudahan bagi
anak-anak tersebut.
1.
2.
3.
4.