Anda di halaman 1dari 6

Tugas Mata Kuliah Antropologi Visual

REVIEW FILM
Born into Brothels

Feti Anggraini
15/388988/PSA/18214

Program Pasca Sarjana Ilmu Antropologi


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2015

Tugas Mata Antropologi Visual


Born Into Brothels
Feti Anggraini
15/388988/PSA/18214
Film dokumenter yang berjudul Born Into Brotherls ini, menceritakan kisah anak-anak
yang hidup di tempat pelacuran/lokalisasi di Calcutta, India. Film dibuat oleh seorang fotografer
Barat yang bernama Zana. Pada awalnya ia datang ke India untuk memotret kehidupan wanita
di India yang tinggal di lokalisasi, di sana ia bertemu dengan anak-anak yang tinggal disana.
Zana kemudian mengajar fotografi kepada anak-anak tersebut. Melalui hasil potretan anakanak itu, Zana ingin melihat bagaimana anak-anak tersebut memandang dunianya. Banyak
sekali foto yang dihasilkan, masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Zana merasa simpati
terhadap anak-anak itu, ia ingin sekali menyekolahkan mereka di sekolah asrama supaya anakanak tersebut memiliki masa depan yang lebih cerah. Salah satu cara untuk memperoleh dana
dilakukan melalui pameran fotografi.
Pada bagian awal diceritakan mengenai kehidupan beberapa anak India, murid Zana
belajar fotografi. Adegan awal dimulai dari lampu bohlam yang menyala tidak begitu terang
dikelilingi oleh hewan semacam laron. Kemudian diperlihatkan close up wajah seorang anak
perempuan dengan tanda hitam di dahinya, khas India, kemudian gambar beralih ke wajah
anak perempuan lainnya, tidak ada tanda di dahinya, tetapi ia memakai anting di hidungnya,
juga sangat khas India. Seolah-olah si pembuat film ingin menunjukkan bahwa yang diceritakan
dalam film tersebut adalah gadis India. Adegan selanjutnya yaitu lorong yang sempit gelap,
terkesan kumuh, orang hilir mudik, jemuran pakaian ada dimana-mana, di lorong, di dalam
rumah, bahkan juga di dalam kamar tidur. Hal itu merupakan punctum, detail kecil yang terlihat
cukup menonjol. Tampak pula anak-anak kecil bermain di lorong-lorong rumah. Dari beberapa
adegan tersebut penonton dapat melihat seperti itulah kondisi kehidupan di daerah lokalisasi/
tempat pelacuran tersebut. Ada beberapa adegan yang ditampilkan dengan cepat, yaitu pada
saat beberapa perempuan dengan dandanan lengkap berdiri di pinggir jalan, beberapa
diantaranya ada yang duduk, beberapa orang laki-laki juga tampak, ada yang sedang
menghitung uang, ada pula yang sedang menuang minuman.
Bagian kedua, masih menunjukkan pemukiman yang kumuh, kemudian satu persatu
anak diperkenalkan, nama dan kebiasaan mereka. Kochi, Shanti, Avijit, Suchitra, Manik, dan
Gour, sedangkan Tapasi diperkenalkan belakangan. Menurut Zena, di daerah itu foto sulit di
dapat karena semua orang takut dipotret. Namun ketika anak-anak tersebut memotret, mereka
tidak menemui kesulitan. Pada bagian ini diperlihatkan bagaimana anak-anak memainkan
2

kamera, serta hasil pemotretan mereka. Salah satu anak yang fotonya cukup menonjol adalah
Avijit. Hasil potretannya cukup bervariasi. Agak berbeda dengan gambar sebelumnya yang
memperlihatkan kondisi lokalisasi, gambar selanjutnya adalah suasana ketika anak-anak
tersebut melakukan perjalanan ke kebun binantang dan ke pantai. Mobil taksi yang berwarna
kuning tampak memadati perkotaan ketika anak-anak melakukan perjalanan ke kebun binatang,
sedangkan ketika menuju ke pantai yang terlihat adalah persawahan, jalan, jembatan, hewan
ternak, beberapa kendaraan seperti bus dan truk juga melintas. Keceriaan anak-anak tersebut
tampak di malam hari, sepulang dari mengunjungi pantai. Mereka menari-nari di dalam bus.
Pada Bagian Akhir, tampak keceriaan ketika anak-anak tersebut difoto untuk keperluan
mendaftar sekolah. Dengan memakai pakaian yang rapi, anak perempuan memakai rok,
mungkin pakaian terbaiknya, rambut diikat rapi, anak laki-laki memakai baju berkrah, dan
celana panjang. Gambar tersebut juga berbeda dengan ketika mereka bermain, terlihat mereka
memakai pakaian yang sobek. Film ditutup dengan memperlihatkan foto-foto anak-anak
tersebut dengan diberi tulisan (caption) yang menerangkan bahwa dari ke-8 anak tersebut,
pada akhirnya hanya 3 orang anak yang melanjutkan sekolah di asrama.
Film disajikan melalui perpaduan gambar bergerak dan gambar diam (foto). Foto yang
ditampilkan ada yang berwarna, ada yang hitam putih. Adegan-adegan tertentu ditampilkan
secara slow motion, dan adegan lainnya ditampilkan secara close up seolah-olah pembuat film
ingin menegaskan sesuatu kepada penonton. Dalam film dokumenter, sutradara tidak dapat
mengontrol lingkungan, waktu, cerita, maupun karakter. Melalui film dokumenter ini si pembuat
film ingin menunjukkan berbagai fenomena yang terjadi di salah satu sudut kota di India,
berbeda dengan film Bollywood yang sering kita lihat di televisi. Bagaimana anak-anak memiliki
kehidupan yang suram. Lampu yang redup, tikus berkeliaran, lorong sempit dan kotor, kondisi
wilayah itu yang sangat kumuh dan tidak layak huni. Anak-anak yang kesulitan untuk
bersekolah, mereka kadang bekerja sampai malam, membantu tetangganya mencuci piring,
mengambil air, seringkali dimaki-maki bahkan oleh orang tuanya sendiri.
Mengacu pada pendapat Heideger bahwa fenomena tidak berbicara sendiri, namun ada
yang menafsirkan, maka pembuat film tersebut juga mengajak penonton untuk menafsirkan isi
film tersebut melalui adegan-adegan yang ditampilkan. Ada beberapa kesan kontras yang
ditampilkan, misalnya kondisi pemukiman kumuh dengan salah satu sekolah asrama yang
siswanya memakai seragam rapi, suasana pedesaan ketika mereka menuju ke pantai. Ketika
anak-anak bermain, mereka mengenakan pakaian seadanya, namun ketika untuk keperluan
tertentu yang dianggap penting, mereka seperti mengenakan pakaian terbaik mereka. Wajah
mereka juga berbeda ketika mereka mendengar makian dan kata-kata kotor, dengan ketika
mereka bersenda gurau di bus dan ketika mereka menghadiri pameran foto. Melalui film
3

dokumenter ini, pembuat film ingin memperlihatkan hal yang jarang sekali dibahas, kondisi
salah satu wilayah di India yang cukup memprihatinkan dengan kehidupan anak-anak yang
menyedihkan. Melalui film dan foto ini, si pembuat film menceritakan kepada penonton apa
yang tidak terlihat yaitu fenomena kehidupan anak-anak yang hidup di lingkungan lokalisasi dan
mengajak penonton untuk menginterpretasi makna dari film tersebut.
Pertanyaan: meskipun dalam film dokumenter pembuat film tidak mengontrol
lingkungan, waktu, cerita dan karakter, apakah tetap ada sisi subyektif? Tampak dalam film ini
India diperlihatkan dengan kota yang kumuh, pelayanan administrasi pemerintah India yang
tidak baik, sedangkan orang Barat digambarkan banyak memberi kemudahan-kemudahan bagi
anak-anak tersebut.

1.
2.
3.
4.

Menghubung-hubungkan atas gambar dan kejadian atau mencari pola


Punctum dan stadium/apa yang menarik
Subyek obyek
Keterbatasan mata biologis/menampilkan apa yang tidak ditangkap oleh mata

pembuat film melalui anak-anak yang memotret


5. Perspektif
6. Fenomenologi
7. Film documenter tidak setingan/ sutradara tidak mengontrol lingkungan,waktu, cerita,
karakter
8. Mempengaruhi penonton
9. Fungsi media disini
10. Pertanyaan kalau foto mata selalu mengevaluasi bagaimana dengan film?
11. Ada value di benak pemotret
12. Fakta objektif menjadi fakta simbolik
13. Menafsir gambar
14. Teks dan konteks

1. Cerita judul film


2. Visualitas film
1. fokus
2. Alur gambar scene by scene, ada gambar bergerak ada gambar diam
3. Menghubung-hubungkan atas gambar dan kejadian atau mencari pola
4. Detail by detail gambar
5. Punctum dan stadium/apa yang menarik
6. Subyek obyek
7. Keterbatasan mata biologis/menampilkan apa yang tidak ditangkap oleh mata
pembuat film melalui anak-anak yang memotret
8. Perspektif
9. Fenomenologi
10. Pose anak-anak ketika difoto untuk paspor
11. Film documenter tidak setingan/ sutradara tidak mengontrol lingkungan,waktu, cerita,
karakter
12. Mempengaruhi penonton
13. Fungsi media disini
14. Pertanyaan kalau foto mata selalu mengevaluasi bagaimana dengan film?
15. Ada value di benak pemotret
16. Fakta objektif menjadi fakta simbolik
17. Menafsir gambar
18. Teks dan konteks

Anda mungkin juga menyukai