2008
Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu yang semakin penting dalam gerakan keluarga berencana (KB) di masa
depan adalah perubahan orientasi dari penekanan utama pada kuantitas peserta KB ke
kualitas pelayanan KB. Tantangan dalam upaya pensuksesan pelaksanaan program KB
adalah dilimpahkannya kewenangan bidang Keluarga Berencana Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Keppres Nomor 103 tahun 2001).
Provinsi Bali dalam rangka mewujudkan sasaran program KB Nasional, telah
menetapkan kebijakan dan sasaran program tahun 2005 dengan mengacu pada 4
program pokok, yakni Program Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga, Program
Keluarga
Berencana,
Program
Kesehatan
Reproduksi
Remaja
dan
Program
2008
2008
Bab II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kualitas Pelayanan Keluarga Berencana
Menurut Dwiyanto (1996), setidak-tidaknya ada 4 hal yang menyebabkan
mengapa isu kualitas pelayanan menjadi penting, yakni 1). Kualitas pelayanan memang
diperlukan bagi keberhasilan gerakan KB, 2). Adanya peningkatan modernitas dan
rasionalitas masyarakat, 3) adanya kaitan yang erat antara kualitas pelayanan KB
dengan kesehatan reproduksi, dan 4). Perbaikan kualitas pelayanan merupakan satu cara
efektif untuk memperkecil kegagalan kontrasepsi atau KTD bagi para akseptor.
Dihapuskannya target akseptor baru dari agenda kegiatan KB sebagai salah satu
tindak lanjut dari peningkatan kualitas pelayanan masih mengalami hambatan.
Melembaganya internalisasi target sebagai suatu nilai yang harus dikejar dalam
birokrasi BKKBN menjadi salah satu faktor penghambat sosialisasi kebijakan KB yang
berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan (Dwiyanto, 1996 dalam Marhaeni
dkk, 2004).
2.2 Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD)
Menurut Kamus Istilah Keluarga Berencana, Kehamilan Tidak Diinginkan
adalah kehamilan yang dialami oleh seorang ibu yang sebenarnya belum menginginkan
atau sudah tidak menginginkan untuk hamil lagi.
Ada beberapa alasan untuk tidak menginginkan kehamilan antara lain karena
perkosaan, kurang pengetahuan yang memadai tentang kontrasepsi, terlalu banyak anak,
alasan kesehatan, janin cacat, usia muda atau belum siap menikah, pasangan tidak
bertanggungjawab atau hubungan dengan pasangan belum mantap, kendala ekonomi,
dan lainnya (WHO, 2000).
2008
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di seluruh kabupaten / kota di Provinsi Bali. Hal ini
dimungkinkan karena berdasarkan penjajagan awal, KTD menyebar di 9 (sembilan)
Kabupaten/Kota di Bali. Selain itu, dengan mengambil responden di seluruh
kabupaten/kota di Bali, akan dapat diperoleh informasi yang lebih beragam mengenai
KTD.
3.2 Identifikasi Variabel
Variabel-variabel pokok yang diteliti diantaranya sebagai berikut.
1) Identitas responden, antara lain: nama, alamat, pekerjaan, agama
2) Karakteristik responden, antara lain: umur, pendidikan, lama perkawinan, umur
kawin pertama, jumlah anak yang dimiliki, jumlah anak yang diinginkan, tingkat
ekonomi (yang diukur dengan rata-rata pendapatan atau pengeluaran keluarga).
3) Keikutsertaan dalam program KB, antara lain: alat kontrasepsi yang digunakan,
lama menggunakan alat kontrasepsi
4) Variabel internal yang akan diteliti, antara lain: sebab kehamilan,
riwayat
2008
2) Peserta KB adalah pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan salah satu alat
kontrasepsi.
3) Angka Kegagalan Kontrasepsi adalah angka yang menunjukkan banyaknya akseptor
yang menjadi hamil pada saat masih menggunakan alat kontrasepsi per akseptor
aktif.
4) Kehamilan Tidak Diinginkan adalah kehamilan yang dialami oleh seorang ibu yang
sebenarnya belum menginginkan atau sudah tidak menginginkan untuk hamil lagi.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif seperti tingkat partisipasi PUS
dalam ber-KB, jumlah anak yang dimiliki, jumlah anak yang diinginkan, jumlah
responden menurut pendidikan, tingkat ekonomi responden, lama waktu menggunakan
kontrasepsi dan data kualitatif seperti alat kontrasepsi yang digunakan, riwayat
penghentian KTD, pengalaman fisik dan emosi PUS pasca penghentian KTD, kepuasan
PUS terhadap alat kontrasepsi yang digunakan, komitmen PUS untuk menggunakan
kontrasepsi. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh dari responden melalui wawancara berdasarkan instrumen penelitian
yang telah dipersiapkan serta in-depth interview. Data sekunder diperoleh melalui
observasi terhadap dokumen maupun laporan yang telah ada sebelumnya terutama
berkaitan dengan data jumlah PUS yang mengalami KTD disetiap kabupaten/kota di
Bali.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode sensus, wawancara, observasi dan
wawancara mendalam (in-depth interview).
3.6 Metode Penentuan Sampel
Responden pada penelitian ini adalah akseptor yang mengalami kegagalan
dalam kontrasepsi atau KTD, kepala BKKBN, ketua PKK dan provider. Dari data yang
berhasil disensus, akan diambil 200 responden, yang diambil dari seluruh lokasi
penelitian. Digunakannya jumlah responden sebanyak 200 dengan pertimbangan jumlah
2008
responden tersebut sudah tergolong sampel besar, sehingga dapat dilakukan analisis
statistik tertentu, misalnya dalam rangka perbandingan antar kabupaten.
Pengambilan sampel disetiap lokasi penelitian dilakukan dengan metode non
probability sampling, yaitu accidental sampling artinya siapapun responden yang
ditemui asalkan memenuhi kriteria yang diinginkan yaitu mengalami kegagalan
kontrasepsi dan sesuai dengan jumlah responden dimasing-masing lokasi penelitian
akan dijadikan responden. Sampel penelitian terdiri dari 146 responden PUS, 9
responden kepala BKKBN kabupaten/kota, 9 responden ketua PKK, dan 36 responden
provider.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan antara lain analisis kualitatif, dengan
memberi interpretasi yang mendalam tentang fenomena kegagalan kontrasepsi atau
KTD dari para akseptor, sesuai dengan variabel penelitian yang dikumpulkan.
Sementara analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik
deskriptif antara lain tabel tunggal, tabel silang, dan rata-rata.
2008
Bab IV
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Responden PUS berjumlah 146 orang, diambil secara acak (Random Sampling
Method), tersebar secara merata di 8 (delapan) kabupaten dan 1 Kota di Provinsi Bali.
Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng masing-masing 17 responden, sisanya masingmasing 16 responden di setiap kabupaten. Total responden yang terpilih dalam
penelitian ini sebanyak 146 orang.
4.1 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, dan agama
Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat proporsi terbesar sampel adalah
tamatan SMA (31,45%), Perguruan tinggi 21,9%, SLTP dan SD masing-masing 19,9%,
dan yang tidak tamat SD 6,8%. Pendidikan formal ternyata tidak terlalu berpengaruh
pada kesadaran responden untuk mengikuti program KB. Dari sampel yang diambil,
ternyata responden yang tamat SD proporsi memilliki 2 anak, lebih banyak (7,5%) dari
responden yang memiliki 3 anak. Sebaliknya responden yang tamatan SLTA dan PT,
ternyata proporsi memiliki 3 anak lebih banyak masing-masing 13% dan 10% dari
responden yang memiliki 2 anak sesuai dengan program KB.
Pendidikan formal ternyata juga tidak terlalu berpengaruh pada pola alokasi
pengeluaran responden untuk kepentingan program KB seperti pembelian alat
kontrasepsi. Responden yang tidak tamat SD justru mengaku rata-rata pengeluarannya
untuk KB Rp 100.000,- selama sebulan, responden yang tamat SD, SLTP, SLTA, dan
PT sebagian besar ternyata mengaku tidak mengalokasikan pengeluaran untuk KB.
Pekerjaan responden terbesar berada pada sektor swasta (25,3%), pengangguran
(22,6%), yang lain-lain (16,4%), wiraswasta(15,8%), PNS (12,3%), dan petani (7,5%).
Pekerjaan lain-lain yaitu apoteker, BUMN, buruh, mahasiswa, pensiunan PNS, dan ibu
rumah tangga sejumlah 8,9% dari total sampel responden. Sebagian besar responden
(95,2%) beragama Hindu, sebanyak 6 orang (4,1%) beragama islam dan hanya 1
responden (7%) beragama Kristen Protestan. Dari 146 sampel yang terpilih, ternyata
sebagian besar responden perempuan (istri) mempergunakan alat kontrasepsi (93,2%).
7
2008
Sementara responden laki-laki (suami), hanya 21,9% yang pernah mempergunakan alat
kontrasepsi.
Dilihat dari jenis kelamin, perempuan yang paling berperan dalam kehamilan
dan perawatan anak, terbukti paling sadar untuk mempergunakan alat kontrasepsi,
sebagaimana tergambar dalam Tabel 4.1.1.
Tabel 4.1.1 Responden yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di
Provinsi Bali menurut Status Penggunaan alat kontrasepsi (%)
Jenis Kelamin
Mempergunakan
Tidak Mempergunakan
Laki-Laki (Suami)
21,9
78,1
Perempuan (Istri)
93,2
6,8
2008
ketika berusia 20-24 tahun, sebanyak 15,8% melahirkan umur 17-19 tahun, 15,1%
antara 25-29 tahun, 4 orang (2,7%) baru melahirkan anak pertama usia 30-34 tahun, dan
hanya 1 responden melahirkan anak pertama pada usia 35 39 tahun. Meskipun
memiliki waktu reproduksi yang lebih panjang dibandingkan dengan responden yang
umur istri kawin pertama berusia 30-34 tahun, namun sebagian responden (67,1%)
responden mengaku ingin memiliki anak sesuai program KB yaitu 2 orang saja.
Sebanyak 43 responden ternyata tergolong pasangan suami istri yang umur
pernikahannya kurang dari 10 tahun, tepatnya 8,9% dari total sampel yaitu 13 orang,
baru menikah kurang dari 5 tahun dan sisanya 30 orang mengaku menikah selama 5 9
tahun. Pasangan suami istri selama 10 14 tahun sebanyak 19,2%, 15 19 tahun
sebanyak 15,8%, 20 24 tahun sebanyak 18,5%. Sisanya sebanyak 11% telah menikah
selama 25 29 tahun dan sebanyak 6,2% telah menikah selama 30 34 tahun.
Lama perkawinan ternyata mempengaruhi keinginan seorang istri untuk
mempergunakan alat kontrasepsi. Dari data responden, pasangan yang menikah kurang
dari 5 tahun ternyata 2,1% mengaku tidak pernah mempergunakan alat kontrasepsi. Hal
ini disebabkan karena keinginan untuk memiliki anak lagi masih tinggi. Semakin lama
pernikahan, semakin meningkat komposisi istri yang dengan sadar mempergunakan alat
kontrasepsi.
Komposisi anak: jumlah anak yang pernah dilahirkan, sebanyak 13,7% ternyata
tidak pernah melahirkan anak laki-laki, 43,8% pernah melahirkan 1 anak laki-laki,
28,8% pernah melahirkan 2 anak laki-laki, 12,3% atau 18 responden pernah melahirkan
3 orang anak laki-laki, sementara sisanya masing-masing 0,7% mengaku pernah
melahirkan 4 anak laki-laki dan 5 anak laki-laki.
Sedangkan ketika ditanyakan jumlah anak perempuan yang pernah dilahirkan,
sebanyak 21,9% mengaku tidak pernah melahirkan anak perempuan, 26,7% pernah
melahirkan 1 anak perempuan, 34,9% pernah melahirkan 2 anak perempuan, 11%
pernah melahirkan 3 anak perempuan, sebanyak 7 orang (4,8%) pernah melahirkan 4
anak perempuan, dan hanya 1 orang responden pernah melahirkan 5 anak perempuan.
Informasi penting dari data responden membuktikan bahwa tingkat kematian
bayi di Provinsi Bali relative rendah. Kenyataan ini tercermin dalam jawaban responden
9
2008
yang ketika ditanyakan jumlah anak laki-laki yang meninggal , hanya 13 responden atau
8,9% responden kehilangan anak laki-lakinya, dan 4,1% atau 6 orang kehilangan anak
perempuannya.
Kesehatan ibu dan bayi yang semakin meningkat juga didukung adanya
kesadaran masyarakat dalam mengatur jarak kelahiran anak pertama dan selanjutnya.
Hal ini juga ditunjukkan oleh responden yang sebagian besar, sebanyak 41 orang
(28,1%) memiliki anak kedua dengan jarak 3 tahun dari anak pertama. Sebaliknya
hanya 3 orang (2,1%) responden mengaku memiliki anak kedua dengan jarak kurang
dari 1 tahun.
Sedangkan jumlah anak yang masih hidup, sebanyak 3,4% mengaku tidak ada
anaknya yang masih hidup, sebanyak 6,2% memiliki jumlah anak yang masih hidup
sebanyak 1 orang. Sebagian besar, yakni 31,5% dan 34,9% responden memiliki anak
yang masih hidup masing-masing sebanyak 2 dan 3. Sementara 19,9% atau 29 orang
memiliki 4 orang anak yang masih hidup, sebanyak 5 responden (3,4%) memiliki 5
anak yang masih hidup, sisanya 1 responden memiliki 6 anak yang masih hidup.
Ternyata sebagian besar responden (67,1%) sebenarnya berkeinginan untuk
memiliki 2 anak saja, sesuai dengan program KB. Namun 53,4% diantaranya ternyata
memiliki anak lebih dari 2 orang. Beberapa alasan dikemukakan responden,
sebagaimana tersirat dalam Tabel 4.2.2 dan Tabel 4.2.3
Tabel 4.2.2 terlihat hanya sebanyak 1,4% yang memiliki anak lebih dari 2
karena alasan ekonomi, yaitu diharapkan agar anak yang dilahirkan kelak dapat
membantu pekerjaan orang tua. Sisanya disebabkan karena alasan non-ekonomi seperti
adapt dan tradisi di Bali yang patrilinieal mengharuskan memiliki anak laki-laki sebagai
penerus keturunan. Sehingga tidak akan berhenti melahirkan anak hingga memiliki anak
laki-laki. Alasan lain adalah harapan agar ada yang merawat di saat lanjut usia, atau
bahkan yang sekedar ingin suasana rumah menjadi ramai. Selanjutnya Tabel 4.2.3
menunjukkan faktor ekonomi sebagai alasan utama responden untuk membatasi jumlah
anak. Sedangkan persentase kesadaran responden akan manfaat melaksanakan program
yang dicanangkan pemerintah yaitu KB dan keluarga berkualitas adalah sebanyak 8,9%.
10
2008
Jumlah
1,4
1,4
15
10,3
0,7
Kebobolan
4,8
0,7
Penerus keturunan
0,7
0,7
Anugrah Tuhan
58
39,7
Data missing
58
39,7
Total
146
100,0
Jumlah
0,7
0,7
Faktor ekonomi
4,1
13
8,9
0,7
0,7
1,4
Kesulitan ekonomi
2,1
1,4
Sudah direncanakan
0,7
15
10,3
Data missing
100
68,5
Total
146
100,0
2008
Bab V
DINAMIKA KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN (KTD) PADA PASANGAN
USIA SUBUR (PUS) PESERTA KB DI BALI
5.1 Status Pemakaian Alat Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS) peserta
KB di Bali
Pengujian terhadap pernah tidaknya Istri menggunakan alkon, diperoleh hasil
perhitungan umum bahwa sebagian besar responden atau sekitar 93.2 % dari 146
sampel responden istri pernah menggunakan alkon dengan alasan yang lebih banyak
dilatarbelakangi oleh ketidakinginan untuk memiliki anak lagi (Tidak Ingin Anak
Lagi/TIAL). Rata-rata persentase responden yang TIAL mencapai 51,4 % dari total
sampel penelitian. Terkecuali pada kabupaten Buleleng, Kelungkung dan Tabanan,
diperoleh alasan lain yang juga cukup kuat mendasari pemakaian alkon oleh istri
disamping alasan sebelumnya yaitu mengatur jarak kelahiran anak dan menunda
kehamilan. Namun hasil yg cukup homogen diperlihatkan Kabupaten Jembrana, dimana
seluruh responden (100% dari total 16 sampel PUS di Kabupaten Jembrana)
menyatakan TIAL.
Alasan lain pemakaian alkon oleh istri seperti faktor biaya ( 0,7%), mengikuti
program/anjuran pemerintah (1,4 %), jumlah anak sudah terlampau banyak (0,7%),
mengatur/menjaga jarak kelahiran anak (24,0%), menunda kehamilan (14,4%), alasan
permintaan suami/bidan/dokter (3,4%), dan sudah memiliki anak laki-laki dalam
keluarga (0,7%).
Status partisipasi KB pria, diperoleh data sebanyak 78,1 % responden PUS
menyatakan bahwa suami tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi. Berbeda dengan
perbedaan yang tajam dari sisi pemakaian alkon wanita (istri), perbedaan proporsi
jumlah pemakai dan bukan pemakai KB pria cenderung lebih tipis. Keberadaan KB
pria memang belum seefektif KB wanita, namun demikian besaran angka 21,92 % yang
mewakili responden PUS yg pernah menggunakan alkon pria menunjukkan pula bahwa
telah muncul kesadaran dari pihak pria (suami) untuk menggunakan alkon saat istri
tidak menggunakan meskipun ketika istri juga sedang menggunakan. Bahkan data yang
12
2008
berbeda justru ditunjukkan oleh responden PUS di Kabupaten Badung, dimana sebagian
besar PUS yang menjadi responden menyatakan pernah memakai alkon pria (sebanyak
68,75 % dari 16 responden). Sebaliknya di Kota Denpasar, tidak satupun responden
yang pernah menggunakan alkon pria.
Dari total 32 PUS pemakai alkon pria, sebanyak 84,4 % responden menyatakan
alasan ingin mencegah kehamilan dengan menggunakan alkon pria. Sedangkan alasan
lain dengan persentase masing-masing 3,1% seperti kondisi istri yang sedang membuka
alat KB/tidak menggunakan sementara waktu, sepenuhnya karena istri tidak memakai,
kegagalan alkon pada istri, mengatur jarak kelahiran, dan 1 orang responden yang tidak
mampu memberikan alasan. Sebaliknya, alasan responden tidak menggunakan alkon
pria didominasi oleh kondisi istri yang telah menggunakan alkon sehingga telah dirasa
cukup dan mampu mencegah terjadinya kehamilan dengan persentase 37,7 % dari total
114 responden non pemakai alkon pria. Persentase terbesar pada kelompok ini adalah
responden yang tidak mampu memberikan alasan mengapa memakai alkon pria (30,8
%) dan sejumlah kecil lainnya seperti belum terpikirkan untuk memakai alkon (2,7%),
takut efek samping, tidak ada jenis alkon yang sesuai dengan selera, tidak lazim bagi
kehidupan penduduk di desa untuk memakai alkon pria dengan persentase masingmasing 0,7%, rendah keinginan untuk memakai (4,1%), serta perasaan tidak nyaman
untuk memakai alkon (1,4%).
Data frekuensi pemakaian alkon IUD di kalangan responden PUS di Provinsi
Bali menunjukkan bahwa frekuensi pemakaian IUD di kalangan PUS peserta KB di
Provinsi Bali pada tahun 2008 menunjukkan kecendrungan yang menurun (dihitung dari
perbandingan frekuensi pemakaian alkon yang pernah dan sedang digunakan khusus
IUD). Kondisi justru berbalik dimana responden yang memakai IUD menurun
jumlahnya hingga mencapai 41,37 % dan meningkat sebanyak 61,02 % untuk jumlah
responden yang tidak lagi memakai IUD Data kuantitafif tersebut juga didukung oleh
hasil observasi tahap awal terhadap sebaran sampel dimana diperoleh informasi dari
Dokter dan Bidan Praktek Swasta, Petugas Lapangan KB, Pegawai Kantor BKKBN di
Kabupaten bahwa kini telah terjadi pergeseran trend pemakaian alat kontrasepsi dari
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD, MOW, dan MOP menjadi
yang berjangka pendek seperti suntik, pil, implant, dan kondom. Alasan yang
13
2008
melatarbelakangi lebih banyak disebabkan oleh alasan kepraktisan dan efek samping.
Mengkhusus pada kasus pemakaian IUD, berkurangnya kecendrungan PUS memakai
alkon dimaksud adalah didorong oleh beredarnya informasi yang menyatakan bahwa
pemakaian IUD sering disertai efek IUD patah, timbul infeksi, IUD bergeser maupun
indikasi medis lainnya yang berakhir pada KTD.
Adapun alasan yang melatarbelakangi dipilihnya IUD sebagai alkon bagi
responden terutama disebabkan oleh sifat alkon IUD yang praktis tidak saja dalam
aplikasinya tapi juga perawatannya. Selain itu pemakaian IUD juga tidak menimbulkan
efek-efek hormonal. Terdapat pula alasan jangka waktu pemakaian yang lama bagi
IUD, dijawab oleh 12,77% responden. Tingkat kepraktisan yang tinggi dipilih oleh
41,40 % responden dari total 64,38 % responden yang mampu menyatakan alasannya
memakai alkon dimaksud. Sisanya sebanyak 35,62 % adalah responden yang tidak
menyertakan alasan mengapa pernah memilih menggunakan IUD.
Data pemakaian MOW di kalangan responden PUS di Bali tampak tidak terlalu
berfluktuasi dibandingkan data sebelumnya. Dengan membandingkan data pemakaian
sebelum dan saat ini diketahui bahwa terjadi perubahan kuantitas pemakai alkon MOW
secara positif. Meskipun secara total kontribusinya kini baru mencapai 10 % atau
dengan kata lain tidak sebaik kondisi alkon IUD, namun terlihat bahwa masyarakat
telah berani mendifersifikasi alat kontrasepsinya ke MOW. Diantara 10 % responden
dimaksud, maka alasan responden memilih dan tetap memakai MOW 100 % karena
tidak ingin memiliki keturunan/mencegah kehamilan melalui mekanisme sterilisasi.
Data pemakaian alkon MOP bagi responden PUS di Bali sama halnya dengan
MOW hanya menunjukkan pertambahan yang minim dari sebelumnya dengan
persentase terhadap total kurang dari 5 %. Jika pada pengalaman sebelumnya, 100 %
responden menyatakan tidak pernah menggunakan alkon MOP, maka saat ini sebanyak
2,74 % responden menyatakan telah menggunakan. Namun demikian, perubahan positif
ini selanjutnya harus dapat disikapi berkait potensi pengembangan alkon pria. Jika
kesadaran PUS untuk menggunakan alkon tidak hanya berfokus pada alkon wanita (Pil,
IUD, Suntikan, MOW, dan Implant) namun juga pada alkon pria (kondom, MOP) maka
upaya pencegahan kehamilan dan pengaturan jarak kelahiran akan lebih mudah.
14
2008
15
2008
Dari sejumlah 21,23 % responden yang saat ini menggunakan alkon suntik KB,
mengemuka sejumlah alasan yang melatarbelakangi yaitu karena alkon suntik lebih
praktis (diwakili oleh persentase sebesar 35,48%), alkon yang aman dan paten (diwakili
oleh persentase sebesar 19,35%), mengalami kegagalan/trauma kehamilan saat memakai
alkon lain (diwakili oleh persentase sebesar 19,35%), saran dari bidan serta alasan
psikologis lainnya (seperti: tetap menstruasi ketika menggunakan, sedang cobacoba memakai, dan kemudahan memperoleh) dengan persentase tidak lebih tinggi
dari 9,68 %.
Data pemakaian alkon Pil KB di kalangan PUS di Bali menunjukkan bahwa
alkon pil KB sama halnya dengan Suntik KB merupakan alkon yang cukup banyak
dipilih oleh responden setelah IUD. Terlihat dari persentase responden yang
menyatakan pernah menggunakan Pil KB mencapai 32,19 % dari total responden.
Namun demikian, kecendrungan yang sama tampak terulang pada kondisi pemakaian
alkon Pil KB dimana responden yang menyatakan menggunakan alkon dimaksud saat
ini menurun jumlahnya dibandingkan sebelumnya. Penurunan sebesar 53,19 %
menyertai penurunan persentase terhadap total menjadi hanya 15,07 %.
Dari 47 responden PUS yang menyatakan pernah menggunakan alkon Pil KB
sebagian besar responden atau sebanyak 61,70 % menyatakan alasan bahwa Pil KB
adalah alkon yang praktis dan mudah dalam penggunaannya, sedangkan sejumlah
alasan lainnya seperti lemah efek samping, trauma kegagalan pemakaian alkon lain,
lancar menstruasi, murah, alasan pemintaan keluarga dan hanya alkon dimaksud yang
disediakan oleh Bidan setempat, masing-masing dengan persentase 2, 13 %.
Selanjutnya, dari 22 responden PUS yang saat ini menggunakan alkon Pil KB, alasan
kepraktisan masih menjadi dasar diwakili oleh 45,45 % responden disamping alasanalasan lainnya yang tidak jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya.
Setelah diuraikan berdasarkan jenis alkon yang digunakan, status pemakaian
alkon juga dapat dilihat dari kurun waktu pemakaian alkon. Sebanyak 36,3 % responden
menyatakan usia pemakaian alkon berkisar antara 12 59 bulan, 21,9 % responden
menyatakan usia pemakaian alkon berkisar antara 60 107 bulan, 14,4 % responden
menyatakan usia pemakaian alkon < 12 bulan, 11,6 % diantaranya berusia 108 155
bulan, 9,6 % diantaranya berusia 156 203 bulan, 4,1 % responden menyatakan usia
16
2008
pemakaian mencapai 204 251 bulan, dan hanya 1,4 % dari total responden yang
memakai alkon memiliki usia pemakaian hingga > 251 bulan.
Setelah sebelumnya diuraikan mengenai status dan profil pemakaian alkon di
kalangan PUS peserta KB di Bali, berikut akan ditelaah profil responden yang tidak
menggunakan alkon (khususnya alkon istri). Dari total 10 responden yang menyatakan
tidak menggunakan alkon wanita (istri yang tidak menggunakan alkon) mengemuka
sejumlah alasan seperti usia anak yang pertama masih kecil, belum ada keinginan untuk
menggunakan alkon, suami yang memakai alkon dan keterbatasan biaya yang masingmasing diwakili oleh 10 % responden, serta alasan takut akan efek samping yang
diwakili oleh 30 % responden sedangkan sisanya tidak memberikan alasan tertentu.
Untuk melihat kontribusi suami dalam mencegah terjadinya kehamilan, maka
telaah terhadap keterlibatan pria/suami untuk menggunakan alkon pria (kondom, MOP)
sangat diperlukan. Berdasarkan hasil penjajagan lapangan diketahui bahwa dari 32
responden yang menyatakan memakai alkon pria, sebanyak 87,50 % beralasan
mencegah terjadinya kehamilan istri, sedangkan sebanyak 6,25 % berasalan memakai
alkon karena istri tidak memakai alkon, sedangkan sisanya sebanyak 3,12 % berasalan
memakai alkon karena alkon yang digunakan istri selama ini tidak mampu mencegah
terjadinya kehamilan.
Berikutnya, status pemakaian alkon pria juga dilihat dari sudut pandang suami
yang tidak memakai alkon beserta alasannya. Telaah ini didasari oleh pemikiran bahwa
meskipun istri sudah memakai alkon namun kemungkinan terjadinya kehamilan tetap
tidak dapat dicegah. Dari 114 responden yang menyatakan tidak menggunakan alkon
pria, sebanyak 38,6 % justru tidak memberikan alasan, sebanyak 47,37 % diantaranya
beralasan bahwa cukup istri saja yang memakai alkon, 7,02 % diantaranya beralasan
belum terlalu berminat untuk menggunakan alkon, 4,39 % berasalan tidak mau
memakai alkon, dan dalam persentase yang sangat kecil terdapat responden yang
beralasan takut efek samping serta alasan budaya karena pria memakai alkon bukan hal
yang lazim bagi kehidupan masyarakat desa.
17
2008
2008
untuk menghentikan proses kehamilan yang sejak awal memang tidak diinginkan
tersebut. Indikasi lainnya adalah memang sejak awal perkawinan PUS tidak/belum ingin
memiliki anak, tetapi kemudian terjadi KTD dan diteruskan hingga lahir dan PUS
tercatat sebagai responden yang pernah melahirkan satu orang anak. Terdapat pula satu
responden yang berasal dari kabupaten Badung yang pernah melahirkan anak sebanyak
enam anak, dan lima diantara enam anak yang dilahirkan tersebut adalah
karena/bermula dari KTD.
Beragam alasan yang disampaikan responden mengenai kehamilan yang tidak
diinginkan antara lain :
1. Menggunakan alat kontrasepsi tetapi gagal (78,7%)
2. Tidak menggunakan alat kontrasepsi ( 16,4%)
3. Desakan suami atau keluarga untuk menambah jumlah anak (12,3%)
4. Alasan lainnya seperti: belum siap punya anak lagi, mengharapkan anak laki-laki
( 9,0%)
Terdapat dua tindak lanjut berbeda yang dilakukan responden setelah mengalami
KTD, yaitu tetap mempertahankan kehamilan tersebut hingga bayi dilahirkan (82,2%),
karena alasan Takut dosa bila melakukan aborsi, Adanya harapan yang besar bahwa
anak yang dikandung tersebut adalah anak laki-laki, Anak adalah rejeki dari Tuhan
sehingga bila kita menggugurkan berarti menolak rejeki dari Tuhan, Tindakan aborsi
bertentangan dengan agama, Khawatir akan resiko yang ditimbulkan bila ternyata
proses aborsi gagal.
Responden lainnya memilih melakukan aborsi/ menggugurkan kandungan
(19,2%) setelah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut. Alasan yang
disampaikan responden tentang keputusan melakukan aborsi sebagian besar berargumen
bahwa aborsi dilakukan semata-mata karena indikasi medis, dan kedua jarak kehamilan
yang terlalu dekat dengan kehamilan sebelumnya.
Selanjutnya kepada responden yang melakukan aborsi tersebut ditanya dimana
tempat melakukan aborsi, sebagian besar responden (sekitar 78,8%) tidak bersedia
menyebutkan tempat melakukan aborsi. Sisanya, sebanyak 12,3% responden mengaku
19
2008
memilih bidan dokter swasta (BDS) sebagai tempat untuk melakukan aborsi, dan 8,2%
responden melakukan aborsi di rumah sakit. Selain BDS dan rumah sakit, terdapat satu
orang responden (0,7%) yang berasal dari kabupaten Bangli memilih dukun untuk
membantu menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan tersebut.
Hasil penjajagan yang dilakukan tim peneliti di 9 kabupaten/kota menunjukkan
bahwa terdapat beberapa kasus KTD yang terjadi akibat kegagalan penggunaan alat
kontrasepsi. Akan tetapi kurangnya kesadaran korban untuk melaporkan kasus ini
kepada instansi kabupaten terkait, dalam hal ini SKPD-KB kabupaten/kota, yang sudah
termasuk dalam mekanisme pencatatan pelaporan yang sudah bakukan (unmetneed).
Bila dilihat berdasarkan metode kontrasepsi yang digunakan 146 responden, terlihat
bahwa hampir semua metode pernah mengalami kegagalan dalam penggunaan yang
menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada responden.
Metode kontrasepsi yang paling banyak mengalami kegagalan selama masa
penggunaannya dan menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan di
kalangan PUS adalah metode IUD.
berdasarkan bentuk kegagalan terbanyak antara lain metode suntik, pil, kondom,
implant dan MOP.
Tabel 5.2.2 Kegagalan Penggunaan Alat Kontrasepsi Menurut Metode Kontrasepsi
yang Digunakan di 9 Kabupaten/Kota di Bali
Metode Kontrasepsi (persen)
Kabupaten/
Kota
IUD
MOW
MOP
Kondom
Implant
Suntik
PIL
1. Badung
25,0
31,3
50,0
2. Bangli
43,8
18,8
12,5
3. Buleleng
17,6
23,5
5,9
17,6
4. Denpasar
12
70,6
17,6
11,8
5. Gianyar
6,3
12,5
6. Jembrana
31,3
6,3
6,3
10
62,5
37,5
7. Krngsem
10
62,5
6,3
12,5
25,0
8. Klkung
12
75,0
6,3
18,8
9. Tabanan
56,3
25,0
18,8
20
2008
2008
penggunaan kondom (1 kasus), Letak IUD yang berubah (2 kasus), dan Efek-efek
hormonal (1 kasus)
Informasi lain yang diperoleh dari responden provider adalah data mengenai
jumlah kasus KTD akibat kegagalan penggunaan alkon menurut metode kontrasepsi
yang digunakan. Metode kontrasepsi yang paling banyak mengalami kegagalan selama
bulan Juli sampai Agustus adalah metode IUD. Beberapa bahkan disertai dengan
komplikasi berat pada bulan Agustus sampai September. Kegagalan kondom terjadi
pada Agustus, satu kasus kegagalan metode suntik pada bulan Juli.
22
2008
Bab VI
PERSEPSI PUS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KB DI BALI
Terpenuhinya kebutuhan PUS dalam memperoleh layanan yang baik dalam berKB, tergantung pada kualitas layanan yang diberikan penyedia jasa layanan ber-KB.
Tanggung jawab ini bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi
juga pihak penyedia layanan KB swasta seperti: bidan dokter praktek swasta (BDS),
klinik KB swasta, LSM atau organisasi yang fokus sasarannya adalah PUS. Adapun
tempat-tempat pelayanan KB yang didatangi oleh responden PUS untuk memperoleh
layanan diurut berdasarkan intensitasnya yaitu BDS (53,4%), klinik KB (43,8%), dan
PKBRS (8,9%). BDS dipilih pada urutan pertama diduga terkait dengan kualitas
layanan BDS yang lebih baik dibandingkan tempat lainnya. Selain itu totalitas
pelayanan dari segi waktu dan kedekatan hubungan antara petugas dengan pasien serta
terjaganya privasi responden merupakan nilai plus pelayanan yang dimiliki BDS.
Sementara pada klinik KB dan rumah sakit (PKBRS), responden merasa kurang
nyaman terutama terkait dengan prosedur klinik dan rumah sakit yang harus diikuti bila
ingin memperoleh layanan KB. Selain itu proses antri bersama pasien-pasien penyakit
lain di rumah sakit juga menjadi faktor pemicu rendahnya jumlah kunjungan responden
ke rumah sakit dalam memperoleh layanan ber-KB.
Sumber pembiayaan yang biasanya digunakan PUS dalam mengakses layanan
KB adalah melalui program pemerintah dan pembiayaan secara mandiri. Dari 146
responden PUS hanya 24,7%-nya yang menyatakan pernah memanfaatkan pembiayaan
melalui program pemerintah dalam ber-KB, dan di atas 70% responden menggunakan
pembiayaan secara mandiri. Dari seluruh responden yang menggunakan pembiayaan
secara mandiri, terdapat pula diantaranya keluarga miskin yang karena keterbatasan
informasi mengenai pembiayaan dari program pemerintah, tidak memanfaatkan
pembiayaan melalui program pemerintah tersebut.
Melihat beberapa kondisi di atas kiranya pemerintah perlu melakukan
perbaikan-perbaikan demi peningkatan mutu dan kualitas pelayan KB kepada
masyarakat. Menurut Zeithmahl, dkk (dalam Tjiptono, 2006), suatu layanan kepada
konsumen dikatakan berkualitas bila memenuhi lima indikator, meliputi: Bukti
23
2008
2008
bagi klien dalam kaitannya dengan pemasangan maupun check-up, secara keseluruhan,
persepsi responden adalah tanggap. Sedangkan jika kualitas layanan pemberi layanan
diukur dari dimensi empati yang menggunakan definisi kemampuan pemberi layanan
untuk secara bersungguh-sungguh berempati terhadap permasalahan yang dihadapi
responden, maka diperoleh hasil bahwa pemberi layanan telah berempati terhadap
permasalahan responden.
Informasi mengenai alkon yang dipilih juga berkaitan dengan informasi
mengenai kontraindikasi dari masing-masing penggunaan alkon. Sebab sudah menjadi
hak para pengguna alkon untuk mengetahui secara terbuka kontraindikasi yang
ditimbulkan sebagai akibat penggunaan alkon. Namun demikian masih ada responden
yang memberikan persepsi kurang tersedianya informasi tersebut. Yang tidak kalah
pentingnya adalah informasi mengenai efek samping dari penggunaan alkon. Pemberi
layanan harus secara terbuka menjelaskan efek samping dari masing-masing
penggunaan alkon, sehingga PUS bisa secara tepat membuat pilihan mengenai alkon
yang akan digunakan.
Kemampuan responden untuk memilih secara mandiri alkon paling tepat yang
akan digunakan agaknya kurang dapat terealisasi secara merata, sebab masih ada
responden yang memberikan persepsi tidak tersedianya informasi mengenai efek
samping dari penggunan alkon yang dipilih (0,7%), dan sebanyak 2,1% responden
memberikan persepsi kurang tersedianya informasi mengenai efek samping tersebut.
Penilaian yang sama juga terjadi pada kriteria ketersediaan informasi mengenai
pelayanan lanjutan yang diperlukan responden, dimana sebanyak 0,7% dan 2,1%
responden yang berpersepsi tidak tersedia dan kurang tersedianya informasi mengenai
pelayanan lanjutan dalam ber-KB.
25
2008
Bab VII
KONTRIBUSI PROVIDER DAN PEMERINTAH (BKKBN
DAERAH/PROVINSI DAN PKK) DALAM SOSIALISASI KB
Keterlibatan aktif provider dalam pemberdayaan KB dewasa ini semakin
dituntut mengingat tantangan sosialisasi KB yang semakin berat. Dibutuhkan kesiapan
sarana dan prasarana penunjang tidak hanya kualitas namun juga kuantitas.
Terpeliharanya kualitas sarana prasarana dan personel menjamin pelayanan manajemen
keluarga berencana yang lebih baik. Sebaran penduduk yang luas dengan capaian yang
beragam mengharuskan dimilikinya suatu sistem perencanaan yang terpadu diantara
berbagai pihak yang berkepentingan dibawah komando kantor Badan Koordinasi
Keluarga Berencana (BKKBN) di level nasional hingga kabupaten. Penciptaan keluarga
kecil sejahtera dan bahagia adalah tujuan pemberdayaan keluarga berencana nasional.
Hasil penjajagan lapangan menguji kontribusi BKKBN dalam pengalokasian
dana pengganti bagi PUS yang mengalami KTD. Diperoleh hasil bahwa dari 9 kantor
SKPD-KB yang menjadi responden 44,4 % diantaranya tidak menjelaskan ketersediaan
dana pengganti. Kabupaten dimaksud adalah Denpasar, Jembrana, Karangasem, dan
Tabanan. Sedangkan sebanyak 22,2 % responden SKPD-KB Kabupaten yang
menyatakan tidak memberikan dana pengganti kegagalan kontrasepsi. Kabupaten
dimaksud meliputi Kabupaten Badung dan Bangli. Sedangkan sisanya sebanyak 33,3 %
adalah responden SKPD-KB kabupaten yang menyatakan memberikan sejumlah dana
pengganti kepada PUS yang melaporkan kejadian kegagalan kontrasepsi. Kabupaten
dimaksud adalah Kabupaten Buleleng, Gianyar, dan Kelungkung.
Sebanyak 22,2 % responden yang menyatakan tidak memberikan dana
pengganti, 50 % diantaranya menyatakan bahwa biaya pengganti kegagalan kontrasepsi
memang tidak dianggarkan dalam anggaran pembiayaan kantor/badan. 50 % sisanya
menyatakan tidak memberikan dengan alasan bahwa pasien/PUS umumnya lebih sering
berkonsultasi langsung kepada Bidan dan Dokter Praktek Swasta sehingga seringkali
tidak ada pelaporan kepada BKKBN. Sebaliknya 33,3 % responden kabupaten yang
memberikan sejumlah dana pengganti, sebanyak 100 % menyatakan telah mengusulkan
anggaran pengganti kepada BKKBN provinsi dengan prosedur pelaporan pertama oleh
26
2008
bidan untuk diajukan oleh SKPD-KB Kabupaten kepada Provinsi sesuai dengan pagu
DIPA BKKBN.
Kontribusi BKKBN kepada PUS yang mengalami KTD akibat kegagalan
kontrasepsi juga terlihat dari ketersediaan jasa konseling bagi PUS. Konseling
dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan tindakan terhadap kondisi yang
muncul terlebih apabila PUS adalah pasangan yang baru menikah. Secara lebih lanjut,
konseling ini sebagian besar atau sebanyak 80 % dilakukan oleh PLKB dan sisanya
sebanyak 20 % adalah kontribusi dokter pemerintah. Dengan mempertimbangkan
kembali masih rendahnya ketersediaan tenaga lapangan penyuluh KB (PLKB) serta
tenaga medik sedangkan cakupan wilayah layanan sangat luas dan kasus yang terjadi
sangat beragam, maka penyusunan program terpadu di tiap-tiap wilayah kerja terkait
antisipasi dan tindak lanjut pasca KTD terutama akibat kegagalan kontrasepsi mesti
dirintis. Hasil survey lapangan menunjukkan kondisi anomaly dimana sebagian besar
responden (44,4 %) tidak memberikan keterangan, 33,3 % menyatakan tidak memiliki
program khusus, dan hanya 22,2 % sisanya yang menyatakan mencanangkan program
terkait KTD dan kegagalan kontrasepsi. Jenis program yang dicanangkan berupa
sosialisasi kesehatan reproduksi yang ditujukan kepada PUS dan program pasektomi.
Masih minimnya tindak nyata BKKBN dalam pencanangan program
menunjukkan bahwa permasalahan KTD belum menjadi isu manajemen keluarga
berencana di kalangan BKKBN sendiri. Bahkan ketersediaan data dari masing-masing
SKPD pun masih dirasa sangat lemah terutama yang berkaitan langsung dengan
kejadian KTD. KTD juga memiliki implikasi terhadap angka kematian ibu dan bayi
karena kehamilan yang tidak diinginkan dapat berakhir pada keputusan menggugurkan
kandungan (aborsi).
27
2008
Bab VIII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Adapun simpulan dari penelitian ini adalah
1) Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang terjadi di kalangan responden PUS di
Bali disebabkan oleh kegagalan alat kontrasepsi, PUS tidak menggunakan alat
kontrasepsi, adanya desakan dari suami/kelurga terdekat untuk menambah
jumlah anak, alasan-alasan lain seperti belum siap punya anak, dan belum
memiliki keturunan laki-laki.
2) Derajat kejadian KTD di kalangan PUS di Bali masih dominan disebabkan oleh
kegagalan alat kontrasepsi terutama IUD. Kegagalan alat kontrasepsi suntik KB,
Pil, kondom, implant dan MOP juga terjadi namun dalam persentase yang relatif
kecil dibandingkan kegagalan IUD (IUD Patah, letak IUD yang bergeser, IUD
lepas, IUD tertutup lemak, serta adanya infeksi di tempat pemasangan IUD).
Dari sisi kualitas pelayanan penyedia jasa KB yang dukur dari 5 (lima) indikator
pelayanan berkualitas meliputi Bukti Langsung (tangibles) yang secara umum
dipersepsikan berkinerja baik, Keandalan (reliability) yang secara umum
dipersepsikan
berkinerja
cukup
dapat
diandalkan,
Daya
Tanggap
2008
29
2008
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fausi, dkk. 2002. Aborsi di Indonesia. www.kesepro.com.
Depkes RI. 1996. Survei Kesehatan Rumah Tangga, 1995. Jakarta
Hasil studi Kausalitatif Persepsi KTD dan Aborsi di kalangan Remaja. 2005.
Indonesian Planned Parenthood Association (IPPA).
Kamus Istilah Keluarga Berencana/ BKKBN. Jakarta 1993.
Marhaeni, AAIN dkk. 2004. Riset Operasional Dalam Upaya Menurunkan Unmet Need
Daerah Legok di Provinsi Bali. Kerjasama KKS FE Unud dan BKKBN
Provinsi Bali. Denpasar.
Laporan Tahunan Program KB Nasional Provinsi Bali tahun 2005. BKKBN Provinsi
Bali tahun 2006.
Perda Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2003, tentang Rencana Stratejik (Renstra)
Pemerintah Provinsi Bali Tahun 2003 2008.
Rubrik KB-Kesehatan Reproduksi. 2005. Aborsi Aman Ditentang?. Edisi Senin, 10
Oktober 2005. www.bkkbn.go.id
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unud. 1983. Masalah Abortus Provocatus dan
Kebijaksanaan Keluarga Berencana. Denpasar
Tjiptono, Fandy. 2006. Manajemen Jasa. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Yayasan Kesehatan Wanita. 2003. Penghentian KTD yang Aman Berbasis Konseling di
Indonesia. Jakarta.
30