Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DIUSULKAN OLEH:
KELOMPOK 7
MEIRY DINTIA ARINI (4201414047)
NURDIYANTI SUGANDA (4201414030)
RODIYAH MUNAWWARAH (4201414025)
BAB I
PENDAHULUAN
pemerintahan
yang terjadi
keleluasaan
kepada
daerah
untuk
satu
sumber
penerimaan
Tentang
Pajak
Daerah
dan Retribusi Daerah. Sumber penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah
yang sangat potensial menjadikan
Pemerintah
mampu
menggali
tertentu jauh melebihi target yang telah ditentukan. Oleh karena itu, makalah ini
mencoba membahas mengenai berbagai pajak daerah dan optimalisasi pendapatan daerah
melalui pajak burung walet. Pembahasan ini dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui jenis jenis pajak daerah
2. Untuk
mengetahui
manajemen
keuangan
daerah
dengan
BAB II
DASAR HUKUM
BAB III
DEFINISI
3.1 Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah adalah satuan- satuan organisasi pemerintah yang berwenang
untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok yang mendiami
suatu wilayah yang dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah.Kepala Daerah adalah
Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokrasi. (Gie : 2000:5)
Berdasarkan Pasal 5 ayat (4) Undang- Undang
Nomor
23
Tahun
2014
dengan
asas
desentralisasi,
asas dekonsentrasi, dan asas tugas pambantuan. Konsep desentralisasi yang diberlakukan
di Indonesia telah memberikan implikasi yang sangat mendasar terutama menyangkut
kebijakan fiskal dan kebijakan administrasi negara.
masih
menitikberatkan
sumber-sumber
penerimaan
Pemerintah Daerah pada sumber yang berasal dari Pemerintah Pusat dalam bentuk dana
perimbangan, yang terdiri dari: bagian daerah dari PBB, BPHTB, SDA, DAU dan Dana
Alokasi Khusus (DAK).
menyebutksn bahwa PAD bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi daerah, Hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang di pisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda diupayakan tidak
berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai) karena hal tersebut
akan menimbulakan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan
perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam Undang-Undang Nomor
18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan
bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat:
Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang memenuhi kriteria umum tentang
perpajakan daerah sebagai berikut:
1.
Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik
Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan secara horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3.
wajib pajak.
4.
Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan
Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-
kadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam.
3.
Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan
Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu mobile. Pajak
daerah yang sangat mobile akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari
daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya,
basis pajak yang tidak terlalu mobile akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarif
pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini,
pajak konsumsi di banyak negara diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan
wilayah daerah yang cukup luas (seperti provinsi di canada). Dengan demikian, basis
pajak mobile merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi. (pusat/provinsi),
3.
4.
Pajak daerah seharusnya visible dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi
pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan
mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.
5.
Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain
karena akan memperlemah hubungan antara pembayar pajak dan pelayanan yang diterima
(pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6.
Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk
menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus
elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
7.
atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan
kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakan hukum dan
komputerisasi.
8.
Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada
keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke
dalam badan usaha.
Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan
kepemilikan Kendaraan Bermotor.
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:
a. kereta api
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah
d. objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau
Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. Wajib Pajak Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan
Kendaraan Bermotor.
Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual
Kendaraan Bermotor Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
masing-masing sebagai berikut:
a. penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen)
b. penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen). (2) Khusus untuk
Kendaraan Bermotor alat-alat berat danalat-alat besar yang tidak menggunakan jalan
umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut: a. penyerahan
pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan b. penyerahan kedua dan
seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).
10
Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan
bakar yang digunakan untuk kendaraan di air.
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:
a. kereta api
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah
Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor. Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang
pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan bermotor
Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen). Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan
bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih
rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi.
d. Pajak Air Permukaan
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
permukaan. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak
termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.
Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Permukaan.
Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah
a. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah
tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan
b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
11
Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
Nilai Perolehan Air Permukaan dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan
mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor faktor berikut:
a. jenis sumber air
b. lokasi sumber air
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan
e. kualitas air
f. luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air
g. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air.
Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesa 10% (sepuluh persen).
e. Pajak Rokok.
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. Rokok meliputi sigaret, cerutu, dan rokok
daun. Dikecualikan dari objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Subjek Pajak Rokok adalah
konsumen rokok.
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang
memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Dasar pengenaan
Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Tarif Pajak
Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.
12
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya
memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
Tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan
panti sosial lainnya yang sejenis
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat
dimanfaatkan oleh umum.
Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran
kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. Wajib Pajak Hotel adalah
orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. Dasar pengenaan Pajak Hotel
adalah jumlah pembayaran atau ng seharusnya dibayar kepada Hotel. Tarif Pajak Hotel
ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
b. Pajak Restoran
Pajak Restoran menurut Pasal 1 angka 22 UU nomor 28 Tahun 2009 adalah pajak
atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Objek Pajak Restoran adalah pelayanan
yang disediakan oleh Restoran. Tidak termasuk objek Pajak Restoran adalah pelayanan
yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau
Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. Wajib Pajak Restoran
adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran. Dasar pengenaan Pajak
Restoran adalah jumlah pembayaran diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.
Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
c. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua
jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan
dipungut bayaran.
Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut
bayaran.
13
15
Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
menggunakan tenaga listrik. Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau
Badan yang menggunakan tenaga listrik. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber
lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik. Dasar pengenaan
Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. Tarif Pajak Penerangan Jalan
ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari
sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak
Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen). Penggunaan tenaga
listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi
sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir adalah
keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a.
penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b.
penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk
karyawannya sendiri; c. penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan
perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan d. penyelenggaraan tempat Parkir
lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir
kendaraan bermotor. Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan tempat Parkir.
Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada penyelenggara tempat Parkir. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi
sebesar 30% tiga puluh persen).
h. Pajak Air Tanah
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan
tanah.
Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah: a. pengambilan dan/atau pemanfaatan
Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan
rakyat, serta peribadatan; dan b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya
yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Wajib Pajak Air Tanah adalah orang
pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah. Nilai
Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang
17
19
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak
atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: 1) jual beli; 2)
tukar menukar; 3) hibah; 4) hibah wasiat; 5) waris; 6) pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lain; 7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) penunjukan
pembeli dalam lelang; 9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap; 10) penggabungan usaha; 11) peleburan usaha; 12) pemekaran usaha; atau 13)
hadiah. b. pemberian hak baru karena: 1) kelanjutan pelepasan hak; atau 2) di luar
pelepasan hak. ) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. hak milik;
b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah
susun; dan f. hak pengelolaan. )
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah objek pajak yang diperoleh: a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik; b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan
lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. orang pribadi atau Badan karena konversi
hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. orang
pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk
kepentingan ibadah.
Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau
Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi
atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dasar pengenaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai
Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a. jual beli
20
adalah harga transaksi; b. tukar menukar adalah nilai pasar; c. hibah adalah nilai pasar; d.
hibah wasiat adalah nilai pasar; e. waris adalah nilai pasar; f. pemasukan dalam peseroan
atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g. pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah nilai pasar; h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; pemberian hak baru atas tanah
di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; penggabungan usaha adalah nilai pasar;
peleburan usaha adalah nilai pasar; pemekaran usaha adalah nilai pasar; hadiah adalah
nilai pasar; dan/atau penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang
tercantum dalam risalah lelang. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
4.3 Optimalisasi Pendapatan Daerah Melalui Sektor Pajak Sarng Burung Walet:
Studi Kasus Kabupaten Blitar
Indonesia adalah salah satu negara yang menghasilkan sebagian besar sarang
burung walet di dunia. Sebagian besar sarang burung walet di Indonesia diekspor ke
Hong Kong dan Cina. Negara-Negara lain yang juga menghasilkan sarang burung walet
adalah Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam, Burma, Singapura, India, dan Srilanka.
Di Indonesia sebagian besar sarang burung walet dihasilkan di pulau Jawa dan budi
daya dilakukan dengan menggunakan rumah atau gedung walet. Beberapa daerah di
Indonesia yang merupakan tempat budi daya sarang burung walet, seperti: Pasuruan,
Gresik, Tuban, Semarang, Pekalongan, Pandeglang, Karimun, Jembrana, Blitar, Blora,
dan lain-lain.
Kabupaten Blitar merupakan daerah penghasil SBW yang cukup potensial sebagai
salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Namun, pengelolaan yang kurang
intensif dan disiplin menyebabkan pemasukan dari budi daya SBW sangat kurang
memberikan andil bagi pemasukan PAD Kabupaten Blitar.
Dalam budi daya sarang burung walet di Blitar, terdapat tiga golongan pemilik
gedung walet, yaitu golongan karyawan, golongan menengah, dan golongan atas.
Golongan karyawan mempunyai gedung kecil dan menggunakan teknologi yang kurang
maju karena mereka tidak memiliki cukup modal. Selain itu golongan ini juga
membangun gedungnya di wilayah di mana mereka tinggal. Selain menghasilkan sarang
burung walet, mereka juga menghasilkan sarang burung seriti, yang meskipun harga
21
sarangnya jauh lebih murah dari pada sarang burung walet, namun hal tersebut
memberikan tambahan penghasilan yang lumayan.
Pemilik dari golongan menengah juga membangun gedung walet di wilayah tempat
tinggal mereka dengan membangun gedung yang lebih besar dari pada golongan
karyawan, mempunyai pengetahuan dan teknologi yang lebih maju seperti sistem tweeter
dan desain gedung. Selain menghasilkan sarang burung walet, di sana terkadang ada juga
menghasilkan sarang burung seriti.
Sedangkan golongan atas mempunyai pengetahuan dan teknologi yang maju bila
dibandingkan dengan golongan menengah. Hanya saja golongan atas tersebut bukanlah
penduduk setempat, melainkan tinggal di kota besar. Dia akan membangun gedung walet
di daerah manapun yang paling cocok untuk budi daya sarang burung walet. Di samping
itu, tujuan golongan atas adalah khusus untuk menghasilkan sarang burung walet saja,
bukan bersamaan dengan sarang burung seriti. Namun, jika terdapat sarang burung yang
berisi telur burung seriti, maka mereka sering menukar telur burung seriti dengan telur
burung walet dan menunggu sampai masa panen tiba.
Pemda Kabupaten Blitar sebenarnya pernah mencoba berperan aktif dalam industri
budi daya SBW ini, misalnya dengan membuat buku dan mengadakan seminar tentang
bagaimana budi daya sarang burung walet, namun secara keseluruhan Pemda Kabupaten
Blitar tidak memainkan peranan yang besar dalam industri tersebut. Peran pemda
dihalangi oleh para pemilik gedung burung walet yang sudah berhasil, karena mereka
tidak ingin pihak pemda terlibat dalam industri ini, sebab pemilik gedung walet khawatir
jika mereka harus membayar lebih banyak uang pada pihak pemda. Berbeda dengan
golongan atas, orang-orang yang gedung waletnya belum berhasil (golongan bawah)
sangat mengharapkan Pemda Kabupaten Blitar ikut berperan dalam industri ini dan
mereka ingin mendapat bantuan dari pihak pemda. Namun, pemilik gedung yang telah
berhasil, (golongan atas) tidak ingin dibantu oleh pemda dan tidak bersedia membantu
memberikan data jumlah kilogram sarang yang mereka hasilkan, sehingga pihak pemda
tidak bisa membuat data tentang jumlah total sarang yang dihasilkan di Blitar.
Sesuai ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 27 Tahun 2000 bahwa
orang-orang yang ingin membangun gedung sarang burung walet di Kabupaten Blitar,
harus membayar surat Izin Mendirikan Bangunan -(IMB) yang dikelola oleh Dinas
Perdagangan. Di samping itu, setiap panen sarang, pemilik gedung walet harus membayar
retribusi sebesar 3% dari panen tersebut kepada kas daerah. Namun, dalam
22
burung walet tersebut. Buku ini ditulis pada bulan Juni Tahun 2001 oleh Dinas
Kehutanan dan Perkebunan. Hal ini menunjukkan mulai tahun 2001, Pemda Blitar
tertarik dengan industri ini, serta ingin menyosialisasikan kepada masyarakat tentang budi
daya sarang burung walet. Namun, buku ini hanya dicetak dalam jumlah terbatas karena
23
pemda tidak memiliki dana yang cukup untuk mencetak buku dalam jumlah yang lebih
banyak.
Selain mencetak buku, pada tahun 2001 Pemda Kabupaten Blitar juga
mengadakan seminar tentang budi daya sarang burung walet di Kab. Blitar agar pemilik
gedung burung walet bisa bertukar ide-ide tentang industri ini dan berbagi ilmu kepada
orang-orang yang ingin memasuki industri tersebut. Tetapi, pelaksanaan seminar ini tidak
berhasil karena hanya sedikit peserta yang hadir ke seminar tersebut, hanya dari golongan
pemula yang berasal dari penduduk lokal.
Sulit sekali bagi pemda untuk mengadakan seminar ini di luar kota karena
masyarakat tidak memiliki dana besar, tetapi pemda bisa mengirim surat-surat kepada
masing-masing kepala desa di seluruh Blitar. Selain itu juga bahwa sebagian besar petani
yang tinggal di desa tidak ingin berkecimpung dalam budi daya sarang burung walet
karena untuk membangun rumah atau gedung walet sangat mahal dan harus menunggu
waktu yang lumayan lama untuk bisa mendapatakna uang dari sarangnya, sehingga petani
lebih suka berternak ayam atau sapi.
Untuk mengatasi permasalah tersebut dan lebih mengintensifkan pendapatan dari
budi daya sarang burung walet, pihak pemda telah melakukan upaya nyata dengan
menerbitkan peraturan daerah tentang pajak daerah, termasuk pajak sarang burung walet,
yaitu Perda Kabupaten Blitar No. 2 tahun 2011. Menurut sekretaris Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Blitar, hal ini merupakan
tindak lanjut dari diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009. Peraturan ini
mengubah status pungutan dari usaha sarang burung walet, yang semula berupa pungutan
retribusi diganti menjadi pungutan pajak sarang burung walet. Perubahan ini diharapkan
semakin memperjelas para-unit terkait akan pentingya pendapatan pajak dari sektor usaha
budi daya sarang burung walet.
Dalam Perda yang telah ditetapkan mulai tahun 2011 tersebut, Pemda Kabupaten
Blitar mentargetkan mendapatkan PAD dari pajak daerah sebesar Rp 15,36 miliar. Target
pajak daerah Kabupaten Blitar tahun 2011 mengalami kenaikan, yakni dari target awal
sebesar Rp 13,150 miliar sebelum pelaksanaan APBD perubahan 2011 kini menjadi Rp
15,36 miliar, sehingga dengan kenaikan target pada akhir tahun ini bisa menambahkan
target PAD Kabupaten Blitar sebasar Rp 74,290 miliar. Namun dari target tersebut ada
dua jenis pajak yang belum masuk, yakni pajak sarang burung walet dan pajak bumi
bangunan perdesaan dan perkotaan yang akan diberlakukan pada tahun 2014 mendatang.
24
Pemda beralasan masih perlu melakukan persiapan administras, SDM, koordinasi antar
unit terkait, mengingat pajak sarang burung walet adalah jenis pendapatan daerah yang
baru diatur oleh pemerintah. Pelaksanaan penagihan atas pungutan dari usaha sarang
burung walet sebelumnya masih berupa retribusi sesuai Perda 27/2000, yang diupayakan
semaksimal mungkin.
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Jenis-jenis Pajak Daerah, antara lain sebagai berikut:
a. Pajak Daerah Propinsi
1. Pajak Kendaran Bermotor
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakr Kendaraan Bermotor
4. Pajak Air Permukaan
5. Pajak Rokok
b. Pajak Daerah Kabupaten/Kota
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. PBB Perkotaan da Pedesaan
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Optimalisasi pendapatan daerah melalui sektor pajak sarang burung walet (SBW)
di Pemda Kabupaten Blitar masih perlu dilakukan dengan intensif dan serius.
Pembayaran retribusi tersebut masih belum dapat dikendalikan, disebabkan karena halhal sebagai berikut.
a. Petugas dari Pemda Kabupaten Blitar tidak mengetahui data terutang populasi
usaha budi daya SBW. Dalam budi daya sarang burung walet ada tiga golongan
pemilik gedung walet, yaitu golongan atas, golongan menengah, dan golongan
karyawan.
b. Terbatasnya koordinasi antar-unit kerja terkait, yaitu: Dinas Perdagangan, Dinas
Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam melakukan
pendapatan berapa jumlah SBW di Pemda Kabupaten Blitar
26
menerus membujuk agar pemilik mau membayar retribusi kepada pihak pemda,
sehingga uang ini bisa digunaan untuk memajukan industri ini. Jika pemilik
gedung walet membayar retribusi kepada pemda, maka uang tersebut bisa
dimasukkan ke APBD serta bisa digunakan untuk membayar program sosialisasi
budi daya sarang burung walet.
c. Menyebarkan iklan melalui internet akan daya tarik investasi sarang burung walet,
kemudahan dalam memperoleh izin usaha sarang burung walet sehingga akan
mengundang investor dari segala penjuru. Contohnya adalah di Kota
Lubuklinggau yang membuat Perda Nomor 16 Tahun 2010 tentang Perizinan
Sarang Burung Walet, yang hanya menetapkan besarnya biaya izin usaha sarang
burung walet sebesar izin ganggguan.
d. Memberikan penghargaan bagi Wajib Pajak terbaik atas dedikasi mereka dengan
harapan akan menjadi motivasi atau menjadi teladan bagi Wajib Pajak lainnya,
agar bisa lebih taat lagi. Contohnya seperti diterapkan di Kabupaten Indramayu.
Penghargaan ini diarahkan kepada golongan atas untuk memacu lebih taat lagi
melakukan pembayaran retribusi panen.
e. Memberikan penyuluhan/sosialisasi tentang prospek usaha sarang burung walet
melalui rapat dinas, seminar, lokakarya, dan kerja sama dengan asosiasi
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) atau Kamar Dagang Indonesia
(KADIN). Usaha ini terutama ditujukan kepada masyarakat yang masih awam
atau pemula dalam usaha budi daya sarang burung walet sehingga punya bekal
pengetahuan untuk memulai usahanya.
f. Menggunakan sistem jemput bola alias tidak hanya menunggu di kantor saja
tetapi perlu melakukan upaya upaya sehingga para pengusaha itu sadar akan
kewajibannya untuk menyetorkan pajak atas usaha sarang burung waletnya. Jika
pengusaha tersebut tidak bisa memberikan kontribusi kepada daerah, sebaiknya
usaha walet itu ditutup saja, itu artinya tidak ada kontribusi yang jelas sehingga
menimbulkan kesan bahwa sektor usaha walet di suatu daerah tidak bisa digali
secara maksimal.
g. Bila perlu, pemda membuat perda tentang zonasi usaha walet. Kalau tidak ada
aturan tentang pendirian rumah sarang burung walet maka pengusaha sarang
burung walet meras bebas bertindak semaunya dalam membangun rumah sarang
burung walet. Hal ini untuk menghindari dampak buruk terhadap lingkungan
28
sekitarnya, seperti: polusi suara, kotoran, dan lainlain, yang akan mengganggu
usaha budi daya sarang burung walet di masa depan karena protes dari warga
sekitarnya yang merasa terganggu waktu istirahat siangnya oleh rekaman kaset
suara walet yang jarang dimatikan dan diputar secara terus menerus pada siang
hari.
h. Melakukan evaluasi atas pelaksanaan pemungutan pajak sarang burung walet
untuk menilai pencapaian target pungutan retribusi dan mengetahui permasalahan
yang terjadi dan mencari solusi yang tepat.
29
DAFTAR PUSTAKA
Devas, Nick dkk, 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia
Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat
30