Anda di halaman 1dari 31

PAPER

MANAJEMEN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK


BERBAGAI PAJAK DAERAH DAN OPTIMALISASI PENDAPATAN
DAERAH MELALUI SEKTOR PAJAK SARANG BURUNG WALET
DOSEN PEMBIMBING: ELSA SARI YULIANA, SE, M.Sc

DIUSULKAN OLEH:
KELOMPOK 7
MEIRY DINTIA ARINI (4201414047)
NURDIYANTI SUGANDA (4201414030)
RODIYAH MUNAWWARAH (4201414025)

POLITEKNIK NEGERI PONTIANAK


PROGRAM STUDI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai
pengaturan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pelaksanaan UndangUndang tersebut telah merubah sistem sentralisasi
sebelumnya ke arah desentralisasi.

pemerintahan

yang terjadi

Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan memberikan kesempatan dan

keleluasaan

kepada

daerah

untuk

menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah kemandirian suatu


daerah dituntut untuk mewujudkan terciptanya pembangunan daerah yang tidak
bergantung pada pemerintah pusat. Untuk itu daerah diberi kewenangan untuk
mengelola penerimaan daerahnya khususnya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Salah

satu

sumber

penerimaan

PAD adalah pajak daerah. Dasar hukum

pengelolaan pajak daerah adalah UU No. 28 Tahun 2009

Tentang

Pajak

Daerah

dan Retribusi Daerah. Sumber penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah
yang sangat potensial menjadikan

Pemerintah

Daerah perlu bekerja keras dalam

menggali potensi- potensi penerimaan dari sumber penerimaan tersebut guna


mendapatkan hasil yang maksimal. Penerimaan pajak daerah yang maksimal
tentu berpengaruh terhadap PAD yang ada. Berdasarkan hal tersebut sudah tentu
suatu daerah perlu menyusun strategi guna meningkatkan penerimaan pendapatan asli
daerahnya yang berasal dari pajak daerah.
Dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan pemerintah daerah dalam
bentuk pelaksanaan kewenangan fiskal, daerah harus dapat mengenali potensi dan
mengidentifikasi sumber-sumber daya yang dimilikinya. Pemerintah daerah diharapkan
lebih

mampu

menggali

sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi

kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui pajak


daerah di daerahnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah dikarenakan di sisi lain, masih
terdapat sumber pendapatan yang belum teroptimalkan. Hal ini dibuktikan antara
lain: banyak daerah yang mampu merealisasikan penerimaan dari sumber-sumber
1

tertentu jauh melebihi target yang telah ditentukan. Oleh karena itu, makalah ini
mencoba membahas mengenai berbagai pajak daerah dan optimalisasi pendapatan daerah
melalui pajak burung walet. Pembahasan ini dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui jenis jenis pajak daerah
2. Untuk

mengetahui

manajemen

keuangan

daerah

dengan

optimalisasi pendapatan daerah melalui sektor pajak sarang


burung walet

BAB II
DASAR HUKUM

UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara


UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daearh dan Retribusi Daerah
PP No. 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daearh yang Dipungut Berdasarkan
Penetapan Kepala Daerah/ yang Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak

BAB III
DEFINISI
3.1 Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah adalah satuan- satuan organisasi pemerintah yang berwenang
untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok yang mendiami
suatu wilayah yang dipimpin oleh kepala pemerintahan daerah.Kepala Daerah adalah
Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokrasi. (Gie : 2000:5)
Berdasarkan Pasal 5 ayat (4) Undang- Undang

Nomor

23

Tahun

2014

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dilakukan

dengan

asas

desentralisasi,

asas dekonsentrasi, dan asas tugas pambantuan. Konsep desentralisasi yang diberlakukan
di Indonesia telah memberikan implikasi yang sangat mendasar terutama menyangkut
kebijakan fiskal dan kebijakan administrasi negara.

3.2 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal


Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Hal tersebut
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melalui
otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya
dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah (Wijaya, 2002:7).
Menurut Halim (2009:17) Desentralisasi fiskal merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari otonomi daerah diatur pelaksanaannya melalui Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Desain dan Perimbangan Keuangan
Pusat-Daerah

masih

menitikberatkan

sumber-sumber

penerimaan

Pemerintah Daerah pada sumber yang berasal dari Pemerintah Pusat dalam bentuk dana
perimbangan, yang terdiri dari: bagian daerah dari PBB, BPHTB, SDA, DAU dan Dana
Alokasi Khusus (DAK).

3.3 Pendapatan Asli Daerah


Berdasarkan Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang dimaksud dengan Pendapatan
Daerah adalah hal pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun bersangkutan. Pasal 6 Ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004

menyebutksn bahwa PAD bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi daerah, Hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang di pisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.

3.4 Pajak Daerah


UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan
bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Pajak daerah, sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah diharapkan menjadi
salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembantuan daerah,
untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian
daerah mampu melaksanakan otonomi yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri melalui kebijakan fiskal daerah.
3.5 Optimalisasi Pendapatan Daerah
Optimalisasi adalah hasil yang dicapai sesuai dengan keinginan, jadi optimalisasi
merupakan pencapaian hasil sesuai harapan secara efektif dan efisien. Optimalisasi
Pendapatan Daerah adalah memaksimalkan pendapatan daerah yang bersumber dari
hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk
meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda diupayakan tidak
berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai) karena hal tersebut
akan menimbulakan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan
perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam Undang-Undang Nomor
18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan
bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat:
Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang memenuhi kriteria umum tentang
perpajakan daerah sebagai berikut:
1.

Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik

turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.


2.

Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok

masyarakat dan secara horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3.

Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, memuaskan bagi

wajib pajak.
4.

Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan

kesadaran pribadi untuk membayar pajak.


5.

Nondistorsi terhadap perekonomia: implikasi pajak atau pungutan yang hanya

menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya, setiap pajak


atau pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun produsen.
Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan yang berlebihan
sehingga merugikan masyarakat secara menyeluruh.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, perpajakan daerah harus
memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu sebagai berikut:
1.

Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandigan antara

penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.


2.

Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-

kadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam.

3.

Tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan dan

kemampuan untuk membayar.


Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemberian kewenangan
untuk mengadakan pemungutan pajak, selain mempertimbangkan kriteria-kriteria
perpajakan yang berlaku secara umum, seyogianya juga harus memprtimbangkan
ketetapan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak
yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan
desentralisasi. Untuk itu, pemerintah daerah dalam melakukan pungungutan pajak harus
tetap menempatkan sesuai dengan fungsinya.
Adapun fungsi pajak di kelompokan menjadi dua yaitu: fungsi budgeter dan fungsi
regulator.
Funsi budgeter, yaitu apabila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara digunakan
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Fungsi regulator yaitu apabila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai
tujuan, misalnya pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau
mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor komoditas tertentu dalam rangka
menghindari kelangkaan produk tersebut dalam negeri.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang
diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan pada tingkat pemerintahan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota yaitu sebagai berikut:
1.

Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan

distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.


2.

Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu mobile. Pajak

daerah yang sangat mobile akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari
daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya,
basis pajak yang tidak terlalu mobile akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarif
pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini,
pajak konsumsi di banyak negara diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan
wilayah daerah yang cukup luas (seperti provinsi di canada). Dengan demikian, basis
pajak mobile merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi. (pusat/provinsi),
3.

Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antardaerah, seharusnya diserahkan

kepada pemerintahan pusat.


7

4.

Pajak daerah seharusnya visible dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi

pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan
mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.
5.

Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain

karena akan memperlemah hubungan antara pembayar pajak dan pelayanan yang diterima
(pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6.

Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk

menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus
elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
7.

Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah di administrasikan

atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan
kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakan hukum dan
komputerisasi.
8.

Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada

semua tingkat pemerintahan, tetapi penyerahan kewenangan pemungutannya kepada


daerah akan tetap sepanjang manfaatnya dapat dilokasikan bagi pembayar pajak lokal.

4.2 Jenis Jenis Pajak


4.2.1 Pajak Provinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor. Yang dimaksud dengan kendaraan Bermotor adalah semua
kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi
untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan
bermotor yang bersangkutan, termasuk alatalat berat dan alat-alat besar yang dalam
operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta
kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan
Bermotor.
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:
a. kereta api

b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan


keamanan negara
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah
d. objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang
memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki
Kendaraan Bermotor.
Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua)
unsur pokok: a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan b. bobot yang mencerminkan secara
relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan
Kendaraan Bermotor.
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu
persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen)
b. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan
secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen).
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang
sama.
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial
keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah,
dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen). Tarif
Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat alat besar ditetapkan paling rendah
sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua
persen).
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik
kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau

keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke
dalam badan usaha.
Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan
kepemilikan Kendaraan Bermotor.
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:
a. kereta api
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah
d. objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau
Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. Wajib Pajak Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan
Kendaraan Bermotor.
Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual
Kendaraan Bermotor Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi
masing-masing sebagai berikut:
a. penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen)
b. penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen). (2) Khusus untuk
Kendaraan Bermotor alat-alat berat danalat-alat besar yang tidak menggunakan jalan
umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut: a. penyerahan
pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan b. penyerahan kedua dan
seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor


Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor.
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang
digunakan untuk kendaraan bermotor.

10

Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan
bakar yang digunakan untuk kendaraan di air.
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor adalah:
a. kereta api
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan
keamanan negara
c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang
memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah
Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor. Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang
pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan bermotor
Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen). Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan
bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih
rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi.
d. Pajak Air Permukaan
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air
permukaan. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak
termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.
Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Permukaan.
Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah
a. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah
tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan
b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
11

Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan.
Nilai Perolehan Air Permukaan dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan
mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor faktor berikut:
a. jenis sumber air
b. lokasi sumber air
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan
e. kualitas air
f. luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air
g. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air.
Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesa 10% (sepuluh persen).
e. Pajak Rokok.
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. Rokok meliputi sigaret, cerutu, dan rokok
daun. Dikecualikan dari objek Pajak Rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Subjek Pajak Rokok adalah
konsumen rokok.
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang
memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Dasar pengenaan
Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Tarif Pajak
Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.

4.2.2 Pajak Kabupaten/Kota


a. Pajak Hotel
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Hotel adalah
fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan
dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan
jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).

12

Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya
memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
Tidak termasuk objek Pajak Hotel adalah:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan
panti sosial lainnya yang sejenis
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat
dimanfaatkan oleh umum.
Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran
kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. Wajib Pajak Hotel adalah
orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. Dasar pengenaan Pajak Hotel
adalah jumlah pembayaran atau ng seharusnya dibayar kepada Hotel. Tarif Pajak Hotel
ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
b. Pajak Restoran
Pajak Restoran menurut Pasal 1 angka 22 UU nomor 28 Tahun 2009 adalah pajak
atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Objek Pajak Restoran adalah pelayanan
yang disediakan oleh Restoran. Tidak termasuk objek Pajak Restoran adalah pelayanan
yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau
Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. Wajib Pajak Restoran
adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran. Dasar pengenaan Pajak
Restoran adalah jumlah pembayaran diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.
Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
c. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua
jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan
dipungut bayaran.
Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut
bayaran.
13

Hiburanadalah: a. tontonan film; b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; c.


kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya; d. pameran; e. diskotik, karaoke, klab
malam, dan sejenisnya; f. sirkus, akrobat, dan sulap; g. permainan bilyar, golf, dan
boling; h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; i. panti pijat,
refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan j. pertandingan
olahraga.
Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
Hiburan. Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.
Jumlah uang yang seharusnya diterima termasuk potongan harga dan tiket cumacuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan. Pasal 45 Tarif Pajak Hiburan
ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Khusus untuk Hiburan
berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan
ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa. Tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling
tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional
dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
d. Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah
benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk
tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik
perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca,
didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. Objek Pajak
meliputi: a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat, stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame suara;
i. Reklame film/slide; dan
j. Reklame peragaan.
14

Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:


a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta
mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi
untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha
atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal
usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
e. penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
Reklame.
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau
Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut. Dalam hal
Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib
Pajak Reklame.
Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame. Tarif Pajak Reklame
ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
e. Pajak Penerangan Jalan
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Objek Pajak Penerangan Jalan
adalah penggunaan tenaga istrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh
dari sumber lain. Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh pembangkit listrik.
Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah: a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat,
dan perwakilan asing dengan asas timbal balik; c. penggunaan tenaga listrik yang
dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi
teknis terkait; dan d. penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan
Daerah.

15

Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
menggunakan tenaga listrik. Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau
Badan yang menggunakan tenaga listrik. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber
lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik. Dasar pengenaan
Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. Tarif Pajak Penerangan Jalan
ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari
sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak
Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen). Penggunaan tenaga
listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi
sebesar 1,5% (satu koma lima persen).

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan


Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan
bumi untuk dimanfaatkan. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan ogam
dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang
mineral dan batubara.
Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. kegiatan pengambilan Mineral Bukan
Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial, seperti
kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang
listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas; b. kegiatan
pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan
pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial; dan c. pengambilan
Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan
yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan. Wajib Pajak Mineral Bukan
Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan
Logam dan Batuan. Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah
Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan. Tarif Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
g. Pajak Parkir
16

Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir adalah
keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a.
penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b.
penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk
karyawannya sendiri; c. penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan
perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan d. penyelenggaraan tempat Parkir
lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir
kendaraan bermotor. Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan tempat Parkir.
Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada penyelenggara tempat Parkir. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi
sebesar 30% tiga puluh persen).
h. Pajak Air Tanah
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan
tanah.
Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah: a. pengambilan dan/atau pemanfaatan
Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan
rakyat, serta peribadatan; dan b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya
yang diatur dengan Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Wajib Pajak Air Tanah adalah orang
pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah. Nilai
Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang
17

dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut: a. jenis


sumber air; b. lokasi sumber air; c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air; d.
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; e. kualitas air; dan f. tingkat kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. Tarif Pajak Air
Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
i. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang burung walet. Burung Walet adalah satwa yang termasuk
margacollocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina,collocalia esculanta,
dan collocalia linchi.
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan
Sarang Burung Walet. Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah: a. pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP); b. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung
Walet lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung
Walet.
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi
atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan
perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman
dan/atau laut.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau
Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
18

pertambangan. Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah: a. jalan lingkungan yang


terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang
merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut; b. jalan tol; c. kolam
renang; d. pagar mewah; e. tempat olahraga; f. galangan kapal, dermaga; g. taman
mewah; h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan i. menara.
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan adalah objek pajak yang: a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk
penyelenggaraan pemerintahan; b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan
umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; c. digunakan untuk kuburan,
peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; d. merupakan hutan lindung, hutan
suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa,
dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; e. digunakan oleh perwakilan
diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan f. digunakan oleh
badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Nilai Jual Objek
Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
Bangunan.
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau
Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat
atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah
NJOP. Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga)
tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya . Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

19

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak
atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemindahan hak karena: 1) jual beli; 2)
tukar menukar; 3) hibah; 4) hibah wasiat; 5) waris; 6) pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lain; 7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) penunjukan
pembeli dalam lelang; 9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap; 10) penggabungan usaha; 11) peleburan usaha; 12) pemekaran usaha; atau 13)
hadiah. b. pemberian hak baru karena: 1) kelanjutan pelepasan hak; atau 2) di luar
pelepasan hak. ) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. hak milik;
b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah
susun; dan f. hak pengelolaan. )
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah objek pajak yang diperoleh: a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik; b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan
lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. orang pribadi atau Badan karena konversi
hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. orang
pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk
kepentingan ibadah.
Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau
Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi
atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dasar pengenaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai
Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a. jual beli
20

adalah harga transaksi; b. tukar menukar adalah nilai pasar; c. hibah adalah nilai pasar; d.
hibah wasiat adalah nilai pasar; e. waris adalah nilai pasar; f. pemasukan dalam peseroan
atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g. pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan adalah nilai pasar; h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; pemberian hak baru atas tanah
di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; penggabungan usaha adalah nilai pasar;
peleburan usaha adalah nilai pasar; pemekaran usaha adalah nilai pasar; hadiah adalah
nilai pasar; dan/atau penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang
tercantum dalam risalah lelang. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).

4.3 Optimalisasi Pendapatan Daerah Melalui Sektor Pajak Sarng Burung Walet:
Studi Kasus Kabupaten Blitar
Indonesia adalah salah satu negara yang menghasilkan sebagian besar sarang
burung walet di dunia. Sebagian besar sarang burung walet di Indonesia diekspor ke
Hong Kong dan Cina. Negara-Negara lain yang juga menghasilkan sarang burung walet
adalah Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam, Burma, Singapura, India, dan Srilanka.
Di Indonesia sebagian besar sarang burung walet dihasilkan di pulau Jawa dan budi
daya dilakukan dengan menggunakan rumah atau gedung walet. Beberapa daerah di
Indonesia yang merupakan tempat budi daya sarang burung walet, seperti: Pasuruan,
Gresik, Tuban, Semarang, Pekalongan, Pandeglang, Karimun, Jembrana, Blitar, Blora,
dan lain-lain.
Kabupaten Blitar merupakan daerah penghasil SBW yang cukup potensial sebagai
salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Namun, pengelolaan yang kurang
intensif dan disiplin menyebabkan pemasukan dari budi daya SBW sangat kurang
memberikan andil bagi pemasukan PAD Kabupaten Blitar.
Dalam budi daya sarang burung walet di Blitar, terdapat tiga golongan pemilik
gedung walet, yaitu golongan karyawan, golongan menengah, dan golongan atas.
Golongan karyawan mempunyai gedung kecil dan menggunakan teknologi yang kurang
maju karena mereka tidak memiliki cukup modal. Selain itu golongan ini juga
membangun gedungnya di wilayah di mana mereka tinggal. Selain menghasilkan sarang
burung walet, mereka juga menghasilkan sarang burung seriti, yang meskipun harga
21

sarangnya jauh lebih murah dari pada sarang burung walet, namun hal tersebut
memberikan tambahan penghasilan yang lumayan.
Pemilik dari golongan menengah juga membangun gedung walet di wilayah tempat
tinggal mereka dengan membangun gedung yang lebih besar dari pada golongan
karyawan, mempunyai pengetahuan dan teknologi yang lebih maju seperti sistem tweeter
dan desain gedung. Selain menghasilkan sarang burung walet, di sana terkadang ada juga
menghasilkan sarang burung seriti.
Sedangkan golongan atas mempunyai pengetahuan dan teknologi yang maju bila
dibandingkan dengan golongan menengah. Hanya saja golongan atas tersebut bukanlah
penduduk setempat, melainkan tinggal di kota besar. Dia akan membangun gedung walet
di daerah manapun yang paling cocok untuk budi daya sarang burung walet. Di samping
itu, tujuan golongan atas adalah khusus untuk menghasilkan sarang burung walet saja,
bukan bersamaan dengan sarang burung seriti. Namun, jika terdapat sarang burung yang
berisi telur burung seriti, maka mereka sering menukar telur burung seriti dengan telur
burung walet dan menunggu sampai masa panen tiba.
Pemda Kabupaten Blitar sebenarnya pernah mencoba berperan aktif dalam industri
budi daya SBW ini, misalnya dengan membuat buku dan mengadakan seminar tentang
bagaimana budi daya sarang burung walet, namun secara keseluruhan Pemda Kabupaten
Blitar tidak memainkan peranan yang besar dalam industri tersebut. Peran pemda
dihalangi oleh para pemilik gedung burung walet yang sudah berhasil, karena mereka
tidak ingin pihak pemda terlibat dalam industri ini, sebab pemilik gedung walet khawatir
jika mereka harus membayar lebih banyak uang pada pihak pemda. Berbeda dengan
golongan atas, orang-orang yang gedung waletnya belum berhasil (golongan bawah)
sangat mengharapkan Pemda Kabupaten Blitar ikut berperan dalam industri ini dan
mereka ingin mendapat bantuan dari pihak pemda. Namun, pemilik gedung yang telah
berhasil, (golongan atas) tidak ingin dibantu oleh pemda dan tidak bersedia membantu
memberikan data jumlah kilogram sarang yang mereka hasilkan, sehingga pihak pemda
tidak bisa membuat data tentang jumlah total sarang yang dihasilkan di Blitar.
Sesuai ketentuan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 27 Tahun 2000 bahwa
orang-orang yang ingin membangun gedung sarang burung walet di Kabupaten Blitar,
harus membayar surat Izin Mendirikan Bangunan -(IMB) yang dikelola oleh Dinas
Perdagangan. Di samping itu, setiap panen sarang, pemilik gedung walet harus membayar
retribusi sebesar 3% dari panen tersebut kepada kas daerah. Namun, dalam
22

pelaksanaannya orang-orang yang membangun gedung sarang burung walet di desa-desa


kecil jarang membayar IMB dan pemilik gedung sarang walet dari semua golongan
jarang membayar retribusi
Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar
Dinas Kehutanan Blitar pernah memberikan sosialisasi kepada pemilik gedung
sarang burung walet. Untuk membangun rumah atau gedung sarang burung walet,
investor harus membangun sendiri, dan ketika gedung tersebut telah menghasilkan sarang
burung walet barulah dikenakan retribusi sesuai dengan Perda 27/2000, dan biaya
retribusinya sebesar 3% dari jumlah harga yang dihasilkan setiap masa panen.
Di setiap kecamatan ada Petugas Kehutanan Lapangan (PKL) yang bertugas
menarik retribusi tersebut. Dengan demikian, jika pemilik gedung walet harus membayar
retribusi kepada Pemda, maka sekaligus petugas diharapkan juga dapat memberikan
bantuan kepada para pemilik gedung walet.
Pada tahun 2001, Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Blitar
menerbitkan buku berjudul Pedoman Budi Daya Walet. Tujuan buku tersebut untuk
membantu orang-orang di Kabupaten Blitar yang ingin membangun gedung burung
walet. Di samping itu, Dinas Kehutanan di Kabupaten Blitar percaya bahwa jika orangorang di desa memasuki industri seperti budi daya sarang burung walet, maka hal ini juga
bisa membantu program rehabilitasi hutan. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa:
Memasyarakatkan usaha sarang burung walet akan membantu sekali dalam
upaya meningkatkan pendapatan masyarakat. Tetapi dikhawatirkan menggangu
kelestarian burung walet tersebut apabila cara penanganan dan pemanenannya
tidak menggunakan teknik yang tepat. Oleh karena itu, perlu disebarluaskan
tentang cara-cara budi daya burung walet yang baik dari segi teknis.
Penyusunan buku budidaya sarang burung walet di samping sebagai pegangan
bagi kegiatan penyuluhan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Blitar, juga untuk
memperkenalkan kepada masyarakat luas tentang cara-cara budi daya walet dengan
harapan dapat

meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa mengganggu kelestarian

burung walet tersebut. Buku ini ditulis pada bulan Juni Tahun 2001 oleh Dinas
Kehutanan dan Perkebunan. Hal ini menunjukkan mulai tahun 2001, Pemda Blitar
tertarik dengan industri ini, serta ingin menyosialisasikan kepada masyarakat tentang budi
daya sarang burung walet. Namun, buku ini hanya dicetak dalam jumlah terbatas karena

23

pemda tidak memiliki dana yang cukup untuk mencetak buku dalam jumlah yang lebih
banyak.
Selain mencetak buku, pada tahun 2001 Pemda Kabupaten Blitar juga
mengadakan seminar tentang budi daya sarang burung walet di Kab. Blitar agar pemilik
gedung burung walet bisa bertukar ide-ide tentang industri ini dan berbagi ilmu kepada
orang-orang yang ingin memasuki industri tersebut. Tetapi, pelaksanaan seminar ini tidak
berhasil karena hanya sedikit peserta yang hadir ke seminar tersebut, hanya dari golongan
pemula yang berasal dari penduduk lokal.
Sulit sekali bagi pemda untuk mengadakan seminar ini di luar kota karena
masyarakat tidak memiliki dana besar, tetapi pemda bisa mengirim surat-surat kepada
masing-masing kepala desa di seluruh Blitar. Selain itu juga bahwa sebagian besar petani
yang tinggal di desa tidak ingin berkecimpung dalam budi daya sarang burung walet
karena untuk membangun rumah atau gedung walet sangat mahal dan harus menunggu
waktu yang lumayan lama untuk bisa mendapatakna uang dari sarangnya, sehingga petani
lebih suka berternak ayam atau sapi.
Untuk mengatasi permasalah tersebut dan lebih mengintensifkan pendapatan dari
budi daya sarang burung walet, pihak pemda telah melakukan upaya nyata dengan
menerbitkan peraturan daerah tentang pajak daerah, termasuk pajak sarang burung walet,
yaitu Perda Kabupaten Blitar No. 2 tahun 2011. Menurut sekretaris Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Blitar, hal ini merupakan
tindak lanjut dari diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009. Peraturan ini
mengubah status pungutan dari usaha sarang burung walet, yang semula berupa pungutan
retribusi diganti menjadi pungutan pajak sarang burung walet. Perubahan ini diharapkan
semakin memperjelas para-unit terkait akan pentingya pendapatan pajak dari sektor usaha
budi daya sarang burung walet.
Dalam Perda yang telah ditetapkan mulai tahun 2011 tersebut, Pemda Kabupaten
Blitar mentargetkan mendapatkan PAD dari pajak daerah sebesar Rp 15,36 miliar. Target
pajak daerah Kabupaten Blitar tahun 2011 mengalami kenaikan, yakni dari target awal
sebesar Rp 13,150 miliar sebelum pelaksanaan APBD perubahan 2011 kini menjadi Rp
15,36 miliar, sehingga dengan kenaikan target pada akhir tahun ini bisa menambahkan
target PAD Kabupaten Blitar sebasar Rp 74,290 miliar. Namun dari target tersebut ada
dua jenis pajak yang belum masuk, yakni pajak sarang burung walet dan pajak bumi
bangunan perdesaan dan perkotaan yang akan diberlakukan pada tahun 2014 mendatang.
24

Pemda beralasan masih perlu melakukan persiapan administras, SDM, koordinasi antar
unit terkait, mengingat pajak sarang burung walet adalah jenis pendapatan daerah yang
baru diatur oleh pemerintah. Pelaksanaan penagihan atas pungutan dari usaha sarang
burung walet sebelumnya masih berupa retribusi sesuai Perda 27/2000, yang diupayakan
semaksimal mungkin.

25

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Jenis-jenis Pajak Daerah, antara lain sebagai berikut:
a. Pajak Daerah Propinsi
1. Pajak Kendaran Bermotor
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3. Pajak Bahan Bakr Kendaraan Bermotor
4. Pajak Air Permukaan
5. Pajak Rokok
b. Pajak Daerah Kabupaten/Kota
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
6. Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak Parkir
8. Pajak Air Tanah
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. PBB Perkotaan da Pedesaan
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Optimalisasi pendapatan daerah melalui sektor pajak sarang burung walet (SBW)
di Pemda Kabupaten Blitar masih perlu dilakukan dengan intensif dan serius.
Pembayaran retribusi tersebut masih belum dapat dikendalikan, disebabkan karena halhal sebagai berikut.
a. Petugas dari Pemda Kabupaten Blitar tidak mengetahui data terutang populasi
usaha budi daya SBW. Dalam budi daya sarang burung walet ada tiga golongan
pemilik gedung walet, yaitu golongan atas, golongan menengah, dan golongan
karyawan.
b. Terbatasnya koordinasi antar-unit kerja terkait, yaitu: Dinas Perdagangan, Dinas
Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan dan Perkebunan dalam melakukan
pendapatan berapa jumlah SBW di Pemda Kabupaten Blitar
26

c. Pembiaran kepada pemiliki sarang burung walet untuk melakukan kebohongan


tentang data panen.
d. Kurangnya jaminan keamanan berusaha bagi pemilik sarang burung walet. Salah
satunya alasan pemilik SBW tidak mau mengungkapkan data hasil panennya
kepada petugas pemda adalah kekhawatiran akan terjadi pencurian SBW.
e. Terlalu lama untuk memberlakukan Perda terkait pajak sarang burung walet, yaitu
pada tahun 2014. Padahal sudah banyak potensi PAD yang bisa dikumpulkan dari
populasi budi daya SBW yang ada. Akibatnya makin besar potensi kerugian
daerah akibat dibiarkannya pemungutan retribusi yang selama ini berlangsung.
f. Sulitnya Pemda Kabupaten Blitar membujuk pemilik gedung walet agar mau
membayar retribusi tersebut, seringnya pemilik gedung walet memanen sarang
sebelum pemeriksaan sehinga jumlah sarang yang dihitung dalam gedungnya
hanya sedikit.
g. Pemda Kabupaten Blitar tidak memiliki dana yang cukup besar untuk melakukan
inspeksi atau kunjungan kegedung-gedung sarang walet di seluruh wilayah
pemda.
h. Sulitnya membuat pemilik bekerjasama dengan petugas pemda dan memberikan
izin atau membuka pintu untuk memasuki gedung sarang burung walet mereka.
i. Sangat sulit bagi pihak pemda membuat pemilik gedung walet membayar retribusi
karena sistem yang berlaku saat ini terlalu mudah untuk dilanggar oleh para
pemilik gedung agar tidak membayar.
5.2 Saran
Untuk memperkecil peluang terjadinya masalah pada pemungutan retribusi/pajak
sarang burung walet (SBW) disarankan kepada Pemda Kabupaten Blitar agar melakukan
hal-hal berikut ini.
a. Mengingat pungutan retribusi sarang burung walet dengan membenahi
administrasi pengelolaan pungutan retribusi sarang burung walet, misalnya:
melakukan pendapatan kepada setiap budi daya rumah sarang burung walet
sehingga dapat diketahui potensi penerimaan pajaknya dengan menjalin kerja
sama dengan pihak desa/kelurahan sebagai yang lebih paham tiap daerah.
b. Membuat peraturan yang menyatakan bahwa pemilik gedung walet harus
membuka pintu gedung bagi para petugas inspeksi dari pemda dan secara terus27

menerus membujuk agar pemilik mau membayar retribusi kepada pihak pemda,
sehingga uang ini bisa digunaan untuk memajukan industri ini. Jika pemilik
gedung walet membayar retribusi kepada pemda, maka uang tersebut bisa
dimasukkan ke APBD serta bisa digunakan untuk membayar program sosialisasi
budi daya sarang burung walet.
c. Menyebarkan iklan melalui internet akan daya tarik investasi sarang burung walet,
kemudahan dalam memperoleh izin usaha sarang burung walet sehingga akan
mengundang investor dari segala penjuru. Contohnya adalah di Kota
Lubuklinggau yang membuat Perda Nomor 16 Tahun 2010 tentang Perizinan
Sarang Burung Walet, yang hanya menetapkan besarnya biaya izin usaha sarang
burung walet sebesar izin ganggguan.
d. Memberikan penghargaan bagi Wajib Pajak terbaik atas dedikasi mereka dengan
harapan akan menjadi motivasi atau menjadi teladan bagi Wajib Pajak lainnya,
agar bisa lebih taat lagi. Contohnya seperti diterapkan di Kabupaten Indramayu.
Penghargaan ini diarahkan kepada golongan atas untuk memacu lebih taat lagi
melakukan pembayaran retribusi panen.
e. Memberikan penyuluhan/sosialisasi tentang prospek usaha sarang burung walet
melalui rapat dinas, seminar, lokakarya, dan kerja sama dengan asosiasi
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) atau Kamar Dagang Indonesia
(KADIN). Usaha ini terutama ditujukan kepada masyarakat yang masih awam
atau pemula dalam usaha budi daya sarang burung walet sehingga punya bekal
pengetahuan untuk memulai usahanya.
f. Menggunakan sistem jemput bola alias tidak hanya menunggu di kantor saja
tetapi perlu melakukan upaya upaya sehingga para pengusaha itu sadar akan
kewajibannya untuk menyetorkan pajak atas usaha sarang burung waletnya. Jika
pengusaha tersebut tidak bisa memberikan kontribusi kepada daerah, sebaiknya
usaha walet itu ditutup saja, itu artinya tidak ada kontribusi yang jelas sehingga
menimbulkan kesan bahwa sektor usaha walet di suatu daerah tidak bisa digali
secara maksimal.
g. Bila perlu, pemda membuat perda tentang zonasi usaha walet. Kalau tidak ada
aturan tentang pendirian rumah sarang burung walet maka pengusaha sarang
burung walet meras bebas bertindak semaunya dalam membangun rumah sarang
burung walet. Hal ini untuk menghindari dampak buruk terhadap lingkungan
28

sekitarnya, seperti: polusi suara, kotoran, dan lainlain, yang akan mengganggu
usaha budi daya sarang burung walet di masa depan karena protes dari warga
sekitarnya yang merasa terganggu waktu istirahat siangnya oleh rekaman kaset
suara walet yang jarang dimatikan dan diputar secara terus menerus pada siang
hari.
h. Melakukan evaluasi atas pelaksanaan pemungutan pajak sarang burung walet
untuk menilai pencapaian target pungutan retribusi dan mengetahui permasalahan
yang terjadi dan mencari solusi yang tepat.

29

DAFTAR PUSTAKA
Devas, Nick dkk, 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia
Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat

UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara


UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak daearh dan Retribusi Daerah
PP No. 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daearh yang Dipungut Berdasarkan
Penetapan Kepala Daerah/ yang Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak
http://tulisantangankudi.blogspot.co.id/2012/07/makalah-pajak-dan-retribusidaerah.html (diakses pada 20 April 2016)
Sidiq, Machfud. ____. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka
Meingkatkan Kemampuan Keuanagn Daerah [Jurnal]

30

Anda mungkin juga menyukai