(ASAM URAT)
Pembimbing :
dr. Carmen M. Siagian, SpGK
Penyusun :
Vicky Chrystine, S.ked
(1061050052)
BAB I
PENDAHULUAN
Arthritis Pirai (asam urat) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia,
yang menempati peringkat kedua setelah osteoarthritis. gangguan metabolisme dasar
arthritis Pirai adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah (hiperurisemia) yang
merupakan hasil akhir dari metabolisme purin normal. pada wanita menopause
mengalami penurunan estrogen, yang estrogen dapat membantu meningkatkan
ekskresi asam urat.
Di Indonesia, arthritis pirai (asam urat) menduduki urutan kedua setelah
osteoartritis (Dalimartha, 2008). Prevalensi artritis pirai pada populasi di USA
diperkirakan 13,6/100.000 penduduk, sedangkan di Indonesia sendiri diperkirakan 1,6
- 13,6/100.000 orang, prevalensi ini meningkat seiring dengan meningkatnya umur.
Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6-47,2% yang bervariasi pada berbagai populasi.
Sedangkan prevalensi gout juga bervariasi antara 1-15,3%. Pada suatu studi
didapatkan insidensi gout 4,9% pada kadar asam urat darah >9 mg/dL, 0,5% pada
kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada kadar <7 mg/dL. Insidensi kumulatif gout mencapai
angka 22% setelah 5 tahun, pada kadar asam urat >9 mg/dL.
Hiperurisemia dapat terjadi bisa terjadi akibat peningkatan metabolisme asam
urat (overproduction), penurunan ekskresi asam urat urin (underexcretion), atau
gabungan keduanya. Sedangkan gout (pirai) adalah penyakit yang sering ditemukan,
merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium
urat pada jaringan, akibat gangguan metabolism berupa hiperurisemia. Manifestasi
klinik deposisi urat meliputi arthritis gout, akumulasi kristal di jaringan yang merusak
tulang (tofus), batu urat, dan nefropati gout.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi arthritis pirai (asam urat) adalah
makanan yang dikonsumsi, umumnya makanan yang tidak seimbang (asupan protein
yang mengandung purin terlalu tinggi) (Utami, 2009). Di dalam tubuh, perputaran
purin terjadi secara terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian RNA dan
DNA, sehingga walaupun tidak ada asupan purin, tetap terbentuk asam urat dalam
jumlah yang substansial (Sacher, 2004).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat
darah diatas normal. Secara biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan
asam urat di serum yang melewati ambang batasnya. Batasan hiperurisemia
secara ideal yaitu kadar asam urat >7 mg% pada laki-laki, dan >6 mg% pada
perempuan, berdasarkan berbagai studi epidemologi selama ini. Keadaan
hiperurisemia akan beresiko timbulnya arthritis gout, nefropati gout, atau batu
ginjal. Hiperurisemia yang terjadi dapat menimbulkan penumpukan kristal asam
urat. Gout akan terjadi jika kristal asam urat tersebut berada dalam cairan sendi.
B. Epidemiologi
Penyakit Artritis Pirai (Asam Urat) merupakan salah satu penyakit yang
banyak dijumpai pada laki-laki usia antara 30-40 tahun, sedangkan pada wanita
umur 55-70 tahun, insiden wanita jarang kecuali setelah menopause
(Tjokroprawiro, 2007). Pada suatu studi didapatkan insidensi gout 4,9% pada
kadar asam urat darah >9 mg/dL, 0,5% pada kadar 7-8,9%, dan 0,1% pada kadar
<7 mg/dL.
C. Etiologi
Penyebab hiperurisemia sebagai suatu proses metabolik yang bisa
menimbulkan manifestasi gout, dibedakan menjadi penyebab primer pada
sebagian besar kasus, penyebab sekunder dan idiopa- tik. Penyebab primer berarti
tidak penyakit atau sebab lain, berbeda dengan kelompok sekunder yang
didapatkan adanya penyebab yang lain, baik genetik maupun metabolik. Pada
99% kasus gout dan hiper- urisemia dengan penyebab primer, ditemukan
kelainan molekuler yang tidak jelas (undefined) meskipun diketahui adanya
mekanisme undersecretion pada 80-90% kasus dan overproduction pada 10-20%
kasus.
Sedangkan kelompok hiperurisemia dan gout sekunder, bisa melalui
mekanisme overproduction, seperti ganguan metabolism pu- rin pada defisiensi
alternatif. Sel makrofag (paling penting), netrofil dan sel radang lain juga
teraktivasi, yang akan menghasilkan mediator- mediator kimiawi yang juga
berperan pada proses inflamasi.
E. Diagnosis (Manifestasi Klinis)
Gambaran klinik dapat berupa:
1. Hiperurisemia asimptomatik adalah keadaan hiperurisemia (kadar asam
urat serum tinggi) tanpa adanya manifestasi klinik gout. Fase ini akan
berakhir ketika muncul serangan akut arthritis gout, atau urolitiasis, dan
biasanya setelah 20 tahun keadaan hiperurisemia asimptomatik. Terdapat
10-40% subyek dengan gout mengalami sekali atau lebih serangan kolik
renal, sebelum adanya serangan arthritis.
2. Arthritis gout, meliputi 3 stadium:
a. Artritis gout akut Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 4060 tahun pada laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset
sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim arthritis gout, yang
mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik,
penyakit ginjal atau penggunaan siklosporin. Pada 85-90% kasus,
serangan berupa arthritis monoartikuler dengan predileksi MTP-1
yang biasa disebut podagra. Gejala yang muncul sangat khas, yaitu
radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu
singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun tidur
terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan
monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai
keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai
lekositosis dan peningkatan laju endap darah. Sedangkan gambaran
radiologis hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak
periartikuler. Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam bahkan
tanpa terapi sekalipun.
Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi
yang adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti
pergelangan tangan/kaki, jari tangan/kaki, lutut dan siku, atau bahkan
beberapa sendi sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya,
digunakan
kriteria
dari
ACR
(American
College
of
Arthritis monoartikuler
Artritis
unilateral
yang
melibatkan
sendi
tarsal8.
1. Stadium interkritikal
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana
secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada
aspirasi
cairan
sendi
masih
ditemukan
kristal
urat,
yang
tahun tanpa serangan akut. Dan tanpa tata laksana yang adekuat
akan berlanjut ke stadium gout kronik.
2. Artritis gout kronik = kronik tofaseus gout
Stadium ini ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di
poliartikuler, dengan predileksi cuping telinga, MTP-1, olekranon,
tendon Achilles dan jari tangan. Tofi sendiri tidak menimbulkan
nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi di sekitarnya, dan menyebabkan
destruksi yang progresif pada sendi serta menimbulkan deformitas.
Selain itu tofi juga sering pecah dan sulit sembuh, serta terjadi
infeksi sekunder. Kecepatan pembentukan deposit tofus tergantung
beratnya dan lamanya hiperurisemia, dan akan diperberat dengan
gangguan fungsi ginjal dan penggunaan diuretic. Pada beberapa
studi didapatkan data bahwa durasi dari serangan akut pertama kali
sampai masuk stadium gout kronik berkisar 3-42 tahun, dengan
rata-rata 11,6 tahun. Pada stadium ini sering disertai batu saluran
kemih sampai penyakit ginjal menahun/gagal ginjal kronik.
Timbunan tofi bisa ditemukan juga pada miokardium, katub
jantung, system konduksi,beberapa struktur di organ mata terutama
sklera, dan laring.
Pada analisa cairan sendi atau isi tofi akan didapatkan Kristal
MSU, sebagai kriteria diagnostik pasti. Gambaran radiologis
didapatkan erosi pada tulang dan sendi dengan batas sklerotik dan
overhanging edge.1,2
F. Tatalaksana
Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta menghindari
obat-obatan yang meningkatkan kadar asam urat serum terutama diuretik.
Tujuan terapi gout adalah:
1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin
2. Mencegah serangan akut berulang
3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau
tempat lain
4. Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia
5. Edukasi : Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk
hiperurisemia asimptomatik) mempunyai latar belakang penyebab primer,
sehingga memerlukan pengendalian kadar asam urat jangka panjang. Perlu
compliance yang baik dari pasien untuk mencapai tujuan terapi di atas, dan
hal itu hanya didapat dengan edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah
purin juga menjadi bagian tata laksana yang penting.
Terapi Gizi :
Tujuan diet arthritis gout adalah untuk mencapai dan mempertahankan status gizi
optimal serta menurunkan kadar asam urat dalam darah dan urin. Syarat-syarat
diet penyakit gout arthritis adalah
Energi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Bila berat badan berlebih atau
kegemukan, asupan energi sehari dikurangi secara bertahap sebanyak 5001000 kkal dari kebutuhan energi normal hingga tercapai berat badan normal
(Almatsier, 2005). Penderita gangguan asam urat yang kelebihan berat
badan, berat badannya harus diturunkan dengan tetap memperhatikan jumlah
konsumsi kalori. Asupan kalori yang terlalu sedikit juga bisa meningkatkan
kadar asam urat karena adanya badan keton yang akan mengurangi
pengeluaran asam urat melalui urine (Helmi, 2012).
Protein cukup, yaitu 1,0-1,2 g/kg BB atau 10-15% dari kebutuhan energi
total (Almatsier, 2005). Protein terutama yang berasal dari hewan dapat
meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Sumber makanan yang
mengandung protein hewani dalam jumlah yang tinggi, misalnya hati, ginjal,
otak dan limpa. Asupan protein yang dianjurkan adalah sebesar 50-70 g/hari
atau 0.8-1 g/kg berat badan/hari. Sumber protein yang disarankan adalah
protein nabati yang berasal dari susu,keju, dan telur (Helmi, 2012).
Hindari bahan makanan sumber protein yang mempunyai kandungan purin
>150 mg/100gr (Almatsier, 2005). Apabila telah terjadi pembengkakan
sendi, maka penderita gangguan asam urat harus melakukan diet bebas purin.
Namun, karena hampir semua bahan makanan sumber protein mengandung
nukleoprotein, maka hal ini hampir tidak mungkin dilakukan. Tindakan yang
harus dilakukan adalah membatasi asupan purin menjadi 100-150 mg purin
per hari (diet normal biasanya mengandung 600-1000 mg purin per hari)
(Helmi, 2012).
Lemak sedang, yaitu 10-20% dari kebutuhan energi total. Lemak berlebih
dapat menghambat pengeluaran asam urat atau purin melalui urin (Almatsier,
2005). Konsumsi lemak sebaiknya sebanyak 15% dari total kalori (Helmi,
2012).
Karbohidrat dapat diberikan lebih banyak, yaitu 65-75% dari kebutuhan
energi total. Karena kebanyakan pasien gout arthritis mempunyai berat badan
lebih, maka dianjurkan untuk menggunakan sumber karbohidrat kompleks.
Karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti dan ubi sangat baik
dikonsumsi oleh pasien gangguan asam urat karena akan meningkatkan
pengeluaran asam urat melalui urine. Konsumsi karbohidrat kompleks ini
sebaiknya tidak kurang dari 100 gram per hari. Karbohidrat sederhana jenis
fruktosa seperti gula, permen, arum manis, gulali, dan sirup sebaiknya
dihindari karena fruktosa akan meningkatkan kadar asam urat dalam darah
(Helmi, 2012).
Vitamin dan mineral cukup sesuai dengan kebutuhan (Helmi, 2012).
Memperbanyak konsumsi sumber makanan berpotasium tinggi, seperti
pisang, avokad, kentang, susu, dan yoghurt. Memperbanyak konsumsi buahbuahan yang mengandung banyak vitamin C, seperti tomat, stroberi dan
jeruk. Memperbanyak konsumsi buah-buahan yang berkhasiat sebagai
diuretik karena kaya air, seperti jambu air, blewah, melon dan semangka.
Dianjurkan mengonsumsi tanaman herbal dan buah-buahan yang berkhasiat
mengatasi penyakit asam urat, seperti daun salam, sidaguri, sirsak, labu siam,
kentang, apel dan suka apel (Noormindhawati, 2014).
Cairan disesuaikan dengan urin yang dikeluarkan setiap hari (Almatsier,
2005). Konsumsi cairan yang tinggi dapat membantu membuang asam urat
melalui urine. Oleh karena itu, disarankan untuk menghabiskan minum
minimal sebanyak 2,5 liter atau 10 gelas sehari (Helmi, 2012).
Diet rendah purin memegang peranan penting untuk mengatasi hiperurisemia.
Pada hiperurisemia asimtomatik, biasanya tidak perlu diberikan pengobatan kecuali
bila kadar asam urat darah lebih dari 9 mg/dL. Diet rendah purin dengan pembatasan
purin 200-400 mg/hari dapat menurunkan kadar asam urat serum sebanyak 1 mg/dL
(Reppie, 2007).
Berdasarkan kadar purinnya, sumber makanan berpurin dikelompokkan
menjadi 3, yakni sumber makanan yang mengandung purin tinggi, sedang dan rendah.
Berikut ini akan diuraikan kriteria masing-masing sumber makanan berdasarkan kadar
purinnya.
Sumber makanan yang mengandung purin tinggi. Dalam kadar yang normal
sebenarnya purin sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Namun, jika jumlahnya
melebihi batas normalnya, maka akan meningkatkan produksi asam urat.
Akibatnya terbentuklah kristal-kristal asam urat. Sumber makanan yang
termasuk berkadar purin tinggi bisa dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Sumber
makanan yang mengandung purin tinggi, teobromin (kafein cokelat), limpa
kambing, hati sapi, ikan sarden, jamur kuping, limpa sapi, daun melinjo, paru
sapi, hati ayam, kulit ayam, kedelai, bebek, ayam, tahu, tempe, udang dan ikan
kakap, ikan hering, ikan tuna, salmon, ikan kembung dan aneka jenis seafood
lainnya.
Selain itu minuman yang juga mengandung purin tinggi diantaranya
adalah berikut ini: jeroan, kaldu atau ekstrak daging, soft Drink atau minuman
bersoda, minuman beralkohol, es krim.
ikan (kecuali jenis daging dan ikan yang sudah disebutkan dalam kelompok
berpurin tinggi), biji dan daun melinjo, kacang-kacangan, kangkung, jamur,
bayam, daun pepaya, daun singkong, dan kol.
ginjal dosis harus disesuaikan. Jenis obat yang lain seperti febuxostat,
non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup poten,
maupun pegylated recombinant uricase, masih dikembangkan.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Mulyasari Ade. Faktor Asupan Zat Gizi Yang Berhubungan Dengan Kadar Asam
Urat Darah Wanita Postmenopause. Artikel Penelitian. Universitas Diponegoro .
2015
Hidayat Rudy. Gout dan Hiperurisemia. Dalam. Medicinus Scientific Journal of
Pharmaceutical Development and Medical Application. Vol. 22 No. 2. 2009
Kalim H, Sunarti S, Anindhita P. Identifikasi hubungan pola asupan protein
hewani dengan resiko gout arthritis di kota Batu. Program Faculty of Medicine
Brawijaya University Malang. 2011
Kusindarti S. Penatalaksanaan Diet Rendah Purin. Media Dietetik. Edisi Khusus
2002. Asosiasi Dietitien Indonesia; 2002:9-15
Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. Edisi IV. Jakarta: PP Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI;2006.p 1023-7