Anda di halaman 1dari 5

Soal :

1.Terangkan mengapa pada ilmu yang mendasarkan obyektifitas masih


mengandung subyektifitas
Jawab :
Pada masa sekarang, sejarah mulai mendapatkan tempatnya
dengan memperoleh bentuk metodisnya. Tetapi, pada saat yang
bersamaan keilmiahan sejarah mulai dipertanyakan dan diragukan, hal ini
jika dilihat dari bobot ilmu dan tingkat objektivitasnya sebagaimana yang
dapat dicapai oleh ilmu pengetahuan alam yang telah dianggap sebagai
model ideal bagi objektivitas yang imiah. Hal ini membuat ilmu sejarah
selalu berada dalam posisi yang TIDAK BEGITU TERHORMAT diantara ilmuilmu yang lainnya.
Masalah "Subjektivitas dan Objektivitas" dalam sejarah merupakan
masalah yang strategis, karena masalah tersebut menyentuh inti
legitimasi sejarah sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan. Selanjutnya,
sejauhmanakah subjektivitas dan objektivitas tersebut mempengaruhi
penulisan sejarah? Bagaimanakah persoalan subjketivitas dan objektivitas
dapat diatasi?. Penyelesaian masalah ini akan menentukan apakah
sejarah dapat dikatakan suatu disiplin ilmu ilmiah.
Subjektivitas dan Objektivitas
Sebuah pelukisan sejarah kita sebut subjektif, bila subyek yang tahu yakni - sejarawan sendiri jelas hadir didalamnya. Sedangkan pelukisan
sejarah kita sebut objektif, bila hanya obyek penulisan sejarah dapat
diamati (Baca: Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah : Pendapat-Pendapat
Modern Tentang Sejarah, 1987).
Berangkat dari apa yang dikatakan oleh Soedjatmoko dalam buku yang
ditulis oleh Poesporodjo, bahwa :" Sesungguhnya, setiap pembicaraan
tentang problema-problema interpretasi sejarah dan sintesis bahan-bahan
sejarah menjadi suatu kisah yang berhubungan ke dalam historiografi
Indonesia modern, menjurus kepada persoalan-persoalan tentang
subjektivitas dan objektivitas". Artinya, sejarah yang tergolong ilmu
humaniora hendak menyamai ilmu pengetahuan alam yang dinilai ilmiah
seperti ilmu eksak. Keobjektifannya dianggap merupakan bukti suatu
kebenaran, ilmu pengetahuan alam dapat dibuktikan langsung secara
ilmiah dan mampu menjawab persoalan langsung saat itu juga,
sedangkan sejarah terutama dalam penulisannya memiliki kelemahan
yang dianggap tidak objektif karena memiliki kebenaran yang relatif.

Selama ini untuk menjamin keilmiahan suatu ilmu hanya objek, objektif
dan objektivitas yang dikejar. Pendekatan objektif dalam ilmu
pengetahuan alam terkesan digeneralisasikan dengan pendekatan objektif
dalam ilmu sejarah. Dalam pandangan sejarah, subjek mempunyai
peranan yang penting. Ternyata subjektivitas, bukan dalam arti
subjektivisme, justru merupakan dasar bagi lahirnya objektivitas. Jika
dilihat, maka berbicara tentang objektivitas dan subjektivitas sama
dengan membicarakan sejauh mana sejarawan tepengaruh oleh nilai-nilai
pada zamannya.
a. Subjektivitas
Seperti telah disinggung di atas bahwa subjektivitas adalah suatu
sikap yang memihak dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan,
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dalam sejarah unsur ini
banyak terdapat dalam proses interpretasi.
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan
interpretasi melibatkan pribadi/subyek. Selain yang diinterpretasikan
adalah peristiwa masa lalu yang sudah ditinggalkan. Sekalipun masih ada
itu hanya ada dalam pikiran sejarawan/subyek tersebut. Sejarawan
tersebut yang hidup di masa kini, tentu saja dalam melakukan interpretasi
dipengaruhi oleh keadaan zamannya. Selain itu terdapat faktor lain yaitu
menurut pendapat G.G.J Resink yang turut mempengaruhi subyektivitas
yaitu lingkungan kultural Indonesia yang majemuk dan terbuka untuk
banyak tafsiran, sinkretisme religius dan kultural, kecenderungan untuk
mencari ketenangan dengan sikap jujur.
Untuk itulah, hingga melahirkan subjektivisme, dimana objek tidak lagi
dipandang/dinilai sebagaimana seharusnya; tetapi dipandang sebagai
"kreasi", "konstruksi" akal budi.
Mengapa subjektif, karena menurut Nugroho bahwa sejawaran tidak
menangkap objek, yakni hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau
dengan menangkap ideanya. Sedangkan idea itu sesuatu yang subjektif.
Walaupun demikianbahwa pengetahuan subjektif tidak selalu mutunya
lebih rendah dari pengetahuan lainnya.
Artinya, dari penjelasan ini bahwa unsur subjektif
diperbolehkan/dihalalkan selama tidak mengandung subjektivistik yang
diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek, dan konsekuensinya
tidak lagi real sebagai objektif.
b. Objektivitas
Objektivisme yaitu sikap yang tidak dipengaruhi oleh pendapat

pribadi atau golongan didalam mengambil keputusan. Objektivitas


sebagai realitas adalah ketidaktersembunyiannya realitas tersebut bagi
subjektivistas.
Seperti yang kita tahu, keberhasilan ilmu pengetahuan alam membuat
banyak orang memandangnya sebagai model ideal ilmu. Dalam ilmu
pengetahuan alam yang mendasarkan diri pada pengalaman yang didapat
lewat indera maka yang terjadi adalah pendekatan pada suatu objek yang
dilakukan ilmu pengetahuan alam terjadi lewat cara objek tersebut
memberikan dirinya secara lahiriah kepada pancaindera. Dengan
demikian, fakta yang konkret dapat dihasilkan dan diujicobakan
kebenarannya sesuai dengan hukum-hukum yang dimilikinya. Berbeda
dengan sejarah yang objeknya manusia, maka ketika objektivitas dalam
ilmu pengetahuan alam tidak dapat diterapkan dalam ilmu sejarah karena
subjek penyelidik sejarawan mulai terlibat, disitulah objektivitas sejarah
mulai diragukan.
Dalam sejarah, bagaimanapun subjektivitas merupakan unsur penting
bagi terwujudnya ilmu pengetahuan sejarah itu sendiri karena tiada
pengetahuan yang tidak berhubungan dengan subjek. Walaupun begitu,
sejarah sebagai ilmu dituntut objektif, ilmu tanpa objektivitas tidak
mempunyai nilai ilmiah dan akan berhenti sebagai ilmu. Sejarawan
berusaha seobjektif mungkin, akan tetapi bagaimanapun objektivitas itu
dihasilkan akan tenggelam dalam subjektivitas, sebab untuk dijadikan
sejarah, objek harus ditafsirkan oleh subjek.
Untuk mendapatkan keobjektivannya, seorang sejarawan harus
memiliki filsafat yang sehat, memiliki kejujuran intelektual, dan
objektivitas akan semakin didapat dengan semakin kayanya bagasi
intelektual, perlengkapan kejiawaan subjektivitas sejarawan. Objektivitas
ini dapat dihasilkan dengan menggunakan metode subjektivo-objektif,
dengan begitu ilmu disadarkan atau kemungkinannya dan akar
konteksnya dalam perspektif rasionalitas yang lebih luas.
Menurut sejarawan dan filsuf sejarah yang berhaluan Marxi, penulisan
sejarah yang objektif tidak mungkin dan tidak perlu dicita-citakan. Hasrat
akan tercapainya suatu masyarakat yang lebih baik dan adil harus
merupakan nilai dan pedoman menuntun sejarawan dalam penelitiannya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yang penting, sbb:
Pandangan subjektivisme yang hadir dalam disiplin ilmu sejarah
terutama proses penulisannya bukanlah sesuatu yang tidak dapat
dihindari, tetapi diusahakan seminimal mungkin dan diatasi dalam setiap

tahap kegiatan sejarawan.


Demikian juga objktivitas, bukan merpakan sesuatu yag tidak
tercapai, hanya mendapatkannya berbeda dengan yang didapatkan oleh
ilmu pengetahuan alam.
Subjek, sejauh selalu terikat oleh objek, aka kesewenangan subjek dapat
dijauhkan, maka dapat pula dapat dijauhkan pula dari hal yang
subjektivistik. Dan objek tidak terlalu mendominasi untuk dipentingkan
dengan meniadakan subjek, maka akan membawa subjek pada hal yang
real, dan objektivitas dapat pula dijauhkan.

Soal :
2.Mengapa filsafat memiliki tingkat lebih tinggi dari ilmu
Jawab :
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang
apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat
materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang
materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari
bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan.
Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam
ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan
adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan
empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu
pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih
berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain,
dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. misalnya hukumhukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang

dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai


pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,
kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi
bahasa, etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan
dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan
epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara
pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan
dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada
mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari
kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya

Anda mungkin juga menyukai