Selama ini untuk menjamin keilmiahan suatu ilmu hanya objek, objektif
dan objektivitas yang dikejar. Pendekatan objektif dalam ilmu
pengetahuan alam terkesan digeneralisasikan dengan pendekatan objektif
dalam ilmu sejarah. Dalam pandangan sejarah, subjek mempunyai
peranan yang penting. Ternyata subjektivitas, bukan dalam arti
subjektivisme, justru merupakan dasar bagi lahirnya objektivitas. Jika
dilihat, maka berbicara tentang objektivitas dan subjektivitas sama
dengan membicarakan sejauh mana sejarawan tepengaruh oleh nilai-nilai
pada zamannya.
a. Subjektivitas
Seperti telah disinggung di atas bahwa subjektivitas adalah suatu
sikap yang memihak dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan,
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dalam sejarah unsur ini
banyak terdapat dalam proses interpretasi.
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan
interpretasi melibatkan pribadi/subyek. Selain yang diinterpretasikan
adalah peristiwa masa lalu yang sudah ditinggalkan. Sekalipun masih ada
itu hanya ada dalam pikiran sejarawan/subyek tersebut. Sejarawan
tersebut yang hidup di masa kini, tentu saja dalam melakukan interpretasi
dipengaruhi oleh keadaan zamannya. Selain itu terdapat faktor lain yaitu
menurut pendapat G.G.J Resink yang turut mempengaruhi subyektivitas
yaitu lingkungan kultural Indonesia yang majemuk dan terbuka untuk
banyak tafsiran, sinkretisme religius dan kultural, kecenderungan untuk
mencari ketenangan dengan sikap jujur.
Untuk itulah, hingga melahirkan subjektivisme, dimana objek tidak lagi
dipandang/dinilai sebagaimana seharusnya; tetapi dipandang sebagai
"kreasi", "konstruksi" akal budi.
Mengapa subjektif, karena menurut Nugroho bahwa sejawaran tidak
menangkap objek, yakni hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau
dengan menangkap ideanya. Sedangkan idea itu sesuatu yang subjektif.
Walaupun demikianbahwa pengetahuan subjektif tidak selalu mutunya
lebih rendah dari pengetahuan lainnya.
Artinya, dari penjelasan ini bahwa unsur subjektif
diperbolehkan/dihalalkan selama tidak mengandung subjektivistik yang
diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek, dan konsekuensinya
tidak lagi real sebagai objektif.
b. Objektivitas
Objektivisme yaitu sikap yang tidak dipengaruhi oleh pendapat
Soal :
2.Mengapa filsafat memiliki tingkat lebih tinggi dari ilmu
Jawab :
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi
dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang
apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat
materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang
materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari
bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan.
Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam
ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan
adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan
empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu
pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih
berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain,
dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. misalnya hukumhukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang