TINJAUAN PUSTAKA
terisi
oleh
endolimfe
dan
pada
bagian
dasarnya
terdapat
arah telinga di posisi bawah) atau apogeotropik (arah gerakan fase cepat
kearah telinga di posisi atas) selama kepala dipalingkan ke salah satu sisi
dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi karena adanya
otokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen posterior
kanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik
terjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupula
kanalis horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di
dalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik)
(Edward dan Roza, 2014).
Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa tahun
terakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal. Pasien dengan
keluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai dengan kriteria
diagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanalis horizontal
(Edward dan Roza, 2014).
2.1.4. Etiologi dan Faktor Risiko
Benign Paroxysmal Positional Vertigo diduga disebabkan oleh perpindahan
otokonia kristal (kristal karbonat Ca yang biasanya tertanam di sakulus dan
utrikulus). Kristal tersebut merangsang sel-sel rambut di saluran setengah lingkaran
posterior, menciptakan ilusi gerak. Batu-batu kecil yang terlepas (kupulolitiasis)
didalam telinga bagian dalam menyebabkan BPPV. Batu-batu tersebut merupakan
kristal-kristal kalsium karbonat yang normalnya terikat pada kupula. Kupula
menutupi makula, yang adalah struktur padat dalam dinding dari dua kantongkantong (utrikulus dan sakulus) yang membentuk vestibulum. Ketika batu-batu
terlepas, mereka akan mengapung dalam kanal semisirkular dari telinga dalam.
Faktanya, dari pemeriksaan-pemeriksaan mikroskopik telinga bagian dalam pasienpasien yang menderita BPPV memperlihatkan batu-batu tersebut (Anita, 2008).
Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum diketahui secara pasti.
Debris kalsium sendiri dapat pecah karena beberapa penyebab seperti trauma atupun
infeksi virus, tapi pada banyak keadaan dapat terjadi tanpa didahului trauma atau
penyakit lainnya. Mungkin dapat juga disebabkan oleh perubahan protein dan matriks
gelatin dari membrane otolith yang berhubungan dengan usia. Lepasnya otokonia
dapat juga sejalan dengan demineralisasi tulang pada umumnya (Purnamasari, 2013).
Salah satu faktor risiko yang berperan pada kejadian BPPV adalah hipertensi.
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (Anggraini et al., 2009). Hipertensi sendiri
terbagi atas beberapa kelompok menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VII), yaitu: kelompok normal, pre-hipertensi, stadium 1, stadium 2.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII (Chobanian, Bakris, Black,
2009)
Kategori
Sistolik (mmHg)
dan / atau
Diastolik (mmHg)
Normal
<120
Dan
<80
Pra hipertensi
120-139
Atau
80-89
Hipertensi derajat 1
140-159
Atau
90-99
Hipertensi derajat 2
160
Atau
100
kelainan organik yang jelas diketahui dan meliputi 2-10% dari seluruh penderita
hipertensi. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus, tetapi
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut meliputi
pola hidup (merokok, asupan garam berlebih, obesitas, aktivitas fisik, dan stress),
faktor genetika dan usia, system saraf simpatis, ketidakseimbangan antara modulator
vasokontriksi dan vasodilatasi, pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan
dalam system rennin, angiotensin, dan aldosteron. Hipertensi sekunder disebabkan
oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat
tertentu, stress akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain (Firstyani, 2011).
Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah terbentuknya angiotensin
II dari
Renin
Angiotensin I
Angiotensin II
mengentalkan
konsentrasi NaCl di
Menarik cairan intraseluler ekstraseluler
Pembuluh darah
Diencerkan dengan
Volume darah
Volume ekstrasesluler
Volume darah
Tekanan darah
2.1.5. Patofisiologi
ini berotasi ke atas di sepanjang lengkung kanalis semi sirkularis. Hal ini
menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan
kupula membelok (deflected), sehingga terjadilah nistagmus dan pusing. Saat
terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan kembali, terjadi pula
pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah
berlawanan. Digambarkan layaknya kerikil yang berada dalam ban, ketika
ban bergulir, kerikil akan terangkat seberntar kemudian terjatuh kembali
karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut seolah-olah yang memicu
organ saraf menimbulkan rasa pusing. Dibanding dengan teori kupulolitiasis,
teori ini dapat menerangkan keterlambatan sementara nistagmus, karena
partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi maneuver
kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam
menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal ini menerangkan konsep kelelahan
dari gejala pusing.
2.1.7. Diagnosa
2.1.7.1. Anamnesa
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik
akibat perubahan dari posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat
tidur dengan posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas maupun ke
belakang, dan membungkuk. Vertigo juga dapat disertai dengan keluhan mual.
Pada banyak kasus BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian
hari. Dalam anamnesa selain menanyakan tentang gejala klinis, juga harus ditanyakan
mengenai faktor-faktor yang merupakan etiologi atau yang dapat mempengaruhi
keberhasilan terapi seperti stroke, hipertensi, diabetes, trauma kepala, migraine, dan
riwayat gangguan keseimbangan sebulumnya maupun riwayat gangguan saraf pusat
(Bunjamin et al., 2013).
2.1.7.2. Pemeriksaan Fisik
Benign Paroxysmal Positrional Vertigo kanalis posterior dapat di diagnosa
ketika pasien mengeluhkan adanya riwayat dari vertigo yang disebabkan oleh
perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi dan ketika dilakukan pemeriksaan
fisik ditemukan nistagmus yang muncul saat melakukan Dix-Hallpike Test.
Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah: Dix-Hallpike, dan tes kalori. Supine
Roll Test dilakukan untuk pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV
tetapi hasil tes Dix-Hallpike negatif untuk memeriksa ada tidaknya BPPV kanal
lateral.
a. Dix-Hallpike Test
Nistagmus yang ditemukan saat dilakukan pemeriksaan tes Dix-Hallpike
biasanya menunjukkan dua karakteristik penting. Pertama, terdapat periode laten
antara akhir dari masa percobaan dan saat terjadi serangan dari nistagmus. Periode
laten tersebut terjadi selama 5 sampai 20 detik, tetapi dapat juga terjadi hingga 1
menit dalam kasus yang jarang terjadi. Kedua, hal yang memperberat vertigo dan
nistagmusnya sendiri meningkat, dan hilang dalam periode waktu tertentu dalam 60
detik dari waktu serangan nistagmus.
Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksa harus memberitahu pasien tentang
gerakan-gerakan yang akan dilakukan dan mengingatkan pasien bahwa pasien akan
merasakan serangan vertigo secara tiba-tiba, yang mungkin saja disertai dengan rasa
mual, yang akan hilang dalam 60 detik. Karena pasien akan diposisikan dalam posisi
supinasi dengan kepala dibawah badan, pasien harus diberitahu agar saat berada
dalam posisi supinasi, kepala pasien akan menggantung dengan
bantuan meja
6. Komponen cepat nistagmus seharusnya up-bet (ke arah dahi) dan ipsilateral.
7. Setelah pemeriksaan ini dilakukan, dapat langsung dilanjutkan dengan Canalith
Reposithoning Treatment (CRT). Bila tidak ditemukan respon abnormal, pasien dapat
didudukkan kembali secara perlahan. Nistagmus bisa terlihat dalam arah yang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar ke arah berlawanan.
8. Berikutnya pemeriksaan diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45 derajat dan
seterusnya.
b. Tes kalori
Tes kalori diajukan oleh Dix dan Hallpike. Pada pemeriksaan ini dipakai air
dingin dan air panas. Suhu air dingin adalah 30 C sedangkan suhu air panas
adalah 44 C. Volume air yang dimasukkan kedalam telinga salah satunya
terlebih dahulu sebanyak 250 ml air dingin , dalam 40 detik. Kemudian
pemeriksa memperhatikan saat nistagmus muncul dan berapa lama kejadian
nistagmus tersebut. Dilakukan hal yang sama pada telinga yang lain. Setelah
menggunakan air dingin, kemudian kita melakukan hal yang sama pada kedua
telinga menggunakan air panas. Pada tiap-tiap selesai salah satu pemeriksaan,
pasien diistirahatkan selama 5 menit untuk menghilangkan rasa pusingnya
(Purnamasari, 2013).
c.
memiliki
kegunaan
yang
terbatas
dalam
2.1.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk BPPV didasari dengan kemampuan membuat gerakan
sendiri ataupun prosedur-prosedur dalam mereposisikan kanalis, dengan tujuan
mengembalikan partikel-partikel yang bergerak kembali ke posisi semula yaitu pada
makula utrikulus. Berikut akan dijelaskan pergerakan-pergerakan yang dapat
dilakukan, dan ditujukan untuk berbagai jenis BPPV. Keberhasilan dari tatalaksana
sendiri bergantung pada pemilihan pergerakan yang tepat dalam mengatasi BPPV.
Beberapa penderita dapat merasakan gejala-gejala seperti pusing, mual,
berkeringat, dan muntah saat melakukan pergerakan untuk terapi. Dalam kasus
seperti ini, obat-obat penekan vestibulum dapat digunakan sebagai tambahan yang
tidak hanya meringankan vertigo yang muncul akibat gerakan yang akan dilakukan
tetapi juga mengatur gejala-gejala yang terjadi hingga prosedur dapat dilakukan
kembali. Obat-obat golongan terapi tersebut meliputi meclizin, dimenhidrinase,
clonazepam dan diazepam. Dosis dapat berbeda tergantung intensitas dari gejala yang
timbul (Purnamasari, 2013).
Terdapat beberapa manuver untuk reposisi BPPV, yaitu:
a. Manuver Epley
Manuver ini merupakan yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Penderita berada dalam posisi tegak kemudian kepala menoleh ke sisi yang
sakit. Kemudian penderita ditidurkan dengan posisi kepala digantungkan,
dan dipertahankan selama 1 sampai 2 menit. Berikutnya, kepala ditolehkan
90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Kemudian beritahu pasien untuk
mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan duduk kembali secara perlahan
(Libonati, 2012).
b. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk terapi dari kupulolotoasis kanalis
posterior. Jika kanal posterior yang terkena, maka penderita didudukkan
dalam posisi tegak, kemudian kepala penderita dimiringkan 45 derajat
berlawanan arah dengan bagian yang sakit dan secara cepat bergerak ke
posisi berbaring. Nistagmus dan vertigo dapat diperhatikan. Dan posisi ini
dipertahankan selama 1 sampai 3 menit. Setelah itu pasien pindah ke posisi
ini
digunakan
untuk
terapi
BPPV
kanalis
horizontal.
2.1.9. Komplikasi
a. Canal Switch
Selama melakukan manuver untuk mengembalikan posisi kanal vertikal,
partikel-partikel yang berpindah tempat dapat bermigrasi hingga sampai ke
kanal lateral, dalam 6 sampai 7% dari kasus. Pada kasus ini, nistgamus
yang bertorsional menjadi horizontal dan geotropik.
b. Canalith Jam
Selama melakukan reposisi manuver, beberapa penderita akan merasakan
beberapa gejala, seperti vertigo yang menetap, mual, muntah dan
nistagmus.
2.1.10. Prognosis
Pasien perlu untuk diedukasi tentang BPPV. Satu dari tiga pasien sembuh
dalam jangka waktu 3 minggu, tetapi kebanyakan sembuh setelah 6 bulan dari
serangan. Pasien harus diberitahu bahwa BPPV dapat dengan mudah ditangani, tetapi
harus diingatkan bahwa kekambuhan sering terjadi bahkan jika terapi manuvernya
berhasil, jadi terapi lainnya mungkin dibutuhkan. Beberapa studi menunjukkan
bahwa 15% terjadi kekambuhan pada tahun pertama, kemudian 50% kekambuhan
terjadi pada 40 bulan setelah terapi (Bunjamin et al., 2013).
Kekambuhan dari BPPV adalah masalah yang umum terjadi. Menieres
disease, CNS disease, migraine headaches,dan post-traumatic BPPV merupakan
faktor resiko yang lebih memungkinkan untuk terjadinya kekambuhan.