Anda di halaman 1dari 8

PROSES-PROSES SYN DEPOSTIONAL SERTA POST

DEPOSITIONAL KAITANNYA DENGAN KUALITAS


BATUBARA
Proses syn depositional:
1. Pengendapan batubara
2. Struktur geologi (sesar)
Proses post depositional:
1. Struktur geologi (sesar,kekar, lipatan)
2. Intrusi
3. Endapan diatas lapisan batubara
Lapisan batubara yang ekonomis, dengan geometri yang berbagai macam,
tebal, luas, serta karakteristik , fisika, kimia, kualitas batubara, kemenerusannya
dan keseragamannya ditentukan oleh proses syn depositional dan post
depositional.

PROSES SYN DEPOSITIONAL


Proses syn depositional adalah proses-proses yang terjadi saat batubara
diendapkan. Proses ini beruhubungan dengan pengendapan batubara dan asosiasi
lapisan batubara.
Batuan yang sering ditemukan berasosiasi dengan lapisan batubara,
umumnya adalah batuan sedimen klastika berbutir halus.
Batuan sedimen klastika
Dalam suatu urutan perlapisan batuan yang mengandung batubara, maka
batuan sedimen klastika yang umum dijumpai adalah serpih, batulempung,
batulanau, dan batulumpur. Perbandingan serpih, batulempung, dan batulanau
dengan batupasir diperkirakan sebesar 3:1 (Duff dan Walton, 1962, dalam
Murchison, 1968).

Istilah-istilah demikian memang tidak menguntungkan dalam terminologi


geologi. Sesungguhnya litologi dan tekstur yang kompleks ini sebagai cerminan
variasi kondisi lingkungan pengendapan.
Batupasir dijumpai dalam berbagai jenis, tidak jarang dengan kandungan
batulanau dan batulempung yang cukup banyak, sehingga struktur sedimennya
bervariasi. Batuan karbonat juga dijumpai, tetapi tidak umum, di Inggris dijumpai
dalam jumlah yang melimpah seperti argilaceous, batugamping bioklastik, dan
kadang dolomit.
Fraksi batulanau dan batupasir halus sering sulit dibedakan secara
megaskopis, padahal sedimen ini khas dalam urutan vertikal dan fasies berubah
kearah horisontal terutama kearah lapisan yang kasar, seperti yang terdapat pada
channel sandstone.
Batulempung kaolinitan (tonstein)
Istilah batulempung kaolinit digunakan oleh Loughnan (1979) untuk
menjelaskan sebuah individu khusus dari batuan sedimen masif yang terbentuk
dari mineral lempung kaolin. Kaolin merupakan mineral yang melimpah dalam
batuan ini, biasanya terjadi dalam bentuk kristal dan berasosiasi dengan sejumlah
kecil kuarsa, siderit atau illit. Variasi batuannya berwarna putih sampai coklat
keabu-abuan atau hitam tergantung dari bahan karbonan dan material ferrugenous
yang ada. Batuan ini kadang disebut sebagai tuff.
Menurut Ward (1978), lapisan tipis batulempung kaolinit yang sebarannya
meluas di dalam lapisan batubara atau di dalam sekuen lapisan pembawa
batubara, dapat berupa pita-pita tipis (< 1 cm) sampai tebal (>30 cm).
Batulempung kaolinit ini disebut juga dengan flint clays (Keller, 1967) atau
tonstein (Scheere, 1959; Williamson, 1961; Moore, 1964; Bishof, 1983 dan 1986).
Bishof (1983, 1986) mula-mula mendifinisikan tonstein sebagai suatu
batulempung berupa pita argilaceous yang tampak jelas di dalam lapisan batubara
berumur Karbon. Kemudian definisinya sedikit berkembang dengan pengertian
bahwa batulempung ini berkaolinitan dan berbitumen serta dapat terjadi pada

antar lapisan-lapisan di dalam batuan argilaceous yang terletak di atas atau di


bawah lapisan batubara dan terdapat tidak hanya pada batubara berumur Karbon.
Secara mineralogis tonstein oleh Scheere (1959) dan Williamson (1961) di
identifikasikan terdiri terutama dari kaolinit dengan kandungan materi berkarbon
yang tersebar terpisah-pisah dan memiliki ciri fisik dan kimia tertentu, sehingga
dapat membantu di dalam korelasi. Pada saat ini tonstein diketahui tersebar
diberbagai tempat di dunia dan terdapat dalam berbagai urutan stratigrafi mulai
dari umur Karbon sampai Tersier. Mineraloginya bervariasi mulai dari dominan
kaolinit sampai dominan smektit atau dominan mixer-layer illit-smektit dengan
berbagai proporsi bahan karbon dan mineral detritus. Banyaknya pita tonstein di
dalam lapisan batubara atau lapisan pembawa batubara dapat lebih dari sebuah.
Dalam Darmawan (1988) disebutkan bahwa hubungan tonstein dengan
mineral batubara diajukan dalam suatu hipotesa, yaitu bahwa tonstein terbentuk
pada lingkungan yang serupa dengan lingkungan terbentuknya lapisan batubara.
Sehingga ciri-ciri terbentuknya dapat mencerminkan proses-proses yang aktif
bekerja selama pembentukan batubara. Ciri-ciri tersebut ditunjukan oleh Brown et
al (1965) di daerah Lower Hunter Valley, New South Wales, Australia, yaitu pada
sedimen antar batubara berumur Perm menunjukan kandungan mineral lempung
kaolinit, mika (illit), smektit, dan mixed layer smektit-mika (Hamilton, 1966,
1968). Demikian pula pada sedimen yang mengandung batubara di New Castle
dan Ollawara di Cekungan Sidney (Loughnan, 1966, 1971). Fasa-fasa tadi
ternyata sama dengan yang terdapat secara luas pada batubara bitumen Australia
(Ward, 1972), hingga adanya kepercayaan pada kecenderungan seperti di atas.
Pandangan Brown di atas kini tidak berlaku di daerah Cina baratdaya pada
batubara di Formasi Longtan di Propinsi Giuzhou dan Guangxi. Di daerah ini
tidak terdapat hubungan antara lingkungan rawa gambut dengan genesa tonstein
karena lapisan tonstein kadang meluas keluar dari lapisan batubara yang
melingkupinya menuju ke batuan lain. Juga diikuti oleh sebaran tonstein secara
lateral makin berkurang ke arah tenggara cekungan batubara. Demikian juga
dengan lapisan batubara Pewee di Cekungan Wartburg, timurlaut Tennesse
(Dorsey, AE Kopp OC, 1985). Ternyata variasi konsentrasi unsur kimia

mineralnya tidak menunjukan hubungan antara lapisan sedimen yang menutupi


batubara dengan lapisan batubara, baik dalam arah vertikal maupun mendatar.
Di Indonesia, tonstein telah banyak digunakan sebagai lapisan penunjuk
untuk korelasi, seperti yang telah dilakukan oleh tim gabungan Inggris-Indonesia
di Cekungan Kutei, Kalimantan Timur (Addison et al, 1983), daerah Tanjung
Enim dan Ombilin oleh Tim Proyek Evaluasi Tambang Batubara Ombilin serta
Inventarisasi dan Eksplorasi Batubara DSDM (1981-1983), dan di Cekungan
Bengkulu (Kuncoro, 1998).
SPLITTING
Kemenerusan lapisan batubara sering terbelah oleh bentuk membaji dari
sedimen bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya, dapat akibat proses
sedimentasi (autosedimentational split) atau tektonik yang ditunjukan oleh
perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar (Warbroke,
1981 dalam Diessel, 1984).

Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi 3 (Britten et al, 1975 dalam


Ward, 1983), yaitu:
1.

Simple splitting: adalah split sederhana yang disebabkan oleh kehadiran

tubuh lentikuler yang besar dari sedimen bukan batubara.


2.

Progressive splitting: bila terdiri dari beberapa lensa, sehingga splitting dapat

berkembang secara terus menerus.


3.

Zig-zag splitting: terjadi pada satu lapisan batubara yang terbelah dan

kemudian menyatu dengan lapisan batubara yang lain.

Pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu di dalam:


1.

Kegiatan eksplorasi, yaitu untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan

perhitungan cadangan.

2.

Kegiatan penambangan, yaitu pada split dengan kemiringan sekitar 45o yang

umumnya

disertai

dengan

perubahan

kekompakan

batuan,

maka

akan

menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan


kestabilan atap pada operasi penambangan bawah tanah.

PROSES POST DEPOSITIONAL


Posisi geotektonik adalah letak suatu tempat yang merupakan cekungan
sedimentasi yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya gaya tektonik lempeng.
Gaya gaya tektonik ini akan mempengaruhi dimensi cekungan yang nanti akan
mempengaruhi pola dan dimensi lapisan batubara itu sendiri. Tentunya kita ingat
hubungan perkembangan cekungan dengan suplai sedimen. Gaya tektonik
mengakibatkan cekungan sedimentasi menjadi lebih luas apabila terjadi proses
penurunan dasar cekungan atau menjadi lebih sempit apabila terjadi proses
kenaikan dasar cekungan ( proses syn-depositional ). Proses tektonik selanjutnya
akan berkembang setelah batuan tersebut terbentuk dengan penampakan
perlipatan batuan ataupun patahan. Selain itu, gaya gaya tersebut juga akan
mempengaruhi kualitas batubara. Semakin dekat cekungan sedimentasi batubara
terbentuk atau terakumulasi terhadap posisi kegiatan tektonik lempeng, maka
kualitas batubara yang dihasilkan akan semakin baik. (Sukandarrumidi, 1995)
Proses

post-depositional

atau

sejarah

cekungan

tempat

terjadi

pembentukan batubara salah satu faktor di antaranya ditentukan oleh posisi


cekungan sedimentasi tersebut terhadap posisi geotektonik. Makin dekat posisi
cekungan sedimentasi terhadap posisi geotektonik yang selalu dinamis, akan
mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan letak batubara berada.
Selama waktu itu pula proses geokimia dan metamorfisme organik akan ikut
berperan dalam mengubah gambut menjadi batubara. Apabila dinamika
geotektonik memungkinkan terbentuk perlipatan pada lapisan batuan yang
mengandung batubara, dan terjadi pensesaran, proses ini akan mempercepat
terbentuknya batubara dengan rank yang lebih tinggi. Proses ini akan dipercepat
apabila dalam cekungan atau berdekatan dengan cekungan tempat batubara
tersebut berada terjadi proses intrusi magmatis. Panas yang ditumbulkan selama

terjadi proses perlipatan, pensesaran, ataupun proses intrusi magmatis, akan


mempercepat terjadinya proses coalification atau sering disebut sebagai proses
pemuliaan batubara. Hasil akhir dari proses ini mengakibatkan terbentuk batubara
dengan kadar karbon (C) cukup tinggi dengan kandungan air (H2O) yang relatif
rendah. (Sukandarrumidi, 1995).
Lapisan yang terendap diatas lapisan batubara juga akan mempengaruhi
geometri dan kandungan batubara, misalkan diatas lapisan batubara terendapkan
batupasir (dan channeling) yang lama-kelamaan dapat menggerus lapisan
batubara, sehingga akan terbentuk washout. Contoh lain adalah jika diatas lapisan
batubara terendapkan endapan marine, maka lapisan batubara tersebut akan
memiliki kandungan sulfur yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan
batubara yang diatasnya terendapkan lapisan bukan marine.

Cleat
Proses post depositional adalah proses-proses yang terjadi setelah batubara
diendapkan. Misalnya terdapat kekar-kekar pada lapisan batubara akibat adanya
gaya kompresi ataupun adanya deppresion, maka pada lapisan batubara akan
terbentuk rekahan (cleat) dan bisa terisi oleh mineral atau zat lain, misalkan terisi
oleh amber maka akan meninggikan kalori dari batubara tersebut; bisa juga
rekahan terisi oleh lumpur, maka akan memperbesar kandungan ash pada batubara
sehingga menurunkan kalori dari batubara. Besarnya pengaruh cleat pada
beberapa bagian dari suatu rangkaian industri pertambangan, membuat cleat
menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui karena kehadiran dan orientasi
cleat akan mempengaruhi baik O/C atau U/G:
1.

Pemilihan tata letak tambang.

2.

Arah penambangan.

3.

Penerapan teknologi penambangan.

4.

Proses pengolahan batubara.

5.

Penumpukan batubara.

6.

Pemasaran batubara.

Lipatan juga dapat mempengaruhi lapisan batubara, pada bagian sumbu


lipatan maka lapisan batubara akan lebih sedikit rekahannya dibanding pada
lapisan batubara di sayap lipatan yang paling dekat dengan sumbu lipatan.
Semakin jauh dari sumbu lipatan maka juga akan makin sedikit rekahannya.
Intrusi pada lapisan batubara dapat mengakibatkan terbakarnya lapisan batubara
sehingga nilai ekonomisnya akan rendah, berbeda dengan lapisan batubara yang
dekat dengan intrusi, akan memperbesar derajat kalori dari lapisan batubara,
makin jauh lapisan batubara dari intrusi, maka makin kecil kadar kalorinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim,

2012,

Geologi

Batubara,

available

at

http://cogangeologist.blogspot.co.id/2010/12/geologi-batubara.html,
diakses tanggal 9 Desember 2015.
Valentino

Malau,

2014,

Seputar

Batubara,

available

http://valentinomalau31.blogspot.co.id/2014/02/seputar-batubara.html,
diakses tanggal 9 Desember 2015.

at

Anda mungkin juga menyukai