Oleh:
Eko Dewi Ratna Utami
Wida Pratiwi Oktavia
Pristiawan Navy E
Nurul Wahda Aulia
G99141022
G99141123
G99141124
G99141125
Pembimbing
2015HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Refleksi Kasus Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:
SEORANG LAKI-LAKI USIA 67 TAHUN DENGAN ABSES HEPAR AMOEBIASIS, EFUSI
PLEURA BILATERAL, HIPOALBUMIN
BERAT DAN HIPOKALEMI RINGAN
Oleh:
Eko Dewi Ratna Utami
Wida Pratiwi Oktavia
Pristiawan Navy E
Nurul Wahda Aulia
G99141022
G99141123
G99141124
G99141125
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2015 di Bangsal Melati 1
Kamar 2F.
2
A. Identitas Penderita
Nama
No. RM
Jenis kelamin
Umur
: Tn. S
: 01316938
: Laki-laki
: 67 tahun
Alamat
: Cepu, Blora
Suku
Pekerjaan
Pendidikan
Agama
Status
Tanggal masuk RS
Tanggal dikasuskan
: Jawa
: Petani
: SD
: Islam
: Menikah
: 14 Oktober 2015
: 15 Oktober 2015
B. Keluhan Utama
Nyeri di perut kanan atas
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSDM dengan keluhan nyeri di perut kanan atas yang memberat
sejak 3 hari SMRS. Nyeri seperti ditusuk, menjalar hingga ke pusar, dirasakan hilang
timbul. Semakin memberat jika pasien bergerak atau berubah posisi, ketika berjalan, dan
ketika batuk. Pasien lebih nyaman jika berbaring ke sebelah kiri. Nyeri tidak dipengaruhi
oleh asupan makanan berlemak.
Sejak 1 minggu SMRS pasien juga mengeluhkan kaki menjadi bengkak. Bengkak di
kedua kaki, tidak didapatkan di bagian tubuh yang lain. Bengkak di kaki dirasa menetap.
Tidak berkurang dengan istirahat. Karena bengkak pada kedua kaki pasien menjadi sulit
untuk berjalan. Kaki terasa berat untuk digerakkan. Selain bengkak pada kedua kaki,
pasien juga mengeluhkan sesak napas yang semakin lama semakin dirasa memberat. Sesak
napas tidak bersuara ngik ngik ataupun seperti ngorok. Sesak dirasakan terus menerus,
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak tidak
dipengaruhi cuaca, suhu, debu, maupun emosi. Sebelumnya pasien tidak pernah terbangun
malam hari karena sesak.
Sejak 3 minggu SMRS pasien mengeluh mual. Mual dirasakan hilang timbul, muncul
ketika makan dan sedikit berkurang ketika minum air hangat. Mual disertai muntah.
Muntah 2 kali sehari, @ gelas belimbing berwarna kuning, berisi air dan makanan
yang dimakan, tidak nyemprot, tidak disertai darah, lendir, maupun busa. Nafsu makan
3
pasien juga menurun. Sehari makan 2 kali dengan nasi, sayur, lauk porsi dari biasanya.
Berat badan pasien juga dirasa menurun, awalnya 60 kg menjadi 55 kg. Pasien juga
mengeluhkan demam di seluruh tubuh. Demam dirasakan terus menerus. Demam sumersumer, tidak menggigil, berkurang dengan obat penurun panas namun kemudian demam
kembali tinggi. Naik ataupun turunnya demam tidak dipengaruhi oleh siang malam.
Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri saat BAK, nyeri pinggang, ataupun anyanganyangan. Menurut keluarga pasien, pasien juga sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan.
Daerah sekitar pasien tidak ada yang menderita penyakit serupa. Wilayah rumah pasien
juga tidak pernah terkena banjir. Pasien tidak mengeluhkan batuk lama, batuk berdarah
maupun batuk berdahak kental. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya keringat dingin
pada malam hari.
Sejak 1 bulan ini, menurut keluarga pasien badan pasien menjadi tampak kekuningan.
Kuning hanya terlihat di mata. Sebelumnya pasien tidak bepergian ke luar kota dan
sebelumnya belum pernah melakukan transfusi darah. Pasien tidak memiliki riwayat sakit
kuning sebelumnya.
2 bulan SMRS pasien mengeluhkan perut terasa semakin membesar. Lalu, perut
terasa menjadi kaku dan keras. Pasien juga mengeluhkan BAB cair, berwarna coklat, tidak
nyemprot, 5-6 kali sehari, @ gelas belimbing, disertai lendir dan terkadang bercampur
darah, tidak disertai busa.
Saat ini, BAK pasien warna kuning jernih, tidak seperti teh, tidak didapatkan darah,
lendir, maupun butiran pasir, 4-5 kali sehari @ - gelas aqua. Nyeri saat BAK (-), BAK
terasa panas (-). Pasien tidak terbangun di malam hari karena tidak bisa menahan kencing.
Saat ini, BAB pasien tidak ada keluhan. BAB 1-2 kali setiap hari, berwarna kuning
kecoklatan, BAB seperti dempul (-), lendir (-), darah (-). Konsistensi padat tidak lunak.
Sebulan sebelum masuk rumah sakit, pasien berobat ke RSUD Cepu, kemudian
karena keterbatasan sarana pasien dirujuk ke RSUD Dr Moewardi. Di RSDM pasien
mondok selama 7 hari, pada pasien dilakukan tindakan pemeriksaan cairan di hati dan
paru-paru. Kemudian pasien pulang untuk mengurus BPJS.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit
Riwayat mondok
Keterangan
- Selama 5 hari di RSUD Cepu dengan
4
hepatomegali
Tn. S dengan
Abses Hepar amoebiasis
F. Riwayat Keluarga
Keterangan:
= Pasien
= Perempuan
= Laki-Laki
= Meninggal
Onset/ Kronologis
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Tidak diketahui
Disangkal
Disangkal
F. Riwayat Pribadi
Riwayat Alergi
Riwayat
Disangkal
Makanan
Olahraga
Tidak diketahui
Imunisasi
Riwayat Kebiasaan
Pasien makan teratur 2-3 x sehari, porsi sedikit. Pasien
Merokok
II.
Obat bebas
Alkohol
Konsumsi
jamu-jamuan
Tatto
bahan alam
Disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 15 Oktober 2015 dengan hasil sebagai berikut:
1. Keadaan umum
Tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4/V5/M6, kesan gizi baik
2. Tanda vital
Tensi
: 130/90 mmHg
Nadi
: 72 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas
: 24x/menit, abdominothorakal
Suhu
: 37,90C
VAS
: 6 di hipokondriaka dekstra
3. Status gizi
Berat Badan
Tinggi Badan
IMT
Kesan
4. Kulit :
:
:
:
:
55 kg
165 cm
20,22 kg/m2
Normoweight
Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-), kering (-),
6. Mata : Mata cekung (-/-), mata cowong (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (+/+), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3
mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (+/+), strabismus (-/-)
7. Telinga
: Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-)
8. Hidung
: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut :
Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi(-), gusi berdarah
(-), luka pada sudut bibir (-), oral thrush (-), pucat (-)
10. Leher
: JVP R + 3 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar
tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-), leher kaku (-), distensi
vena-vena leher (-)
11. Thorax
:
Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan
= kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga
melebar(-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-).
12. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
Batas jantung kanan atas: SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah: SIC IV lineasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas: SIC II linea sternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 cm medial linea medioklavicularis sinistra
Batas jantung kesan normal.
Auskultasi
: Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-), gallop
-
(-).
13.Pulmo
a. Depan
Inspeksi
- Statis
sikatrik
- Dinamis :
: Simetris
: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan =
- Kanan
V kebawah
Auskultasi
- Kanan
sikatrik
- Dinamis :
Palpasi
- Statis
- Dinamis
: Simetris
: Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan
Inspeksi
: Dinding perut lebih tinggi dari dinding thorax, venektasi (-), sikatrik
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
14. Ekstremitas
Superior Ka/Ki : Sianosis (-/-), oedem (-/-), pucat (-/-), kulit kering (-/-),
akral dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat
(-/-), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
III.
PENUNJANG
(-/-), spoon nail (-/-), clubing finger (-/-), flat nail (-/-),
A. Labor
atoriu
deformitas (-/-).
Pemeriksaan
14
PEMERIKSAAN
Hb
Hct
AL
AT
AE
GDS
SGOT
SGPT
Creatinine
Ureum
Albumin
Bilirubin Total
Golongan Darah
Natrium
Kalium
Chlorida
HbsAg
Hasil
Satuan
KIMIA KLINIK
11.6
g/dl
33
%
7.5
103/l
251
103 /l
3.68
106/l
89
mg/dl
21
u/l
11
u/l
0.5
mg/dl
16
mg/dl
2.1
g/dl
2.32
mg/dl
O
ELEKTROLIT
138
Mmol/L
9
3.1
Mmol/L
105
Mmol/L
SEROLOGI HEPATITIS
Nonreactive
Rujukan
13.5-17.5
33 45
4.5 11.0
150450
4.10 5.10
60 140
<31
<34
0.6 1.2
< 50
3.2-4.6
0.00-1.00
136-145
3.3-5.1
98-106
Nonreactive
Darah
Pemeriksaan
laboratorium
darah
dilakukan
pada tanggal
Oktober 2015
dengan hasil
sebagai
berikut:
Hasil
Batas Normal
Cair
Coklat kehijauan
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
Lunak berbentuk
Kuning coklat
(-)
(-)
(-)
(-)
(-) / Sedikit
(-)
Positif (+)
Positif (+++)
Positif (++)
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
(-) / Sedikit
(-) / Sedikit
(-)
(-) / Sedikit
(-)
(-)
(-)
(-)
Hasil
Satuan
Batas Normal
Yellow
Sl Cloudy
1,017
5,5
Negatif
Negatif
Negatif
Normal
Negatif
Normal
Negatif
Negatif
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
/ul
1,015-1,025
4,5-8,0
Negatif
Negatif
Negatif
Normal
Negatif
Normal
Negatif
Negatif
0
6
/uL
/LPB
0-6,4
0-12
/LPB
Negatif
10
/ul
Transisional
Bulat
Silinder
Hialin
Granulated
Leukosit
Kristal
Sperma
Konduktivitas
Lain-lain
/LPB
/LPB
Negatif
Negatif
0
0
0
7,6
/LPK
/LPK
/LPK
/uL
u/l
Ms/cm
0-3
Negatif
Negatif
0,0
0
3-32
Rujukan
Negatif
12
C. EKG
Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2015 dengan hasil sebagai berikut:
Irama sinus, normoaxis, HR 68 x/menit, gel P=0,04 ms, PR interval = 0,16 ms, tidak
didapatkan ST elevasi, ST depresi, Q patologis, maupun T tall, T inversi pada lead III.
13
1. Keluhan utama:
Nyeri perut kanan atas
2. Anamnesis:
Pasien dengan keluhan nyeri di perut kanan atas yang
RESUME
14
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS
72 x/
menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup, frekuensi nafas 24x/menit,
PROBLEM
Rencana Awal
No.
1.
Diagnosis /
Pengkajian/ Assesment
Masalah
Amoebiasis Anamnesis
hepar
Nyeri perut kanan atas
seperti tertusuk, semakin
nyeri jika berubah posisi
dan nyaman jika
berbaring miring ke kiri.
Demam sumer-sumer
sejak 2 bulan SMRS
Mual, penurunan berat
Pemeriksaan fisik
Vital Sign :
TD : 130/90
HR : 72 x/ menit
RR : 24 x/ menit
T : 37,9 oC
VAS : 7 hipocondriaca
dextra
Mata : Sklera ikterik (+/+)
Abdomen :
I : dinding perut lebih tinggi
dari dinding dada
P : timpani, liver span 15
cm (membesar)
P : teraba distended, hepar
teraba membesar (8 cm
BACD, 2 cm BPX), tepi
tajam, permukaan rata,
konsistensi kenyal, nyeri
tekan (+)
Rencana
Awal
Kultur
cairan
abses
USG
Abdomen
guiding
pro
aspirasi
abses
Bilirubin
direct,
bilirubin
indirect
Alkali
Psophatas
e
GGT
Pemeriksaan Penunjang
15
Rencana Terapi
Bed rest tidak total
O2 3 lpm
Diet TKTP nasi
lunak 1980kkal
Infus NaCl 0.9% 20
tpm
Inj Metronidazole
750 mg/ 8 jam
Inj Ketorolac 30
mg/12 jam
Paracetamol 3 x 500
mg
Rencana Edukasi
Penjelasan kepada
pasien tentang
diagnosis, rencana
terapi, diet dan
komplikasi
penyakit.
M
K
Penjelasan kepada
pasien tentang
diagnosis, rencana
terapi, dan
komplikasi
penyakit.
K
B
KSR 3X1
Penjelasan kepada
pasien tentang
diagnosis, rencana
terapi, diet dan
komplikasi
penyakit.
C
el
p
Penjelasan kepada
pasien tentang
diagnosis, rencana
terapi, diet dan
komplikasi
penyakit.
C
al
p
Pemeriksaan Penunjang
Penurunan kalium : 3.1
Hipoalbumi Anamnesis
n berat
(-)
Pemeriksaan Fisik
(-)
Pemeriksaan Penunjang
Penurunan albumin (2.1
g/dl)
16
gal
pril
Obyektif
Assesment
17
- Abses Hepar
Amoebiasis
- Efusi Pleura
bilateral ec
hipoalbumin dd
emphyema ec
perluasan abses
- Hipoalbumin berat
- Hipokalemi ringan
Terapi / Pla
Terapi
- Tirah baring t
total
- Diet lunak 19
kkal ekstra pu
telur
- O2 3-4 lpm (n
kanul)
- Inf NaCl 0,9%
tpm
- Inj. Metronida
750 mg/8 jam
- Inf Albumin 2
100 cc
- KSR 3x1
- Inj Ketorolac
mg/12 jam
- Paracetamol 3
500 mg
Diagnosis
1. Kultur cairan
2. USG abdomen
guiding pro
aspirasi cairan
abses (tunggu
jadwal)
3. Cek laborator
post koreksi
ber
Nyeri
Perut
kanan atas
berkurang
18
- Abses Hepar
Amoebiasis
- Efusi Pleura
bilateral ec
hipoalbumin dd
emphyema ec
perluasan abses
- Hipoalbumin berat
- Hipokalemi ringan
Therapy
1. Tirah baring ti
total
2. Diet lunak 198
kkal ekstra pu
telur
3. O2 3-4 lpm (n
kanul)
4. Inf NaCl 0,9%
tpm
5. Inj. Metronida
500 mg/8 jam
6. Inf Albumin 2
100 cc
7. KSR 3x1
8. Inj Ketorolac
Diagnosis
1. Albumin post
koreksi
2. USG abdomen
aspirasi cairan
abses
3. Kultur cairan
ber
Pemeriksa
Hasil
Satuan
Rujukan
Nyeri perut KU: tampak sakit
ansedang, compos mentis, gizi kesan cukup kanan atas TD : 120/80 mmHg
KIMIA KLINIK
berkurang RR : 16x/ menit
Hb
11.6
g/dl
13.5-17.5
T : 36,40 C
Hct
33
%
33 45
HR : 76x/ menit
AL
7.5
103/l
4.5 11.0
VAS : 2
3
AT
251
10 /l
150450Kepala
: mesocephal
6
AE
10 Ikterik(+/+)
/l
4.10 5.10
Mata
: Conjungtiva
pucat3.84
(-/-), Sklera
Albumin
2.1(-)
g/dl
3.2-4.6 Hidung : Nafas
cuping hidung
Mulut
: Papil
Gol. lidah
Darahatrofi (-)O
Leher
: JVP R+2 cm, KGBELEKTROLIT
tidak membesar
Cor
Natrium
137
Mmol/L
136-145
I : IC tampakKalium
di SIC
3.1
Mmol/L
3.3-5.1
P : Ictus kordis teraba, kuat angkat di SIC V 2 cm medial
Calsium
1.17
Mmol/L
linea medioklavicularis sinistra
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo anterior dan posterior
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri, menurun di SIC V
P : Redup mulai SIC V kebawah /redup mulai SIC V
kebawah
A : SDV menurun mulai SIC V kebawah/ SDV
menurun mulai SIC V kebawah
Abdomen
I : Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
A : Bising usus (+) N: 12x/menit
P : Timpani, Liver span 15 cm (membesar)
P : Distended, hepar membesar (8 cm BACD, 2 cm
BPX), tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal,
nyeri tekan (+)
Ekstremitas
Akral Dingin Oedem
-
19
Abses Hepar
Amoebiasis
Efusi Pleura
bilateral ec
hipoalbumin dd
emphyema ec
perluasan abses
Hipoalbumin
berat
Hipokalemi
ringan
Terapi
1. Tirah baring
total
2. Diet lunak 1
kkal ekstra p
telur
3. O2 3-4 lpm
(nasal kanul
4. Inf NaCl 0,9
tpm
5. Inj.
Metronidazo
500 mg/8 jam
6. Inf Albumin
% 100 cc
7. KSR 3x1
8. Inj Ketorola
Diagnosis
1. Pemeriksaan
Darah Rutin
2. Albumin po
Koreksi
3. Elektrolit po
koreksi
ber
Pemeriks
Hasilmentis,Satuan
KU: tampak sakit aan
sedang, compos
gizi kesanRujukan
cukup TD : 110/80 mmHg
KIMIA KLINIK
RR : 18x/ menit
Albumin
2.4
g/dl
3.2-4.6
T : 36,40 C
HR : 84x/ menit
VAS : 1
Kepala
: mesocephal
Mata
: Conjungtiva pucat (-/-), Sklera Ikterik(+/+)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut
: Papil lidah atrofi (-)
Leher
: JVP R+2 cm, KGB tidak membesar
Cor
I : IC tampak di SIC
P : Ictus kordis teraba, kuat angkat di SIC V 2 cm medial
linea medioklavicularis sinistra
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo anterior dan posterior
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri, menurun di SIC V
P : Redup mulai SIC V kebawah /redup mulai SIC V
kebawah
A : SDV menurun mulai SIC V kebawah/ SDV
menurun mulai SIC V kebawah
Abdomen
I : Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
A : Bising usus (+) N: 12x/menit
P : Timpani, Liver span 15 cm (membesar)
P : Distended, hepar membesar (8 cm BACD, 2 cm
BPX), tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal,
nyeri tekan (+)
Ekstremitas
20
Abses Hepar
Amoebiasis
Efusi Pleura
bilateral ec
hipoalbumin
Hipoalbumin
berat
(perbaikan)
Hipokalemi
ringan
Terapi
1. Tirah baring t
total
2. Diet lunak 19
kkal ekstra pu
telur
3. O2 3-4 lpm (n
kanul)
4. Inf NaCl 0,9%
tpm
5. Inj. Metronida
500 mg/8 jam
6. Inf Albumin 2
100 cc
7. KSR 3x1
ber
Pemeriks
Hasilmentis,Satuan
Rujukan 1.
KU: tampak sakitaan
sedang, compos
gizi kesan cukup
TD : 120/70 mmHg
KIMIA KLINIK
2.
RR : 16x/ menit
Hb
12.5
g/dl
13.5-17.5
T : 36,50 C
Hct
38
%
33 45
HR : 80x/ menit
3
AL
7.5
10 /l
4.5 11.0 3.
VAS : 1
AT
231
103 /l
150450
Kepala
: mesocephal
6
AE pucat 4.04
10 /l
4.10 5.10 4.
Mata
: Conjungtiva
(-/-), Sklera
Ikterik(-/-)
Albumin
2.8(-)
g/dl
3.2-4.6
Hidung : Nafas
cuping hidung
Mulut
: Papil lidah atrofi (-)
ELEKTROLIT
Leher
: JVP Natrium
R+2 cm, KGB139
tidak membesar
Mmol/L
136-145
Kalium
3.0
Mmol/L
3.3-5.1
Cor
Calsium
1.17 Mmol/L
I : IC tampak di SIC
P : Ictus kordis teraba, kuat angkat di SIC V 2 cm medial
linea medioklavicularis sinistra
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo anterior dan posterior
I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri, menurun di SIC V
P : Redup mulai SIC V kebawah /redup mulai SIC V
kebawah
A : SDV menurun mulai SIC V kebawah/ SDV
menurun mulai SIC V kebawah
Abdomen
I : Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada
A : Bising usus (+) N: 12x/menit
P : Timpani, Liver span 15 cm (membesar)
P : Distended, hepar membesar (8 cm BACD, 2 cm
BPX), tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal,
nyeri tekan (+)
21
Abses Hepar
Amoebiasis
Efusi Pleura
bilateral ec
hipoalbumin
Hipoalbumin
berat
(perbaikan)
Hipokalemi
ringan
Terapi: BLPL
Ekstremitas
Akral Dingin Oedem
-
Pemeriksaan penunjang :
Kultur cairan abses : No growth
37.5
36.3
36.4
36.5
36.4
Suhu
5
VAS
DPH
Sistole
Diastole
Hipoalbumin
Oedem Tungkai
22
Hipokalemi
Abses Hepar
amoebiasis
Efusi Pleura
menyebabkan
meningkatkan risiko
23
BAB II
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien kami diagnosis dengan abses hepar amoebiasis. Dari anamnesis kami
temukan sebagai berikut :
Nyeri di perut kanan atas sejak 3 minggu SMRS. Nyeri seperti ditusuk, menjalar hingga ke
pusar, dirasakan terus menerus, memberat jika pasien bergerak atau berubah posisi, berjalan dan ketika
batuk, lebih nyaman jika berbaring ke sebelah kiri. Pasien juga mengeluhkan perut terasa semakin
membesar sejak 2 bulan SMRS dan terasa menjadi kaku dan keras. Keluhan tersebut muncul karena
adanya E. Histolytica dalam bentuk trophozoite cyst yang dibawa oleh sirkulasi vena porta telah
menginfeksi hepar. E. Histolytica ini mengeluarkan enzim proteolitik yang mampu melisiskan jaringan
hepar dan memicu reaksi inflamasi sehinga muncul manifestasi klinis berupa nyeri dan demam yang
dirasakan pasien.
Pasien mengeluh mual disertai muntah. Akibatnya pasien sering merasa lemas. Mual muntah
dirasakan karena kista amoeba pada awalnya melewati saluran pencernaan dan menjadi trophozoite di
usus besar, trophozoite kemudian melekat pada sel epitel dan mukosa colon dengan Gal/Gal Nac
dimana mereka menginvasi mukosa dan menyebabkan BAB cair disertai lendir dan terkadang
bercampur darah, tenesmus (+). Amebiasis hepar didapatkan gejala konstitusional seperti anorexia,
penurunan berat badan, dan kelemahan tubuh dimana gejala tersebut muncul pada pasien ini.
Abses amebeasis menyebabkan adanya kerusakan hepatosit yang menimbulkan manifestasi
pada pasien berupa ikterik dan hipoalbumin. Ikterik terjadi karena berkurangnya fungsi hepar untuk
mengkonjugasikan bilirubin indirect menjadi direct sehingga jumlah bilirubin indirect meningkat dan
menimbulkan ikterik. Hipoalbumin terjadi karena rusaknya sel hepar dimana salah satu fungsi hepar
adalah mensintesis albumin.
2 bulan SMRS, BAB pasien cair disertai lendir dan terkadang bercampur darah, tenesmus (+)
yang memungkinkan pasien mengalami riwayat disentri 2 bulan SMRS. Riwayat disentri pada pasien
mengarahkan abses hepar pada pasien dapat terjadi karena amoeba.
Amoebiasis hepar merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi Entamoeba hystolitica.
Penyakit ini masih sering dijumpai terutama di negara tropis. Dahulu penyakit ini lebih dikenal sebagai
abese tropik, karena disangka hanya terdapat di daerah tropik atau subtropik saja. Ternyata hal tersebut
tidaklah benar, karena kemudian ditemukan juga tersebar di seluruh dunia.
24
Entamoeba hystolitica sangat endemis di daerah India, Afrika, Meksiko, Amerika Selatan dan
Tengah, dan Asia. Penularan terjadi melalui rute fekal-oral, dan status sosio-ekonomi yang lebih rendah
dengan sanitasi yang tidak layak merupakan faktor predisposisi terhadap infeksi. Praktik seksual oralanal dan penyakit psikiatrik atau retardasi mental telah ditetapkan sebagai faktor risiko. Perjalanan atau
imigrasi dari wilayah endemik sering kali menjadi faktor yang menyebabkan orang-orang di negara
maju terinfeksi oleh parasit ini.
Insidensi amoebiasis hepar terutama terdapat di negara tropik dan subtropik dengan sanitasi
yang masih buruk seperti India, Pakistan, Indonesia, Asia Afrika, dan Meksiko. Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada orang dewasa pria daripada wanita dengan perbandingan 4:1. Pada kurang lebih
5% penderita amoebiasis timbul komplikasi pada hati.
Hampir 10% penduduk dunia terutama di negara berkembang terinfeksi E. histolytica, tetapi
hanya sepersepuluh yang memperlihatkan gejala. Insiden amoebiasis hati di RS di Indonesia berkisar
antara 5-15 pasien pertahun.
Penelitian epidemiologi diIndonesia menunjukkan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1
sampai 22:1, yang tersering pada decade IV. Penularan pada umumnya melaluijalur oral-fekal dan
dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan amoebiasis hati yang dikenai adalah pria. Usia yang dikenai
berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.
Etiologi
Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati pyogenik.
1. Abses hati amoeba
Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai parasit non patogen
dalam mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit.
Hanya sebagian individu yang terinfeksi Enteremoeba histolytica yang memberi gejala invasif,
sehingga di duga ada dua jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non patogen.
Bervariasinya virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada
hepar.
E.histolytica di dlam feces dapat di temukan dalam dua bentuk vegetatif atau tropozoit
dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di luar tuibuh manusia. Kista dewasa berukuran 1020 mikron, resisten terhadap suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam
suasana kering dan asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit,
mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan
destruksi jaringan.
25
nyeri
pinggang
kanan
dan
ditemukan
massa
yang diduga ginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian posteroinferior lobus
kanan hati.
3. ikterus obstruktif. Didapatkan pada 0,7% kasus, disebabkan abses terletak didekat porta
hepatis.
4. colitis akut. Manifestasi klinik colitis akut sangat menonjol, menutupi gambaran klasik
absesnya sendiri.
5. gejala kardiak. Ruptur abses ke rongga pericardium memberikan gambaran klinik efusi
pericardial.
6. gejala pleuropulmonal. Penyulit yang terjadi berupa abses paru menutupi gambaran klasik
abses hatinya.
26
7. abdomen akut. Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi ke dalam rongga
peritoneum, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus yang berkurang.
8. gambaran abses yang tersembunyi. Terdapat hepatomegali yang tidak jelas.
9. demam yang tidak diketahui penyebabnya. Secara klinik sering dikacaukan dengan tifus
abdominalis atau malaria.
Patofisiologi
Amebiasis hati disebabkan oleh entamoeba hystolitica. Hanya sebagian kecil individu yang
terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis
E.hystolitica yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. Patogenesis
amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah
dikemukakan antara lain: faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan
nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan
penurunan imunitas cell-mediated.
Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme:
1. Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
2. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang
kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora bakteri.
Mekanisme terjadinya amebiasis hati:
1. penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
2. pengerusakan sawar intestinal.
3. lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell- mediated yand
disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi,
keganasan dll.
4. penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena
porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi
granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik.
Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa.
Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis
intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amebiasis. Masa
inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa bulan. E.histolytica terdapat dalam dua
27
bentuk yaitu kista dan trofozoit yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan
suasana asam. Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan
menjadi dewasa dalam lumen kolon. Trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan
enzim proteolitik, pelepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi dan terjadi destruksi
mukosa. Selanjutnya timbul ulkus dengan kedalaman mencapai submukosa atau lapisan
muskularis, tepi ulkus menebal dan sedikit reaksi radang. Akibat invasi amuba ke dinding usus,
timbul reaksi imunitas humoral dan imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag
lymphokine-activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis
dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma,
sering terjadi di sekum atau kolon asenden.
Skema bagan Terjadinya Amoebiasis hepar:
28
Skema
bagan
Pengaruh
abses
hepar
terhadap
kebutuhan
dasar
manusia:
29
Pada pemeriksaan didapatkan penderita tampak kesakitan. Kalau jalan membungkuk ke depan
kanan sambil memegang perut kanan atas yang sakit, badan teraba panas, hati membesar dan
bengkak. Pada tempat abses teraba lembek dan nyeri tekan. Di bagian yang di tekan dengan satu
jari terasa nyeri, berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari
mudah diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. Ini menunjukkan tanda Ludwig
positif dan merupakan tanda khas abses hepatis. Lokalisasi abses yang terbanyak ialah di lobus
kanan, jarang di lobus kiri. Batas paru-paru hati meninggi. Ikterus jarang sekali ditemukan.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan tinja jarang sekali ditemukan ameba. Menurut beberapa kepustakaan
ditemukan sekitar 4 10%. Ditemukannya ameba dalam tinja. Jumlah lekosit meninggi sekitar 10 20 ribu/mm3. Pada bentuk akut sering jumlah. Lekosit melebihi 16.000/mm3, sedang pada bentuk
kronik terdapat sekitar 13.000/mm3. Tes faal hati menunjukkan batas-batas normal. Pada keadaan
yang berat dapat ditemukan penurunan kadar albumin dan sedikit peninggian kadar globulin,
dengan protein total dalam batas normal.
4. Pemeriksaan Rontgen
Pada foto Toraks terlihat diafragma kanan meninggi. Apabila dengan pemeriksaan sinar tembus
jelas Nampak bahwa diafragma kanan selain meninggi juga tak bergerak, bentuk diafragma
melengkung ke atas atau bagian tengah diafragma kanan meninggi, berarti adanya abses hati.
Pada abses di lobus kiri hati, gambaran seperti tersebut di atas tidak nyata. Abses di lobus kiri hati
sering memberikan penekanan pada lambung, yang dapat dilihat pada foto lambung dengan kontras
barium.
5. Fotopolos abdomen
Kelainan dapat berupa hepatomegali, gambaran ileus, gambaran udara bebas di atas hati
6. Ultrasonografi
Gambaran ultrasonografi yaituakan terlihat suatu daerah kosong atau daerah sonolusen di hati
dengan dinding ireguler. Bila intensitas atau gain
internal ekho. Cara pemeriksaan ultrasonografi ini mudah dikerjakan, tidak menimbulkan efek
sampingan atau merusak jaringan.
7. Pemeriksaan serologi
Menunjukkan sensitifitas yang tinggi terhadap kuman.
30
Terdapat juga beberapa kriteria-kriteria yang bisa digunakan dalam menegakan diagnosis abses hepar,
yaitu:
1. Kriteria Sherlock
Gejala klinis yang timbul berupa hepatomegali yang nyeri tekan, respon baik terhadap obat
amoebisid, leukositosis, peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang, aspirasi pus,
pada USG didapatkan rongga dalam hati, dan tes hemaglutinasi positif.
2. Kriteria Ramachandran
Diagnosis abses hepar dapat ditegakkan bila ditermukan minimal 3 hal sebagai berikut:
hepatomegali yang nyeri, riwayat disentri, leukositosis, kelainan radiologis, respon terhadap terapi
amoebisid.
3. Kriteria Lamont dan Pooler
Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan minimal 3 hal berikut: hepatomegali yang nyeri,
kelainan hematologis, kelainan radiologis, pus amoebik, tes serologik positif, kelainan sidikan hati,
dan respon baik dengan terapi amoebisid.
Penatalaksanaan
1. Terapi Obat
Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapatmenunjukan penyembuhan yang besar biladiterapi
hanya dengan antiameba. Pengobatanyang dianjurkan adalah:
a. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati
ameba adalah 3 x 750 mg per hari selama 7 10hari. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat
digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800mg perhari selama 5 hari.
b. Dehydroemetine(DHE)
Merupakan derivat diloxaninefuroate. Dosis yang direkomendasikan untuk mengatasi abses
liver sebesar 3 x 500 mg per hari selama 10 hari.
c. Chloroquin
Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan di ikuti 500 mg/hari selama 20 hari.
2. Tindakan Aspirasi terapeutik
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam)
atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontra indikasi seperti pada kehamilan, perlu
dilakukan aspirasi .
31
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT scan abdomen.
Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi
kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase .
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan cara yang
lebih konservatif. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa
penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba
yangmengalami infeksi sekunder juga direncanakan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha
dekompresi perkutan tidak berhasil. Laparoskopi juga di dahulukan untuk kemungkinan dalam
mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi astrointestinal Indonesia) dan PPHI
(Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) dapat digunakan suatu algoritma berdasarkan diameter dari
abses sebagai berikut :
1. Abses hati dengan diameter 1-5 cm: terapi medikamentosa bila respon negatif maka dilakukan
aspirasi.
2. Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang.
3. Abses hati dengan diameter 8cm: drainase perkutan
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5 15,6%, perforasi abses
keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru, pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadangkadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.
Prognosis
Prognosis dari abses hati dipangaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Virulensi parasit.
Status imunitas dan keadaan nutrisi.
Usia penderita, prognosis akan baik bila usia dewasa muda.
Cara timbulnya penyakit serta letak dan jumlah abses, prognosis akan memburuk bila terjadi abses
di lobus kiri atau multiple.
32
Menurut WHO pada tahun 2008, efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang dapat
mengancam jiwa. Secara geografis penyakit ini terdapat terdapat di seluruh dunia, bahkan menjadi
problema utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara
industri, diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang.
Menurut Depkes RI pada tahun 2006, kasus efusi pleura mencapai 2,7% dari penyakit infeksi
saluran nafas lainnya. Tingginya angka kejadian efusi pleura disebabkan keterlambatan penderita untuk
memeriksakan kesehatan sejak dini dan angka kematian akibat efusi pleura masih sering ditemukan
faktor resiko terjadinya efusi pleura karena lingkungan yang tidak bersih, sanitasi yang tidak baik. Di
Indonesia, tuberculosis paru adalah penyebab utama efusi pleura, disusul dengan keganasan. Distribusi
berdasarkan jenis kelamin, efusi pleura didapatkan lebih banyak pada wanita daripada pria.
Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura merupakan suatu kondisi dimana adanya akumulasi cairan pleura yang berlebihan
didalam rongga pleura yang disebabkan karena ketidakseimbangan antara pembentukan dan
pengeluaran cairan pleura. Rongga pleura dalam keadaan normal berisi cairan 10 ml sampai 20 ml
yang berfungsi dalam proses pernapasan. Akumulasi cairan yang melebihi normal, akan menimbulkan
gangguan dengan memberikan gejala klinis dan terdeteksi pada pemeriksaan klinis dan radiologis.
Efusi pleura dapat berupa eksudat dan transudat.
Epidemiologi
Di Amerika serikat, dilaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura terutama
disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri. Sementara di negara berkembang
seperti Indonesia, diakibatkan oleh infeksi tuberculosis disusul dengan keganasan. Distribusi
berdasarkan jenis kelamin,efusi pleura didapatkan lebih banyak pada wanita daripada pria. Efusi pleura
yang disebabkan karena tuberkulosis paru lebih banyak dijumpai pada wanita. Umur terbanyak untuk
efusi pleura karena tuberculosis adalah 21-30 tahun(rerata 30,26%).
Etiologi
Akumulasi cairan di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah
karena reaksi inflamasi oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal dan visceral. Mekanisme yang lain
adalah invasi langsung sel tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi kelenjar limfe dan
gangguan absorbsi oleh pembuluh limfe pleura parietal. Dengan terjadinya efusi pleura pada umumnya
ialah kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik pada sirkulsi kapiler, penurunan
tekanan kavum pleura, kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.
34
Hambatan reasorbsi cairan dari rongga pleura terjadi pada dekompensasi kordis, penykit ginjl,
tumor mediastinum. Produksi cairan berlebihan misalnya karena radang (tuberculosis, pneumonia),
bronkiektasis, abses amuba. Ini disebabkan oleh empat mekanisme yaitu peningkatan tekanan kapiler
subpleural atau limfatik, penurunan tekanan osmotik koloid darah, peningkatan tekanan negatif
intrapleura dan adanya inflamasi atau neoplastik pleura.
Patofisiologi
Pleura adalah membran serous yang menutupi permukaan parenkim paru, mediastinum,
diafragma, dan rongga toraks. Struktur tersebut terbagi atas pleura viseralis dan pleura parietalis. Pleura
viseralis melindungi permukaan parenkim paru terhadap dinding toraks, diafragma, mediastinum dan
fisura interlobaris. Pleura parietalis melapisi permukaan rongga toraks, yang terbagi atas pleura
parietalis kostalis, mediastinalis, dan diafragmatik. Kedua pleura membran tersebut bertemu di akar
hilus paru. Diantara keduanya terdapat rongga ataupun rongga potensial yang disebut sebagai rongga
pleura.
Pleura terdiri dari lima bagian utama, yaitu: sirkulasi sistemik parietal (percabangan arteri
interkostalis dan arteri mamaria interna), ruang interstisial parietal, rongga pleura yang sisi-sisinya
dibatasi oleh sel mesotelial, interstisial paru, dan sirkulasi viseral (arteri bronkial dan arteri
pulmonalis). Pada keadaan normal, rongga pleura berisi sekitar 10-20 ml cairan yang bermanfaat
sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. Produksinya sekitar 0,01
mg/kgBB/jam hampir sama dengan kecepatan penyerapan. Dari sirkulasi sistemik, cairan normal dan
protein memasuki rongga pleura. Cairan pleura tersebut mengandung kadar protein rendah (<1,5 g/dl)
yang dibentuk oleh pleura viseral dan parietal.
Cairan pleura difiltrasi di kompartemen pleura parietalis dari kapiler sistemik menuju rongga
pleura karena terdapat sedikit perbedaan tekanan diantarakeduanya. Rongga pleura bertekanan subatmosfer dan mendukung inflasi paru. Cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan viseral
selanjutnya akan diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikro pleura viseral. Mekanisme
ini mengikuti hukum Starling yaitu jumlah pembentukan dan pengeluaran seimbang sehingga volume
dalam rongga pleura tetap. Jika produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan dan sebaliknya maka
akan terjadi akumulasi cairan melebihi volume normal, dimana hal tersebut dapat disebabkan oleh
beberapa kelainan antara lain infeksi dan kasus keganasan di paruatau organ luar paru. Terjadinya
penumpukan cairan pleura dalam rongga pleura dapat disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik dalam sirkulasi mikrovaskuler.
35
2.
3.
4.
5.
: jernih, kekuningan
- Eksudat
36
Berdasarkan perhitungan sel dan sitologi, yaitu jika leukosit 25.000/mm3 maka itu adalah
empiema. Jika banyak netrofil, yaitu pada kasus pneumonia,infark paru, tb paru dini. Sedangkan jik
banyak limfosit terjadi pada keganasan dan limfoma.
Tabel Perbedaan antara eksudat dan transudat
Jenis Pemeriksaan
Rivalta
Berat Jenis
Protein
Ratio protein pleura dan
Transudat
-/+
<1,016
<3gr/100cc
<0,5
Eksudat
>1,016
>3gr/100cc
>0,5
protein serum
LDH
Leukosit
<200IU
<1000/mm3
>200IU
>1000/mm3
Manifestasi Klinis
Efusi pleura bisa saja tanpa gejala klinis, tergantung pada banyaknya cairan dan juga
bergantung pada penyakit dasar. Pasien terkadang mengeluhkan demam, kemudian ada nyeri dada dan
rasa tidak enak di dada. Bisa juga disertai batuk dan sesak nafas. Posisi tidur lebih nyaman ke sisi yan
sakit. Pada pemeriksaan fisis baru terlihat jka cairan lebih dari 500 cc. Pada inpeksi saat statis dada
yang terkena tampak lebih cembung, saat dinamis terdapat gerakan tertinggal pada dada yang sakit.
Pada saat palpasi,stem fremitus menurunn di sisi yang sakit. Pada perkusi ditemukan suara redup
sampai pekak. Sementara pada auskultasi terdengar suara vesikuler melemah.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisis yang teliti,
diagnosis pasti ditegakkan melaui punksi percobaaan, biopsi dan analisa cairan pleura.Untuk
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto thoraks. Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada
bagian medial.Perlu pemeriksaan foto lateral untuk menbedakan antara bayangan cairan bebasdalam
pleura dengan adhesi karena radang.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi dapat menentukan adanya cairan di pleura sekaligus dapat
menuntun saat aspirasi cairan.Pemeriksaan CT scan juga dapat membantu.Aspirasi cairan
(torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostic dan teurapetik. Aspirasi dilakukan pada bagian
bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan menggunakan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan tidak dapat sekaligus dilakukan, harus berulang untuk mencegah pleura shock.
37
Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan sitologi cairan pleura untuk menentukan diagnostic
penyakit pleura. Misalnya banyaknya sel neutrofil pada infeksi akut, adanya limfosit pada infeksi
kronik, adanya sel mesotel pada infark paru. Dapat jugag dilakukan biopsi pleura.
Penatalaksanaan
Tatalaksana pada efusi pleura terfokus pada penyakit dasar dan pengosongan cairan. Sedangkan
tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali
cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dipsnea. Pengobatan spesifik ditujukan pada
penyebab dasar (misal gagal jantung kongestif, pneumonia, seosis).
Torakosintesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna
keperluan analisis, dan untuk menghilangkan dipsnea. Namun bila penyebab dasar adalah malignansi,
efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari atau minggu. Torakosintesis berulang menyebabkan
nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumotoraks. Dalam keadaan ini pasien mungkin
diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase waterseal atau pengisapan untuk mengevaluasi ruang pleura dan pengembangan paru. Penggunaan WSd
diteruskan beberapa hari untuk mencegah reakumulasi cairan dan untuk meningkatkan pembentukan
adhesi antara pleural viseralis dan parietalis. Modalitas penyakit lainnya untuk efusi pleura malignan
termasuk radiasi dinding dada, bedah pleurektomi, dan terapi diuretic. Jika cairan pleura merupakan
eksudat, posedur diagnostic yang lebih jauh dilakukan untuk menetukan penyebabnya. Pengobatan
untuk penyebab primer kemudian dilakukan.
Pasien juga mengeluhkan oedem di kedua tungkai. Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil
pitting oedem di tungkai bilateral dengan hasil pemeriksaan penunjang albumin 2,4. Hal ini
menunjukan kemungkinan oedem tungkai pada pasien disebabkan oleh hipoalbumin. Hipoalbumin
tersebut bisa diakibatkan oleh adanya abses hepar amoebiasis yang menyebabkan gangguan fungsi
hepar. Mengingat salah satu fungsi hepar adalah mensintesis albumin. Albumin berfungsi menjaga
tekanan onkotik pembuluh darah. Dengan menurunnya albumin akan menyebabkan gangguan
permeabilitas vaskuler, menyebabkan ekstravasasi cairan ke interstitiel yang pada akhirnya dapat
menyebabkan oedem tungkai.
38
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H, Mukti A. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press.edisi 2. Surabaya:
2002.
Amin Z., Masna I. A. K., 2007. Indikasi dan Prosedur pleurodesis. Majalah Kedokteran Indononesia.
Volume: 57.Nomor: 4.pp 129-133
Andri LA, Rasjid HA. 2004. Abses amuba pada hepar. DexaMedica 2004; 21-6 .
Aru W, Sudoyo, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat. Balai Penerbitan FKUI: jakarta
Cook, G. C. 2002. Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Jakarta: EGC.
Diaz-Guzman E, Budev MM. Accuracy of the physical examination in evaluating pleural effusion.
Cleveland Clinic Journal 2008;75:297-303.
Halim, Hadi. Penyakit-penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu penyakit dalam. EGC. Jakarta. 2009.
Kumar, Ramzi. Basic Pathology.EGC.Jakarta. 2006.
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Media Aesculapius: Jakarta.
Halaman 512.
Santoso M, Wijaya. 2004. Diagnostik dan penatalaksanaan abses amebiasis hati. DexaMedica
Syahruddin E. Efusi Pleura Ganas dan Stadiun TNM untuk Staging Kanker Paru Jenis Karsinoma
bukan Sel Kecil (KPKBSK) Versi 7, UUIC 2009. J Respir Indo. 2010.
Sylvia a. Price, 2006. Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofisiologi Jilid 1 Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta: EGC
Willson, Lorraine M. Penyakit pernapasan Retriktif dalam patofisiologi proses-proses Penyakit. EGC.
Jakarta. 2006.
39