Diskursus civil religion yang dikembangkan Bellah bisa cukup menolong bagaimana Pancasila
memiliki makna dalam kehidupan umat beragama. Pancasila tidak merupakan agama dan tidak
menggantikan kedudukan agama. Pancasila hanya memerankan fungsi-fungsi di level profan, salah
satunya sebagai unit perekat masyarakat atau jembatan untuk integrasi sosial.
Diskusi tentang Pancasila sebagai agama sipil ini sebenarnya masih bisa dilanjutkan. Memaknai
Pancasila sebagai agama sipil ini memang bisa diperdebatkan. Salah satu kritik terhadap diskursus itu
adalah karena agama sipil (di Amerika) mengasumsikan untuk dipisahkan secara penuh dari agama
dan negara (Cristi, 2001).
Di Indonesia, agama dan negara tentu saja memainkan peran penting. Kehadiran Pancasila sebagai
etika bersama itu tentu saja tidak lepas dari justifikasi agama-agama. Dengan begitu, Pancasila
penting untuk diteologisasi, yang menyebabkan gagasan agama sipil tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan keagamaan. Sekali lagi, ini penting untuk dikembangkan untuk memberikan kenyamanan
bagi pemeluk agama agar tidak terjadi benturan identitas primordial (baca: agama) dengan identitas
nasional di dalamnya.
Jika Pancasila adalah civil religion (baca; simbol integratif), maka pertanyaannya kemudian adalah
model keberagamaan seperti apa yang memungkinkan warga dari sebuah negara bisa menerima
(Pancasila sebagai agama sipil) tersebut?
Saya ingin menyebut model keberagamaan yang disebut sebagai civil religiosity atau keberagamaan
sipil. Religiositas sipil saya maknai sebagai kesadaran bahwa kehadiran mereka dalam satu bangsa itu
harus menghargai sesamanya, menyadari adanya identitas kebudayaan dan agama yang plural,
membangun masyarakat beradab yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan
keseharian.
Jika agama sipil dalam pengertian yang dituturkan Bellah lebih menekankan upaya untuk mencari
simbol-simbol integratif dalam masyarakat majemuk, berbeda halnya dengan religiositas sipil.
Religiositas sipil lebih menekankan pada semangat keberagamaan (sipil) seperti apa yang perlu
dikembangkan dalam sebuah masyarakat yang plural.
Keberagamaan sipil tentunya harus dimulai dengan menjadikan Indonesia sebagai tanah bersama.
Komitmen seseorang terhadap agamanya harus dibarengi dengan kesadaran bahwa ia hidup bersama
yang lain yang berbeda keyakinan dengannya. Harus ada keterbukaan penuh, full openness.
Keterbukaan untuk mengakui bahwa ada kebenaran partikular yang ada dalam tradisi lain.
elsaonline.com