Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) merupakan masalah kesehatan
di Indonesia, dimana seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk
terjangkit penyakit DHF, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya
sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh
Indonesia. Walaupun angka kesakitan penyakit ini cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, sebaliknya angka kematian cenderung menurun, dimana pada
akhir tahun 60-an/awal tahun 70-an sebesar 41,3% menjadi berkisar
antara 3-5% pada saat sekarang.
Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus
dengue pada manusia. Sedangkan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue
dapat berupa Dengue Fever (DF) dan Dengue Haemoragic Fever (DHF).
DHF merupakan penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi
perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang menyebabkan
kematian.
Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi pada anak dan
dewasa yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae, Genus
Flavivirus, dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, uji turniket (+)
dengan atau tampa ruam disertai beberapa atau semua gejala perdarahan.
Epidemiologi
DBD pertama kali ditemukan di Filipina tahun 1953. Kemudian menyebar ke
seluruh negara tropis dan subtropis. Kini sekitar 2,5 milyar (2/5 penduduk dunia)
punya risiko terserang virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis
pernah mengalami letusan wabah demam dengue dan DBD. Setiap tahun
diperkirakan terdapat 20 juta kasus infeksi dengue
12

Di Indonesia Kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun


1968. Kasusnya makin lama makin meningkat dan menyebar ke seluruh pelosok
Tanah Air. Dari 27 propinsi di Indonesia tahun 1997, sebanyak 31.789 menderita
DBD 705 di antaranya meninggal dunia.Sedangkan pada tahun 1998, Sebanyak
65.968 orang menderita DBD dengan 1275 berakhir dengan kematian.
Studi epidemiologi di daerah tropis dan subtropik :
-

Epidemi terjadi tiap 2-5 tahun

Sebelum tahun 1997 kebanyakan menyerang usia < 15 tahun kini baik
dewasa maupun anak kasusnya seimbang.

Meningkat pada musim hujan. Suhu dan turunnya hujan dapat


mempengaruhi daya tahan hidup, laju penularan, pola makan dan
reproduksi nyamuk

Namun epidemiologi DBD dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi


geografis dan serotipe virusnya.
Etiologi
Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue ;
- Virus RNA untai tunggal, ukuran 50 nm
- Famili Flaviviridae, Genus Flavivirus
- Termasuk kelompok B Arthropod Borne virus (Arbo viruses)
- Terdiri dari 4 serotipe ; Den 1, Den 2, Den 3, Den 4
-

Infeksi salah satu serotipe menimbulkan antibodi terhadap serotipe


yang bersangkutan dan kurang terhadap serotipe yang lainnya. Semua
serotipe tersebar di berbagai daerah Indonesia. Serotipe Den 3 paling
dominan dan diasumsikan menimbulkan manifestasi klinik yang berat.

- Vektor utama adalah nyamuk Aedes aegypti, sedangkan vektor


sekunder
yang kurang efisien adalah nyamuk Ae. albopictus, Ae.
polynesiensis,Ae. scutellaris complex, Ae. finlaya niveus Vektor
sekunder kurang efisien karena hidup dan berkembang biak di kebun
atau semak-semak sehingga relatif jauh kontak dengan manusia.

13

Vektor Utama (Ae. aegypti)


Dinamakan Ae. aegypti sebab pertama kali ditemukan di Mesir tahun
1905,kemudian menyebar di seluruh dunia melalui kapal laut dan udara.
-

Hidup optimal pada iklim tropis dan subtropis

Habitatnya adalah tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak


langsung berhubungan dengan tanah. Suka istirahat pada benda-benda
yang tergantung dalam rumah.

Tersebar luas di seluruh pelosok tanah air baik kota maupun desa, tidak
dapat hidup pada ketinggian >1000 m di atas permukaan laut.

Bersifat sangat antropofilik dan hidup dekat dengan manusia.

Kemampuan jarak terbang 40-100 m dari tempat berkembang biaknya

Dari telur hingga dewasa perlu waktu 10-12 hari

Umur nyamuk betina rata-rata 6 minggu

Hanya nyamuk betina yang mengigit dan menghisap darah.

Hanya darah manusia yang dipilihnya untuk mematangkan telur

Cara penularan
Virus Dengue masuk ke tubuh nyamuk Ae. aegypti pada saat menghisap
darah manusia yang sedang terinfeksi virus dengue dalam keadaan viremia (2 hari
sebelum panas sampai dengan 5 hari setelah demam). Bila terinfeksi, nyamuk
tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya dan siap menularkan virus ke manusia
yang rentan. Nyamuk betina yang terinfeksi dapat menularkan virus secara
Transovarian (dari induk ke telur). Dalam 8-10 hari virus dengue berlipat ganda
dalam epitel usus tengah nyamuk lalu migrasi ke kelenjar ludah nyamuk
(probosis) (extrinsic incubation period) dan siap ditularkan ke manusia bila
nyamuk betina tersebut menggigitnya. Dalam tubuh manusia, masa tunas yang
diperlukan virus antara 4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit. (Intrinsic
Incubation Period).

14

PATOFOSIOLOGI DBD
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan
patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi
efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang
nyata tidak terjadi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD
dan DSS yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi.
Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan
trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.
Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan
seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi
yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi
primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat.
Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat
pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90
hari.pada infeksi primer antibodi

IgG meningkat pada hari ke-14 demam

sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua.
Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM
setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat
ditegakkan lebih dini.
Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal
antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas
netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi
lisis. Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki
kekebalan terhadap serotipe virus yang sama.

15

Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe


yang berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen
setelah difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan
Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida
spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH1 dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap
infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator
yaitu INF, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFN akan merangsang
makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek
pada sel endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler
adhasion molecule 1 (ICAM 1).
Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh
pengaruh ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi
dengan sel endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel
lisis dan endothel terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang akan
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endothel
menjadi nekrosis dan mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.
Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus
sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga
menhancurkan semua sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFN
dan TNF.
PATOGENESIS
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES
seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus,
sumsum tulang serta paru-paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh
monosit.
Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organelorganel sel genom virus akan memulai membentuk komponen-komponen
strukturalnya.setelah berkembang biak di dalam sitoplasma sel maka virus akan
dilepaskan dari sel.

16

Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit
dilakukan karena semua flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang
menghasilkan cross reaction atau reaksi silang.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif
terhadap serotipe tersebut, tetapi tidak ada cross protektif terhadap serotipe
virus yang lain.
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M
(membran) dan E (envelope). Virus intraseluler terdiri dari protein pre-membran
atau pre-M.Glikoprotein E merupakan epitope penting karena: mampu
membangkitkan antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas
hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor
binding), mempunyai fungsi fisiologis antara lain untuk fusi membran dan
perakitan virion.
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis:
netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated
Cytotoxicity (ADCC) dan Antibodi Dependent Enhancement.
Secara invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
a.

Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah


infeksi infeksi virus.

b.

Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat


meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS
Perubahan patofidiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori
yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan
hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder
menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu
jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut
untuk jangka waktu yang lama.
Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir
virus yang sama (homologous). Namun jika orang tersebut mendapat infeksi
sekunder

dengan jenis virus yang lain, maka virus tersebut tidak dapat

dinetralisasi dan terjadi infeksi berat. Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks

17

yang infeksius antara antibodi heterologous yang telah dihasilkan dengan virus
dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc
gama pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks
antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat
opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga
akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF dan juga Platelet Activating Factor
Selanjutnya dengan peranan TNF akan terjadi kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang
rusak, hal ini dapat berakhir dengan syok.
Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan
prokoagulan sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat
mengakibatkan syok hipovolemik.
Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu
dengan riwayat pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak tersebut
telah terjadi Non Neutralizing Antibodies sehingga sudah terjadi proses
Enhancing yang akan memacu makrofag sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF
juga PAF. Bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel
pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran
plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap
terjadinya DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance
infection, serta limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat
antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh
tidak dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.
Disamping kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha
menjelaskan patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan
pada perbedaan keempat serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara
satu daerah dengan yang lainnya. Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan

18

pada kenyataan bahwa terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang


ditandai dengan penurunan C3, C4, dan C5. teori juga didukung dengan adanya
pengaruh kompleks imun pada penderita DBD terhadap aktifitas komponen
sistem imun.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+, dan
CD8+. Demikian pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-sel
mononuklear. Di dalam plasma pasien DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi
IFN-, TNF- dan IL-10. peningkatan TNF- berhubungan dengan manifestasi
perdarahan sedangkan IL-10 berhubungan dengan penurunan trombosit. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah dan fungsi limfosit T,
sedangkan sitokin proinflamasi TNF- berperan penting dalam keparahan dan
patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit
T dan trombosit.
Infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh berupa
perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi selsel endothel dan hepatosit yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis dan
disfungsi dari sel-sel tersebut. Demikian pula sistem koagulasi dan fibrinolisis
yang ikut teraktivasi. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi
anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya
antibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan
defisiensi koagulasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebocoran plasma pada DBD/DSS merupakan
akibat dari proses kompleks yang melibatkan aktivasi komplemen, induksi
kemokin dan kematian sel apoptosis.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis virus dengue sangat bervariasi tergantung daya tahan tubuh
dan virulensi virus itu sendiri.
Mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam
(Undifferentiated Fever),

Demam Dengue,

ringan tidak spesifik

Demam Berdarah Dengue dan

Sindrom syok Dengue (SSD).

19

1. Demam Dengue
Pada demam dengue (DD) dapat dijumpai keadaan-keadaan berikut :
-

Demam tinggi tiba-tiba (>39oC), menetap 2-7 hari, kadang bersifat


Bifasik

Muka kemerahan (Flushing Face)

Nyeri seluruh tubuh ; nyeri kepala, nyeri belakang mata terutama bila
digerakkan, nyeri otot, nyeri tulang, nyeri sendi dan nyeri perut

Mual, muntah-muntah, tidak nafsu makan

Timbul ruam merah halus sampai petekie

Laboratorium terdapat leukopeni hingga trombositopenia

Namun demam dengue yang disertai perdarahan harus dibedakan dengan DBD.
Pada penderita demam dengue tidak ada tanda-tanda kebocoran plasma dan
sebaliknya.
2. Demam Berdarah Dengue
Perbedaan DD dengan DBD terletak pada patofisiologi penyakit tersebut,
di mana pada DBD terdapat kelainan homeostasis dan perembesan plasma yang
dibuktikan dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit.
Kriteria diagnosis DBD menurut WHO 1997 :
a)

Klinis
- Demam tinggi tiba-tiba selama 2-7 hari, tanpa sebab yang jelas
- Terdapat menifestasi perdarahan berupa ; uji turniket +, petekie,
ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis dan atau melena
- Pembesaran hati (hepatomegali)

b)

Laboratorium
- Trombositopenia (trombosit < 100.000/l)
- Hemokonsentrasi ; peningkatan hematokrit >20%
Diagnosis ditegakkan dengan dua kriteria klinis + dua kriteria laboratoris.
Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia memperkuat diagnosis.
Menurut WHO 1997, DBD dibagi menjadi 4 derajat, yaitu :.

20

Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan ialah uji turniket +

II

Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan

III

lain
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan dalam, tekanan
nadi menurun <20 mmHg, hipotensi,sianosis sekitar mulut, kulit dingin

IV

dan lembab, tampak gelisah


Syok berat, nadi tidak dapat diraba tekanan darah tidak dapat diukur

3. Sindrom Syok Dengue


Biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun biasanya antara
hari ke 3 sampai ke 7).
Gejala yang timbul sesuai dengan keadaan syok :
-

Pasien tampak gelisah

Akral dingin dan pucat, kulit lembab

Hipotensi, penurunan tekanan nadi (<20 mmHg)

Nadi cepat dan lemah

Turgor kulit menurun

Mata cekung

Pada bayi ubun-ubun dapat terlihat cekung

21

Laboratorium
1. Laboratorium
- Trombositopenia ( trombosit <100.000/l )
- Hematokrit meningkat >20%
- Hipoproteinemia, penurunan kadar fibrinogen, protrombin, faktor VIII,
faktor XII, dan anti trombin III
- PT dan PTT memanjang
- asidosis metabolik dan kadar BUN (Basal Urea Nitrogen) meningkat
pada syok berat.
- SGOT dan SGPT meningkat ringan
- Serum komplemen menurun

22

Penatalaksanaaan
Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. pasien dianjurkan:
-

Tirah baring selama masa demam

Pemberian antipiretik paracetamol untuk menurunkan panas

Pemberian cairan dan elektrolit per oral seperti jus buah, sirup, dan susu
di samping air putih

Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen


saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan
Demam Berdarah Dengue
a) Demam dapat di atasi dengan kompres air dingin antipiretik
parasetamol 3x sehari pemberian cairan per oral, periksa kadar
Hematokrit berkala
b) Penggantian volume plasma
Indikasi pemberian cairan intravena :
- Pasien terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi
- Hematokrit semakin meningkat
Jenis cairan (rekomendasi WHO 1997)
1) Kristaloid
- Larutan Ringer Laktat (RL)
- Larutan Ringer Asetat
- Larutan Nacl 0,9% (garam faali)
- Dextrosa 5% dalam RL (D5/RL)
- Dextrosa 5% dalam RA (D5/RA)
- Dextrosa 5% dalam larutan Nacl 0.9% (D5/ LGF) (catatan :
untuk resusitasi syok digunakan RL/RA, tidak boleh Larutan yang
mengandung dextrosa)

23

2) Koloid
- Dextran 40
- Plasma
- Albumin
Protokol 1 : Tersangka DBD
Pasien pulang bila : Hb,Ht normal, trombosit >100.000 /l dalam 24 jam.
Dengan catatan kontrol kembali bila keadaan malin buruk. Bila masih meragukan,
observasi dan berikan infus kristaloid 500 cc per 4 jam, ulang Hb, Ht, trombosit.
Pasien di rawat bila Hb, Ht normal tapi trombosit < 100.000/ l. Atau Hb, Ht
tetap/meningkat dengan trombosit normal/ menurun. Monitor vital serta jumlah
urin tiap 4 jam.
Protokol 2 DBD : tanpa perdarahan masif dan syok
Berikan infus larutan kristaloid 4 jam/ kolf. Bila Hb,Ht normal dan
trombosit > 100.000 -150.000 maka cukup monitor lagi tiap 24 jam. Tapi bila Hb,
Ht meningkat periksa ulang tiap 12 jam. Setelah 24 jam bila

Hb, Ht, dan

trombosit :
- Stabil, pasien boleh pulang
- Normal/ meningkat trombosit >100.000, ulang periksa tiap 12 jam selama
24 jam. Bila normal dan stabil, boleh pulang
- Klinis memburuk, menunjukkan tanda syok, terapi di sesuaikan seperti
pada syok
Pasien pulang bila : tidak demam, hemodinamik baik. Kontrol poliklinik 24
jam kemudian sambil periksa darah perifer lengkap. Bila keadaan memburuk
harus segera kembali dirawat
Protokol 3 : DBD dengan perdarahan spontan dan masif tanpa syok
Segera infus larutan kristaloid 4 jam/ kolf. Periksa tanda-tanda vital, darah
perifer lengkap, dan homeostasis tiap 4-6 jam. Transfusi komponen darah

24

diberikan sesuai indikasi. Fresh rozen plasma (FFP) diberikan bila terdapat
defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT memanjang). Packed Red Cells
(PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. transfusi trombosit diberikan
pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <
100.000.
Protokol 4 : DBD dengan syok dan perdarahan spontan.
Fase awal segera berikan infus larutan kristaloid terutama RL 20
ml/kgBB/jam. Berikan O2 2-4 lt/mnt periksa elektrolit dan ureum, kreatinin.
Evaluasi selama 30-120 menit. Syok dikatakan teratasi bila keadaan umum
membaik, keadaan Sistim Saraf Pusat baik, sistol di atas 100 mmhg dengan
tekanan nadi > 20 mmHg. Nadi kurang dari 100X/menit dengan volume yang
cukup. Akral hangat, tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam. Bila syok telah
teratasi infus dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam lanjut evaluasi 60-120 menit
berikut. Bila klinis menjadi stabil kurangi lagi menjadi 4 jam/kolf. Selama ini
periksa ulang Hb, Ht, trombosit, serta elektrolit tiap 4-6 jam. Bila hemodinamik
masih belum stabil dengan Ht >30% anjuran kombinasi kristaloid dan koloid
dengan perbandingan 3-4: 1 namun bila Ht <30% berikan transfusi darah merah.
Bila syok dari awal tidak teratasi langsung berikan lar koloid 10-20 ml/kgBB/jam
maksimal 1500 ml/24 jam. Bila Ht<30% segera transfusi darah merah.
Bila syok masih juga belum teratasi berikan obat-obatan vasopresor seperti
dopamin, dobutamin atau epinefrin. Periksa homeostasis di ulang bila masih ada
perdarahan. Berikan juga obat- obatan sesuai gejala yang ada. (terapi simtomatik)
Protokol 5 : DBD dengan syok tanpa perdarahan
Pada dasarnya sama prinsipnya seperti protokol 4 hanya saja pemeriksaan
klinis dan laboratorium dilakukan seteliti mungkin untuk menentukan
kemungkinan perdarahan tersembunyi disertai KID, maka heparin dapat
diberikan. Bila tidak didapatkan tanda- tanda perdarahan, walau hasil pemeriksaan
homeostasis menunjukkan KID maka heparin tidak diberikan, kecuali bila ada
perkembangan ke arah perdarahan.

25

Kriteria memulangkan pasien

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Nafsu makan membaik

Tampak perbaikan klinis

Hematokrit stabil

Jumlah trombosit >150.000

Tidak dijumpai distress pernafasan (karena efusi pleura atau asidosis)

Komplikasi
Pada umumnya infeksi primer dapat sembuh sendiri dan tidak berbahaya.
Komplikasi pada bayi dan anak usia muda biasanya berupa kehilangan cairan dan
elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam. Pada usia 1 4 tahun wajib
diwaspadai ensefalopati dengue karena merupakan golongan usia tersering
terjadinya kejang demam. Kegagalan dalam melakukan tatalaksana komplikasi
ini, dapat memberikan jalan menuju DSS (Dengue Shock Syndome) dengan tanda
kegagalan sirkulasi, hipotensi dan syok
Upaya Pencegahan
1. Pemberantasan secara kimiawi
-

Pengasapan (Fogging)

Bubuk Abate
2. Pemberantasan secara hayati dengan menggunakan agen hayati : ikan
cupang, larva ikan nila

3. Pemberantasan secara fisika (Gerakan 3M) :


- Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali,
dan menaburkan bubuk Abate ke dalamnya
- Menutup rapat tempat-tempat penempungan air
- Mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan
BAB III

26

ANALISA KASUS
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue ditandai dengan manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi 2-7 hari,
perdarahan, sering ditandai dengan hepatomegali dan pada kasus berat ada tanda
tanda kegagalan sirkulasi dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
trombositopenia (<100.000 ul) dan peningkatan hematokrit >20%. Gagal sirkulasi
pada pasien DBD akibat peningkatan permeabilitas kapiler darah dan penurunan
volume plasma dikarenakan kebocoran plasma (leakage) dari intravascular ker
interstitial. Keadaan ini disebut Dengue Shock Syndrom (DSS) dan dapat menjadi
fatal yaitu kematian.
Pada kasus ini pasien anak perempuan usia 8 tahun ini datang dengan
keluhan panas tinggi mendadak 3 hari disertai mual muntah, batuk pilek, sakit
kepala, nyeri pada persendian. Perdarahan spontan disangkal,tidak turun dengan
obat penurun panas sebelum masuk ke Rumah Sakit. BAB cair 1 hari sebelum
MRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Keadaan umum

: An S.M tampak rewel, gelisah (-)

Kesadaran

: Compos mentis (GCS 15)

BB

: 31 kg

Suhu

: 37.2 C

Nadi

: 148 x/menit

RR

: 24 x/menit

TD

: 100/60 mmHg

Mata tidak cekung, konjungtiva hiperemis (+/+), anemis (-/-)


Mukosa bibir dan mulut tidak kering
Ekstremitas tidak dingin CRT < 2 detik
Teraba hepar membesar (+)
Tes torniquet (+)

27

Kriteria diagnosis DBD menurut WHO 1997 :


a)

Klinis

Demam tinggi tiba-tiba selama 2-7 hari, tanpa sebab yang jelas

Terdapat menifestasi perdarahan berupa ; uji turniket +, petekie,


ekimosis,

purpura,

perdarahan

mukosa,

epistaksis,

perdarahan

gusi,

hematemesis dan atau melena


b)

Pembesaran hati (hepatomegali)


Laboratorium
- Trombositopenia (trombosit < 100.000/l)
- Hemokonsentrasi ; peningkatan hematokrit >20%

Diagnosis ditegakkan dengan dua kriteria klinis + dua kriteria laboratoris. Efusi
pleura dan atau hipoalbuminemia memperkuat diagnosis.
Menurut WHO 1997, DBD dibagi menjadi 4 derajat, yaitu :.
I

Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan ialah uji turniket +

II

Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan

III

lain
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan dalam, tekanan
nadi menurun <20 mmHg, hipotensi,sianosis sekitar mulut, kulit dingin

IV

dan lembab, tampak gelisah


Syok berat, nadi tidak dapat diraba tekanan darah tidak dapat diukur

Pada kasus ini, pasien telah memenuhi kriteria WHO yaitu adanya demam
tinggi mendadak selama 3

hari, uji torniquet (+), dan ditemukannya

trombositopenia serta peningkatan hematokrit. Dan berdasarkan pembagian


derajat menurut WHO, pada kasus ini termasuk derajat I karena satu- satunya
manifestasi perdarahan ialah uji turniket (+)
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebgai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
28

dari perdarahan. Pemberian terapi pasien DHF berdasarkan terapi DEPKES untuk
criteria DHF grade I yaitu pemberian cairan infus 5-7 cc/kgBB/jam. Pada kasus
pasien ini, pasien mendapatkan terapi :

Pada tanggal 6 Mei 2016 pasien mendapatkan RL 20 tpm. Pasien juga


diberikan paracetamol 3x1 tab untuk penurun panas, inj ODR 3x1/2 amp
untuk mengurangi mual dan muntah, inj Cefotaxim 3x750mg sebagai
antibiotik, inj Metamizole 3x350 mg prn sebagai antiinflamasi non steroid
dan penurun panas, selain itu juga diberikan Sucralfat syr 3x1 cth dan Lbio 2x1 sachet.

Pada tanggal 9 Mei intervensi tetap dilanjutkan. Didapatkan gejala


tambahan keringat dingin. Suhu 36,2 C, RR 24x/menit, HR 96x/menit.
Didapatkan penurunan Plt dari 100 menjadi 39, peningkatan hematokrit
dari 39,2 menjadi 44,7. Konsultasi dengan dr Sudarmanto Sp.A, diberikan
tambahan terapi Asam traneksamat 3x1/2 amp, Fimahes grojog 1 kolf
dilanjutkan maintenance RL 40 tpm. Setelah itu RL-fimahes 30 tpm.Pasien
dipindahkan ke ruang PICU

DAFTAR PUSTAKA
1) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I FKUI edisi III. Jakarta, 1996.
29

2) Harrisons Principles of Internal Medicine 14th edition volume 2. International


edition. USA,1998.
3) Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan.
Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, edisi 2
tahun 2001.
4) Demam Berdarah

Dengue.

Diagnosis,

Pengobatan,

Pencegahan

dan

Pengendalian. World Heatlh Organization. Jakarta : EGC,1999.


5) Infeksi Tropik-Demam Berdarah Dengue. www.infeksi.com.

30

Anda mungkin juga menyukai