c. Pola eliminasi. Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin
dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat
terjadi setelah kateter di lepas
(Sunaryo, H, 1999: 35)
d. Pola aktivitas dan latihan. Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang
lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
e. Pola tidur dan istirahat. Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f. Pola kognitif perceptual. Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan
Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP
g. Pola persepsi dan konsep diri. Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan
tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP.
h. Pola hubungan dan peran. Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit
maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat
kerja dan masyarakat.
i. Pola reproduksi seksual. Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi
retrograd
( Sunaryo, H, 1999 : 36)
j. Pola penanggulangan stress. Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan
tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan
mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan. Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien
dalam menjalankan ibadahnya .
8. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem sistem tubuh antara lain :
a. Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila terjadi
shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus
diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring dapat
diperpanjang misalnya 3 jam sekali
(Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
b. Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapasan
kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal
(Oswari, 1989 : 40).
c. Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk
mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk
mengetahui masukan dan haluaran.
d. Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa
karena pengaruh anasthesi SAB
(Oswari , 1989 : 40).
e. Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 : 40) .
Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
f. Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat
terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra
sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa
ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara
perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 24 jam (Doddy, 2001 : 6)
g. Sistem muskuloskaletal
Diberikan traksi kateter yang direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang
direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
(Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
9. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu diulang
secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan
tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu diulang secara
berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar
natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda
septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah
( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
b. Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas
( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
B. Diagnosa Post TURP
1. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah, edema, trauma,
prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
2. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
pembedahan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih.
No.
1.
Diagnosa
Retensi
Tujuan/Kriteria Hasil
urin
Tujuan
Pasien
berhubungan
berkemih
dengan obstruksi
dengan
jumlah
mekanik: bekuan
normal
tanpa
darah,
retensi.
edema,
dan
kateter.
tekanan
iritasi
Rasional
system
Kriteria
Hasil
Menunjukkan
perilaku
yang
meningkatkan
drainase,
khususnya
selama
irigasi berlangsung.
2. Bantu pasien memilih
posisi
trauma, prosedur
bedah,
Intervensi
normal
berkemih.
3. Perhatikan
untuk
waktu,
aliran
setelah
control kandung
kateter dilepas.
4. Dorong
pemasukan
kemih/ urinaria,
pasien
mempertahanka
n keseimbangan
cairan : asupan
sebanding
kateter dilepas.
5. Pertahankan irigasi
kandung kemih continue
darah
pasase
urine
dan
menngkatkan
rasa
normalitas.
3. kateter biasa lepas 25 hari setelah bedah,
tetapi berkemih dapat
berlanjut
sehingga
menjadi
masalah
untuk
beberapa
dan
dengan
(continous bladder
4. mempertahankan
haluaran.
pascaoperasi
aliran
urine
penjadwalan
masukan
cairan
menurunkan
kebutuhan berkemih/
gangguan
tidur
kandung
dan
debris
untuk
mempertahankan
patensi kateter.
2.
Nyeri
akut
Tujuan : Nyeri
1. Kaji
nyeri,
berhubungan
berkurang atau
perhatikan
dengan spasmus
hilang.
Kriteria Hasil :
1. Pasien
intensitas (skala 0-
dorongan
10)
2. Jelaskan pada pasien
berkemih
kandung kemih
dan
sekunder
insisi
pada
pembedahan,
dan pemasangan
kateter.
mengatakan
nyeri
berkurang
2. Ekspresi
wajah pasien
tenang
3. Pasien akan
menunjukka
n
ketrampilan
lokasi,
1. nyeri
kandung
kemih.
3. Pertahankan patensi
kateter dan system
drainase.
Pertahankan
intermitten dengan
sekitar
kateter
menunjukkan
spasme
kemih
2. Kien
kandung
dapat
mendeteksi gajala
dini
selang
tajam,
spasmus
kandung kemih.
3. mempertahankan
fungsi kateter dan
drainase
system.
relaksasi.
4. Pasien akan
tidur
istirahat
Menurunkan
resiko
spasme
distensi/spasme
kandung
kemih.
5. Kolaborasi
dengan
tepat.
5. Tanda
tanda
vital
dalam batas
normal.
kandung kemih
4. menghilangkan
pemberian
ansietas
antispasmodic
meningkatkan
contoh :
1) Oksibutinin
kerjasama
5. Rasional
klorida
merilekskan
(Ditropan),
polos,
supositoria
2) Propantelin
bromide
dan
:
otot
untuk
memberikan
penurunan spasme
(pro-
bantanin)
Rasional
dan nyeri
menghilangkan
spasme
kandung
Resiko infeksi
berhubungan
dengan
prosedur
invasif
Tujuan : Pasien
1. Pertahankan
sistem
tidak
menunjukkan
perawatan
tanda tanda
infeksi
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak
mengalami
infeksi.
2) Dapat
mencapai
waktu
penyembuha
kateter
1. Mencegah
pemasukan bakteri
dan infeksi.
2. Meningkatkan
dengan steril.
2. Anjurkan
intake
output
cairan
cukup
sehingga
yang
urine
resiko
( 2500 3000 )
terjadi
ISK
sehingga
dikurangi
dan
dapat
menurunkan potensial
infeksi.
3. Pertahankan
posisi
urinebag dibawah
tanda
4. Observasi
mempertahankan
fungsi ginjal
3. Menghindari
refleks balik urine
n.
3) Tanda
tanda
vital
yang
memasukkan
dan demam
bakteri ke kandung
dalam batas
5. Observasi
normal dan
tidak
ada
tanda
tanda syok.
urine:
dapat
kemih.
4. Mencegah
sebelum
terjadi
shock.
5. Mengidentifikasi
adanya infeksi.
6. Untuk mencegah
infeksi
dan
membantu proses
penyembuhan.
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Hancock, Christine, 2000, Kamus Keperawatan, Edisi 17, Jakarta : EGC
Mansjoer,
A,
Suprohaita,
dkk,
2000,
Kapita
Selekta
Kedokteran,
Edisi
3,
dkk.
2000,
Intisari
Prinsip-Prinsip
Ilmu
Bedah,
Edisi
6,
Jakarta:
Bedah
Burnner
EGC.
Smeltzer,
Sutane
C,
2001,
Buku
Ajar
Keperawatan
Medikal