Satuempat
Satuempat
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan produksi jagung, baik melalui intensifikasi maupun
ekstensifikasi, selalu diiringi oleh penggunaan pupuk, terutama pupuk
anorganik, untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman. Pada prinsipnya,
pemupukan dilakukan secara berimbang, sesuai kebutuhan tanaman
dengan mempertimbangkan kemampuan tanah menyediakan hara secara
alami, keberlanjutan sistem produksi, dan keuntungan yang memadai bagi
petani.
Pemupukan berimbang adalah pengelolaan hara spesifik lokasi,
bergantung pada lingkungan setempat, terutama tanah. Konsep
pengelolaan hara spesifik lokasi mempertimbangkan kemampuan tanah
menyediakan hara secara alami dan pemulihan hara yang sebelumnya
dimanfaatkan untuk padi sawah irigasi (Dobermann and Fairhurst 2000,
Witt and Dobermann 2002). Konsep serupa juga digunakan untuk
rekomendasi pemupukan yang baru pada tanaman jagung di Nebraska
(Amerika Serikat), dengan penekanan khusus pada pemahaman potensi
hasil dan senjang hasil sebagai dasar perbaikan rekomendasi pengelolaan
hara yang bersifat spesifik lokasi (Dobermann et al. 2003). Pengelolaan hara
spesifik lokasi berupaya menyediakan hara bagi tanaman secara tepat, baik
jumlah, jenis, maupun waktu pemberiannya, dengan mempertimbangkan
kebutuhan tanaman, dan kapasitas lahan dalam menyediakan hara bagi
tanaman (Makarim et al. 2003)
Pengapuran masih cukup relevan dalam upaya ameliorasi lahan kering
yang bereaksi masam dengan kandungan Al yang tinggi dan pada lahan
pasang surut sulfat masam untuk menetralisasi keracunan Al maupun Fe.
Tidak tersedianya kapur pada saat yang tepat dan biaya pengapuran yang
mahal sering menjadi kendala dalam upaya peningkatan produktivitas lahan
melalui pengapuran.
Penggunaan bahan organik perlu mendapat perhatian yang lebih besar,
mengingat banyaknya lahan yang telah mengalami degradasi bahan organik,
di samping mahalnya pupuk anorganik (urea, ZA, SP36, dan KCl). Penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus tanpa tambahan pupuk
organik dapat menguras bahan organik tanah dan menyebabkan degradasi
kesuburan hayati tanah.
205
N
P
K
Ca
Mg
S
Cl
Fe
Mn
Cu
Zn
B
Mo
Biji
Batang
129
31
39
1,5
11
12
4,5
0,11
0,06
0,02
0,19
0,05
0,006
62
8
157
39
33
9
76
2,02
0,28
0,09
0,19
0,14
0,003
Sumber: Barber dan Olsen (1968) dalam Olson dan Sander (1988).
206
tanaman
N
P
K
S
Ca
Mg
Fe
Zn
1,40%
0,16%
2,00%
0,12%
0,50%
0,30%
200 ppm
15 ppm
Kadar hara kritis dalam tanaman perlu diketahui sebagai dasar pemberian pupuk. Tanaman akan tanggap terhadap pupuk jika kadar hara
berada di bawah titik kritis. Batas kritis kekurangan hara pada daun tanaman
jagung saat silking berdasarkan penelitian di daerah pengembangan jagung
di Jawa disajikan pada Tabel 2.
PEMUPUKAN N, P, K, DAN S
Pupuk yang diberikan pada tanaman jagung di Indonesia umumnya mengandung hara makro N, P, K, dan S, tetapi belum mengandung hara mikro,
karena belum ada sentra-sentra pengembangan jagung yang berindikasi
kekurangan hara mikro.
207
Rendah
(25 kg/kg)
agronomik
Sedang
(29 kg/kg)
Tinggi
(33 kg/kg)
...................................Takaran N (kg/ha)...................................
1
2
3
4
5
6
7
8
Sumber:
208
80
120
160
105
140
175
120
150
180
210
240
Witt (2007).
0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Target hasil
5-8 t/ha
9-12 t/ha
0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Target hasil
4-7 t/ha
7-10 t/ha
10-12 t/ha
......................Takaran K 2O (kg/ha)..............................
20-30
30-40
40-50
40-50
50-60
60-70
60-70
70-80
80-90
80-90
90-100
100-110
100-110
110-120
120-130
120-130
130-140
140-150
209
V6
V10-V12
VT
Nilai SPAD
(unit)
Hibrida
>53
51,5-53
50-51,5
<50
>53
51,5-53
50-51,5
<50
>53
51,5-53
50-51,5
<50
100
100-125
125-150
75
75-100
100-125
50
50-75
75-100
100
100-125
75
75-100
50
50-100
210
3,5
36
3,7
3,8
3,9
4,0
4,1
4,2
4,3
4,4
4,5
4,6
Hibrida
Bersari bebas
99
95
89
84
77
71
64
56
46
34
14
-
85
80
74
69
63
56
49
41
28
8
-
211
dilakukan pada 1/3 bagian dari ujung daun, minimal tiga kali; 2) daun yang
diamati adalah daun ketiga dari atas yang telah terbuka sempurna jika
tanaman belum mencapai fase VT, atau daun yang terletak di bakal tongkol
jika tanaman sudah mencapai fase VT; 3) jumlah sampel minimal 20 tanaman
yang ditentukan secara acak (kemudian dirata-ratakan) yang mewakili
kelompok wilayah/areal yang dinilai seragam kondisinya; 4) pengukuran
dilakukan pada pagi hari tanpa tenggang waktu antara sampel yang diamati;
5) tanaman tidak dalam kondisi cekaman kekeringan; dan 6) tanaman tidak
kekurangan hara lain sehingga pemupukan selain N harus optimal.
212
Efisiensi serapan N
(%)
0 HST
30 HST
45 HST
1
2/3
2/3
1/3
0
1/3
2/3
1/3
0
0
0
1/3
16,5
19,5
26,3
48,3
213
et al. 1988). Pemberian P secara larik lebih efektif dibanding secara tugal.
Pemberian 60 kg P 2 O 5 /ha secara larik memberikan hasil yang setara dengan
120 kg P 2O 5 secara tugal (Subandi et al. 1990).
Pada tanah Ultisol, pupuk K lebih baik diberikan secara bertahap, yaitu
1/2 takaran pada awal tanam dan 1/2 takaran pada 45 HST, dibanding diberikan seluruhnya pada awal tanam. Pada tanah kapuran justru sebaliknya,
seluruh pupuk K lebih baik diberikan pada awal tanam (Syafruddin et al.
1997). Pada tanah kapuran, Ca menghambat serapan K. Jika pupuk K
terlambat diberikan maka Ca akan dominan diserap lebih awal yang akan
menghambat serapan K.
Pemberian
Kapur
Pada lahan kering bereaksi masam, khususnya tanah Oxisol dan Ultisol,
masalah utama pada pengembangan jagung dan palawija lain adalah kadar
Al yang tinggi. Pada tanah sulfat masam, masalah tersebut ditambah lagi
dengan kadar Fe yang tinggi yang dapat meracuni tanaman, termasuk
jagung. Pemberian kapur dapat menetralisasi kedua unsur tersebut. Selain
itu, pengapuran juga dapat meningkatkan pH tanah yang menyebabkan
ketersedian hara menjadi lebih baik.
Tanaman jagung umumnya toleran terhadap keracunan Al sampai
kejenuhan 40%, sehingga pemberian kapur tidak diperlukan. Pada tanah
Ultisol di Jasinga, Bogor dengan kejenuhan Al 68,5%, tanpa kapur, tanaman
jagung tidak menghasilkan biji. Pemberian kapur secara larik dapat
meningkatkan hasil jagung di lokasi ini. Pemberian kapur dengan takaran
25% Ca + memberikan hasil tertinggi, yaitu 3,8 t/ha (Muhadjir et al. 1989).
Pada tanah sulfat masam, pemberian kapur sangat berperan dalam
meningkatkan hasil jagung. Di Unit Tatas Kalimantan Tengah, pemberian
kapur juga meningkatkan hasil jagung. Peningkatan takaran kapur dari 1 t
menjadi 3 t/ha meningkatkan hasil sebesar 30% (Raihana 1993).
214
DAFTAR PUSTAKA
Balasubramanian, V., A.C. Morales, R.T. Cruz, T.M. Thiyagarajan, R. Nagarajan,
M. Babu, S. Abdulrahman, and L.H. Hai. 2000. Adaptation of chlorophyll
meter (SPAD) technology for real-time N management in rice: A review:
Int Rice Res. Notes 25(1):4-8.
Balitra. 1998. Laporan Tahunan Balitra tahun 1996/1997. Balai Penelitian
Tanaman Rawa. Banjar Baru.
Cosico, W.C. 1985. Organic fertilizers: their nature, properties and use. A
Publ. Farming Syst. Soul Resource Inst. Coll. Agric. Philipp. Los Banos.
Coll., Laguna. 126 p.
Djamaluddin. 1985. Pemberian pupuk kandang dan fosfat serta pengaruh
residualnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung
(Zea mays L.) di daerah transmigrasi Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Disertasi Doktor pada Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
200 p.
Dobermann, A. and K.G. Cassman. 2002 Plant nutrient management for
enhanced productivity in intensive grain production system of the
United State and Asia. Plant and Soil. 247:153-172.
215
216
Morris, R.J. 1987. The importance and need for sulfur in crop production in
Asia and the Pacific Region. In Proceding of Symposium on Fertilizer,
Sulphur Requrements and Sources in Developing Countries of Asia
and Pacific. Bangkok.
Muhadjir. F., R.Fathan, dan M. Raharjo. 1989. Emeliorasi lahan kering untuk
meningkatkan hasil jagung. Dalam: Prosiding Lokakakrya Penelitian
Komoditas dan Studi Khusus. AARP. p.189-204.
Noor, A., R.D. Ningsih. 1998 Efektifitas pemupukan P dari TSP dan SP36 pada
tanaman jagung di lahan pasang surut sulfat masam. Dalam: Prosiding
Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Balitjas. Maros.p.450 - 456.
Olson, R.A. and D.H. Sander. 1988. Corn production. In Monograph Agronomy
Corn and Corn Improvement. Wisconsin. p.639-686.
Patrick, W. H., JR and K.R. Reddy. 1976. Rate of fertilizer nitrogen in a flooded
soil. Soil. Svi. Soc. Proc. 40:678-681.
Raihana, Y. 1993. Pengaruh pemberian kapur dan fosfat alam pada tanaman
jagung di lahan pasang surut sulfat masam. Dalam: Risalah Seminar
Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balitan Malang. Malang. p.183-188.
Subandi, Djamaluddin, S. Saenong, dan A. Hasanuddin. 1990. Efisiensi
pemupukan pada padi dan palawija. Puslitbangtan. Bogor. 23p.
Subandi, A.F. Fadhly, dan Djamaluddin. 1999. Penggunaan pupuk Phosmag
plus untuk tanaman jagung. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia
Lain. 3:15-22.
Sudaryono. 1998. Teknologi produksi jagung. Dalam: Prosiding Seminar
dan Lokakarya Nasional Jagung. Balitjas. Maros. p.137-158.
Supriyono, A., R. Sutanto, dan S. Raihan. 1998. Pengelolaan bahan organik
untuk keberlanjutan produktivitas tumpanggilir jagung-kacang tanah
pada lahan kering masam. Dalam: Prosiding Seminar dan Lokakarya
Nasional Jagung. Balitjas. Maros. p.412 - 423.
Sutoro, Y. Soeleman, dan Iskandar. 1988. Budi daya tanaman jagung. Dalam:
Jagung. Subandi et al. (Eds.). Puslibangtan. Bogor. p. 49-66.
Syafruddin, Sania Saenong, A.F. Fadhly. 1997. Keragaan pemupukan N, P, K,
dan S pada tanaman jagung di Sulsel. Dalam: Prosiding Seminar dan
Lokakarya Nasional Jagung. Balitjas. Maros. p.478-489.
Syafruddin, S. Saenong, dan Subandi. 2006. Pemantauan kecukupan hara N
berdasarkan klorofil daun. pada tanaman jagung Dalam: Proseding
Seminar Nasional Jagung. p. 296-302.
217
218