Anda di halaman 1dari 53

UNIVERSITAS INDONESIA

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


EKONOMI INDONESIA

NURUL ULFAH
PRIMATAZYA PUTRI
SYLVIA FATRANI AISYAH
WILSON STEFEN
WINDA FIRDAUS

PROGRAM EKSTENSI FAKULTAS EKONOMI


BIDANG STUDI AKUNTANSI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Statement of Authorship
Saya/kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas
terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan
orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi

ini

tidak/belum

pernah

disajikan/digunakan

sebagai

bahan

untuk

makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas
bahwa saya/kami menyatakan dengan jelas menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Nama
NPM
Tandatangan

: Nurul Ulfah
: 1406645916
:

Nama
NPM
Tandatangan

: Primatazya Putri Dyah Permatasari


: 1406645941
:

Nama
NPM
Tandatangan

: Sylvia Fatrani Aisyah


: 1406646093
:

Nama
NPM
Tandatangan

: Wilson Stefen
: 1406646175
:

Nama
NPM
Tandatangan

: Winda Firdaus
: 1406646181
:

Mata Ajaran
Judul Makalah/Tugas
Tanggal
Dosen

: Perekonomian Indonesia
: Dimensi Spasial Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia
: 18 Mei 2016
: Maddaremmeng A. Panennungi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................2
1.1

Latar Belakang.................................................................................................2

1.2

Tujuan Penulisan.............................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN................................................................................................2
2.1

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).....................................................2

2.2

Pendapatan Perkapita.......................................................................................2

2.3

Otonomi Daerah..............................................................................................2

2.4

Keuangan Daerah............................................................................................2

BAB 3 PENUTUP..........................................................................................................2
3.1

Kesimpulan......................................................................................................2

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................2

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Pembangunan daerah merupakan salah satu bagian penting dari ekonomi suatu

negara. Untuk memperlancar pembangunan daerah di Indonesia, Indonesia

mulai

memberlakukan otonomi daerah yang dimulai tahun 1999. Otonomi daerah sendiri adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setelah diberlakukannya

otonomi daerah, Indonesia juga melancarkan

perancangan keuangan daerah secara mandiri. Keuangan daerah dibuat berdasarkan


penganggaran yang berasal dari rancangan-rancangan program masing-masing daerah.
Dalam rangka evaluasi dan proses penyusunan perencanaan dibutuhkan berbagai
indikator-indikator yang dapat menggambarkan potensi dan kemajuan pembangunan daerah.
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi suatu daerah dalam suatu periode
tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku
maupun atas dasar harga konstan. Berdasarkan indikator ini kita akan memperoleh gambaran
tingkat pertumbuhan ekonomi maupun tingkat kemakmuran masyarakat suatu wilayah.

1.2

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui bagaimana dimensi spasial dalam

pembangunan ekonomi Indonesia. Penulis akan menjelaskan secara spesifik mengenai


PDRB, Pendapatan Per Kapita, Otonomi Daerah, dan Keuangan Daerah.

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
A.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


Konsep
Wilayah Domestik dan Regional
Pengertian domestik/regional disini

dapat

merupakan

Propinsi

atau

Daerah

Kabupaten/Kota. Transaksi ekonomi yang akan dihitung adalah transaksi yang terjadi di
wilayan domestik suatu daerah tanpa memperhatikan apakah transaksi dilakukan oleh

masyarakat (residen) dari daerah tersebut atau masyarakat lain (non-residen).


Produk Domestik
Semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di
wilayah domestikm tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau
dimiliki oleh penduduk daerah tersebut, merupakan produk domestik daerah yang
bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut
merupakan pendapatan domestik. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian dari faktor
produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu daerah berasal dari daerah
lain atau dari luar negeri, demikian juga sebaliknya faktor produksi yang dimiliki oleh
penduduk daerah tersebut ikut serta dalam proses produksi di daerah lain atau di luar
negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang timbul di suatu daerah tidak
sama dengan pendapatan yang diterima penduduk daerah tersebut. Dengan adanya arus
pendapatan yang mengalir antar daerah ini (termasuk juga dari dalam ke luar negeri)
yang pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden, dan keuntungan maka timbul

perbedaan antara produk domestik dan produk regional.


Produk Regional
Produk regional merupakan produk domestik ditambah dengan pendapatan dari faktor
produksi yang diterima dari luar daerah/negeri dikurangi dengan pendapatan dari faktor
produksi yang dibayarkan ke luar daerah/negeri. Jadi produk regional merupakan
produk yang ditimbulkan oleh faktor produksi yang dimiliki oleh residen.

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

Residen dan Non-Residen


Unit institusi yang mencakup penduduk/rumah tangga. Perusahaan, pemerintah
lembaga non-profit, dikatakan sebagai residen bila mempunyai/melakukan kegiatan
ekonomi di suatu wilayah (Indonesia). Suatu rumah tangga, perusahaan, lembaga nonprofit tersebut mempunyai/melakukan kegiatan ekonomi di suatu wilayah jika memliki
tanah/bangunan atau melakukan kegiatan produksi di wilayah tersebut dalam jangka

waktu tertentu (minimal satu tahun).


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Pasar
Produk domestik regional bruto atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah bruto
yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Nilai tambah adalah
nilai yang ditambahkan dari kombinasi faktor produksi dan bahan baku dalam proses
produksi. Penghitungan nilai tambah adalah nilai produksi (output) dikurangi biaya
antara. Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen pendapatan faktor
(upah dan gaji, bunga, sewa tanah, dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak
langsung neto. Jadi dengan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi,

akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar.
Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Harga Pasar
Perbedaan antara konsep neto disini dan konsep bruto di atas, ialah karena pada konsep
bruto di atas; penyusutan masih termasuk di dalamnya, sedangkan pada konsep neto ini
komponen penyusutan telah dikeluarkan. Jadi produk domestik regional bruto atas

dasar harga pasar dikurangi penyusutan akan diperoleh PDRN atas dasar harga pasar.
Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Biaya Faktor
Perbedaan antara konsep biaya faktor dan konsep harga pasar karena adanya pajak tidak
langsung yang dipungut pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada
unit-unit produksi. Pajak tidak langsung ini meliputi pajak penjualan, bea ekspor dan
impor, cukai dan lain-lain pajak, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan.
Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi dibebankan pada biaya produksi atau pada
pembeli hingga langsung berakibat menaikkan harga barang. Berlawanan dengan pajak
tidak langsung yang berakibat menaikkan harga tadi, ialah subsidi yang diberikan
pemerintah kepada unit-unit produksi, yang bisa mengakibatkan penurunan harga. Jadi
pajak tidak langsung dan subsidi mempunyai pengaruh terhadap harga barang-barang,
hanya satu yang berpengaruh menaikkan sedang yang lain menurunkan harga, hingga
kalau pajak tidak langsung dikurangi subsidi akan diperoleh pajak tidak langsung neto.

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Kalau PDRN atas dasar harga pasar dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka

hasilnya adalah PDRN atas dasar biaya faktor.


Pendapatan Regional
Dari konsep-konsep yang diterangkan di atas dapat diketahui bahwa Produk DOmestik
Regional Neto atas dasar biaya faktor itu sebenarnya merupakan jumlah balas jasa
faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi disuatu daerah. Produk
Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor, merupakan jumlah dari pendapatan
yang berupa upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan yang timbul atau
merupakan pendapatan yang berasal dari daerah tersebut. Akan tetapi pendapatan yang
dihasilkan tadi, tidak seluruhnya menjadi pendapatan penduduk daerah itu, sebab ada
sebagian pendapatan yang diterima oleh penduduk daerah lain, misalnya suatu
perusahaan yang modalnya dimiliki oleh orang luar, tetapi perusahaan tadi beroperasi di
daerah tersebut, maka dengan sendirinya keuntungan perusahaan itu sebagian akan
menjadi milik orang luar yaitu milik orang yang mempunyai modal tadi. Sebaliknya
kalau ada penduduk daerah ini yang menambahkan modalnya di luar daerah maka
sebagian keuntungan perusahaan akan mengalir ke dalam daerah tersebut, dan menjadi
pendapatan dari pemilik modal. Kalau Produk Domestik Regional Neto atas dasar biaya
faktor dikurangi dengan pendapatan yang mengalir ke luar dan ditambah dengan
pendapatan yang mengalir ke dalam, maka hasilnya akan merupakan Produk Regional
Neto yaitu merupakan jumlah pendapatan yang benar-benar diterima oleh seluruh yang
tinggal di daerah yang dimaksud. Produk Regional Neto inilah yang merupakan

Pendapatan Regional.
Pendapatan Regional Perkapita
Bila pendapatan regional ini dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di daerah itu,
maka akan dihasilkan suatu Pendapatan Perkapita.

B. Metodologi
Untuk menghitung angka-angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
1) Menurut pendekatan produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai
unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9
lapangan usaha (sektor) yaitu :
o

Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan


4

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
o

Pertambangan dan Penggalian

Industri Pengolahan

Listrik, Gas dan Air Bersih

Konstruksi

Perdagangan, Hotel dan Restoran

Pengangkutan dan Komunikasi

Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan

Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi
menjadi sub-sub sektor.

2) Menurut pendekatan pendapatan


PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang
ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya
satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa
tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan
dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB mencakup juga penyusutan dan
pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi).
3) Menurut pendekatan pengeluaran
PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari :
o

pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba

pengeluaran konsumsi pemerintah

pembentukan modal tetap domestik bruto

perubahan inventori, dan

ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).

Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi,
jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan
harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang
dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di
dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.
C. Tabel Terkait Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku
Menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yag dihasilkan oleh suatu daerah.
Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar,
begitu juga sebaliknya.
5

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
o

PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi (dalam Miliyar Rupiah)
[Seri 2010] Produk Domestik Regional Bruto
(Milyar Rupiah)
Harga Berlaku
2010
2011
101545. 108217.6

2012
114552.

2013
121970.

2014
130448.2

SUMATERA

24
331085.

3
377037.1

08
417120.

99
470221.

4
523771.5

UTARA
SUMATERA

24
105017.

0
118674.2

44
131435.

98
146885.

7
167039.8

BARAT

74
388578.

9
485649.3

65
558492.

11
607498.

9
679692.1

23
90618.4

4
103522.9

72
115070.

59
132019.

8
153857.1

1
194012.

1
226666.9

40
253265.

49
281996.

4
308406.8

97
28352.5

12
36207.6

53
40460.4

170046.7

8
187348.

3
204402.

82

79

45400.2

50393.9

Provinsi

ACEH

RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP.
BANGKA
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA
TENGAH
DI
YOGYAKART
A
JAWA TIMUR
BANTEN

7
150560.
84
35561.9
0

32199.71

40849.04

45235.08
231008.4
3
56389.85

111223.

126914.2

144840.

163112.

182915.5

67
107518

0
1224218.

79
136943

15
154703

3
1761407.

3.48
906685.

48
1021628.

2.64
112824

7.78
125891

06
1385959.

76
623224.

60
692561.6

5.68
754529.

4.48
832953.

44
925662.6

62

44

58

77247.8

84924.6

64678.9
7

71369.96

93449.86

990648.

1120577.

124876

138243

1540696.

84
271465.

16
306174.2

7.29
338224.

4.85
380172.

53
432763.9

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

BALI
NUSA
TENGGARA
BARAT
NUSA
TENGGARA
TIMUR
KALIMANTA

28
93749.3

9
104612.1

93
117987.

81
134399.

6
156448.2

40

05

69022.2

73605.0

54893.1

61325.4

106958.

118623.

131933.4

80
73425.3

26
81905.9

8
106725.

0
115876.
46
518734.

9
519929.9

86
52574.8

70122.7
3
43846.6
1
86065.8

N BARAT
KALIMANTA

5
56531.0

N TENGAH
KALIMANTA

N SELATAN
KALIMANTA
N TIMUR
KALIMANTA
N UTARA
SULAWESI

48815.24

96727.13
65871.41

85305

98780.55

418211.

515191.4

43
550735.

58

76

51721.3

UTARA
SULAWESI

3
51752.0

TENGAH
SULAWESI

7
171740.

SELATAN
SULAWESI

74
48401.1

TENGGARA
GORONTAL

5
15475.7

O
SULAWESI

4
17183.8

BARAT

3
18428.5

MALUKU

68176.69

MALUKU

8
14983.9

UTARA
PAPUA

1
41361.6

BARAT
PAPUA

7
110808.

57343.60
60716.29
198289.0
8
55758.55
17406.53
20189.34
21367.86
17078.14
44254.64
108188.7
7

63875.3

5
71079.0

1
69637.9

3
79820.3

2
228285.

8
258682.

47
64693.9

96
71041.2

8
19669.7

9
22128.0

2
22626.2

8
25249.5

1
24661.7

0
27834.4

5
19340.4

6
21439.6

6
47421.0

2
53014.2

9
112812.

1
119771.

82246.57

68602.63

89871.73
131592.8

59080.46
80622.83
90255.67
300124.2
2
78620.39
25201.10
29391.51
31733.34
24053.50
58285.09
123179.7

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

INDONESIA

18
686413

6
7825075.

56
867295

98
961250

2
1069987

3.13

53

4.41

6.50

7.63

[Seri
Provinsi

2010]

Produk

(Milyar Rupiah)
Harga Berlaku
2010
2011

DKI

1.075.1

JAKARTA
JAWA

83,48

TIMUR
JAWA

BARAT
JAWA

85,76

TENGAH

24,62

8,48
6
906.6
623.2

1.248.767,29

49,34

2,72

14.9

17.0

UTARA

83,91
6.864.1

78,14
7.825.07

0,46

33,13

5,53

15,66%

0,01%

%
Tertinggi
%
Terendah

959,44
925
.662,69
607.4

98,59

5,43

1.385.

832.9

106.72

853,05

INDONESIA

80,55

1.258.9

53,58

98.7

1.540.
696,53

558.49

N SELATAN
MALUKU

407,06

,85

754.52
9,44

1.761.

1.382.434

14,48

485.6

KALIMANTA

1.547.0

1.128.245

692.5

Bruto

2014

37,78

,68

61,63

78,23

1.369.432

1.021.62
8,60

Regional

2013

,64

1.120.577,1

388.5

RIAU

2012

1.224.21

990.648,8

Domestik

679
.692,18

115.8
76,46

131
.592,89

19.34

21.4

24

8.672.954

39,62
9.612.5

.053,50
10.699.

,41

06,50

877,63

15,64%

15,79%

16,09%

16,46%

0,22%

0,22%

0,22%

0,22%

PDRB atas dasar harga berlaku dari tahun 2010 2014, provinsi DKI Jakarta
merupakan provinsi yang memiliki PDRB yang tertinggi di Indonesia sedangkan yang
terendah pada tahun 2010 2014 pada provinsi Maluku Utara.
o

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita atas dasar harga berlaku

menurut provinsi (dalam Ribu Rupiah)


PDRB per kapita atas dasar harga belaku menunjukkan nilai PDRB per kepala atau
per satu orang penduduk.
Provinsi

[Seri 2010] Produk Domestik Regional Bruto


Per Kapita (Ribu Rupiah)
Harga Berlaku
8

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
2010
22450.1

2011
23428.6

2012
24294.6

2013
25351.8

2014
26585.0

SUMATERA

4
25412.0

3
28518.1

9
31109.3

2
34599.9

1
38045.8

UTARA
SUMATERA

7
21584.9

9
24056.6

5
26286.1

5
28991.5

5
32549.4

BARAT

1
69701.0

8
84811.1

6
94996.1

7
100691.

4
109832.

3
29160.1

9
32682.0

5
35657.5

46
40175.4

52
46004.1

4
29830.3

7
32830.4

9
36020.6

2
38834.8

16463.6

7
18368.8

9
20298.9

8
22300.1

6
24520.4

8
19722.3

0
21981.4

1
23910.8

5
25768.9

8
28781.8

9
BANGKA 28906.7

7
32465.3

4
35288.3

6
38318.7

3
41960.4

8
65703.3

8
72571.7

2
80240.2

8
87630.0

5
95396.9

4
111528.

5
125533.

5
138858.

2
155170.

5
174824.

86
20974.9

82
23251.1

29
25272.2

09
27765.6

11
30110.1

4
19209.3

7
21162.8

9
22865.4

0
25040.4

3
27613.0

1
18652.9

3
20333.3

3
21744.8

4
23623.9

4
25693.3

7
26371.1

4
29613.0

8
32770.3

5
36035.4

9
39903.8

0
25397.6

5
27977.0

8
30202.4

5
33195.6

7
36972.9

5
23992.6

1
26433.4

4
29443.5

4
33133.0

6
38112.6

15527.4

14879.8

14853.7

15624.6

17228.7

ACEH

RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP.

BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
DI
YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA
TENGGARA
BARAT

25932

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
NUSA

10194.0

11268.8

12379.0

13620.0

19510.0

21548.0

23427.0

25557.6

27975.1

BARAT
KALIMANTAN

7
25455.0

9
28952.9

5
31515.9

8
34345.9

6
36834.8

TENGAH
KALIMANTAN

5
23418.4

4
26594.3

7
28197.0

4
30062.7

2
33545.7

SELATAN
KALIMANTAN

7
116946.

8
140229.

8
145998.

6
157167.

4
155136.

TIMUR
KALIMANTAN

31

63

48

76
92187.9

65
95567.2

22707.7

24867.9

27373.4

1
30113.2

9
33781.4

UTARA
SULAWESI

9
19558.5

5
22547.4

1
25421.6

8
28655.8

0
31878.0

TENGAH
SULAWESI

3
21306.7

8
24311.6

4
27670.9

0
31009.5

1
35592.7

SELATAN
SULAWESI

2
21573.1

7
24302.1

1
27582.5

3
29641.1

9
32115.1

TENGGARA

1
14811.9

0
16381.6

8
18207.8

3
20153.2

1
22589.0

5
14755.4

7
17001.8

6
18688.2

6
20457.3

6
23362.0

7
11951.8

5
13604.4

5
15418.3

1
19146.3

4
14361.5

1
16002.5

6
17726.0

4
54049.3

7
56305.1

2
38785.1

TENGGARA

9316.79

TIMUR
KALIMANTAN

UTARA
SULAWESI

GORONTALO
SULAWESI
BARAT
MALUKU
MALUKU
UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
INDONESIA

17093
19230.1

6
21124.2

6
58762.5

4
64004.1

6
68586.1

1
37111.1

6
37935.0

7
39496.2

1
39850.4

1
28778.1

5
32336.2

1
35338.4

7
38632.6

8
42432.0

10

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

[Seri 2010] Produk Domestik Regional Bruto

KALIMANTA

Per Kapita (Ribu Rupiah)


Harga Berlaku
2010
2011
2012
2013
2014
116
140
145
157
155

N TIMUR
DKI

.946,31
.229,63
.998,48
.167,76
.136,65
111
125
138
155
174

JAKARTA

.528,86
.533,82
.858,29
.170,09
.824,11
69
84
94
100
109

Provinsi

RIAU
KEP. RIAU

.701,03
.811,19
.996,15
.691,46
.832,52
65
72
80
87
95
.703,34

.571,75
.240,25
.630,02
.396,95
29
32
36
38

SUMATERA
SELATAN
MALUKU

259,32
.830,37
.830,49
.020,68
11
13
15

.834,86
19

.951,84

.146,36

NUSA
TENGGARA
TIMUR
INDONESIA

.604,41
9

.316,79

10
.194,01

28
.778,17

.418,36
11
.268,85

32
.336,26

170,93
12
.379,06

35
.338,48

13
.620,02

38
.632,67

42
.432,08

PDRB per kapita tertinggi pada tahun 2010 2013 yaitu pada provinsi Kalimantan
Timur sedangkan pada tahun 2014 yaitu pada provinsi DKI Jakarta. PDRB per kapita
terendah pada 2010 pada provinsi Sumatera Selatan, tahun 2011 2012 pada provinsi
Nusa Tenggara Timur, tahun 2013 pada provinsi Maluku dan tahun 2014 pada
provinsi Nusa Tenggara Timur.

Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)


[Seri 2010] Distribusi PDRB Terhadap

Provinsi

ACEH

Jumlah PDRB 34 Provinsi Atas Dasar


Harga Berlaku Menurut Provinsi (Persen)
2010
2011
2012
2013
2014
1.48

1.38
11

1.32

1.27

1.22

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA

4.82
1.53
5.66
1.32

2.83
SELATAN
BENGKULU
0.41
LAMPUNG
2.19
KEP.
BANGKA
0.52
BELITUNG
KEP. RIAU
1.62
DKI JAKARTA
15.66
JAWA BARAT
13.21
JAWA TENGAH
9.08
DI YOGYAKARTA
0.94
JAWA TIMUR
14.43
BANTEN
3.95
BALI
1.37
NUSA TENGGARA
1.02
BARAT
NUSA TENGGARA
0.64
TIMUR
KALIMANTAN
1.25
BARAT
KALIMANTAN
0.82
TENGAH
KALIMANTAN
1.24
SELATAN
KALIMANTAN
6.09
TIMUR
KALIMANTAN
UTARA
SULAWESI UTARA
0.75
SULAWESI TENGAH 0.75
SULAWESI
2.50
SELATAN
SULAWESI
0.71
TENGGARA

4.82
1.52
6.21
1.32

4.81
1.52
6.44
1.33

4.89
1.53
6.32
1.37

4.90
1.56
6.35
1.44

2.90

2.92

2.93

2.88

0.41
2.17

0.42
2.16

0.42
2.13

0.42
2.16

0.52

0.52

0.52

0.53

1.62
15.64
13.06
8.85
0.91
14.32
3.91
1.34

1.67
15.79
13.01
8.70
0.89
14.40
3.90
1.36

1.70
16.09
13.10
8.67
0.88
14.38
3.95
1.40

1.71
16.46
12.95
8.65
0.87
14.40
4.04
1.46

0.87

0.80

0.77

0.77

0.62

0.63

0.64

0.64

1.24

1.23

1.23

1.23

0.84

0.85

0.85

0.84

1.26

1.23

1.21

1.23

6.58

6.35

5.40

4.86

0.55

0.55

0.73
0.78

0.74
0.80

0.74
0.83

0.75
0.84

2.53

2.63

2.69

2.80

0.71

0.75

0.74

0.73

12

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
INDONESIA

0.23
0.25
0.27
0.22
0.60
1.61
100

0.22
0.26
0.27
0.22
0.57
1.38
100

0.23
0.26
0.28
0.22
0.55
1.30
100

0.23
0.26
0.29
0.22
0.55
1.25
100

0.24
0.27
0.30
0.22
0.54
1.15
100

[Seri 2010] Distribusi PDRB Terhadap


Provinsi

DKI JAKARTA
JAWA TIMUR
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
MALUKU UTARA

Jumlah PDRB 34 Provinsi Atas Dasar


Harga Berlaku Menurut Provinsi (Persen)
2010
2011
2012
2013
2014
15,66%
15,64% 15,79% 16,09% 16,46%
14,43%
14,32% 14,40% 14,38% 14,40%
13,21%
13,06% 13,01% 13,10% 12,95%
9,08%
8,85%
8,70%
8,67%
8,65%
0,22%
0,22%
0,22%
0,22%
0,22%

Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku tertinggi pada tahun 2010 2014 yaitu pda
provinsi DKI Jakarta dan yang terendah pada provinsi Maluku Utara.

Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita


[Seri 2010] Laju Pertumbuhan Produk
Domestik

Provinsi

ACEH
SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU

Regional

Bruto

Atas

Dasar

Harga Konstan 2010 Menurut Provinsi


(Persen)
2010
-

2011
3.28
6.66
6.34
5.57
7.86

2012
3.85
6.45
6.31
3.76
7.03

2013
2.83
6.08
6.02
2.49
7.07

2014
1.65
5.23
5.85
2.62
7.76

6.36

6.83

5.40

4.68

6.85

6.83

6.08

5.49

13

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
LAMPUNG
KEP.
BANGKA
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
DI YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA TENGGARA
BARAT
NUSA TENGGARA
TIMUR
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
TENGAH
KALIMANTAN
SELATAN
KALIMANTAN
TIMUR
KALIMANTAN
UTARA
SULAWESI UTARA
SULAWESI TENGAH SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGGARA
GORONTALO
SULAWESI BARAT
MALUKU
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
INDONESIA
-

6.56

6.44

5.78

5.08

6.90

5.50

5.22

4.68

6.96
6.73
6.50
5.30
5.21
6.44
7.03
6.66

7.63
6.53
6.50
5.34
5.37
6.64
6.83
6.96

7.11
6.11
6.34
5.14
5.49
6.08
7.13
6.69

7.32
5.95
5.06
5.42
5.18
5.86
5.47
6.72

-3.91

-1.54

5.15

5.06

5.67

5.46

5.42

5.04

5.50

5.91

6.04

5.02

7.01

6.87

7.38

6.21

6.97

5.97

5.36

4.85

6.47

5.48

2.72

1.40

8.16

6.17
9.82

6.86
9.53

6.38
9.55

6.31
5.11

8.13

8.87

7.63

7.57

10.63

11.65

7.51

6.26

7.71
10.73
6.34
6.80
3.64
-4.28
6.16

7.91
9.25
7.16
6.98
3.63
1.72
6.16

7.68
6.94
5.26
6.37
7.39
7.91
5.74

7.29
8.73
6.70
5.49
5.38
3.25
5.21

14

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

2.2

Pendapatan Perkapita
A. Pengertian pendapatan perkapita
Pendapatan perkapita (per capita income/PCl) yaitu pendapatan rata-rata untuk
masing-masing penduduk dalam suatu Negara selama satu periode tertentu.
Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu
negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga
merefleksikan PDB per kapita. Pendapatan perkapita sering digunakan sebagai tolak
ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar
pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut.
Hubungan Pendapatan Nasional, Penduduk dan Pendapatan Perkapita
Pendapatan nasional pada dasarnya merupakan kumpulan pendapatan masyarakat
suatu negara. Tinggi rendahnya pendapatan nasional akan mempengaruhi tinggi
rendahnya pendapatan per kapita negara yang bersangkutan. Akan tetapi, banyak
sedikitnya jumlah penduduk pun akan mempengaruhi jumlah pendapatan per kapita
suatu Negara.
Ternyata tingginya pendapatan nasional suatu negara, tidak menjamin pendapatan per
kapitanya juga tinggi. Hal ini terjadi karena faktor jumlah penduduk juga sangat
menentukan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.
B. Rumus Pendapatan Perkapita

Perhitungan pendapatan perkapita adalah pendapatan nasional dibagi dengan jumlah


penduduk yang tinggal dalam suatu Negara tersebut.
Perhitungan pendapatan perkapita pada umumnya dilakukan dengan membagi
komponen pendapatan nasional seperti Pendapatan nasional bruto (PNB) atau
Pendapatan Daerah Bruto (PDB) dengan jumlah penduduk suatu Negara.
C. Manfaat Penghitungan Pendapatan Perkapita
Berikut ini manfaat dari perhitungan pendapatan perkapita :
1. Mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat suatu Negara dari waktu ke waktu.
2. Membandingkan tingkat kesejahteraan antara Negara satu dengan Negara
lainnya.
3. Sebagai pedoman bagi pemerintah dalam membuat kebijakan ekonomi.
4. Mengelompokkan berbagai Negara ke dalam beberapa tingkat pendapatan.
15

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

1. Indikator Kesejahteraan Negara


Angka pendapatan perkapita merupakan ukuran yang paling dapat diandalkan
untuk melihat tingkat kesejahteraan suatu Negara. Ini disebabkan karena
pendapatan berkapita telah mencakup faktor jumlah penduduk sehingga secara
langsung menunjukan tingkat kemakmuran, sementara komponen pendapatan
nasional lainnya seperti GNP, GDP, dan sebagainya belum menunjukkan tingkat
kemakmuran masyarakat secara langsung karena tidak memperhitungakn faktor
jumlah penduduk.
Contohya, pendapatan nasional Negara A dengan Negara B adalah sama, yaitu
Rp.100 milyar. Namun Negara A mempunyai jumlah penduduk 5 juta sedangkan
Negara B memiliki jumlah penduduk 10 juta. Terlihat jelas bahwa tingkat
kemakmuran Negara A tidak sama dengan Negara B, karena Negara B
penduduknya dua kali lebih banyak, meskipun pendapatan nasional kedua Negara
tersebut sama. Apabila dibagi dengan jumlah penduduknya, pendapatan penduduk
Negara A jauh lebih besar daripada pendapatan penduduk Negara B.
2. Standar Pertumbuhan Kemakmuran Negara
Pendapatan perkapita merupakan standar umum untuk membandingkan tingkat
kemakmuran atau kesejahteraan suatu Negara dari tahun ke tahun. Apabila
pendapatan perkapita meningkat, maka dapat dikatakan bahwa tingkat
kesejahteraan penduduk meningkat. Namun, kita perlu memerhitungkan
pendapatan perkapita secara riil jika ingin menentukan tingkat kesejahteraan
penduduk suatu Negara. Caranya yaitu dengan peningkatan pendapatan perkapita
dibandingkan dengan tingkat kenaikan harga atau inflasi.
Contohnya, Negara A memiliki pendapatan perkapita sebesar Rp 10 milyar. Pada
periode berikutnya, meningkat menjadi 15 milyar. Misalkan harga barang pada
periode sebelumnya Rp.100.000 kemudian sekarang menjadi Rp.150.000.
peningkatan pendapatan perkapita tersebut menjadi tidak ada artinya karena daya
beli masyarakat tidak bertambah. Dengan begitu dapat dikatakan dibandingkan
dengan tingkat harga periode sebelumnya, secara riil pendapatan perkapita
Negara A tidak berubah.
3. Pembanding Tingkat Kemakmuran Antarnegara
Selain sebagai pembanding tingkat kemakmuran suatu Negara dari tahun ke
tahun, pendapatan perkapita juga umum digunakan sebagai pembanding tingkat
16

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
kemakmuran antar Negara yang satu dengan yang lainnya. Dengan menetapkan
standar pendapatan perkapita, maka Negara-negara di dunia dapat dikelompokkan
ke dalam Negara berpendapatan rendah, menengah atau tinggi.
4. Kelompok negara berdasarkan pendapatan perkapita
Bank Dunia (World Bank) pada tahun 2001 telah mengelompokkan Negaranegara di seluruh dunia menjadi lima kelompok berdasarkan pendapatan
perkapitanya, yaitu;
Kelompok Negara berpendapatan rendah (low income economies)
Kelompok Negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income
economies)
Kelompok Negara berpendapatan menengah (middle income economies)
Kelompok Negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income
economies)
Kelompok Negara berpendapatan tinggi (high income economies)
D. Tinjauan Pendapatan Nasional Indonesia
Secara umum pendapatan setiap penduduk Indonesia dicerminkan oleh pendapatan
nasional perkapita. Peningkatan Pendapatan Nasional dipengaruh oleh Produk
Domestik Bruto (PDB) atau Produk Nasional Bruto (PNB). Dari tahun 2010 sampai
sekarang, PDB, PNB, dan Pendapatan Nasional (PN) baik atas dasar harga berlaku
maupun atas dasar harga konstan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. PDB
per kapita atas dasar harga berlaku tahun 2010 sebesar Rp28.778.168,3; tahun 2011
sebesar Rp32.363.747,9; tahun 2012 sebesar Rp35.105.215,4; tahun 2013 sebesar
Rp38.279.918,1; kemudian tahun 2014 sebesar Rp41.808.710,6; atau terjadi kenaikan
sekitar 9,22 persen terhadap tahun sebelumnya. Demikian halnya PNB per kapita
tahun 2010 sebesar Rp28.011.889,4; tahun 2011 sebesar Rp31.467.462,6; tahun 2012
sebesar Rp34.114.310,8; tahun 2013 sebesar Rp37.150.190,2; dan tahun 2014 sebesar
Rp40.447.621,9 atau naik sekitar 8,88 persen dari tahun sebelumnya. Sementara itu,
pendapatan nasional per kapita tahun 2010 sebesar Rp21.687.707,5; tahun 2011
sebesar Rp24.658.691,1; tahun 2012 sebesar Rp26.527.004,1; tahun 2013 sebesar
Rp28.821.819,9; dan tahun 2014 menjadi Rp31.313.206,1; atau ada kenaikan sekitar
8,64 persen terhadap tahun 2013. Gambaran di atas tidak dapat dijadikan sebagai
ukuran peningkatan kemakmuran ekonomi maupun penyebaran pendapatan di setiap
strata ekonomi, karena pengaruh inflasi sangat dominan dalam pembentukan besaran
PDB,

PNB

maupun

Pendapatan

Nasional.
17

Untuk

memberikan

gambaran

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 21 yang memuat agregat pendapatan per kapita
atas dasar harga berlaku.

Pada tabel dibawah ini juga dapat terlihat perubahan pendapatan perkapita tiap
tahunnya untuk Produk Domestik Bruto, Produk Nasional Bruto, dan Pendapatan
Nasional . Untuk PDB dari tahun 2010-2011 terdapat perubahan PDB perkapita
sebesar Rp. 3.535.584, untuk tahun 2011-2012 terdapat perubahan PDB perkapita
sebesar Rp. 2.741.467,5, tahun 2012-2013 terdapat perubahan PDB perkapita sebesar
Rp. 3.174.702,8, dan tahun 2013-2014 terdapat perubahan PDB perkapita sebesar Rp.
3.528.792,4. Selain itu, untuk Pendapatan Nasional Bruto juga selalu mengalami
peningkatan dimana perubahan PNB perkapita tahun 2010-2011 Rp. 3.455.573,4,
perubahan PNB perkapita untuk tahun 2011-2012 Rp.2.646.848, perubahan PNB
perkapita untuk tahun 2012-2013 Rp. 3.035.879,4, dan perubahan PNB perkapita
untuk tahun 2013-2014 Rp. 3.297.432. Lalu Untuk Pendapatan Nasional juga terjadi
peningkatan tipa tahunnya untuk PN perkapita. Pada tahun 2010-2011 terjadi
perubahan PN perkapita Rp. 2.970.983,4, tahun 2011-2012 terjadi perubahan PN
18

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
perkapita Rp. 1.868.313,1, tahun 2012-2013 terjadi perubahan PN perkapita Rp.
2.294.815,9, dan pada tahun 2013-2014 terjadi perubahan PN perkapita Rp.
2.491.386. Dapat terlihat dari tabel bahwa selalu terjadi peningkatan pendapatan
perkapita penduduk tiap tahunnya. Tetapi, peningkatan pendapatan perkapita tersebut
sekali lagi tidak dapat menjadi patokan dalam pengukuran tingkat kemakmuran
ekonomi penduduk karena belum memperhitungkan inflasi yang terjadi.

2.3

Otonomi Daerah
2.3.1

Pengertian Otonomi Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah menjelaskan bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat teknis sebagaimana dimaksud meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
19

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

Hak dan Kewajiban Daerah


Menurut Pasal 21 UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam menyelenggarakan otonomi,
daerah mempunyai hak:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;


memilih pimpinan daerah;
mengelola aparatur daerah;
mengelola kekayaan daerah;
memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya

yang berada di daerah;


g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;


meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat;
mengembangkan kehidupan demokrasi;
mewujudkan keadilan dan pemerataan;
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
mengembangkan sistem jaminan sosial;
menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
melestarikan lingkungan hidup;
mengelola administrasi kependudukan;
melestarikan nilai sosial budaya;
membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai

dengan

kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk
mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Dengan demikian, setiap
daerah niscaya memiliki satu atau beberapa keunggulan tertentu, relatif terhadap daerahdaerah lainnya. Bahkan, dilihat dari segi potensinya keunggulan tersebut

bisa bersifat

mutlak-misalnya, yang berasal dari aspek lokasi ataupun anugrah sumber (factor
endowment).

20

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
2.3.2

Perkembangan Otonomi Daerah

Eforia otonomi daerah mulai mengalami perkembangan sejak tumbangnya


Pemerintahan Orde Baru (ORBA) di tahun 1998. Gelagat bangkitnya keberanian daerah
daerah tersebut disuarakan melalui 3 (tiga) tuntutan utama yang berisi tentang : (1) kebebasan
wewenang, (2) kekuasaan yang maksimal dan (3) pembagian keuangan yang adil. Tuntutan
ini tidak disia-siakan oleh pemerintahan pusat. Dalam hal ini pusat menyambut tuntutan
tersebut dengan melahirkan seperangkat aturan yang dikukuhkan dalam Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 (sebagai hasil revisi dari Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999)
Tentang Pemerintahan Daerah yang sekaligus menjadi pelengkap dari pada undang undang
sebelumnya.
Undang undang ini menjadi sangat istimewa ketika pemerintahan pusat
merealisasikan tuntutan pemerintahan daerah melalui proporsional pengelolaan keuangan
daerah dengan menambahkan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 (sebagai hasil revisi
dari Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999) Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Tentu saja hal ini di sambut baik oleh pemerintahan daerah yang merasa diberikan
kepercayaan oleh pemerintahan pusat untuk leluasa menyusun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerahnya (APBD). Dengan demikian akan ada harapan bagi pemerintahan daerah
untuk berpeluang meningkatkan sumber pendapatan di daerahnya bagi perkembangan
ekonomi daerahnya terutama melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik berupa Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), maupun hasil dari pendapatan Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah mengandung pokok-pokok muatan sebagai berikut:
1. Penegasan

Prinsip-Prinsip

Dasar

Perimbangan

Keuangan

Pemerintah

dan

Pemerintahan Daerah
2. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil (DBH) sektor Pertambangan Panas Bumi, PPh
Pasal 25/29 dan PPh Pasal 21
3. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula masuk dalam Komponen DAK menjadi
DBH
4. Penyempurnaan Prinsip pengalokasian DAU
5. Penyempurnaan Prinsip Pengalokasian DAK
21

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
6.

Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah, termasuk obligasi


Daerah

7.

Pengaturan pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan

8.

Penegasan Pengaturan Sistim Informasi Keuangan Daerah (SIKD)

9.

Penambahan Pengaturan Hibah dan Dana Darurat

10. Prinsip Akuntabilitas dan responsibilitas Dipertegas dengan pemberian sanksi


Dalam Undang-Undang No 33 Tahun 2004 ini diatur tentang perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berdasarkan atas hubungan fungsi,
yaitu berupa sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas
dan tanggung jawab antar tingkat pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada UU tentang
Pemerintahan Daerah.

2.3.3

Manfaat Otonomi Daerah Dalam Pembangunan

1. Otonomi daerah bisa disesuaikan dengan pemerintah daerah


Salah satu manfaat dari otonomi daerah adalah pandangan bahwa setiap daerah atau
masyarakat mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. Dengan adanya otonomi
daerah hal yang bersifat kepentingan umum bisa dirundingkan kembali mengingat
kemaslahatan bagi daerah tersebut dan kemakmuran masyarakat.
2. Mempersingkat Jalur Birokrasi

22

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Dengan adanya otonomi daerah, negara memberikan kewenangan sepenuhnya bagi
pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam yang ada pada daerah tersebut.
3. Pengembangan yang Lebih Baik Di Daerah Terpencil
Dengan adanya otonomi daerah, asas desentralisasi bisa membuat penetrasi yang baik
antara pemerintah pusat dengan daerah terpencil yang letaknya jauh dari pemerintah
pusat.
4. Meningkatkan kelembagaan dalam masyarakat
Dengan adanya otonomi daerah, masyarakat akan mengembangkan investasi atau
usaha-usaha yang telah ditentukan pemerintah ke daerah. Sehingga dapat
meningkatkan pendapatan perkapita di daerah tersebut.
2.3.4

Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkuat Basis Perekonomian

Daerah
Saat ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era
perdagangan bebas. Setiap negara berupaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka
kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong
masyarakat untuk bermain di pasar global.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk mencari
alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi adanya bantuan dari
Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi
masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik
daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah tersebut (Mardiasmo, 2002), yaitu:
1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat

23

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Salah satu cara menghadapi dan memanfaatkan perdagangan internasional adalah
meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja. Sebagai
langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, perlu dilakukan perubahan
struktural untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian
nasional.
Perubahan struktural adalah perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem
menuju ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Untuk mendukung perubahan
struktural dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern diperlukan
pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan teknologi dan pembangunan
sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu diambil dalam mewujudkan kebijakan
tersebut adalah sebagai berikut (Sumodiningrat, 1999):
a. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi, yang paling
mendasar adalah akses pada dana.
b. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
c. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber
daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi.
d. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan industri rakyat
yang terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi industriindustri kecil dan menengah yang kuat harus menjadi tulang punggung industri
nasional.
e. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai
cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil dan
menengah yang kuat dan saling menunjang.
f. Pemerataan pembangunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh
penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan pembangunan daerah diharapkan
mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi rakyat.
Upaya-upaya untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya daerah harus
dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari aspek perencanaan, Daerah sangat
membutuhkan aparat daerah (baik eksekutif maupun legislatif) yang berkualitas tinggi,
bervisi strategik dan mampu berpikir strategik, serta memiliki moral yang baik sehingga
24

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
dapat mengelola pembangunan daerah dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang
ada di daerah sangat dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar
mencerminkan kebutuhan daerah dan berkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi
daerah.
Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem
manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek
dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan
keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah
Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya
pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat
untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan
dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang,
sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi
para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan
ini, proses penyusunan dan pelaksanaan APBD hendaknya difokuskan pada upaya untuk
mendukung pelaksanaan program dan aktivitas yang menjadi preferensi daerah yang
bersangkutan.
Untuk memperlancar pelaksanaan program dan aktivitas yang telah direncanakan dan
mempermudah

pengendalian,

pemerintah

daerah

dapat

membentuk

pusat-pusat

pertanggungjawaban (responsibility centers) sebagai unit pelaksana. Untuk memastikan


bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan sebagaimana mestinya
(sesuai konsep value for money), perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah
daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak internal yang dapat dilakukan oleh internal
auditor maupun oleh eksternal auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan
transparansi dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan
yang disampaikan kepada publik. Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan khususnya
dari DPRD mutlak diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak
kebablasan dan dapat mencapai tujuannya (Mardiasmo, 2002).
Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berorientasi Pada Kepentingan Publik
Secara garis besar, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen
25

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyebabkan perubahan dalam
manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan
reformasi anggaran.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974, proses penyusunan,
mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah menurut UU No. 22 tahun
1999 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD
Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup
pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah
(Perda).
Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada prinsipprinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik. Prinsip manajemen keuangan daerah yang
diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi:
Akuntabilitas
Proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benarbenar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat.
Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan
mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan secara bersama-sama dengan
cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara
vertikal maupun horizontal dengan baik.
Value of Money
Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling
murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat tersebut dapat
menghasilkan output yang maksimal. Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran
tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.

26

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Indikasi keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang
semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat
dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga
sektor publik dikelola dengan memperhatikan konsep value for money. Maka,
diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal
tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntansi yang baik.
Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas
dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.
Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan
keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat.
Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal
accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta
pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu
dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan
analisis selisih terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera
mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut harus senantiasa
dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada
dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah, yaitu:
1. Hak untuk mengetahui (right to know), yaitu: (a) Mengetahui kebijakan
pemerintah; (b) Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah. (c)
Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan keputusan tertentu.

27

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
2. Hak untuk diberi informasi (right to be informed) yang meliputi hak untuk
diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu
yang menjadi perdebatan publik.
3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).
Pengawasan dan Pemeriksaan Untuk Mendorong Tercapainya Tujuan Otonomi
Daerah
Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan
keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Penguatan fungsi
pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai penyeimbang bagi
eksekutif daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui
LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di daerah.
Pengawasan oleh DPRD tersebut harus sudah dilakukan sejak tahap perencanaan,
tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini.
Hal ini penting karena dalam era otonomi, DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan
Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap perencanaan
(penentuan Arah dan Kebijakan Umum APBD), maka dikhawatirkan pada tahap pelaksanaan
akan mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi harus dipahami oleh anggota DPRD
bahwa pengawasan terhadap eksekutif daerah hanyalah pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan (policy) yang digariskan bukan pemeriksaan.
Pemeriksaan diserahkan kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan
keahlian profesional, misalnya BPK, BPKP, atau akuntan publik yang independen. Dewan
dapat meminta BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap
kinerja keuangan eksekutif. Untuk memperkuat fungsi pengawasan, DPRD bisa membentuk
badan ombudsmen yang berfungsi sebagai pengawas independen untuk mengawasi jalannya
suatu lembaga publik. Namun untuk fungsi pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan
yang memiliki otoritas dan keahlian profesional. Hal tersebut agar DPRD tidak disibukkan
dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga Dewan dapat lebih berkonsentrasi pada
permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijakan.
2.3.5

Keberhasilan Otonomi Daerah

Di Indonesia kita mengenal beberapa daerah yang cukup memiliki potensi di dalam
mengembangkan sumber daya alam daerahnya terutama dari sektor hasil bumi berupa
minyak dan gas alamnya. Salah satu daerah yang berhasil mengangkat ekonomi di daerahnya
28

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
melalui minyak dan gas buminya adalah Propinsi Riau. Dengan kekayaan alamnya berupa
minyak dan gas berlimpah, Riau mampu memproduksi minyak mentah per - hari mencapai
kisaran 500.000 per barel. Diluar migas, Riau juga berhasil mengembangkan potensi
perkebunan sawitnya. Dengan luas perkebunan sawit yang mencapai 3.831 juta hektar, Riau
mampu menjual 2,8 juta ton sawit atau setara dengan Rp 11 trilyun di tahun 2004 dan
meningkat menjadi 3,380 juta ton sawit atau Rp 24 trilyun di tahun 2005. PAD Riau sendiri
tidak kalah fantastis dibandingkan dengan daerah daerah lainnya. Pada awal perkembangan
otonomi daerah di tahun 1998/1999 saja Riau telah berhasil mencapai PAD sebesar Rp 94
miliar, meningkat menjadi Rp 504 miliar di tahun 2002. Sedangkan Dana Perimbangan Riau
sendiri tidak kurang dari Rp 215 miliar di tahun 1998/1999 dan mengalami pergerakkan
peningkatan secara tajam menjadi Rp 971 miliar di tahun 2003.
Propinsi Riau tidaklah sendiri yang merasakan akibat dari perluasan otonomi daerah.
Propinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam
minyak bumi dan tambang batu bara seakan akan bagai mendapatkan durian runtuh. Dalam
APBD nya saja Kaltim mendapatkan anggaran pendapatan sebesar Rp 2,233 trilyun pada
tahun 2005. Kontribusi yang di dapat dari PAD-nya sendiri tidak kurang dari Rp 698 miliar
sedangkan dana perimbangannya sebesar Rp 1,535 trilyun.
Diluar dari Sumber Daya Alam (SDA) sebagai aset penerimaan daerah seperti
Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Selatan ternyata ada juga daerah yang bisa menggali
potensi didaerahnya untuk dikembangkan menjadi aset penerimaan daerah khususnya melalui
Sumber Daya Ekonominya (SDE). Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bisa menjadi
contoh sukses dari keberhasilan pemerintah daerahnya di dalam mengembangkan potensi
daerahnya.
Selanjutnya tentang otonomi daerah di Kabupaten Jembrana, Bali. Sebagai daerah
yang tidak punya sumber daya alam yang memadai bagi pembangunan daerahnya Bali di
anggap mampu mewakili contoh keteladanan bagi daerah daerah lainnya yang mampu
mengembangkan potensi daerahnya melalui Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya
Ekonomi (SDE) - nya. Dengan hanya mengandalkan PAD yang tidak lebih dari Rp 11 miliar
di tambah dengan APBD sebesar Rp 339,3 miliar di tahun 2006 saja sangatlah jauh dari
mungkin untuk mengentaskan kebutuhan penduduk sejumlah 262.058 jiwa dari kehidupan
yang lebih dari cukup. Lantas apa yang membuat pemerintahan daerah di Jembrana Bali
begitu sangat istimewa melebihi daerah daerah pemekaran lainnya? Ternyata otonomi
daerah di Jembrana Bali disikapi dengan kebijakan populis yang kala itu dicetuskan oleh
29

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Bupatinya saat itu, yaitu oleh Bapak I Gede Winasa. Melalui kebijakan penghematan
anggarannya (dengan merampingkan jumlah dinasnya dapat menekan angka pengeluaran
anggaran sebesar Rp 2 miliar) untuk dapat dialokasikan kepada pelayanan umum terutama
pada pelayanan kesehatan dasar masyarakat dan program pendidikan dasar bagi usia sekolah
secara cuma cuma menjadikan Jembrana Bali sebagai salah satu daerah pemekaran yang
cukup berhasil memaknai otonomi di daerahnya dengan sebaik - baiknya. Selain hal tersebut
di atas potensi menakjubkan dari Sumber Daya Manusia (SDM) nya sangat memegang
peranan penting bagi pengembangan proses pelayanan administratif dan manajemen
instansinya. Dengan program pelayanan satu atapnya (one stop service) sebagai bentuk
komitmen pemerintahannya terhadap reformasi pelayanan publiknya menjadikan Jembrana
Bali sebagai daerah yang mampu memberikan pelayanan primanya dalam rangka
memaksimalkan kepentingan masyarakat di daerahnya. (Indiaho, 2009, hal. 95).
Dan kesuksesan otonomi daerah juga diraih oleh Pemerintahan Purbalingga saat itu.
Dibawah kepemimpinan Bupati berkuasa saat itu, Triyono Budi Sasongko berusaha untuk
mengembangkan pola yang sama di dalam sistem pelayanannya di mana Kabupaten
Probolinggo mencoba untuk mengembangkan pelayanan satu atapnya yaitu terutama di
dalam pengelolaan Pelayanan Perizinan dan Investasi di daerahnya. (Indiaho, 2009, hal. 104).
Bukan tanpa sebab bila Bupati yang berkuasa saat itu, Triyono Budi Sasongko
melakukan perubahan ini. Semua didasarkan pada keprihatinan beliau ketika melihat betapa
buruknya pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan kala itu, terutama dalam
pelayanan perizinan yang ada. Dengan berinisiatif membentuk Kantor pelayanan Perizinan
dan Investasi (KPPI) yang dilegalitasi oleh Peraturan Daerah Nomor 30 Tahun 2005 Tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi memberikan
sedikit harapan kepada masyarakat akan adanya pelayanan publik ini (dalam hal perizinan)
yang tidak akan membutuhkan waktu lama. Realisasi hasil yang ditunjukkan memperlihatkan
adanya pengaruh peningkatan yang sangat tinggi atas perubahan sistem pelayanan tersebut
(perizinan) baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada segi kecepatan waktu,
penyelesaian pelayanan perizinan lebih cepat dan tepat bila dibandingkan dengan
dilaksanakan oleh dinas atau instansi secara terpisah. Untuk biaya perizinan sangat juga
efisiensi dengan memangkas pengeluaran dari segi jarak, waktu dan tenaga yang digunakan
oleh pemohon atau masyarakat sendiri karena hanya terfokus pada satu tempat saja. Pada
tataran personil, tidak membutuhkan banyak orang untuk menyelesaikan satu pelayanan. Dari
sisi jumlah perizinan juga mengalami peningkatan permintaan pelayanan perizinan karena
30

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
kemudahan akses di atas. Reformasi pelayanan publik yang dilakukan oleh Kabupaten
Purbalingga juga berimplikasi positif pada iklim investasi di sana di mana nilai penanaman
modal di daerah tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp 39.385.051.182,00 (atau sebesar
37 %) di tahun 2007 saja.
Keberhasilan juga terjadi pada daerah Gorontalo. Gorontalo kini sudah identik dengan
jagung yang berkualitas ekspor. Sejak dipimpin Fadel Muhammad (2001-2006, masa
kepemimpinan pertama), provinsi itu fokus menggarap pertanian jagung. Komoditas
unggulan tersebut dapat berkembang karena Fadel juga mampu menciptakan market
networking untuk petani jagung. Produksinya mencapai 4,76 ton per hektar atau naik dua kali
lipat dari sebelum provinsi itu dipimpin Fadel. Tahun 2007, total ekspor jagung Gorontalo
menembus angka 584.840 ton, antara lain ke Korea, Jepang, Malaysia, dan Filipina.
Kinerja Pemerintah Kabupaten Sragen yang inovatif lebih mengagumkan lagi.
Kabupaten yang terletak jauh dari ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini melejit namanya karena
pemakaian teknologi informasi untuk mengoptimalkan pelayanan birokrasi kepada penduduk
Sragen yang kebanyakan tinggal di pedesaan. Bupati Sragen Untung Wiyono paling tidak
meluncurkan 21 kebijakan. Delapan di antaranya diadopsi oleh pemerintah pusat. Kedelapan
kebijakan yang diadopsi pusat itu adalah pelayanan perizinan satu pintu, pemerintahan
elektronik, perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) dengan sistem kompetensi, budi daya
pertanian organik, sistem informasi manajemen kependudukan, resi gudang, desa siaga sehat,
dan pembiayaan mikro. Sragen bahkan sudah memproduksi komputer rakitan dengan merek
Sratek (Sragen Teknologi). Selain itu, Sragen juga membuka jasa konsultan daerah yang
membutuhkan bantuan pembaruan pelayanan publik berdasarkan teknologi informasi.
Masih banyak kepala daerah yang kreatif membangun daerahnya dengan gagasan
yang berpihak kepada rakyatnya. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, misalnya, yang
terkenal sebagai wagiman alias wali kota gila taman yang menghijaukan kota. Ia juga
membuat terobosan dalam pelayanan perizinan, perbaikan sanitasi, tata kota, dan transparansi
kebijakan. Dengan mengandalkan pajak daerahnya saja Yogyakarta mampu menggenjot
Pendapatan Asli Daerah (PAD) - nya sebesar Rp 200.848,69 juta di tahun 2002. Ditahun 2004
PAD - nya meningkat menjadi Rp 331.800,79 juta.

31

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Di Bantul, Bupati Idham Samawi juga memunculkan kebijakan pertanian yang
melindungi petani dari gejolak harga pasar. Ia memproteksi tujuh komoditas pertanian agar
petani tidak dirugikan.
2.3.6

Kegagalan Otonomi daerah

Dalam kenyataannya, otonomi daerah hakikatnya merupakan suatu tujuan yang sangat
baik untuk kemajuan bangsa ini, justru banyak sekali terjadi penyalahgunaan dalam
pelaksanaannya, tidak hanya di tingkat pemerintah pusat melainkan di tingkat pemerintah
daerah hingga unsur pelaksana lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun
pemerintah sering menyuarakan program otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara,
namun pada kenyataannya pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan
dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah
Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau
meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan
menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah.
Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya
hanya akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
2. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah.
Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidak arifan pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah
Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah
Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan
dampak negative atau kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan
ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini
merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan
32

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan
lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh
wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah
menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap
punahnya sebagian macam vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang
sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
4. Banyaknya praktik korupsi
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan
jasa daerah. Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari
harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
1) Lemahnya pengawasan maupun check and balances.
Kondisi

inilah

kemudian

menimbulkan

penyimpangan-penyimpangan

dan

ketidakseimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi daerah.


2) Pemahaman terhadap Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh
warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari
tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
3) Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan
dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan
yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak
dan retribusi, dan juga menguras sumberdaya alam yang tersedia.
4) Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi
kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing
semaunya sendiri.
5)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol


dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan
peran dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut mengambil untung
dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah. Semua itu terjadi karena Otonomi
Daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan pembangunan fisik dan
ekonomi.

33

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
6) Kurangnya pembangunan sumber daya manusia (moral, spiritual intelektual dan
keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya Manusia berkualitas ini
merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sumber
Daya Manusia yang tidak berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan
Otonomi Daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrik, konflik
dan penyelewengan serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan
kelompok.
Kegagalan otonomi daerah salah satunya dirasakan oleh warga Banten pada saat
kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah selama dua periode sebagai Gubernur Banten. Dapat
dilihat masih banyak masyarakat Banten yang hidup dibawah garis kemiskinan yang jauh dari
cita-cita otonomi daerah yaitu mensejahterakan masyarakat. Demokratisasi pemerintahan di
provinsi Banten dapat dikatakan gagal karena jatuh pada sekelompok keluarga yang
menggunakan demokrasi demi membangun dinasti dan kekuasaan. Ratu Atut memilih
memperkaya dirinya sendiri daripada melayani, menyejahterakan dan mencerdaskan rakyat
mereka yang terbelakang. Hal itu pun dibuktikan dengan tertangkapnya Ratu Atut Chosiyah
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi sengketa pemilihan kepala
daerah (pemilukada) kabupaten Lebak, Banten di Mahkamah Konstitusi (MK) dan kasus
korupsi alat kesehatan (alkes) di Banten. Kerugian Negara mencapai Rp 731,36 miliar.
Kasus pengalihan tanah negara di Kabupaten Solok juga merupakan contoh kegagalan
otonomi daerah. Kasus tersebut dilakukan oleh Wakil Walikota Pariaman Helmi Darlis.
Dalam kasus ini Kejati Sumbar telah menetapkan tujuh tersangka termasuk mantan Bupati
Solok, Gusmal. Dalam kasus ini negara dirugikan sekitar Rp 288 juta pada Tahun 2011.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Pemekaran daerah yang dilakukan oleh pemerintahan daerahnya tersebut bukan didasarkan
pada kebutuhan daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya melainkan karena kondisi
sosial masyarakatnya di mana adanya perebutan penetapan ibu kota propinsi dari Kolonodale
ke Bungku yang tidak berujung selesai sehingga menyebabkan proses pelayanan kepada
masyarakat atas bentuk bentuk pelayanan administrasi mengalami keberlarutan dan
tentunya berdampak merugikan masyarakat. Sesuai administratif pemekaraan daerah melalui
Undang Undang Nomor 51 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kabupaten Morowali
ditetapkan Kolonodale sebagai ibukota baru. Penetapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
Kolonodale cukup memadai untuk menyiapkan infrastruktur penunjang pembangunan
seperti: pelabuhan, pasar dan depot pengisian bahan bakar Pertamina. Namun di dalam
34

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
perkembangannya Bungku yang menjadi ibukota pertama dari pelayanan administratif daerah
tersebut merasa tidak dihargai keberadaannya dan mengajukan protes kepada pemerintahan
pusat dengan menggandeng kecamatan kecamatan lain tetangganya seperti : Kecamatan
Mori, Kecamatan Mori Atas, Kecamatan Mori Utara, Kecamatan Wita Ponda, Kecamatan
Bintang Jaya, dan Kecamatan Mamosalato. Hal ini berlangsung cukup lama dan
memunculkan benih konflik baru diantara kedua belah ibu kota tersebut dan ini cukup
mengganggu bagi pemerintahan di daerah tersebut. Pemerintahan daerah pun sudah meminta
bantuan kepada pemerintahan pusat sebagai pihak netral untuk dapat menangani masalah
serius tersebut tetapi hingga saat ini pun masalah serius ini belum menemui jalan.

2.3.7

Cara Mengoptimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya membawa perubahan positif bagi


daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut menjadi lebih terpuruk
akibat adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pelaksana Otonomi
Daerah tersebut. Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang
sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan Otonomi Daerah,
yaitu:
a. Kemampuan SDM
SDM disini adalah aparat pemerintah daerah, lembaga swadaya, masyarakat, dan
warga daerah. Kemampuan yang diharapkan adalah kemampuan secara mental, yaitu
semnagat kerja, etos kerja, saling mendukung, dan kemampuan pengetahuan.
b. Kemampuan Keuangan
Setiap pembangunan di daerah memerlukan biaya maka kemampuan keuangan di
daerah akan menentukan otonomi daerah tersebut. Dana untuk pembangunan di
daerah dapat diperoleh dari dana pendapatan asli daerah, dana alokasi dari pusat dan
pinjaman daerah.

c. Kemampuan Peralatan dan Organisasi

35

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Kemampuan peralatan yang dimaksud adalah sarana dan prasarana yang memadai
sebagai pendukung termasuk teknologi. Dan organisasi yang baik seperti kemampuan
perencanaan, pelaksanaan, pengoordinasian, dan evaluasi.
d. Kemampuan Kepemimpinan
Kemampuan kepala daerah dalam memimpin daerah serta menciptakan manajemen
pemerintahan yang baik.
Dari semua faktor tersebut di atas, faktor manusia yang berkualitas adalah faktor
yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor yang lain bergantung
pada faktor manusia ini. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan
Otonomi Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus ditempuh
berbagai cara, seperti:
1. Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan
terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak
sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan
yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan
diperketatnya mekanisme pengawasan ini.
2. Memperketat

pengawasan

terhadap

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Daerah.

Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan
Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Dengan berbekal ketentuan yang baru
tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti
melanggar larangan atau kode etik dapat diganti.

36

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

2.4

Keuangan Daerah

A. Keuangan Daerah Berperan Dalam Pembangunan Daerah


Pembangunan daerah pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk menghasilkan
kapasitas pemerintahan yang memiliki kemampuan yang handal dan profesional. Sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan rakyat, pembangunan yang dilakukan di daerah, baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota harus dilaksanakan secara terpadu, efektif dan efisien agar tercapai
kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh wilayah.
Kemandirian keuangan menjadi hal yang sangat penting bagi daerah terutama terkait
dengan kontribusi keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
Besarnya kontribusi pengeluaran pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah
merupakan sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong
perekonomian daerah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Pemerintah Provinsi menyusun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi sebagai bentuk perencanaan pembangunan
daerah. Di dalam APBD tersebut memuat secara rinci program-program yang akan
dilaksanakan sekaligus sumber pembiayaannya. Penyusunan anggaran tersebut harus ditata
sedemikian rupa sehingga mampu meningkatkan kinerja penyelenggaraan daerah yang
berorientasi pada optimalisasi pelayanan publik.
Dana untuk pembiayaan pembangunan daerah diupayakan bersumber dari
kemampuan keuangan daerah sendiri untuk memacu peningkatan kemandirian daerah dalam
pelaksanaan pembangunan. Dengan kata lain pemerintah daerah dipacu untuk meningkatkan
kemampuan seoptimal mungkin di dalam mendanai penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik dengan cara menggali segala sumber dana potensial yang ada di daerah
tersebut.
B. Penjelasan Umum Akun APBD
Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Provinsi adalah realisasi /
perhitungan APBD Provinsi pada tiap tahun anggaran.
Pendapatan Daerah terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Daerah
b. Dana Perimbangan
37

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
c. Lain-lain Pendapatan yang Sah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, guna
keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya. PAD terdiri dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pajak Daerah adalah pungutan yang dilakukan pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Pajak daerah ini dapat dibedakan dalam dua
kategori yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan pajak negara yang
pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada daerah. Penerimaan pajak daerah antara
lain pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar
kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Retribusi Daerah adalah pungutan daerah yang dilakukan sehubungan dengan suatu
jasa atau fasilitas yang diberikan oleh Pemda secara langsung dan nyata kepada pembayar.
Retribusi daerah antara lain adalah pelayanan kesehatan, pengujian kendaraan bermotor,
penggantian biaya cetak peta, pengujian kapal perikanan, pemakaian kekayaan daerah, pasar
grosir dan atau pertokoan, penjualan produksi daerah, ijin peruntukan penggunaan tanah, ijin
trayek, dan lain-lain.
Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan adalah penerimaan yang berupa hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang terdiri dari bagian laba Perusahaan
Daerah Air Minum, bagian laba lembaga keuangan bank, bagian laba lembaga keuangan non
bank, bagian laba perusahaan milik daerah lainnya, dan bagian laba atas penyertaan
modal/investasi kepada pihak ketiga.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah merupakan pendapatan daerah yang
meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dapat dipisahkan, jasa giro, pendapatan
bunga, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat penjualan dan / atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bagi Hasil Pajak terdiri dari penerimaan
pajak bumi dan bangunan (PBB), penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
38

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
(BPHTB), pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri, dan PPh Pasal 21 orang pribadi (termasuk PPh pasal 21), dan lain-lain.
Bagi Hasil Bukan Pajak terdiri dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi
sumber daya hutan (PSDH), pemberian hak atas tanah negara, landrent, iuran
eksplorasi/eksploitasi/ royalti, pungutan pengusaha perikanan dan hasil perikanan, hasil
pertambangan minyak bumi/gas alam, dan lain-lain.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer dana dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan
pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian
pemerintah daerah menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat.
Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang disediakan kepada daerah untuk
memenuhi kebutuhan khusus. Ada tiga kriteria dari kebutuhan khusus seperti ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
o Kebutuhan tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus dana
alokasi umum
o Kebutuhan merupakan komitmen atau prioritas nasional
o Kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah
penghasil
Dengan demikian DAK pada dasarnya merupakan transfer yang bersifat spesifik untuk
tujuan-tujuan yang sudah digariskan.
Lain-lain Pendapatan yang Sah adalah pendapatan lainnya dari pemerintah pusat dan
atau dari instansi pusat, serta dari daerah lainnya. Lain-lain pendapatan yang sah terdiri
pendapatan hibah; dana darurat yang merupakan dana dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas;
dana bagi hasil pajak dari propinsi dan pemerintah daerah lainnya; bantuan dana kontijensi/
penyeimbang/ penyesuaian dari pemerintah; bantuan keuangan dari propinsi dan pemerintah
daerah lainnya; dan pendapatan yang sah lainnya.
C. Pendapatan Daerah
Tabel A menunjukkan bahwa realisasi total pendapatan pemerintah provinsi di seluruh
Indonesia dari tahun 2010-2012 terus mengalami peningkatan, dengan total pendapatan
116,80 triliun rupiah pada tahun 2010, menjadi 140,00 triliun rupiah pada tahun 2011 dan
186,01 triliun rupiah pada tahun 2012 atau mengalami pertumbuhan masing-masing 19,86
39

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
persen dan 32,86 persen. Pada tahun 2013 pendapatan pemerintah provinsi ditargetkan naik
6,71 persen menjadi 198,49 triliun rupiah.

Peningkatan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya pendapatan asli daerah terutama
komponen pajak daerah. Hal ini merupakan hasil dari upaya yang telah dilakukan pemerintah
provinsi dalam meningkatkan pendapatan daerah sejak beberapa tahun yang lalu. PAD
merupakan salah satu sumber pendapatan yang penting bagi daerah. Daerah yang berhasil
meningkatkan PAD-nya secara nyata, berarti daerah tersebut telah dapat memanfaatkan
potensi yang ada secara optimal.
Selama periode tahun 2010-2012, PAD terus mengalami kenaikan, yaitu dari 56,73
triliun rupiah pada tahun 2010 menjadi masing-masing sebesar 73,62 triliun rupiah dan 86,54
triliun rupiah pada tahun 2011 dan 2012. Peningkatan ini didukung oleh penerimaan pajak
daerah. Peran kedua terbesar setelah pajak daerah yaitu dari lain-lain PAD yang sah,
kemudian pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan retribusi daerah. Pada tahun
2013, PAD ditargetkan naik menjadi 92,45 triliun rupiah, dimana penerimaan pajak
ditargetkan tetap meningkat walaupun tidak terlalu tinggi.

40

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

PAD merupakan hal penting dalam mengukur kemandirian keuangan daerah. Semakin
besar peranan PAD dalam APBD, maka dapat disimpulkan bahwa peranan pemerintah pusat,
dalam hal ini transfer dana ke daerah semakin kecil. Jika tingkat kemandirian suatu daerah
rendah sekali, dapat dikatakan bahwa pemerintah Pusat memiliki peranan yang dominan
daripada pemerintah daerah itu sendiri.
Sedangkan jika suatu daerah memiliki tingkat kemandirian rendah, campur tangan
pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi daerah. Kategori sedang,

menggambarkan daerah yang sudah

mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah, sedangkan kategori tinggi, bisa diartikan
bahwa pemerintah daerah telah mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi
daerahnya.
Kontribusi PAD pada penerimaan pemerintah provinsi, pada tahun 2010 sebesar 48,57
persen. Tingkat kemandirian provinsi di Indonesia pada tahun tersebut masih dikategorikan
rendah. Namun demikian pada tahun 2011 tingkat kemandirian daerah sudah masuk dalam
kategori sedang, yaitu berkisar 52,59 persen. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa secara
umum pemerintah provinsi semakin mandiri.
Sedangkan pada tahun 2012 kontribusi PAD kembali turun menjadi 46,53 persen.
Demikian pula halnya untuk tahun 2013, pemerintah provinsi sangat berhati-hati dalam
41

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
mentargetkan anggaran PAD-nya, karena khawatir tidak dapat memenuhi target, sehingga
porsi PAD terhadap total pendapatannya tidak mencapai 50 persen. Dari sumber penerimaan
yang dikategorikan kedalam PAD, pajak daerah memiliki kontribusi yang paling dominan.
Besarnya kontribusi pajak daerah pada tahun 2010-2012 adalah 40,50 persen, 44,83
persen dan 39,24 persen terhadap total pendapatan. Selain dari PAD, sumber pendapatan
daerah yang berasal dari potensi daerah tetapi dikelola oleh pemerintah pusat adalah beberapa
komponen pajak dan beberapa sumber daya alam, yang sebagian pendapatannya
dikembalikan ke daerah dalam bentuk bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam.
Pendapatan kedua jenis bagi hasil tersebut tercatat sebesar 27,45 triliun rupiah pada tahun
2010, naik menjadi 28,96 triliun rupiah pada tahun 2011 lalu meningkat menjadi 33,28 triliun
rupiah pada tahun 2012.
Sedangkan anggaran pendapatan Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam pada tahun
2013 tidak begitu optimis dengan menetapkan anggaran sebesar 29,20 triliun rupiah.
Selanjutnya, pada tabel C dapat dilihat bahwa kontribusi pendapatan daerah yang berasal dari
dana perimbangan dari tahun 2010 ke tahun 2012 semakin menurun. Disisi lain jika dilihat
dari DAU dan DAK yang diberikan pemerintah pusat, menandakan bahwa ketergantungan
pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah Pusat hanya kurang dari 20 persen.

Pendapatan daerah yang berasal dari dana perimbangan memiliki kecenderungan


menurun dengan kontribusi sebesar 40,68 persen, 37,70 persen, dan 33,33 persen terhadap
42

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
total pendapatan pada tahun 2010-2012. Pada tahun 2013 dana perimbangan telah
dianggarkan dengan kontribusi 31,31 persen terhadap total pendapatan. Penerimaan dari dana
perimbangan initerdiri dari dua bagian, yaitu
1) dana bagi hasil berupa bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam,
2) dana alokasi yang meliputi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) yang berasal dari transfer pemerintah pusat. Kontribusi terbesar pada dana
perimbangan ini berasal dari dana alokasi umum, diikuti oleh bagi hasil pajak. Sedangkan
dana alokasi khusus porsinya sangat kecil, karena memang diberikan untuk kegiatan /
kejadian khusus saja. Selanjutnya adalah lain-lain pendapatan yang sah yang merupakan
sumber penerimaan pendapatan daerah yang paling kecil kontribusinya terhadap total
pendapatan dibandingkan PAD dan dana perimbangan. Pada tahun 2010 dan 2011 kontribusi
komponen ini hanya sebesar 10,75 persen dan 9,71 persen dari total pendapatan.
Sementara itu pada tahun 2012, terjadi peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar
20,14 persen. Demikian pula untuk tahun 2013, lain-lain pendapatan yang sah ditargetkan
mencapai 22,11 persen. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan dana penyesuaian yang
diterima oleh masing-masing provinsi.

43

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

D. Belanja Daerah
Secara umum realisasi belanja daerah pada kurun waktu 2010-2012 mengalami
peningkatan setiap tahunnya, yaitu dari 112,15 triliun rupiah pada tahun 2010 menjadi 132,22
triliun rupiah tahun 2011 dan 179,45 triliun rupiah pada tahun 2012. Hal ini sejalan dengan
peningkatan pendapatannya. Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan pada hampir seluruh
jenis belanja, baik pada bagian belanja tidak langsung maupun pada bagian belanja langsung.

Dilihat dari struktur belanja secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa komponen
belanja terbesar didominasi oleh belanja barang dan jasa, walaupun di tahun 2010, komponen
total belanja pegawai masih sedikit lebih besar dari belanja barang dan jasa. Pada tahun 20102012, belanja tersebut tercatat sebesar 26,99 triliun rupiah, 33,66 triliun rupiah dan 41,37
triliun rupiah atau mengalami kenaikan sebesar 24,69 persen di tahun 2011, dan 22,92 persen
pada tahun 2012.
Pada tahun 2013 belanja barang dan jasa dianggarkan sebesar 50,94 triliun rupiah atau
23,14 persen lebih tinggi dari realisasi belanja tahun 2012. Komponen belanja berikutnya
yang cukup dominan adalah belanja pegawai. Belanja pegawai ini merupakan gabungan dari
belanja pegawai langsung, dan belanja pegawai tidak langsung. Pada tahun 2010 belanja
pegawai tercatat sebesar 27,36 triliun rupiah atau 24,40 persen terhadap total belanja. Pada
tahun 2011 total realisasi belanja pegawai sebesar 30,46 triliun rupiah (23,04 persen) dan
44

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
belanja pegawai pada tahun 2012 hanya 33,85 triliun rupiah atau hanya sebesar 18,86 persen
dari total belanja.

Demikian pula pada tahun 2013 belanja pegawai diperkirakan lebih rendah dari
belanja barang dan jasa. Belanja modal juga memiliki nilai yang cukup besar yaitu 25,34
triliun rupiah pada tahun 2010, 26,33 triliun rupiah pada tahun 2011, dan 29,97 triliun rupiah
pada tahun 2012. Pada tahun 2013 belanja modal dianggarkan sebesar 43,05 triliun rupiah.
Selanjutnya, bila dilihat dari struktur belanja langsung dan tidak langsung terlihat bahwa
belanja langsung lebih besar dibanding tidak langsung pada tahun 2010. Sebaliknya pada
tahun 2011 dan 2012, belanja tidak langsung porsinya lebih besar.

45

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
Dalam belanja tidak langsung, komponen yang cukup dominan adalah belanja
pegawai dan belanja bagi hasil. Kontribusi kedua jenis belanja ini pada tahun 2011 adalah
18,78 persen dan 13,09 persen terhadap total belanja. Sementara itu, pada belanja langsung,
komponen yang cukup besar adalah belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Kontribusi
keduanya adalah 46,66 persen tahun 2010, 45,37 persen tahun 2011 dan 39,76 persen pada
tahun 2012 terhadap total belanja.
Dilihat dari sisi realisasi pendapatan dan belanja daerah, pada tahun 2010-2012,
secara umum provinsi memperoleh surplus. Sedangkan pada tahun anggaran 2013
diperkirakan belanja daerah mencapai 213,87 triliun rupiah, dan diperkirakan mengalami
defisit sehingga harus menggunakan pendapatan pembiayaan untuk menutup kekurangannya.
Penyerapan anggaran daerah yang merupakan presentase realisasi belanja terhadap
pendapatan daerah mengalami fluktuasi selama kurun waktu 2010-2012. Pada tahun 2010
penyerapan anggaran mencapai 84,03 persen, namun turun menjadi 82,38 persen pada tahun
2011. Pada tahun 2012 penyerapan anggaran kembali mengalami peningkatan, yaitu sebesar
84,46 persen. Sedangkan target penyerapan anggaran pada tahun 2013
adalah 97,06 persen (grafik 3).

46

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

47

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

BAB 3
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
Dari beberapa kasus kasus pemekaran daerah yang telah dijelaskan dengan segala

keberhasilan dan kegagalannya maka dapat kita ketahui bahwa ternyata di dalam pelaksanaan
pemekaran daerah tersebut terdapat banyak hal yang harus menjadi pertimbangan
pemerintahan daerah ketika akhirnya harus memutuskan untuk tidak tergantung kepada pusat.
Tidak hanya bergantung dari satu faktor saja seperti keengganan pemerintah pusat
melepaskan daerah mengelola pemerintahan dan ekonomi daerahnya tetapi berkisar juga
mengenai hal hal di luar konteks administrasi dan manajemen. Faktor penyimpangan
birokrasi daerah terhadap indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi batu sandungan,
juga ketidaksiapan masyarakat daerah untuk keluar dari pada zona nyaman mereka pada
kepemimpinan sebelumnya semakin menambah deret panjang permasalahan yang ada
sehingga pada akhirnya mereka banyak melakukan pelanggaran pelanggaran yang bersifat
merusak.
Idealnya otonomi daerah dapat mensinergikan kemampuan pemerintahan daerah di
dalam mengembangkan potensi daerahnya serta mampu memobilisasi partisipasi masyarakat
di dalam mengelola potensi daerahnya baik itu dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya daerahnya secara lebih bertanggung jawab dan transparan. Dengan demikian prinsip
otonomi daerah sebagai pengembangan potensi daerah dapat dimaknai sebagai konsep
kerakyatan yang sebenar benarnya menuju cita cita yang diidam idamkan masyarakat
Indonesia, yaitu demokratisasi yang diperuntukkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Tidak bisa dipungkuri pula APBD berfungsi sebangai alat pembangunan pemerintah
daerah dalam menjalankan otonomi daerahnya. Namun sering kali dalam prakteknya didalam
realisasinya banyak oknum yang mempersalahgunakan fungsi APBD untuk kepengtingan
privasi dan sedikit yang digunakan untuk pembangunan ekonomi daerah masing-masing
provinsi.
Ditambah transparansi penggunaan APBD masih hal yang dianggap tabu oleh
pemerintah daerah, oleh karena itu transparansi hanya ditujukan untuk pihak internal
pemerintah. Namun pada masa perkembangan periode per periode, penggunaan APBD per
48

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA
provinsi

cenderung meningkat

dan tingkat

pertumbuhannya lambat.

49

pembangunan

pun meningkat

meski

DIMENSI SPASIAL DALAM PEMBANGUNAN


Kelompok 5 EKONOMI INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA
Pendapatan Nasional Indonesia Tahun 2010-2014. 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik,
Indonesia.
Pendapatan perkapita. http://bangkusekolah.com/2015/11/27/pendapatan-perkapita/ (diakses
pada pukul 10.00 tanggal 17 Mei 2016)
Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian
Daerah.
Maesarini, Indah Wahyu. Otonomi Daerah di Indonesia: Keberhasilan atau Kegagalan
Pemerintah?
Surtikanti. Permasalahan Otonomi Daerah Ditinjau dari Aspek Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sumodiningrat, Gunawan. l999. Pemberdayaan Rakyat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. http://bps.go.id (diakses pada pukul 08.00 tanggal 17 Mei 2016)

50

Anda mungkin juga menyukai