NURUL ULFAH
PRIMATAZYA PUTRI
SYLVIA FATRANI AISYAH
WILSON STEFEN
WINDA FIRDAUS
ini
tidak/belum
pernah
disajikan/digunakan
sebagai
bahan
untuk
makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas
bahwa saya/kami menyatakan dengan jelas menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak
dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Nama
NPM
Tandatangan
: Nurul Ulfah
: 1406645916
:
Nama
NPM
Tandatangan
Nama
NPM
Tandatangan
Nama
NPM
Tandatangan
: Wilson Stefen
: 1406646175
:
Nama
NPM
Tandatangan
: Winda Firdaus
: 1406646181
:
Mata Ajaran
Judul Makalah/Tugas
Tanggal
Dosen
: Perekonomian Indonesia
: Dimensi Spasial Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia
: 18 Mei 2016
: Maddaremmeng A. Panennungi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................2
1.1
Latar Belakang.................................................................................................2
1.2
Tujuan Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN................................................................................................2
2.1
2.2
Pendapatan Perkapita.......................................................................................2
2.3
Otonomi Daerah..............................................................................................2
2.4
Keuangan Daerah............................................................................................2
BAB 3 PENUTUP..........................................................................................................2
3.1
Kesimpulan......................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembangunan daerah merupakan salah satu bagian penting dari ekonomi suatu
mulai
memberlakukan otonomi daerah yang dimulai tahun 1999. Otonomi daerah sendiri adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Setelah diberlakukannya
1.2
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui bagaimana dimensi spasial dalam
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
A.
dapat
merupakan
Propinsi
atau
Daerah
Kabupaten/Kota. Transaksi ekonomi yang akan dihitung adalah transaksi yang terjadi di
wilayan domestik suatu daerah tanpa memperhatikan apakah transaksi dilakukan oleh
akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar.
Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Harga Pasar
Perbedaan antara konsep neto disini dan konsep bruto di atas, ialah karena pada konsep
bruto di atas; penyusutan masih termasuk di dalamnya, sedangkan pada konsep neto ini
komponen penyusutan telah dikeluarkan. Jadi produk domestik regional bruto atas
dasar harga pasar dikurangi penyusutan akan diperoleh PDRN atas dasar harga pasar.
Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Biaya Faktor
Perbedaan antara konsep biaya faktor dan konsep harga pasar karena adanya pajak tidak
langsung yang dipungut pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada
unit-unit produksi. Pajak tidak langsung ini meliputi pajak penjualan, bea ekspor dan
impor, cukai dan lain-lain pajak, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan.
Pajak tidak langsung dari unit-unit produksi dibebankan pada biaya produksi atau pada
pembeli hingga langsung berakibat menaikkan harga barang. Berlawanan dengan pajak
tidak langsung yang berakibat menaikkan harga tadi, ialah subsidi yang diberikan
pemerintah kepada unit-unit produksi, yang bisa mengakibatkan penurunan harga. Jadi
pajak tidak langsung dan subsidi mempunyai pengaruh terhadap harga barang-barang,
hanya satu yang berpengaruh menaikkan sedang yang lain menurunkan harga, hingga
kalau pajak tidak langsung dikurangi subsidi akan diperoleh pajak tidak langsung neto.
Pendapatan Regional.
Pendapatan Regional Perkapita
Bila pendapatan regional ini dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di daerah itu,
maka akan dihasilkan suatu Pendapatan Perkapita.
B. Metodologi
Untuk menghitung angka-angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan, yaitu:
1) Menurut pendekatan produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai
unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9
lapangan usaha (sektor) yaitu :
o
Industri Pengolahan
Konstruksi
Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah. Setiap sektor tersebut dirinci lagi
menjadi sub-sub sektor.
Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi,
jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan
harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang
dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di
dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.
C. Tabel Terkait Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku
Menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yag dihasilkan oleh suatu daerah.
Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang besar,
begitu juga sebaliknya.
5
PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi (dalam Miliyar Rupiah)
[Seri 2010] Produk Domestik Regional Bruto
(Milyar Rupiah)
Harga Berlaku
2010
2011
101545. 108217.6
2012
114552.
2013
121970.
2014
130448.2
SUMATERA
24
331085.
3
377037.1
08
417120.
99
470221.
4
523771.5
UTARA
SUMATERA
24
105017.
0
118674.2
44
131435.
98
146885.
7
167039.8
BARAT
74
388578.
9
485649.3
65
558492.
11
607498.
9
679692.1
23
90618.4
4
103522.9
72
115070.
59
132019.
8
153857.1
1
194012.
1
226666.9
40
253265.
49
281996.
4
308406.8
97
28352.5
12
36207.6
53
40460.4
170046.7
8
187348.
3
204402.
82
79
45400.2
50393.9
Provinsi
ACEH
RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP.
BANGKA
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA
TENGAH
DI
YOGYAKART
A
JAWA TIMUR
BANTEN
7
150560.
84
35561.9
0
32199.71
40849.04
45235.08
231008.4
3
56389.85
111223.
126914.2
144840.
163112.
182915.5
67
107518
0
1224218.
79
136943
15
154703
3
1761407.
3.48
906685.
48
1021628.
2.64
112824
7.78
125891
06
1385959.
76
623224.
60
692561.6
5.68
754529.
4.48
832953.
44
925662.6
62
44
58
77247.8
84924.6
64678.9
7
71369.96
93449.86
990648.
1120577.
124876
138243
1540696.
84
271465.
16
306174.2
7.29
338224.
4.85
380172.
53
432763.9
BALI
NUSA
TENGGARA
BARAT
NUSA
TENGGARA
TIMUR
KALIMANTA
28
93749.3
9
104612.1
93
117987.
81
134399.
6
156448.2
40
05
69022.2
73605.0
54893.1
61325.4
106958.
118623.
131933.4
80
73425.3
26
81905.9
8
106725.
0
115876.
46
518734.
9
519929.9
86
52574.8
70122.7
3
43846.6
1
86065.8
N BARAT
KALIMANTA
5
56531.0
N TENGAH
KALIMANTA
N SELATAN
KALIMANTA
N TIMUR
KALIMANTA
N UTARA
SULAWESI
48815.24
96727.13
65871.41
85305
98780.55
418211.
515191.4
43
550735.
58
76
51721.3
UTARA
SULAWESI
3
51752.0
TENGAH
SULAWESI
7
171740.
SELATAN
SULAWESI
74
48401.1
TENGGARA
GORONTAL
5
15475.7
O
SULAWESI
4
17183.8
BARAT
3
18428.5
MALUKU
68176.69
MALUKU
8
14983.9
UTARA
PAPUA
1
41361.6
BARAT
PAPUA
7
110808.
57343.60
60716.29
198289.0
8
55758.55
17406.53
20189.34
21367.86
17078.14
44254.64
108188.7
7
63875.3
5
71079.0
1
69637.9
3
79820.3
2
228285.
8
258682.
47
64693.9
96
71041.2
8
19669.7
9
22128.0
2
22626.2
8
25249.5
1
24661.7
0
27834.4
5
19340.4
6
21439.6
6
47421.0
2
53014.2
9
112812.
1
119771.
82246.57
68602.63
89871.73
131592.8
59080.46
80622.83
90255.67
300124.2
2
78620.39
25201.10
29391.51
31733.34
24053.50
58285.09
123179.7
INDONESIA
18
686413
6
7825075.
56
867295
98
961250
2
1069987
3.13
53
4.41
6.50
7.63
[Seri
Provinsi
2010]
Produk
(Milyar Rupiah)
Harga Berlaku
2010
2011
DKI
1.075.1
JAKARTA
JAWA
83,48
TIMUR
JAWA
BARAT
JAWA
85,76
TENGAH
24,62
8,48
6
906.6
623.2
1.248.767,29
49,34
2,72
14.9
17.0
UTARA
83,91
6.864.1
78,14
7.825.07
0,46
33,13
5,53
15,66%
0,01%
%
Tertinggi
%
Terendah
959,44
925
.662,69
607.4
98,59
5,43
1.385.
832.9
106.72
853,05
INDONESIA
80,55
1.258.9
53,58
98.7
1.540.
696,53
558.49
N SELATAN
MALUKU
407,06
,85
754.52
9,44
1.761.
1.382.434
14,48
485.6
KALIMANTA
1.547.0
1.128.245
692.5
Bruto
2014
37,78
,68
61,63
78,23
1.369.432
1.021.62
8,60
Regional
2013
,64
1.120.577,1
388.5
RIAU
2012
1.224.21
990.648,8
Domestik
679
.692,18
115.8
76,46
131
.592,89
19.34
21.4
24
8.672.954
39,62
9.612.5
.053,50
10.699.
,41
06,50
877,63
15,64%
15,79%
16,09%
16,46%
0,22%
0,22%
0,22%
0,22%
PDRB atas dasar harga berlaku dari tahun 2010 2014, provinsi DKI Jakarta
merupakan provinsi yang memiliki PDRB yang tertinggi di Indonesia sedangkan yang
terendah pada tahun 2010 2014 pada provinsi Maluku Utara.
o
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita atas dasar harga berlaku
2011
23428.6
2012
24294.6
2013
25351.8
2014
26585.0
SUMATERA
4
25412.0
3
28518.1
9
31109.3
2
34599.9
1
38045.8
UTARA
SUMATERA
7
21584.9
9
24056.6
5
26286.1
5
28991.5
5
32549.4
BARAT
1
69701.0
8
84811.1
6
94996.1
7
100691.
4
109832.
3
29160.1
9
32682.0
5
35657.5
46
40175.4
52
46004.1
4
29830.3
7
32830.4
9
36020.6
2
38834.8
16463.6
7
18368.8
9
20298.9
8
22300.1
6
24520.4
8
19722.3
0
21981.4
1
23910.8
5
25768.9
8
28781.8
9
BANGKA 28906.7
7
32465.3
4
35288.3
6
38318.7
3
41960.4
8
65703.3
8
72571.7
2
80240.2
8
87630.0
5
95396.9
4
111528.
5
125533.
5
138858.
2
155170.
5
174824.
86
20974.9
82
23251.1
29
25272.2
09
27765.6
11
30110.1
4
19209.3
7
21162.8
9
22865.4
0
25040.4
3
27613.0
1
18652.9
3
20333.3
3
21744.8
4
23623.9
4
25693.3
7
26371.1
4
29613.0
8
32770.3
5
36035.4
9
39903.8
0
25397.6
5
27977.0
8
30202.4
5
33195.6
7
36972.9
5
23992.6
1
26433.4
4
29443.5
4
33133.0
6
38112.6
15527.4
14879.8
14853.7
15624.6
17228.7
ACEH
RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU
LAMPUNG
KEP.
BELITUNG
KEP. RIAU
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
DI
YOGYAKARTA
JAWA TIMUR
BANTEN
BALI
NUSA
TENGGARA
BARAT
25932
10194.0
11268.8
12379.0
13620.0
19510.0
21548.0
23427.0
25557.6
27975.1
BARAT
KALIMANTAN
7
25455.0
9
28952.9
5
31515.9
8
34345.9
6
36834.8
TENGAH
KALIMANTAN
5
23418.4
4
26594.3
7
28197.0
4
30062.7
2
33545.7
SELATAN
KALIMANTAN
7
116946.
8
140229.
8
145998.
6
157167.
4
155136.
TIMUR
KALIMANTAN
31
63
48
76
92187.9
65
95567.2
22707.7
24867.9
27373.4
1
30113.2
9
33781.4
UTARA
SULAWESI
9
19558.5
5
22547.4
1
25421.6
8
28655.8
0
31878.0
TENGAH
SULAWESI
3
21306.7
8
24311.6
4
27670.9
0
31009.5
1
35592.7
SELATAN
SULAWESI
2
21573.1
7
24302.1
1
27582.5
3
29641.1
9
32115.1
TENGGARA
1
14811.9
0
16381.6
8
18207.8
3
20153.2
1
22589.0
5
14755.4
7
17001.8
6
18688.2
6
20457.3
6
23362.0
7
11951.8
5
13604.4
5
15418.3
1
19146.3
4
14361.5
1
16002.5
6
17726.0
4
54049.3
7
56305.1
2
38785.1
TENGGARA
9316.79
TIMUR
KALIMANTAN
UTARA
SULAWESI
GORONTALO
SULAWESI
BARAT
MALUKU
MALUKU
UTARA
PAPUA BARAT
PAPUA
INDONESIA
17093
19230.1
6
21124.2
6
58762.5
4
64004.1
6
68586.1
1
37111.1
6
37935.0
7
39496.2
1
39850.4
1
28778.1
5
32336.2
1
35338.4
7
38632.6
8
42432.0
10
KALIMANTA
N TIMUR
DKI
.946,31
.229,63
.998,48
.167,76
.136,65
111
125
138
155
174
JAKARTA
.528,86
.533,82
.858,29
.170,09
.824,11
69
84
94
100
109
Provinsi
RIAU
KEP. RIAU
.701,03
.811,19
.996,15
.691,46
.832,52
65
72
80
87
95
.703,34
.571,75
.240,25
.630,02
.396,95
29
32
36
38
SUMATERA
SELATAN
MALUKU
259,32
.830,37
.830,49
.020,68
11
13
15
.834,86
19
.951,84
.146,36
NUSA
TENGGARA
TIMUR
INDONESIA
.604,41
9
.316,79
10
.194,01
28
.778,17
.418,36
11
.268,85
32
.336,26
170,93
12
.379,06
35
.338,48
13
.620,02
38
.632,67
42
.432,08
PDRB per kapita tertinggi pada tahun 2010 2013 yaitu pada provinsi Kalimantan
Timur sedangkan pada tahun 2014 yaitu pada provinsi DKI Jakarta. PDRB per kapita
terendah pada 2010 pada provinsi Sumatera Selatan, tahun 2011 2012 pada provinsi
Nusa Tenggara Timur, tahun 2013 pada provinsi Maluku dan tahun 2014 pada
provinsi Nusa Tenggara Timur.
Provinsi
ACEH
1.38
11
1.32
1.27
1.22
4.82
1.53
5.66
1.32
2.83
SELATAN
BENGKULU
0.41
LAMPUNG
2.19
KEP.
BANGKA
0.52
BELITUNG
KEP. RIAU
1.62
DKI JAKARTA
15.66
JAWA BARAT
13.21
JAWA TENGAH
9.08
DI YOGYAKARTA
0.94
JAWA TIMUR
14.43
BANTEN
3.95
BALI
1.37
NUSA TENGGARA
1.02
BARAT
NUSA TENGGARA
0.64
TIMUR
KALIMANTAN
1.25
BARAT
KALIMANTAN
0.82
TENGAH
KALIMANTAN
1.24
SELATAN
KALIMANTAN
6.09
TIMUR
KALIMANTAN
UTARA
SULAWESI UTARA
0.75
SULAWESI TENGAH 0.75
SULAWESI
2.50
SELATAN
SULAWESI
0.71
TENGGARA
4.82
1.52
6.21
1.32
4.81
1.52
6.44
1.33
4.89
1.53
6.32
1.37
4.90
1.56
6.35
1.44
2.90
2.92
2.93
2.88
0.41
2.17
0.42
2.16
0.42
2.13
0.42
2.16
0.52
0.52
0.52
0.53
1.62
15.64
13.06
8.85
0.91
14.32
3.91
1.34
1.67
15.79
13.01
8.70
0.89
14.40
3.90
1.36
1.70
16.09
13.10
8.67
0.88
14.38
3.95
1.40
1.71
16.46
12.95
8.65
0.87
14.40
4.04
1.46
0.87
0.80
0.77
0.77
0.62
0.63
0.64
0.64
1.24
1.23
1.23
1.23
0.84
0.85
0.85
0.84
1.26
1.23
1.21
1.23
6.58
6.35
5.40
4.86
0.55
0.55
0.73
0.78
0.74
0.80
0.74
0.83
0.75
0.84
2.53
2.63
2.69
2.80
0.71
0.75
0.74
0.73
12
0.23
0.25
0.27
0.22
0.60
1.61
100
0.22
0.26
0.27
0.22
0.57
1.38
100
0.23
0.26
0.28
0.22
0.55
1.30
100
0.23
0.26
0.29
0.22
0.55
1.25
100
0.24
0.27
0.30
0.22
0.54
1.15
100
DKI JAKARTA
JAWA TIMUR
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
MALUKU UTARA
Distribusi PDRB atas dasar harga berlaku tertinggi pada tahun 2010 2014 yaitu pda
provinsi DKI Jakarta dan yang terendah pada provinsi Maluku Utara.
Provinsi
ACEH
SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU
JAMBI
SUMATERA
SELATAN
BENGKULU
Regional
Bruto
Atas
Dasar
2011
3.28
6.66
6.34
5.57
7.86
2012
3.85
6.45
6.31
3.76
7.03
2013
2.83
6.08
6.02
2.49
7.07
2014
1.65
5.23
5.85
2.62
7.76
6.36
6.83
5.40
4.68
6.85
6.83
6.08
5.49
13
6.56
6.44
5.78
5.08
6.90
5.50
5.22
4.68
6.96
6.73
6.50
5.30
5.21
6.44
7.03
6.66
7.63
6.53
6.50
5.34
5.37
6.64
6.83
6.96
7.11
6.11
6.34
5.14
5.49
6.08
7.13
6.69
7.32
5.95
5.06
5.42
5.18
5.86
5.47
6.72
-3.91
-1.54
5.15
5.06
5.67
5.46
5.42
5.04
5.50
5.91
6.04
5.02
7.01
6.87
7.38
6.21
6.97
5.97
5.36
4.85
6.47
5.48
2.72
1.40
8.16
6.17
9.82
6.86
9.53
6.38
9.55
6.31
5.11
8.13
8.87
7.63
7.57
10.63
11.65
7.51
6.26
7.71
10.73
6.34
6.80
3.64
-4.28
6.16
7.91
9.25
7.16
6.98
3.63
1.72
6.16
7.68
6.94
5.26
6.37
7.39
7.91
5.74
7.29
8.73
6.70
5.49
5.38
3.25
5.21
14
2.2
Pendapatan Perkapita
A. Pengertian pendapatan perkapita
Pendapatan perkapita (per capita income/PCl) yaitu pendapatan rata-rata untuk
masing-masing penduduk dalam suatu Negara selama satu periode tertentu.
Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu
negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga
merefleksikan PDB per kapita. Pendapatan perkapita sering digunakan sebagai tolak
ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar
pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut.
Hubungan Pendapatan Nasional, Penduduk dan Pendapatan Perkapita
Pendapatan nasional pada dasarnya merupakan kumpulan pendapatan masyarakat
suatu negara. Tinggi rendahnya pendapatan nasional akan mempengaruhi tinggi
rendahnya pendapatan per kapita negara yang bersangkutan. Akan tetapi, banyak
sedikitnya jumlah penduduk pun akan mempengaruhi jumlah pendapatan per kapita
suatu Negara.
Ternyata tingginya pendapatan nasional suatu negara, tidak menjamin pendapatan per
kapitanya juga tinggi. Hal ini terjadi karena faktor jumlah penduduk juga sangat
menentukan tinggi rendahnya pendapatan per kapita.
B. Rumus Pendapatan Perkapita
PNB
maupun
Pendapatan
Nasional.
17
Untuk
memberikan
gambaran
Pada tabel dibawah ini juga dapat terlihat perubahan pendapatan perkapita tiap
tahunnya untuk Produk Domestik Bruto, Produk Nasional Bruto, dan Pendapatan
Nasional . Untuk PDB dari tahun 2010-2011 terdapat perubahan PDB perkapita
sebesar Rp. 3.535.584, untuk tahun 2011-2012 terdapat perubahan PDB perkapita
sebesar Rp. 2.741.467,5, tahun 2012-2013 terdapat perubahan PDB perkapita sebesar
Rp. 3.174.702,8, dan tahun 2013-2014 terdapat perubahan PDB perkapita sebesar Rp.
3.528.792,4. Selain itu, untuk Pendapatan Nasional Bruto juga selalu mengalami
peningkatan dimana perubahan PNB perkapita tahun 2010-2011 Rp. 3.455.573,4,
perubahan PNB perkapita untuk tahun 2011-2012 Rp.2.646.848, perubahan PNB
perkapita untuk tahun 2012-2013 Rp. 3.035.879,4, dan perubahan PNB perkapita
untuk tahun 2013-2014 Rp. 3.297.432. Lalu Untuk Pendapatan Nasional juga terjadi
peningkatan tipa tahunnya untuk PN perkapita. Pada tahun 2010-2011 terjadi
perubahan PN perkapita Rp. 2.970.983,4, tahun 2011-2012 terjadi perubahan PN
18
2.3
Otonomi Daerah
2.3.1
dengan
kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk
mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Dengan demikian, setiap
daerah niscaya memiliki satu atau beberapa keunggulan tertentu, relatif terhadap daerahdaerah lainnya. Bahkan, dilihat dari segi potensinya keunggulan tersebut
bisa bersifat
mutlak-misalnya, yang berasal dari aspek lokasi ataupun anugrah sumber (factor
endowment).
20
Prinsip-Prinsip
Dasar
Perimbangan
Keuangan
Pemerintah
dan
Pemerintahan Daerah
2. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil (DBH) sektor Pertambangan Panas Bumi, PPh
Pasal 25/29 dan PPh Pasal 21
3. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula masuk dalam Komponen DAK menjadi
DBH
4. Penyempurnaan Prinsip pengalokasian DAU
5. Penyempurnaan Prinsip Pengalokasian DAK
21
7.
8.
9.
2.3.3
22
Daerah
Saat ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era
perdagangan bebas. Setiap negara berupaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka
kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong
masyarakat untuk bermain di pasar global.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk mencari
alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi adanya bantuan dari
Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi
masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik
daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah tersebut (Mardiasmo, 2002), yaitu:
1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
23
pengendalian,
pemerintah
daerah
dapat
membentuk
pusat-pusat
26
27
Di Indonesia kita mengenal beberapa daerah yang cukup memiliki potensi di dalam
mengembangkan sumber daya alam daerahnya terutama dari sektor hasil bumi berupa
minyak dan gas alamnya. Salah satu daerah yang berhasil mengangkat ekonomi di daerahnya
28
31
Dalam kenyataannya, otonomi daerah hakikatnya merupakan suatu tujuan yang sangat
baik untuk kemajuan bangsa ini, justru banyak sekali terjadi penyalahgunaan dalam
pelaksanaannya, tidak hanya di tingkat pemerintah pusat melainkan di tingkat pemerintah
daerah hingga unsur pelaksana lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun
pemerintah sering menyuarakan program otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara,
namun pada kenyataannya pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan
dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah
Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau
meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan
menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah.
Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya
hanya akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
2. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah.
Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidak arifan pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah
Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah
Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan
dampak negative atau kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan
ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini
merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan
32
inilah
kemudian
menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan
dan
33
2.3.7
35
pengawasan
terhadap
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan
Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Dengan berbekal ketentuan yang baru
tersebut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti
melanggar larangan atau kode etik dapat diganti.
36
2.4
Keuangan Daerah
dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak, Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bagi Hasil Pajak terdiri dari penerimaan
pajak bumi dan bangunan (PBB), penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
38
Peningkatan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya pendapatan asli daerah terutama
komponen pajak daerah. Hal ini merupakan hasil dari upaya yang telah dilakukan pemerintah
provinsi dalam meningkatkan pendapatan daerah sejak beberapa tahun yang lalu. PAD
merupakan salah satu sumber pendapatan yang penting bagi daerah. Daerah yang berhasil
meningkatkan PAD-nya secara nyata, berarti daerah tersebut telah dapat memanfaatkan
potensi yang ada secara optimal.
Selama periode tahun 2010-2012, PAD terus mengalami kenaikan, yaitu dari 56,73
triliun rupiah pada tahun 2010 menjadi masing-masing sebesar 73,62 triliun rupiah dan 86,54
triliun rupiah pada tahun 2011 dan 2012. Peningkatan ini didukung oleh penerimaan pajak
daerah. Peran kedua terbesar setelah pajak daerah yaitu dari lain-lain PAD yang sah,
kemudian pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan retribusi daerah. Pada tahun
2013, PAD ditargetkan naik menjadi 92,45 triliun rupiah, dimana penerimaan pajak
ditargetkan tetap meningkat walaupun tidak terlalu tinggi.
40
PAD merupakan hal penting dalam mengukur kemandirian keuangan daerah. Semakin
besar peranan PAD dalam APBD, maka dapat disimpulkan bahwa peranan pemerintah pusat,
dalam hal ini transfer dana ke daerah semakin kecil. Jika tingkat kemandirian suatu daerah
rendah sekali, dapat dikatakan bahwa pemerintah Pusat memiliki peranan yang dominan
daripada pemerintah daerah itu sendiri.
Sedangkan jika suatu daerah memiliki tingkat kemandirian rendah, campur tangan
pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi daerah. Kategori sedang,
mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah, sedangkan kategori tinggi, bisa diartikan
bahwa pemerintah daerah telah mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi
daerahnya.
Kontribusi PAD pada penerimaan pemerintah provinsi, pada tahun 2010 sebesar 48,57
persen. Tingkat kemandirian provinsi di Indonesia pada tahun tersebut masih dikategorikan
rendah. Namun demikian pada tahun 2011 tingkat kemandirian daerah sudah masuk dalam
kategori sedang, yaitu berkisar 52,59 persen. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa secara
umum pemerintah provinsi semakin mandiri.
Sedangkan pada tahun 2012 kontribusi PAD kembali turun menjadi 46,53 persen.
Demikian pula halnya untuk tahun 2013, pemerintah provinsi sangat berhati-hati dalam
41
43
D. Belanja Daerah
Secara umum realisasi belanja daerah pada kurun waktu 2010-2012 mengalami
peningkatan setiap tahunnya, yaitu dari 112,15 triliun rupiah pada tahun 2010 menjadi 132,22
triliun rupiah tahun 2011 dan 179,45 triliun rupiah pada tahun 2012. Hal ini sejalan dengan
peningkatan pendapatannya. Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan pada hampir seluruh
jenis belanja, baik pada bagian belanja tidak langsung maupun pada bagian belanja langsung.
Dilihat dari struktur belanja secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa komponen
belanja terbesar didominasi oleh belanja barang dan jasa, walaupun di tahun 2010, komponen
total belanja pegawai masih sedikit lebih besar dari belanja barang dan jasa. Pada tahun 20102012, belanja tersebut tercatat sebesar 26,99 triliun rupiah, 33,66 triliun rupiah dan 41,37
triliun rupiah atau mengalami kenaikan sebesar 24,69 persen di tahun 2011, dan 22,92 persen
pada tahun 2012.
Pada tahun 2013 belanja barang dan jasa dianggarkan sebesar 50,94 triliun rupiah atau
23,14 persen lebih tinggi dari realisasi belanja tahun 2012. Komponen belanja berikutnya
yang cukup dominan adalah belanja pegawai. Belanja pegawai ini merupakan gabungan dari
belanja pegawai langsung, dan belanja pegawai tidak langsung. Pada tahun 2010 belanja
pegawai tercatat sebesar 27,36 triliun rupiah atau 24,40 persen terhadap total belanja. Pada
tahun 2011 total realisasi belanja pegawai sebesar 30,46 triliun rupiah (23,04 persen) dan
44
Demikian pula pada tahun 2013 belanja pegawai diperkirakan lebih rendah dari
belanja barang dan jasa. Belanja modal juga memiliki nilai yang cukup besar yaitu 25,34
triliun rupiah pada tahun 2010, 26,33 triliun rupiah pada tahun 2011, dan 29,97 triliun rupiah
pada tahun 2012. Pada tahun 2013 belanja modal dianggarkan sebesar 43,05 triliun rupiah.
Selanjutnya, bila dilihat dari struktur belanja langsung dan tidak langsung terlihat bahwa
belanja langsung lebih besar dibanding tidak langsung pada tahun 2010. Sebaliknya pada
tahun 2011 dan 2012, belanja tidak langsung porsinya lebih besar.
45
46
47
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari beberapa kasus kasus pemekaran daerah yang telah dijelaskan dengan segala
keberhasilan dan kegagalannya maka dapat kita ketahui bahwa ternyata di dalam pelaksanaan
pemekaran daerah tersebut terdapat banyak hal yang harus menjadi pertimbangan
pemerintahan daerah ketika akhirnya harus memutuskan untuk tidak tergantung kepada pusat.
Tidak hanya bergantung dari satu faktor saja seperti keengganan pemerintah pusat
melepaskan daerah mengelola pemerintahan dan ekonomi daerahnya tetapi berkisar juga
mengenai hal hal di luar konteks administrasi dan manajemen. Faktor penyimpangan
birokrasi daerah terhadap indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi batu sandungan,
juga ketidaksiapan masyarakat daerah untuk keluar dari pada zona nyaman mereka pada
kepemimpinan sebelumnya semakin menambah deret panjang permasalahan yang ada
sehingga pada akhirnya mereka banyak melakukan pelanggaran pelanggaran yang bersifat
merusak.
Idealnya otonomi daerah dapat mensinergikan kemampuan pemerintahan daerah di
dalam mengembangkan potensi daerahnya serta mampu memobilisasi partisipasi masyarakat
di dalam mengelola potensi daerahnya baik itu dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya daerahnya secara lebih bertanggung jawab dan transparan. Dengan demikian prinsip
otonomi daerah sebagai pengembangan potensi daerah dapat dimaknai sebagai konsep
kerakyatan yang sebenar benarnya menuju cita cita yang diidam idamkan masyarakat
Indonesia, yaitu demokratisasi yang diperuntukkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Tidak bisa dipungkuri pula APBD berfungsi sebangai alat pembangunan pemerintah
daerah dalam menjalankan otonomi daerahnya. Namun sering kali dalam prakteknya didalam
realisasinya banyak oknum yang mempersalahgunakan fungsi APBD untuk kepengtingan
privasi dan sedikit yang digunakan untuk pembangunan ekonomi daerah masing-masing
provinsi.
Ditambah transparansi penggunaan APBD masih hal yang dianggap tabu oleh
pemerintah daerah, oleh karena itu transparansi hanya ditujukan untuk pihak internal
pemerintah. Namun pada masa perkembangan periode per periode, penggunaan APBD per
48
cenderung meningkat
dan tingkat
pertumbuhannya lambat.
49
pembangunan
pun meningkat
meski
DAFTAR PUSTAKA
Pendapatan Nasional Indonesia Tahun 2010-2014. 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik,
Indonesia.
Pendapatan perkapita. http://bangkusekolah.com/2015/11/27/pendapatan-perkapita/ (diakses
pada pukul 10.00 tanggal 17 Mei 2016)
Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian
Daerah.
Maesarini, Indah Wahyu. Otonomi Daerah di Indonesia: Keberhasilan atau Kegagalan
Pemerintah?
Surtikanti. Permasalahan Otonomi Daerah Ditinjau dari Aspek Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sumodiningrat, Gunawan. l999. Pemberdayaan Rakyat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. http://bps.go.id (diakses pada pukul 08.00 tanggal 17 Mei 2016)
50