Anda di halaman 1dari 12

Mengukur Kinerja Pemerintah Daerah

Melalui Rasio Keuangan Daerah

Region Financial
Ratio

Wakhyudi dan Laila Firda Tarunasari


Program Studi Akuntansi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kesatuan
Bogor, Indonesia
E-Mail: wakhyu_wakhyudi@yahoo.com

139
Submitted:
JULI 2013

ABSTRACT
The change in system from a centralized government to a decentralized one brings about
consequences for a change of approach used in local financial management, especially in the areas
of fiscal management. Financial balance policy between central government and local government
is by implementing fiscal decentralization policy. Fiscal decentralization is expected to encourage
participation, initiative, and creativity of lokal goverments and communities to build their own
neighbourhood.
The purpose of this study was to evaluate the performance of a local government within the
framework of fiscal decentralization. Several rules have been set by central government on local
governments performance evaluation as stipulated in the Regional Government Performance
Accountability Report or called LAKIP. However, measuring and evaluating the performance of
the government may not merely based on the basis of LAKIP, but also on regional financial ratio
as in Bogor Regency Governments local revenue and expenditure budget (APBD).
Regional financial ratios used are the ratio of independence (fiscal autonomy), the ratio of
effectiveness and efficiency, debt service coverage ratio, activity ratio, and growth ratio. The results
of the calculation of financial ratios of Bogor Regency Government budget for 2003 2006 fiscal
year show local independence and low local growth. However, Bogor Regency Government has
been effective and efficient in using its income.
The results of the evaluation in this study indicate that Bogor Regency Government is still very
dependent to Central Government in financing the activities. This condition shows that the welfare
of the people is still low. Even though in the LAKIP Bogor Regency Government explained that it
has been effective and efficient in managing finance, but the number of funds in the budget balance
with the central government increases every year. By optimizing the human resources of the local
government in accordance with their own skills along with the improvement in evaluating every
single working unit, it is expected that each unit may, as the result, improve the government
performance in years to come.
Keywords: regional financial ratio; government performance
PENDAHULUAN
Desentralisasi fiskal adalah kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri keuangan daerahnya menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pelimpahan kewenangan kepada daerah akan memiliki daya guna
optimal jika otonomi daerah tidak mencakup hak untuk seenaknya membelanjakan
uang, namun membuka ruang partisipasi, transparansi publik, kontrol dan akuntabilitas
penggunaan kewenangan tersebut.
Konsekuensi kewenangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata,
dan berkesinambungan. Kewajiban ini bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu
mengelola potensi sumber daya daerahnya dengan cara mengoptimalkan pendapatan
daerah dan membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat guna
menunjang pertumbuhan kemandirian ekonomi daerah. Pengelolaan potensi sumber
daya yang ada harus ditunjang dengan rencana keuangan atau Anggaran Pendapatan

Accepted:
AGUSTUS 2013

JIAKES
Jurnal Ilmiah Akuntansi
Kesatuan
Vol. 1 No. 2, 2013
pg. 139-150
STIE Kesatuan
ISSN 2337 7852

Region Financial
Ratio

140

dan Belanja Daerah (APBD) yang efektif dan efisien untuk mencapai hasil atau kinerja
yang baik serta berorientasi terhadap kepentingan publik. Anggaran berbasis kinerja
memungkinkan pengalokasian sumber daya pemerintah daerah di dalam pengelolaan
keuangan daerah menjadi lebih terarah dan seimbang dengan pertimbangan value for
money sebagai dasar untuk menentukan beban yang layak untuk setiap program yang
akan dilaksanakan sesuai dengan visi dan misi yang sudah ditetapkan.
Sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan masyarakat, pemerintah daerah wajib menggunakan kreativitas dan
inisiatif dalam menggali sumber daya keuangan daerah tersebut dengan arah kebijakan
yang baik dan mendukung perkembangan daerah yang dipimpinnya kearah yang
positif. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan daerah untuk membiayai berbagai
aktivitas daerah dapat meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menjalankan
fungsinya. Namun, mobilisasi sumber dana secara eksesif dan berlebihan dapat
menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kondusif.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan pengkajian secara mendalam untuk
menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya keuangan
daerah sehingga dapat menilai kemampuan pemerintah daerah dan apakah pemerintah
daerah telah berhasil atau belum dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini adalah: (1) bagaimana cara
perhitungan dan hasil rasio keuangan daerah pada APBD atau laporan keuangan
Pemerintah Kabupaten Bogor ? (2) bagaimana keterkaitan rasio keuangan daerah dalam
pengukuran kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor? Adapun tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) hal-hal yang berhubungan dengan
pengukuran kinerja pemerintah daerah; dan (2) keterkaitan rasio keuangan daerah
dalam pengukuran kinerja pemerintah daerah.
TELAAH PUSTAKA
Rasio Keuangan Daerah
Menurut Sofyan Syafri Harahap (2004) rasio keuangan adalah angka yang diperoleh
dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang
mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (berarti). Misalnya, antara utang dan
modal, kas dan total aktiva, harga pokok penjualan dan penjualan, dan sebagainya.
Menurut Sofyan Syafri Harahap: Analisis rasio keuangan adalah usaha
mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia.
(2004). Sedangkan menurut Abdul Halim (2004 : 150-158) dan Direktorat Pengelolaan
Keuangan Daerah (Departemen Keuangan RI, 2006) mengemukakan beberapa rasio
yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD
antara lain:
1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal)
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan
Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini dapat dihitung menggunakan
rumus:
Pendapatan Asli Daerah
Rasio Kemandirian
Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman

Rasio ini menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern dan
tingkat patisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio
kemandirian berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan
retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah yang akan
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2) Rasio Efektifitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah


Rasio efektivitas dan rasio efisiensi dapat dihitung dengan rumus :

Region Financial
Ratio

Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah


Rasio Efektifitas =
Target Penerimaan PAD yg Ditetapkan Berdasar Potensi Riil Daerah

Biaya yang Dikeluarkan untuk Memungut PAD


Rasio Efisiensi =
Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah

3) Debt Service Coverage Ratio (DSCR)


DSCR merupakan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Dana Bagi Hasil (DBH) dikurangi dengan Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBHDR),
dan Dana Alokasi Umum setelah dikurangi Belanja Wajib (BW), dengan penjumlahan
angsuran pokok pinjaman, bunga dan biaya, pinjaman lainnya yang jatuh tempo,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ketentuan yang menyangkut persyaratan
Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75% dari
penerimaan APBD tahun sebelumnya.
DSCR minimal 2,5.
b. Ketentuan yang menyangkut penggunaan pinjaman
Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai pembangunan yang dapat
menghasilkan penerimaan kembali untuk pembayaran pinjaman dan pelayanan
masyarakat.
Pinjaman jangka pendek untuk pengaturan arus kas.
c. Ketentuan yang menyangkut prosedur
Mendapat persetujuan DPRD.
Dituangkan dalam kontrak.
Tidak mempunyai tunggakkan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari
pemerintah.
DSCR dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
(PAD + ( DBH DBHDR ) + DAU) - BW
DSCR =
Total (Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Pinjaman)

4) Rasio Aktivitas
Rasio ini mengambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan dananya
pada belanja rutin dan belanja modal secara optimal. Semakin tinggi persentase dana
yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja modal yang digunakan
cenderung semakin kecil. Rasio aktivitas dapat diformulasikan sebagai berikut:
Total Belanja Rutin
Rasio Belanja Rutin terhadap APBD =
Total APBD
Total Belanja Modal
Rasio Belanja Modal terhadap APBD =
Total APBD

5) Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio)


Rasio pertumbuhan mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke
periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing

141

Region Financial
Ratio

142

komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi


potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian.
Perbedaan dan Persamaan Antara Rasio Keuangan Komersial Dengan Rasio
Keuangan Daerah
Seperti yang telah dikemukakan di atas, rasio keuangan daerah terdiri dari: rasio
kemandirian daerah (otonomi fiskal); rasio efektivitas dan efisiensi; DSCR; rasio
aktivitas; dan rasio pertumbuhan. Berbeda dengan organisasi swasta, analisis rasio
keuangan daerah belum banyak dilakukan terhadap APBD. Maksudnya, dalam
praktiknya saat ini, rasio keuangan komersil sudah sering digunakan untuk menilai
kinerja suatu perusahaan. Sedangkan rasio keuangan daerah belum banyak digunakan
dalam menilai kinerja pemerintah daerah karena selama ini untuk melihat kinerja
pemerintah dilihat berdasarkan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah).
Bagi organisasi swasta (lembaga yang bersifat komersial) analisis rasio keuangan
yang umumnya diketahui yaitu sebagai berikut:
1) Rasio Likuiditas yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajibannya dengan segera.
2) Rasio Leverage yaitu rasio yang mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh
pemilik dengan dana yang dipinjam perusahaan dari kreditor.
3) Rasio Aktivitas yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur efektif tidaknya
perusahaan di dalam menggunakan dan mengendalikan sumber yang dimiliki
perusahaan.
4) Rasio Profitabilitas yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba.
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang
dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat
diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Persamaan yang dapat diambil antara
rasio keuangan komersial dengan rasio keuangan daerah adalah sama-sama mengukur
tingkat keefektifan dan keefisienan atas kegiatan yang dilaksanakan dan biaya yang
dikeluarkan agar dapat memperoleh hasil (outcome) pada organisasi pemerintah dan
hasil (profit) pada organisasi swasta yang maksimal.
Kinerja Pemerintah Daerah
Menurut Anthon Simbolon (2003) dinyatakan bahwa kinerja instansi pemerintah
merupakan
perwujudan
kewajiban
suatu
instansi
pemerintah
untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi
dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem
pertanggungjawaban secara periodik. Sesuai dengan karakteristiknya, organisasi
pemerintah merumuskan pernyataan visi dan misi untuk lebih mengutamakan
kepentingan publik (customer orientation). Pemerintah harus bisa bersikap dinamis di
dalam memenuhi kebutuhan publik di tengah arus global yang banyak memberikan
dampak yamg bervariasi pada kebutuhan publik itu sendiri.
Pemberlakuan undangundang yang mengatur pemerintahan daerah dan sistem
pengelolaan keuangan daerah mengandung misi utama yakni adanya desentralisasi
fiskal, yang diharapkan dapat memberikan dua manfaat nyata yaitu:
a. dapat mendorong meningkatkan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat
dalam pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan
(keadilan) di seluruh daerah;
b. memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan
keputusan publik ke tingkat yang lebih rendah.
Kualitas pemerintahan yang merupakan variabel gabungan dari partisipasi
masyarakat, orientasi pemerintah, pembangunan sosial, dan manajemen ekonomi
(makro) berhubungan positif dengan derajat desentralisasi. Semakin tinggi derajat
desentralisasi akan semakin baik pula kualitas pemerintahan yang ditandai dengan

meningkatnya partisipasi masyarakat, orientasi pemerintah, pembangunan sosial, dan


manajemen ekonomi. (H.M Aswin)
Kinerja pemerintah daerah dengan sendirinya merupakan keseluruhan capaian atau
hasil-hasil selama pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mencapai tingkat kinerja seperti
yang diharapkan tentunya perlu dirumuskan rencana kinerja yang memuat penjabaran
sasaran dan program yang telah ditetapkan dalam rencana strategi pemerintah daerah.
Pengukuran Kinerja Pemerintah
Robertson (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja (performance measurement)
merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran
yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk: efisiensi penggunaan sumber daya dalam
menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa
diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan); hasil
kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam
mencapai tujuan.
Pengukuran kinerja adalah proses sistematis dan berkesinambungan untuk menilai
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan,
sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strategi
instansi pemerintah. Proses ini dimaksudkan untuk menilai setiap pencapaian indikator
kinerja guna memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian
tujuan dan sasaran. Selanjutnya dilakukan analisis akuntabilitas kinerja yang
menggambarkan keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan
kebijakan dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi sebagaimana
ditetapkan dalam rencana strategik. (Anthon Simbolon, 2003).
Sedangkan menurut Mohamad Mahsun (2004 : 146), pengukuran kinerja adalah
suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian
pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui
organisasi serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Pengukuran kinerja dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran
kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah.
Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan
dan sasaran yang telah ditetapkan. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi
dan efektivitas dalam pemberian pelayanan publik. Kedua, ukuran kinerja digunakan
untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja
dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggung-jawaban publik dan memperbaiki
komunikasi kelembagaan.
Pengukuran kinerja ini sangat penting bagi peningkatan atau kemajuan kinerja suatu
organisasi, baik organisasi swasta maupun organisasi publik. Dengan meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan administrasi publik memicu timbulnya
gejolak ketidakpuasan. Tuntutan yang semakin tinggi diajukan terhadap pertanggungjawaban yang diberikan oleh pemerintah. Dengan kata lain, kinerja pemerintah kini
lebih banyak mendapatkan sorotan, karena masyarakat mulai mempertanyakan
manfaat yang mereka peroleh atas pelayanan pemerintah.
Pengukuran kinerja pemerintah bertujuan untuk menilai sejauh mana mereka
mampu menyediakan produk (jasa) yang berkualitas dengan biaya yang layak. Bagi
organisasi pemerintah, kinerja pelayanan publik merupakan salah satu penilaian atas
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. (Dwiyanto, 2003). Hal senada juga
diungkapkan oleh Mardiasmo (2002) bahwasanya tujuan utama penyelenggaraan
otonomi daerah antara lain untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan
perekonomian daerah. Peningkatan pelayanan publik dimaksud adalah secara kuantitas
maupun kualitas dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun memajukan
perekonomian yang dimaksud adalah dengan menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber-sumber daya daerah sehingga memberikan dampak aspek finansial
daerah (PAD dan pertumbuhan industri dan hasil pembangunan yang merata).

Region Financial
Ratio

143

Region Financial
Ratio

144

Elemen Pokok dalam Pengukuran Kinerja Pemerintah


Menurut Mohamad Mahsun (2006 : 146-149) elemen pokok suatu pengukuran
kinerja antara lain:
1) Menetapkan Tujuan, Sasaran, dan Strategi Organisasi.
2) Merumuskan Indikator dan Ukuran Kinerja.
3) Mengukur Tingkat Ketercapaian Tujuan dan Sasaran-sasaran Organisasi.
4) Evaluasi Kinerja
a. Feedback
b. Penilaian kemajuan organisasi
c. Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas
Indikator Kinerja dalam Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah
Menurut Mardiasmo (2002 : 125-126), dalam penentuan indikator kinerja perlu
mempertimbangkan komponen berikut:
1) Biaya pelayanan (cost of service)
2) Penggunaan (utilization)
3) Kualitas dan standar pelayanan (quality and standards of service)
4) Cakupan pelayanan (coverage)
5) Kepuasan (satisfaction)
Akuntabilitas dalam Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah
Akuntabilitas pemerintah adalah pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas
dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan
laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek
pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik (Mardiasmo, 2002).
Kriteria akuntabilitas dalam ketentuan ini adalah penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas,
besaran, dan jaugkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan (Penjelasan UU No. 32 tahun 2004 pasal 11). Akuntabilitas kejujuran
dan akuntabilitas hukum (accountibility for probity and legality); terkait dengan
penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), dan jaminan adanya kepatuhan
terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana
publik. Dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh pemerintah mencakup:
1) Akuntabilitas proses (process accountibility);
2) Akuntabilitas program (program accountibility);
3) Akuntabilitas kebijakan (policy accountibility).
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2008
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah atau EPPD dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat (Presiden) dengan membentuk Tim Nasional EPPD adalah tim yang
membantu presiden dalam melaksanakan evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah
secara nasional. Di dalam melakukan EPPD di daerah dibentuklah Tim Daerah EPPD
yang membantu gubernur selaku wakil pemerintah dalam melaksanakan evaluasi.
Pemerintah melakukan EPPD yang meliputi:
EKPPD atau Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah daerah, dilakukan
untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah dalam upaya peningkatan
kinerja berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik.
EKPOD atau Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah, dilakukan
untuk menilai kemampuan daerah dalam mencapai tujuan otonomi daerah yang
meliputi peningkatan kesejahtraan masyarakat, kualitas pelayanan umum, dan
kemampuan daya saing daerah.
EDOB atau Evaluasi Daerah Otonom Baru, dilakukan untuk memantau
perkembangan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintah daerah pada
daerah yang baru dibentuk.
Menurut PP nomor 6 Tahun 2008 evaluasi atas penyelenggaraan pemerintah daerah
memiliki tata cara baru dan beberapa istilah baru di dalam mengevaluasi pemerintah
daerah. Berikut ini adalah beberapa pengertian istilah dari PP nomor 6 Tahun 2008:

1) Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD) adalah suatu proses


pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan
pemerintah daerah, kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah, dan kelengkapan
aspek-aspek penyelenggaraan pemerintah pada daerah yang baru dibentuk.
2) Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) adalah suatu proses
pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan
pemerintah daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja.
3) Sistem pengukuran kinerja adalah sistem yang digunakan untuk mengukur, menilai,
dan membandingkan secara sistematis dan berkesinambungan atas kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4) Kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah capaian atas penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah yang diukur dari masukan, proses, keluaran, hasil,
manfaat, dan atau dampak.
5) Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) adalah laporan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 tahun anggaran berdasarkan
rencana kerja pembangunan daerah yang disampaikan oleh kepala daerah kepada
Pemerintah.
6) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ) kepada DPRD
adalah laporan yang berupa informasi penyelenggaraan selama 1 tahun anggaran
atau akhir masa jabatan yang disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD.
Aspek Penilaian Atas Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(EKPPD)
EKPPD dilakukan untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam upaya peningkatan kinerja berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik.
Sumber informasi utama untuk melakukan EKPPD adalah LPPD dan sumber
informasi pelengkap berupa:
a. laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
b. informasi keuangan daerah;
c. laporan kinerja instansi pemerintah daerah;
d. laporan hasil pembinaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan daerah;
e. laporan hasil survey kepuasan masyarakat terhadap layanan pemerintah daerah;
f. laporan kepala daerah atas permintaan khusus;
g. rekomendasi atau tanggapan DPRD terhadap LKPJ kepala daerah;
h. laporan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berasal
dari lembaga independen;
i. tanggapan masyarakat atas informasi LPPD;
j. laporan dan atau informasi lain yang akurat dan jelas pertanggungjawabannya.
Sasaran EKPPD meliputi tataran pengambil kebijakan daerah dan tataran pelaksana
kebijakan daerah. Oleh karena itu, maka aspek yang dinilai adalah:
1) Aspek penilaian pada tataran pengambilan kebijakan daerah, meliputi :
a. ketentraman dan ketertiban umum daerah;
b. keselarasan dan efektivitas hubungan antara pemerintahan daerah dan
Pemerintah serta antar-pemerintahan daerah dalam rangka pengembangan
otonomi daerah;
c. keselarasan antara kebijakan pemerintah daerah dengan kebijakan Pemerintah;
d. efektivitas hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD;
e. efektivitas proses pengambilan keputusan oleh DPRD beserta tindak lanjut
pelaksanaan keputusan;
f. efektivitas proses pengambilan keputusan oleh kepala daerah beserta tindak lanjut
pelaksanaan keputusan;
g. ketaatan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada peraturan
perundang-undangan;

Region Financial
Ratio

145

Region Financial
Ratio

146

h. intensitas dan efektivitas proses konsultasi publik antara pemerintah daerah


dengan masyarakat atas penetapan kebijakan publik yang strategis dan relevan
untuk Daerah;
i. transparansi dalam pemanfaatan alokasi, pencairan dan penyerapan DAU, DAK,
dan Bagi Hasil;
j. intensitas, efektivitas, dan transparansi pemungutan sumber-sumber pendapatan
asli daerah dan pinjaman atau obligasi daerah;
k. efektivitas perencanaan, penyusunan, pelaksanaan tata usaha, pertanggung
jawaban, dan pengawasan APBD;
l. pengelolaan potensi daerah; dan
m. terobosan atau inovasi baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2) Aspek penilaian pada tataran pelaksana kebijakan daerah, meliputi :
a. kebijakan teknis penyelenggaraan urusan pemerintahan;
b. ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan;
c. tingkat capaian SPM;
d. penataan kelembagaan daerah;
e. pengelolaan kepegawaian daerah;
f. perencanaan pembangunan daerah;
g. pengelolaan keuangan daerah;
h. pengelolaan bararig milik daerah; dan
i. pemberian fasilitasi terhadap partisipasi masyarakat.
Asas-asas dalam Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Evaluasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan
menggunakan asas-asas sebagai berikut: 1) Asas Spesifik 2) Asas Obyektif 3) Asas
Berkesinambungan, 4) Asas Terukur, 5) Asas Dapat Diperbandingkan dan 6) Asas
Dapat Dipertanggungjawabkan
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Pemerintah Kabupaten Bogor. Unit analisis dalam penelitian
ini adalah APBD, baik perencanaannya, perubahannya, dan realisasi dari APBD.
Tabel 1 Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel/Sub Variabel

Rasio Keuangan Daerah

Pengukuran Kinerja
Pemerintah Daerah

Indikator
Rasio Kemandirian Daerah
Rasio Efektivitas dan Efisiensi
Debt Service Coverage Ratio
Rasio Aktivitas
Rasio Pertumbuhan
Kemampuan mengelola sumber daya daerah
Akuntabilitas kinerja dan kepercayaan
Ketercapaian tujuan organisasi

Skala/Ukuran

Rasio

Ordinal

Jenis data yang digunakan adalah data dokumenter. Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Data primer dan (2) Data sekunder dan metode
yang digunakan adalah: (A) Studi kepustakaan (Library Research) dan (B) Studi lapangan
dengan cara: (a) Observasi, dan (b) Wawancara. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Berdasarkan Hasil Perhitungan Rasio
Keuangan Daerah Pada APBD Tahun Anggaran 2003-2006
Hasil perhitungan keseluruhan rasio keuangan daerah pada APBD Kabupaten Bogor
untuk tahun anggaran 2003-2006 adalah sebagai berikut:
1) Rasio kemandirian daerah (otonomi fiskal) yang cenderung rendah, menunjukkan
bahwa pemerintah Kabupaten Bogor tidak mampu membiayai sendiri kegiatankegiatannya karena masih sangat tergantung pada sumber dana ekstern yaitu dana
yang berasal dari pemerintah pusat atau pihak lain. Selama penelitian, pemerintah

Kabupaten Bogor tidak memiliki DSCR yang atinya pemerintah tidak mengambil
pinjaman daerah jangka menengah atau jangka panjang dari pemerintah pusat,
namun jika dilihat dari jumlah Dana Perimbangan setiap tahunnya cenderung besar,
yaitu : dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. Kecilnya hasil persentase rasio
kemandirian ini juga menunjukkan bahwa sangat rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan daerah. Pos penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
sebagai komponen utama Pendapatan Asli Daerah menunjukkan angka yang masih
rendah, jauh dengan dana perimbangan yang diterima pemerintah daerah, sehingga
mengindikasikan kesejahteraan masyarakat yang rendah pula.
2) Rasio efektivitas dan rasio efisiensi menunjukkan kemampuan pemerintah daerah
Kabupaten Bogor dalam merealisasikan pendapatan daerah cenderung stabil karena
antara target penerimaan pendapatan asli daerah dengan realisasinya dapat tercapai
dengan baik bahkan melebihi dari apa yang ditargetkan. Pemerintah daerah dengan
sangat baik dapat menggali dan menggunakan potensi riil daerahnya untuk
memperoleh pendapatan daerah. Pemerintah dalam menggunakan biayanya guna
merealisasikan target penerimaan pendapatan asli daerah tidak melebihi dari target
penerimaan itu sendiri dan malah cenderung sangat rendah. Hal ini dikarenakan
target penerimaan Pendapatan Asli Daerah masih rendah. Pemerintah Kabupaten
Bogor masih sangat mengandalkan dana dari pemerintah pusat di dalam membiayai
kegiatannya. Jadi, apabila dilihat secara konvensional, biaya yang dikeluarkan untuk
membiayai kegiatan lebih banyak diambil dari dana yang berasal dari pusat.
3) Dilihat dari rasio aktivitasnya pemerintah daerah Kabupaten Bogor masih
mengutamakan belanja rutin (belanja aparatur daerah). Belanja pembangunan
(belanja publik) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini berarti bahwa
pemerintah daerah mulai memperhatikan pembangunan sarana dan prasarana
ekonomi masyarakatnya. Tidak menutup kemungkinan untuk APBD tahun yang
akan datang rasio aktivitas terhadap belanja pembangunan semakin meningkat.
4) Rasio pertumbuhan secara keseluruhan menunjukkan pertumbuhan ekonomi
pemerintah daerah masih rendah, meski setiap tahunnya rasio pertumbuhan selalu
meningkat. Terlihat pada rasio pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan rasio
pertumbuhan belanja pembangunan, menunjukkan penerimaan pemerintah daerah
semakin baik dan lebih banyak membangun sarana dan prasarana untuk masyarakat.
5) Secara keselurahan rasio, kinerja pemerintah Kabupaten Bogor masih rendah namun
pemerintah berusaha untuk lebih baik setiap tahunnya, dengan lebih memperhatikan
pengembangan masyarakat, memprioritaskan penerimaan untuk dibelanjakan, dan
kemampuan didalam mewujudkan target penerimaan pendapatan asli daerah yang
berdasarkan potensi riil daerah secara efektif dan efisien.
Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Berdasarkan Laporan Akuntabilitas
Kinerja Pemerintah Daerah (LAKIP)
Penyusunan LAKIP Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor mengacu pada:
1) Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme.
2) Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme.
3) Instruksi Presiden nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintahan.
4) Keputusan
Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara
Nomor
239/IX/6/8/2005 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
5) Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi
Tata Kerja Sekretariat Daerah.
6) Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Startegis (Renstra)
Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008.

Region Financial
Ratio

147

Region Financial
Ratio

148

Gambar 1 Alur Pikir Penyusunan LAKIP


Pengukuran tingkat pencapaian sasaran berdasarkan kepada indikator kinerja
program yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Bogor
(RENSTRA) dengan penyesuaian kepada anggaran yang disediakan pada tahun yang
bersangkutan. Pengukuran kinerja dimaksud dilakukan dengan menggunakan formulir
Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS).
Indikator kinerja Sasaran strategis Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor merupakan
keberhasilan seluruh pelayanan penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan
Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. Indikator kinerja Sasaran strategis menggunakan
pendekatan outcome dan atau dari output kegiatan. Indikator kinerja tingkat kegiatan
menggunakan indikator kinerja masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome),
manfaat (benefit), dan dampak (impact).
Sasaran Strategis

Indikator

Program

Kegiatan

Pengukuran
Indikator

Gambar 2 Alur Pikir Pengukuran Kinerja


Hasil penelitian selama tahun 2004 sampai 2006, kegiatan yang diprogramkan
pemerintah Kabupaten Bogor memiliki tingkat pencapaian yang sangat baik. Hampir
keseluruhan sasaran pemerintah daerah dapat dicapai dengan baik, dan program yang
direncanakan dapat direalisasikan dengan baik. Artinya pemerintah Kabupaten Bogor
memiliki kemampuan untuk dapat merealisasikan apa yang telah ditargetkan
sebelumnya. Sedangkan dalam pengunaan input untuk menghasilkan output,
pemerintah Kabupaten Bogor menunjukkan kegiatan yang efisien. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya sisa anggaran yang tidak digunakan, namun output yang tercapai hingga
100% bahkan ada yang lebih.

Evaluasi Pengukuran Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Melalui Rasio Keuangan


Daerah dan LAKIP
Setelah dilakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah Kabupaten Bogor melalui
rasio keuangan daerah, dan evaluasi kinerja pemerintah daerah melalui LAKIP. Jika
dilihat secara seksama, antara hasil evaluasi melalui rasio keuangan daerah dengan
LAKIP menunjukkan hasil yang tidak sama. Secara keseluruhan, pemerintah
Kabupaten Bogor belum mampu untuk menggali potensi riil daerah. Hal ini
menyebabkan begitu besarnya angka Dana Perimbangan dalam APBD dan rendahnya
penerimaan Pendapatan Asli Daerah itu sendiri. Untuk membiayai semua kegiatannya,
pemerintah Kabupaten Bogor masih mengandalkan dana dari pemerintah pusat. Jika
dihitung efektivitas dan efisiensinya, tentu saja menjadi efektif dan efisien dalam
menggunakan input untuk menjadi output hingga 100%. Baik secara rasio keuangan
daerah maupun dilihat dari LAKIP, pemerintah Kabupaten Bogor dapat bertindak
efektif dan efisien, artinya pemerintah daerah tepat dalam menentukan program untuk
mencapai sasarannya, juga efisien dalam membelajakan uangnya agar mendapat output
yang baik.
Berdasarkan rasio aktivitas, pemerintah Kabupaten Bogor lebih mengutamakan
belanja aparatur daerah daripada belanja publik, artinya masih minimnya perhatian
pemerintah terhadap pembangunan sarana dan prasarana untuk masyarakat. Dalam hal
ini, pelayanan kepada publik masih sangat kurang. Seandainya pemerintah daerah
dapat lebih memperhatikan pelayanan publik, dalam jangka panjang dapat memberikan
keuntungan bagi pemerintah sendiri. Apabila pemerintah dapat menggunakan dana
untuk belanja pembangunan yang tepat sasaran, efektif dan efisien serta ditunjang
dengan lingkungan yang kondusif, tentunya akan mendorong peningkatan daerah itu
sendiri. Penerimaan utama Pendapatan Asli Daerah adalah dari pajak dan retribusi, jika
lebih banyak pembangunan sarana dan prasarana untuk pelayanan masyarakat, akan
semakin banyak pemerintah daerah dapat memunggut pajak dan retribusinya.
PENUTUP
Simpulan
1. Kemampuan pemerintah Kabupaten Bogor didalam mengelola keuangan daerahnya
sendiri masih rendah.
2. Selain itu, dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah
dihadapkan pada beberapa hambatan yaitu:
a. Penetapan Perda APBD dan Perda Perubahan APBD hingga Perda Laporan
Realisasi APBD setiap tahunnya belum tepat waktu dan penganggarannya belum
sepenuhnya mengacu pada ketentuan yang berlaku.
b. Kelemahan dalam pelaksanaan pengendalian intern dapat mengakibatkan
pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berdampak lansung pada
laporan keuangan.
c. Belum optimalnya sistem dan mekanisme data dan informasi perkembangan
potensi pendapatan daerah dari setiap desa.
d. Ketergantungan pada dana ekstern yaitu dana perimbangan dari pemerintah pusat
sering kali pencairannya terlambat.
e. Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah belum sepenuhnya terkoordinasi
dengan baik.
Saran
1. Dalam upaya mengoptimalkan penyelenggaraan (kinerja) pemerintahan di masa
yang akan datang, perlu dilakukan langkah-langkah atau strategi untuk dapat
meminimalisir kekurangan atau kelemahan yang ada.
2. Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerahnya
secara optimal. Pemerintah Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme
aparatur pemerintah daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah
dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar,

Region Financial
Ratio

149

Region Financial
Ratio

150

sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi,
dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian
global.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim.2004. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi,
Salemba Empat, Jakarta.
Agus Dwiyanto. 2003. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Andersen, H.V., and G. Lawrie. 2002. Examining Opportunities for Improving Public Sector
Governance Through Better Strategic Management. 2GC Working Paper. 2GC Limited.
Bahrul Elmi. 2006. Analisa Pembiayaan Pembangunan Prasarana Ekonomi di Kabupaten
Musi Banyuasin 2003-2006. Kalimantan : Kajian Ekonomi dan Keuangan.
Cobbold, I. 2001. Implementing the Balance Scorecard-Lessons and Insights from A Financial
Services Firm: Balanced Scorecard Case Study-Arran Ltd. 2GC Research Paper. 2GC
Limited.
Deddy. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Dalam Era Otonomi Daerah : Kasus pada
Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sumatra Barat,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sidoarjo. Direktorat Pengembangan Otonomi
Daerah.
H.S. Aswin. 2004. Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Pemerintah
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimatan Timur, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Tengah Dengan Menggunakan Pendekatan Balance Scorecard.
Disertasi Web. http://bang-aswin.go.id. (Diakses 4 Juni 2007).
Keban, Yeremias., T. 2000. Good Governance sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian
Kinerja Pemerintah. Jurnal Ilmiah.
Kerangka Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah Kota Bogor.
http://www.kotabogor.go.id (Diakses 27 Juni 2007).
Made Suwandi. 2002. Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Dasar Otonomi Daerah : Dalam Upaya
Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Efisien dan Demokratis. Ditjen Otda Departemen
Dalam Negeri. Jakarta.
Mohammad Mahsun., Firma Sulistiowati dan Heribertus Andre Purwanugraha. 2006.
Akutansi Sektor Publik, BPFE, Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.
Nasir Azis. Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah : Perencanaan dan Penganggaran. Materi
pada Seminar Pengelolaan Keuangan Publik Fakultas Ekonomi Unsyiah
Darussalam, Aceh, 31 Januari 2007.
Pemerintah Kabupaten Cibinong. 2005. Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2004. Bogor.
Pemerintah Kabupaten Cibinong. 2006. Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2005. Bogor.
Pemerintah Kabupaten Cibinong. 2007. Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Cibinong 2006. Bogor.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Simbolon, Anthon. 2003. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Webmaster Dispenad. Jakarta.
TIM SMERU. 2002. Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah : Kasus
Kabupaten Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur. Laporan Lapangan.

Anda mungkin juga menyukai