Region Financial
Ratio
139
Submitted:
JULI 2013
ABSTRACT
The change in system from a centralized government to a decentralized one brings about
consequences for a change of approach used in local financial management, especially in the areas
of fiscal management. Financial balance policy between central government and local government
is by implementing fiscal decentralization policy. Fiscal decentralization is expected to encourage
participation, initiative, and creativity of lokal goverments and communities to build their own
neighbourhood.
The purpose of this study was to evaluate the performance of a local government within the
framework of fiscal decentralization. Several rules have been set by central government on local
governments performance evaluation as stipulated in the Regional Government Performance
Accountability Report or called LAKIP. However, measuring and evaluating the performance of
the government may not merely based on the basis of LAKIP, but also on regional financial ratio
as in Bogor Regency Governments local revenue and expenditure budget (APBD).
Regional financial ratios used are the ratio of independence (fiscal autonomy), the ratio of
effectiveness and efficiency, debt service coverage ratio, activity ratio, and growth ratio. The results
of the calculation of financial ratios of Bogor Regency Government budget for 2003 2006 fiscal
year show local independence and low local growth. However, Bogor Regency Government has
been effective and efficient in using its income.
The results of the evaluation in this study indicate that Bogor Regency Government is still very
dependent to Central Government in financing the activities. This condition shows that the welfare
of the people is still low. Even though in the LAKIP Bogor Regency Government explained that it
has been effective and efficient in managing finance, but the number of funds in the budget balance
with the central government increases every year. By optimizing the human resources of the local
government in accordance with their own skills along with the improvement in evaluating every
single working unit, it is expected that each unit may, as the result, improve the government
performance in years to come.
Keywords: regional financial ratio; government performance
PENDAHULUAN
Desentralisasi fiskal adalah kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri keuangan daerahnya menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pelimpahan kewenangan kepada daerah akan memiliki daya guna
optimal jika otonomi daerah tidak mencakup hak untuk seenaknya membelanjakan
uang, namun membuka ruang partisipasi, transparansi publik, kontrol dan akuntabilitas
penggunaan kewenangan tersebut.
Konsekuensi kewenangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata,
dan berkesinambungan. Kewajiban ini bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu
mengelola potensi sumber daya daerahnya dengan cara mengoptimalkan pendapatan
daerah dan membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat guna
menunjang pertumbuhan kemandirian ekonomi daerah. Pengelolaan potensi sumber
daya yang ada harus ditunjang dengan rencana keuangan atau Anggaran Pendapatan
Accepted:
AGUSTUS 2013
JIAKES
Jurnal Ilmiah Akuntansi
Kesatuan
Vol. 1 No. 2, 2013
pg. 139-150
STIE Kesatuan
ISSN 2337 7852
Region Financial
Ratio
140
dan Belanja Daerah (APBD) yang efektif dan efisien untuk mencapai hasil atau kinerja
yang baik serta berorientasi terhadap kepentingan publik. Anggaran berbasis kinerja
memungkinkan pengalokasian sumber daya pemerintah daerah di dalam pengelolaan
keuangan daerah menjadi lebih terarah dan seimbang dengan pertimbangan value for
money sebagai dasar untuk menentukan beban yang layak untuk setiap program yang
akan dilaksanakan sesuai dengan visi dan misi yang sudah ditetapkan.
Sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan masyarakat, pemerintah daerah wajib menggunakan kreativitas dan
inisiatif dalam menggali sumber daya keuangan daerah tersebut dengan arah kebijakan
yang baik dan mendukung perkembangan daerah yang dipimpinnya kearah yang
positif. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan daerah untuk membiayai berbagai
aktivitas daerah dapat meningkatkan kinerja pemerintahan daerah dalam menjalankan
fungsinya. Namun, mobilisasi sumber dana secara eksesif dan berlebihan dapat
menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kondusif.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan pengkajian secara mendalam untuk
menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya keuangan
daerah sehingga dapat menilai kemampuan pemerintah daerah dan apakah pemerintah
daerah telah berhasil atau belum dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini adalah: (1) bagaimana cara
perhitungan dan hasil rasio keuangan daerah pada APBD atau laporan keuangan
Pemerintah Kabupaten Bogor ? (2) bagaimana keterkaitan rasio keuangan daerah dalam
pengukuran kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor? Adapun tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) hal-hal yang berhubungan dengan
pengukuran kinerja pemerintah daerah; dan (2) keterkaitan rasio keuangan daerah
dalam pengukuran kinerja pemerintah daerah.
TELAAH PUSTAKA
Rasio Keuangan Daerah
Menurut Sofyan Syafri Harahap (2004) rasio keuangan adalah angka yang diperoleh
dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang
mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (berarti). Misalnya, antara utang dan
modal, kas dan total aktiva, harga pokok penjualan dan penjualan, dan sebagainya.
Menurut Sofyan Syafri Harahap: Analisis rasio keuangan adalah usaha
mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia.
(2004). Sedangkan menurut Abdul Halim (2004 : 150-158) dan Direktorat Pengelolaan
Keuangan Daerah (Departemen Keuangan RI, 2006) mengemukakan beberapa rasio
yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD
antara lain:
1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal)
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan
Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini dapat dihitung menggunakan
rumus:
Pendapatan Asli Daerah
Rasio Kemandirian
Bantuan Pemerintah Pusat dan Pinjaman
Rasio ini menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern dan
tingkat patisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio
kemandirian berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan
retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah yang akan
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Region Financial
Ratio
4) Rasio Aktivitas
Rasio ini mengambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan dananya
pada belanja rutin dan belanja modal secara optimal. Semakin tinggi persentase dana
yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja modal yang digunakan
cenderung semakin kecil. Rasio aktivitas dapat diformulasikan sebagai berikut:
Total Belanja Rutin
Rasio Belanja Rutin terhadap APBD =
Total APBD
Total Belanja Modal
Rasio Belanja Modal terhadap APBD =
Total APBD
141
Region Financial
Ratio
142
Region Financial
Ratio
143
Region Financial
Ratio
144
Region Financial
Ratio
145
Region Financial
Ratio
146
Pengukuran Kinerja
Pemerintah Daerah
Indikator
Rasio Kemandirian Daerah
Rasio Efektivitas dan Efisiensi
Debt Service Coverage Ratio
Rasio Aktivitas
Rasio Pertumbuhan
Kemampuan mengelola sumber daya daerah
Akuntabilitas kinerja dan kepercayaan
Ketercapaian tujuan organisasi
Skala/Ukuran
Rasio
Ordinal
Jenis data yang digunakan adalah data dokumenter. Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Data primer dan (2) Data sekunder dan metode
yang digunakan adalah: (A) Studi kepustakaan (Library Research) dan (B) Studi lapangan
dengan cara: (a) Observasi, dan (b) Wawancara. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Berdasarkan Hasil Perhitungan Rasio
Keuangan Daerah Pada APBD Tahun Anggaran 2003-2006
Hasil perhitungan keseluruhan rasio keuangan daerah pada APBD Kabupaten Bogor
untuk tahun anggaran 2003-2006 adalah sebagai berikut:
1) Rasio kemandirian daerah (otonomi fiskal) yang cenderung rendah, menunjukkan
bahwa pemerintah Kabupaten Bogor tidak mampu membiayai sendiri kegiatankegiatannya karena masih sangat tergantung pada sumber dana ekstern yaitu dana
yang berasal dari pemerintah pusat atau pihak lain. Selama penelitian, pemerintah
Kabupaten Bogor tidak memiliki DSCR yang atinya pemerintah tidak mengambil
pinjaman daerah jangka menengah atau jangka panjang dari pemerintah pusat,
namun jika dilihat dari jumlah Dana Perimbangan setiap tahunnya cenderung besar,
yaitu : dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. Kecilnya hasil persentase rasio
kemandirian ini juga menunjukkan bahwa sangat rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan daerah. Pos penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
sebagai komponen utama Pendapatan Asli Daerah menunjukkan angka yang masih
rendah, jauh dengan dana perimbangan yang diterima pemerintah daerah, sehingga
mengindikasikan kesejahteraan masyarakat yang rendah pula.
2) Rasio efektivitas dan rasio efisiensi menunjukkan kemampuan pemerintah daerah
Kabupaten Bogor dalam merealisasikan pendapatan daerah cenderung stabil karena
antara target penerimaan pendapatan asli daerah dengan realisasinya dapat tercapai
dengan baik bahkan melebihi dari apa yang ditargetkan. Pemerintah daerah dengan
sangat baik dapat menggali dan menggunakan potensi riil daerahnya untuk
memperoleh pendapatan daerah. Pemerintah dalam menggunakan biayanya guna
merealisasikan target penerimaan pendapatan asli daerah tidak melebihi dari target
penerimaan itu sendiri dan malah cenderung sangat rendah. Hal ini dikarenakan
target penerimaan Pendapatan Asli Daerah masih rendah. Pemerintah Kabupaten
Bogor masih sangat mengandalkan dana dari pemerintah pusat di dalam membiayai
kegiatannya. Jadi, apabila dilihat secara konvensional, biaya yang dikeluarkan untuk
membiayai kegiatan lebih banyak diambil dari dana yang berasal dari pusat.
3) Dilihat dari rasio aktivitasnya pemerintah daerah Kabupaten Bogor masih
mengutamakan belanja rutin (belanja aparatur daerah). Belanja pembangunan
(belanja publik) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini berarti bahwa
pemerintah daerah mulai memperhatikan pembangunan sarana dan prasarana
ekonomi masyarakatnya. Tidak menutup kemungkinan untuk APBD tahun yang
akan datang rasio aktivitas terhadap belanja pembangunan semakin meningkat.
4) Rasio pertumbuhan secara keseluruhan menunjukkan pertumbuhan ekonomi
pemerintah daerah masih rendah, meski setiap tahunnya rasio pertumbuhan selalu
meningkat. Terlihat pada rasio pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan rasio
pertumbuhan belanja pembangunan, menunjukkan penerimaan pemerintah daerah
semakin baik dan lebih banyak membangun sarana dan prasarana untuk masyarakat.
5) Secara keselurahan rasio, kinerja pemerintah Kabupaten Bogor masih rendah namun
pemerintah berusaha untuk lebih baik setiap tahunnya, dengan lebih memperhatikan
pengembangan masyarakat, memprioritaskan penerimaan untuk dibelanjakan, dan
kemampuan didalam mewujudkan target penerimaan pendapatan asli daerah yang
berdasarkan potensi riil daerah secara efektif dan efisien.
Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Berdasarkan Laporan Akuntabilitas
Kinerja Pemerintah Daerah (LAKIP)
Penyusunan LAKIP Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor mengacu pada:
1) Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme.
2) Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme.
3) Instruksi Presiden nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintahan.
4) Keputusan
Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara
Nomor
239/IX/6/8/2005 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
5) Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi
Tata Kerja Sekretariat Daerah.
6) Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Startegis (Renstra)
Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2004-2008.
Region Financial
Ratio
147
Region Financial
Ratio
148
Indikator
Program
Kegiatan
Pengukuran
Indikator
Region Financial
Ratio
149
Region Financial
Ratio
150
sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi,
dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian daerah, serta
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era perekonomian
global.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim.2004. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi,
Salemba Empat, Jakarta.
Agus Dwiyanto. 2003. Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Andersen, H.V., and G. Lawrie. 2002. Examining Opportunities for Improving Public Sector
Governance Through Better Strategic Management. 2GC Working Paper. 2GC Limited.
Bahrul Elmi. 2006. Analisa Pembiayaan Pembangunan Prasarana Ekonomi di Kabupaten
Musi Banyuasin 2003-2006. Kalimantan : Kajian Ekonomi dan Keuangan.
Cobbold, I. 2001. Implementing the Balance Scorecard-Lessons and Insights from A Financial
Services Firm: Balanced Scorecard Case Study-Arran Ltd. 2GC Research Paper. 2GC
Limited.
Deddy. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Dalam Era Otonomi Daerah : Kasus pada
Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sumatra Barat,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sidoarjo. Direktorat Pengembangan Otonomi
Daerah.
H.S. Aswin. 2004. Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Pemerintah
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimatan Timur, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Tengah Dengan Menggunakan Pendekatan Balance Scorecard.
Disertasi Web. http://bang-aswin.go.id. (Diakses 4 Juni 2007).
Keban, Yeremias., T. 2000. Good Governance sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian
Kinerja Pemerintah. Jurnal Ilmiah.
Kerangka Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah Kota Bogor.
http://www.kotabogor.go.id (Diakses 27 Juni 2007).
Made Suwandi. 2002. Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Dasar Otonomi Daerah : Dalam Upaya
Mewujudkan Pemerintah Daerah yang Efisien dan Demokratis. Ditjen Otda Departemen
Dalam Negeri. Jakarta.
Mohammad Mahsun., Firma Sulistiowati dan Heribertus Andre Purwanugraha. 2006.
Akutansi Sektor Publik, BPFE, Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.
Nasir Azis. Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah : Perencanaan dan Penganggaran. Materi
pada Seminar Pengelolaan Keuangan Publik Fakultas Ekonomi Unsyiah
Darussalam, Aceh, 31 Januari 2007.
Pemerintah Kabupaten Cibinong. 2005. Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2004. Bogor.
Pemerintah Kabupaten Cibinong. 2006. Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2005. Bogor.
Pemerintah Kabupaten Cibinong. 2007. Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Cibinong 2006. Bogor.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Simbolon, Anthon. 2003. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Webmaster Dispenad. Jakarta.
TIM SMERU. 2002. Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah : Kasus
Kabupaten Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur. Laporan Lapangan.