Anda di halaman 1dari 2

Yang menjadi masalah terbesar kita adalah ketika kita merasa benar, kita

berhenti. Sangat jarang kita kembali melanjutkan perjalanan dengan berbekal


pertanyaan benarkah kebenaran yang kita yakini itu adalah kebenaran sejati?.
Telah telah lama kita memahami kebenaran hanya berkisar pada kemampuan
berfikir personal yang jelas memiliki batas, disisi lain kita juga tahu dan
sepenuhnya sadar bahwa kemampuan berfikir setiap individu sangatlah
bervariasi.
Bisa dibayangkan, jika si bodoh dan si pintar, setengah bodoh setengah pintar,
seperempat bodoh seperempat pintar, seperdelapan bodoh seperdelapan pintar,
speribu, sperjuta atau sekurang-kurangnya, masing-masing saling bersikukuh
membenarkan kebenarannya sendiri. tiada yang kita perbaiki melainkan kualitas
perselisihan. Menariknya dengan semakin pandainya kita berselisih, kedamaian
tetap menjadi nyanyian wajib ketika kita merasa bangga membunuh atau
memenangkan sesuatu atas yang lainnya.
Kita adalah korban sekaligus pelaku yang selalu berteriak tentang keteguhan
hati, padahal pada kenyataannya kita keras kepala. Demi mempertahankan
keras kepala, kita berkata inilah keteguhan hati, kita juga memakai istilah
hemat demi menutupi ke-pelit-an, dll. Nasehat-nasehat bijak/ religi kita pilahpilih sesuai dengan apa yang kita mau, kita selalu berbuat kerusakan sambil
bersembunyi dibalik pesona kebaikan. Kita tidak adil, tidak jujur namun kita lebih
suka meletakkan segala sisi negatif kita diwajah yang lain
Bukankah awalnya kebenaran itu baik? Namun apakah kebenaran itu tetap baik,
jika merasa benar menjadi kecenderungan kita dalam memahami kebenaran?
Sembari merasa benar kita tiada henti-hentinya memohon petunjuk jalan yang
lurus. jika kebenaran kita itu sejati, kenapa kita masih memohon petunjuk?
Segala pengetahuan yang pada awalnya kita buat, lalu kita terima hari ini.
secara keseluruhan lebih mengajarkan kita untuk pintar membuat topeng-topeng
diri. Diukir, diwarna, dirias, diedit dan semakin mutakhir sehingga jarak baik n
buruk semakin tipis demi sebuah pencitraan, mencederai kewajaran, membunuh
kejujuran.
Berapakah pengeluaran yang akan/telah kita keluarkan untuk kita dan anak-anak
kita, hanya agar secara mandiri mampu membuat topeng pencitraan diri?
Katakanlah kita menyiasatinya dengan pendidikan moral agama, benarkah
definisi moral agama yang difahami pendidikan hari ini benar-benar sesuai
dengan sejatinya akhlak? Jika masih ada keraguan akan hal itu, bagaimana kita
bisa melihat orang itu baik akhlaknya, baik agamanya?
Berbekal pemahaman yang sangat amat parsial, kita pun tetap eksis berbekal
merasa benar. Kita yang intelek lebih suka bergumul dengan intelek, kita yang
spiritual lebih bergumul dengan spiritual, begitu pula dengan kita yang lebih
cenderung emosional, benarkah ini sebenar-benarnya Cinta?. keberpihakan
kita menciptakan sekat-sekat berdasarkan chemistry, kecocokan, kesukaan,
kepentingan, kesamaan sehingga kebenaran memiliki beribu-ribu wajah.

Perbedaan itu gejala emosional (personal). dengan berpihak pada kebaikan,


intelegensi kita akan berusaha mencari sisi harmonisnya (horisontal). Kemudian
sisi spiritual menghantarkan kita pada kesadaran akan sesuatu yang transenden
yakni Tuhan (vertikal), Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Bukankah tujuan kita
sama (satu)? Lalu apa gunanya sekat-sekat yang hanya membuat kita stagnan
pada kejahiliyahan itu? Jika kita saja berfikir kering, bagaimana kita memberi
pengajaran pada generasi kita?
Kita memiliki keleluasaan dalam memahami tulisan ini, kita diizinkan
melakukan/memilih apapun dengan batasan asal kita tidak malu, kita juga bisa
memakai merasa benar dan mulai setuju/tidak setuju dengan tendensi
suka/tidak suka, syukur kalo kita lebih jernih dan memahami tulisan ini dengan
acuan baik/tidak baik (kejujuran).
Sejenak mari melepas ke-aku-an, mari sama-sama telanjang tanpa topengtopeng, kembali menjadi manusia ummi dan berbicara, aku mohon bukalah
kembali pintu-pintu yang sebelumnya terlanjur di tutup itu. Mari bermusyawarah
untuk mencapai mufakat agar tiada lagi istilah aku dan kamu baik personal
maupun universal, hingga yang ada hanyalah Kita, dimana ketika ada yang
terluka, yang lainnya pun ikut merasakannya.
Mari memasuki sebuah perenungan, membaca diri agar kita tahu seberapakah
kualitas kejujuran kita. Setelah itu kita bisa mulai mengukur kemampuan
sebelum mengharapkan sesuatu, jika kita sudah tidak peduli lagi dengan diri
sendiri, setidaknya kasihanilah generasi yang kelak mengambil pelajaran dari
kita.

Anda mungkin juga menyukai