Anda di halaman 1dari 18

PENCEMARAN AIR

STUDI KASUS
KONDISI BIOTA LAUT TERUMBU DI PULAU BATAM AKIBAT
PEMBUANGAN LIMBAH KAPAL MINYAK

MAKALAH PENGGANTI UJIAN AKHIR SEMESTER


MATA KULIAH EKOLOGI DAN PRAKTIKUM

AZHAR FIRDAUS
1106143415

FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM KAJIAN ILMU LINGKUNGAN
MEI 2012

1. PEMBAHASAN

1.1

Latar Belakang
Pencemaran air telah banyak ditemukan di Dunia dan Indonesia. Baik itu dari limbah

buangan dari Kapal Minyak maupun dari Perusahaan Industri. Limbah buangan dari
Perusahaan Industri sudah banyak ditemukan. Limbah buangan tersebut bisa diakibatkan
karena ketidaksengajaan dari pihak pengelola atau memang mereka dengan mudahnya
membuang limbah ke laut.
Awal mula pencemaran laut oleh Kapal Minyak dimulai sejak peluncuran kapal
pengangkut minyak pertama Gluckauf pada 1885, dan penggunaan pertama mesin diesel
kapal tiga tahun kemudian. Sebelum Perang Dunia Kedua, sudah ada usaha-usaha
untuk membuat peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut.
Namun, baru terpikirkan setelah terbentuk International Maritime Organization (IMO)
dari Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1948.
Usaha membuat peraturan yang dapat dipatuhi semua pihak dalam organisasi tersebut
masih ditentang banyak pihak. Baru pada 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian
yang dilakukan
mencari

pemerintah

Inggris (UK), lahirlah Oil Pollution

Convention

yang

cara untuk mencegah pembuangan campuran mintak dari pengoperasian kapal

minyak dari kamar mesin. Selanjutnya disusul amandemen tahun 1962 dan 1969 untuk
menyempurnakan kedua peraturan tersebut. Jadi sebelum tahun 1970 masalah Maritime
Pollution baru pada tingkat prosedur operasi.
Pada tahun 1967 terjadi pencemaran terbesar, ketika minyak Torrey Canyon yang
kandas di Pantai Selatan Inggris menumpahkan 35 juta gallons crudel oil dan telah merubah
pandangan masyarakat Internasional di mana sejak saat itu mulai dipikirkan bersama
pencegahan pencemaran secara serius. Sebagai hasilnya adalah International Convention
for the Prevention of Pollution from Ships pada tahun 1973

yang kemudian

disempurnakan menjadi Oil Safety and Pollution Prevention Protocol pada tahun 1978
dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978. Konvensi ini berlaku secara
Internasional sejak tanggal 2 Oktober 1983. Isi dan teks dari MARPOL 73/78 sangat
kompleks

dan sulit dipahami bila tanpa ada usaha mempelajari

secara intensif.
1

Implikasi langsung terhadap

kepentingan

lingkungan

Maritim

dari

hasil

pelaksanaannya

memerlukan

evaluasi berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun pihak industry suatu Negara.
Sebagai contoh Negara Jepang, dalam hal pencegahan dan penanggulangan bencana
tumpahan minya di laut, antara birokrasi, LSM, institusi penelitian dan masyarakat telah
terintegrasi dengan baik. Kasus kandasnya kapal minyak milik Rusia Nakhodka (13.157 ton
bermuatan 19.000 kilo liter heavy oil) pada Januari 1997, sebagai bukti keberhasilan Negara
tersebut dalam penanggulangan tumpahan minyak. Mereka bekerja sama saling membantu
dalam penanggulangan bencana ini. Hanya dalam waktu 50 hari seluruh tumpahan dapat
diselesaikan.
Kasus tumpahan Kapal Minyak yang terjadi di beberapa Negara di dunia terjadi
pula di Indonesia. Seperti kasus yang terjadi di Balikpapan. Akibat tumpahan minyak yang
mereka sebut dengan Lantung selama enam bulan, nelayan di sana tidak dapat mencari
ikan. Wilayah yang paling rentan dari pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak
tersebut terdapat di wilayah pesisir. Karena 70 persen pengeboran minyak ada di lepas pantai.
Kasus seperti ini hanya menjadi catatan pemerintah tanpa penanggulangan tuntas. Contoh
yang lain adalah kasus pencemaran di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Diketahui
pencemaran ini sudah terjadi sejak tahun 2003 dan dalam kurun waktu 2003 sampai
2004, tercatat berlangsung enam kali kejadian. Namun sampai saat ini pemerintah
belum

mampu mengangkat kasus ini ke pengadilan untuk menghukum pelaku apalagi

membayar ganti rugi kepada masyarakat sekitar. Fakta

yang telah disebutkan ini

menunjukkan bahwa Indonesia masih lemah dalam koordinasi antar instansi pemerintah dan
kepolisian dalam menuntaskan kasus. Indonesia tertinggal dengan Negara-negara lain dalam
hal pencegahan dan penanggulangan bencana tumpahan minyak di laut.
Kasus lain yang merupakan objek penelitian dalam makalah ini adalah mengenai
pencemaran limbah Kapal Minyak di Batam, Kepulauan Riau. Pencemaran yang dilakukan
sampai saat ini semakin tidak terkontrol. Mereka membuang limbah tanpa mengetahui akibat
yang akan dirasakan oleh masyarakat sekitar. Selain masyarakat sekitar, biota laut yang
ada di Batam semakin terganggu, terutama terumbu karang. Penelitian ini berusaha
menjelaskan mengenai kondisi terumbu karang di Batam dan upaya penyembuhan yang
dilakukan Pemerintah Daerah dan masyarakat serta proses pembangunan berkelanjutan untuk
menyelamatkan terumbu karang dan mata pencaharian nelayan.
3

1.2

Rumusan Masalah
Terumbu karang mengandung berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik

secara ekologi maupun ekonomi.

Estimasi

jenis

manfaat

yang terkandung

dalam

terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak
langsung. Manfaat langsung dari terumbu karang yang dapat dimanfaatkan oleh manusia
adalah sebagai tempat hidup ikan yang banyak dibutuhkan manusia dalam bidang
pangan, seperti ikan kerapu, ikan baronang, ikan ekor kuning, dan batu karang.
Kemudian

sebagai

daerah pariwisata, wisata bahari melihat keindahan bentuk dan

warnanya.

Serta sebagai penelitian dan

pemanfaatan

biota

perairan

lainnya

yang

terkandung di dalamnya. Sedangkan yang termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung


adalah sebagai penahan abrasi pantai yang disebabkan gelombang dan ombak laut, serta
sebagai sumber keanekaragaman hayati. Kondisi yang terjadi di Batam bertolak belakang
dengan teori yang diharapkan. Kepentingan ekonomi

lebih diutamakan

daripada

kepentingan ekologi. Pembuangan limbah oleh Kapal Minyak di Batam telah menurunkan
tingkat kehidupan biota laut. Perlu ada aspek ekologi yang disisipkan sebagai solusi untuk
mengatasi masalah ekologi ini.
Penjelasan di atas dapat digunakan menjadi uraian masalah sebagai berikut.
(1) Pembuangan limbah di Batam mengutamakan kepentingan ekonomi daripada
kepentingan ekologi.
(2) Pengawasan dari Pemerintah Daerah mengenai pembuangan limbah di Batam belum
tegas.
(3) Belum ada proses keberlanjutan yang dilakukan oleh Kapal Minyak untuk
mengatasi pencemaran tersebut.
Rumusan masalah di atas menghasilkan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
(1) Bagaimana kondisi biota laut terutama terumbu karang di Batam akibat
pembuangan limbah?
(2) Bagaimana tingkat pengawasan yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam
menangani pembuangan limbah dari Kapal Minyak di Batam?

(3) Bagaimana proses keberlanjutan yang harus dilakukan untuk mengatasi pencemaran
limbah dari Kapal Minyak di Batam?

1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
(1) Mengetahui kondisi biota laut terutama terumbu karang di Batam akibat
pembuangan limbah.
(2) Mengetahui seberapa besar tingkat pengawasan yang dilakukan Pemerintah Daerah
dalam menangani pembuangan limbah dari Kapal Minyak di Batam.
(3) Membuat proses keberlanjutan untuk mengatasi pencemaran limbah dari Kapal
Minyak di Batam.

2.

2.1

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Ekosistem Terumbu Karang Indonesia dan Batam


Terumbu karang merupakan ekosistem yang dalam sekitar sepuluh tahun terakhir

mengalami ekspose publik yang luar biasa tinggi di Indonesia. Istilah coral triangle
tentu tidak asing lagi, terutama setelah pada tahun 2009 Indonesia menjadi tuan rumah
World Ocean Conference dan Coral Triangle Summit. Coral triangle sendiri merujuk pada
wilayah yang menyerupai segitiga, dengan batasan Filipina di utara, Malaysia di barat,
Indonesia dan Timor Leste di selatan, serta Papua Nugini, Kepulauan Salomon dan Fiji di
Timur. Di sinilah letak 50 persen terumbu karang dunia; dengan kata lain, wilayah dengan
keanekaragaman karang tertinggi di dunia.
Ekosistem terumbu karang sering dijuluki sebagai rainforest of the ocean oleh
karena tingginya produktivitasnya dalam menyediakan produk dan jasa lingkungan. Selain
berkontribusi menghasilkan bahan pangan dan sumber daya tidak terbarukan (karena tingkat
regenerasi yang sangat lamban, bahkan mencapai jutaan tahun dalam kasus minyak bumi),
ekosistem terumbu karang juga menyediakan jasa perlindungan kawasan pantai dan menjadi
objek wisata. Perlu dicatat bahwa kontribusi dalam bentuk sumber daya ikan secara umum
hanya sebagian kecil dari nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang. Menurut
Cesar (2003) produksi ikan secara umum hanya sebagian kecil dari nilai ekonomi total
ekosistem terumbu, sedangkan menurut Constanza et al. (1997), produksi pangan dan
bahan lainnya hanya sebesar 4% dari nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang.
Tapi ternyata kondisi kesehatan dan tutupan karang di Indonesia
cukup memprihatinkan.
Lembaga

Berdasarkan

data yang dikumpulkan

kondisinya

secara berkala oleh

Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), diketahui bahwa hanya sekitar 5 persen

terumbu karang dalam kondisi sangat baik. Sisanya 25 persen dalam kondisi baik, 37
persen dalam kondisi cukup, dan 32 persen dalam kondisi kurang baik (damaged) (KLH,
2009).

Tabel 2.1 Kondisi Terumbu Karang di Indonesia di 985 Lokasi

Kawasan

Kondisi Terumbu Karang (dalam %)

Jumlah
Lokasi

Sangat Baik

Baik

Cukup

Karang

Barat

439

28

34

33

Tengah

274

30

45

20

Timur

272

17

34

43

985

25

37

32

Seluruh
Indonesia
Sumber: KLH, 2009
Keterangan:

Sangat baik: 75-100% tutupan karang hidup


Baik: 50-74% tutupan karang hidup
Cukup: 25-49% tutupan karang hidup
Kurang: 0-24% tutupan karang hidup

Buruknya

kondisi

ekosistem

terumbu

karang

berdampak

langsung

pada

produktivitasnya menghasilkan barang dan jasa lingkungan. Sebuah studi menunjukkan


bahwa ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara menghasilkan antara 0,5 ton hingga
hampir 37 ton/km2/tahun ikan dan invertebrate. Dengan mengambil batas tengah, atau
rata- rata produksi sebesar 15 ton/km2/tahun, maka diperkirakan satu km2 ekosistem
terumbu karang yang sehat (kondisi terumbu karang sangat baik dan baik) di Indonesia dapat
menghasilkan pendapatan neto (setelah dikurangi biaya penangkapan) senilai US$12,000 per
tahun dari perikanan tangkap. Kondisi karang yang lebih buruk menghasilkan pendapat neto
yang lebih rendah (Cesar, 1996).
Kondisi terumbu karang yang semakin buruk di Batam juga termasuk dari kondisi
terumbu karang di Indonesia yang sudah dijelaskan pada alinea sebelumnya. Kondisi
terumbu karang di Batam semakin buruk karena adanya pembuangan limbah dari Kapal
7

Minyak.

Pembuangan limbah ini dilakukan oleh Singapura. Tidak hanya di Batam yang memiliki
kerusakan terumbu karang, tetapi terdapat di wilayah Tanjungpinang dan Karimun.
Peran pemerintah daerah yang kurang tegas yang mengakibatkan kurangnya pengawasan dari
pencemaran limbah terhadap biota laut terutama terumbu karang.
Terumbu karang memiliki peranan dengan meningkatnya perhatian terhadap
perubahan iklim. Salah satunya yang penting adalah sebagai pencatat/sumber informasi iklim
masa lalugejala iklim yang ekstrem seperti terjadinya banjir atau kekeringan yang panjang
akan terekam pada rangka

(skeleton)

kapur karang.

Terumbu

karang

juga dapat

mengikat karbon dioksida (CO2) yang ada di udara dan menyimpannya sebagai kalsium
karbonat, CaCO3 (KLH, 2009). Kondisi terumbu karang yang semakin rusak di Indonesia,
terutama di Batam, membuat peranan terumbu karang tersebu semakin lama semakin
menurun. Perlu adanya solusi yang tepat untuk mengatasi rusaknya terumbu karang
akibat pembuangan limbah tersebut.

2.2

Aspek Biologi dalam Pencemaran Air


Pembuangan bahan kimia, limbah, maupun pencemar lain ke dalam air akan

mempengaruhi

kehidupan

dalam

dipengaruhinya perlu dipelajari.


hanya

air

itu.

Seberapa

jauh

makhluk

hidup

ini

Tetapi mengukur populasi dalam air tidak cukup

dengan menggunakan bahan biologi saja. Pengujian secara kimia bersama-sama

dengan data biologi barulah dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai kualitas air.
Suatu pencemar dalam suatu ekosistem mungkin cukup banyak sehingga akan
meracuni semua organisme yang ada di sana. Biasanya suatu pencemar cukup banyak untuk
membunuh spesies tertentu, tetapi tidak membahayakan spesies lainnya. Sebaliknya ada
kemungkinan bahwa suatu pencemar justru dapat mendukung perkembangan spesies tertentu.
Jadi bila air tercemar, ada kemungkinan pergeseran-pergeseran dari jumlah spesies yang
banyak dengan ukuran yang sedang populasinya, kepada jumlah spesies yang sedikit tetapi
berpopulasi yang tinggi.
Penurunan dalam keanekaragaman

spesies dapat juga dianggap

sebagai suatu

tanda pencemaran. Spesies yang ada dalam kepadatan yang tinggi dinamakan Spesies indeks
atau organism indikator populasi. Jika spesies itu sama sekali tidak ada, maka derajat
7

populasi

lebih tinggi lagi. Ikan sulit digunakan sebagai indikator populasi. Lebih mudah menggunakan
spesies air lain yang tidak lincah geraknya seperti ikan. Misalnya ganggang. Perubahan dari
semula ganggang yang banyak jenisnya tetapi jumlah tiap jenis tidak banyak, maka ganggang
terakhir inilah yang dijadikan spesies indeks populasi.
Pencemaran limbah minyak yang berada di Batam tidak hanya merusak biota laut,
tetapi telah menghilangkan penghasilan nelayan sehari-hari. Populasi ikan menjadi menurun.
Begitu pula kondisi terumbu karang yang ada di Batam. Terumbu karang semakin rusak
akibat pencemaran limbah ini. Perlu adanya tindak lanjut yang lebih baik agar kondisi
terumbu karang dan biota laut lainnya dapat diselamatkan. Jika tidak ada tindak lanjut yang
dilakukan

oleh Pemerintah,

ekosistem

yang ada akan

terganggu.

Begitu

pula

penghasilan masyarakat sekitar semakin menurun.

3.

3.1

PEMBAHASAN

Kondisi Biota Laut Terumbu Karang di Batam


Seorang nelayan di Tanjung Bemban, Kecamatan Batu Besar, Batam, Kepulauan

Riau, menyekop

cairan limbah minyak hitam (sludge oil) yang mencemari pesisir

Tanjung Bemban. Setiap harinya ada 10 nelayan yang membersihkan limbah minyak hitam.
Limbah minyak hitam yang mencemari pesisir Tanjung Bemban berasal dari kapal-kapal
minyak yang membuang minyak dari perairan internasional di Selat Singapura. Dampak dari
limbah minyak tersebut sangat besar. Selain menghabiskan biaya untuk pembersihan,
pesisir

dan pantai yang menjadi objek wisata menjadi kotor dan tercemar. Sehingga

wisatawan enggan datang yang membuat pelaku pariwisata, seperti restoran dan penyewaan
pelampung, terhenti sesaat.
Limbah minyak hitam juga mengganggu aktivitas nelayan. Plankton dan biota laut di
sekitar pesisir pantai terancam hilang. Ritual pembersihan limbah minyak hitam di wilayah
tersebut menjadi acara rutin setiap tahun. Acara ini tidak memiliki kemajuan yang berarti.
Karena perilaku seseorang tidak akan berubah ketika limbah setiap tahun dibersihkan.
Cenderung pihak kapal minyak akan terus membuang limbah ke laut. Pencemaran laut akibat
limbah minyak tidak hanya merugikan
ekosistem laut. Organisme

akuatik

nelayan,

seperti

terumbu

tetapi juga mengganggu


karang,

hutan mangrove

fungsi
dan

ikan semakin terganggu.


Kendati sering terjadinya pencemaran limbah dari kapal minyak. Tetapi belum pernah
masyarakat yang menangkap basah pelaku tersebut. Limbah yang dibuang tidak saja
limbah cair tetapi juga limbah padat. Pencemaran limbah yang dilakukan ini telah merusak
biota laut terutama terumbu karang. Kondisi terumbu karang pada umumnya di Indonesia
semakin menurun. Begitu pula yang terjadi di Batam. Akibat pencemaran limbah, kondisi
terumbu karang semakin lama semakin menurun. Menurut salah satu narasumber,
pembuangan limbah oleh kapal minyak dilakukan pada malam hari, ketika gerhana
sedang

melakukan aktivitasnya. Pembuangan limbah secara sembunyi ini, dikarenakan

kurangnya tingkat pengawasan dari Pemerintah Daerah untuk bertindak tegas. Berikut akan
dijelaskan mengenai tingkat pengawasan Pemerintah Daerah dalam mengatasi masalah
1
0

pencemaran limbah.

1
1

3.2

Tingkat Pengawasan Pemerintah Daerah


Tingkat pengawasan Pemerintah Daerah dalam Pembuang Limbah Kapal Minyak di

Batam masih kurang. Tidak adanya upaya pengusutan ketika ada praktek pembuangan limbah
dari kapal-kapal

tersebut.

Proses pengusutan

ini memang tidak mudah.

Tetapi

Pemerintah Daerah seharusnya perlu melakukan kerja sama dengan Negara-negara tetangga,
seperti Malaysia dan Singapura. Kerja sama ini bertujuan untuk mencegah pembuangan
minyak hitam dari kapal-kapal minyak di Selat Singapura serta Selat Malaka.
Sebagai perbandingan, Pemerintah Malaysia, termasuk Singapura, serius dalam
menyelesaikan persoalan limbah asap ketika terjadi kebakaran hutan di Indonesia.
Begitu pula dalam upaya pencegahan pembuangan dan pencemaran limbah minyak hitam di
perairan Selat Singapura, termasuk Selat Malaka, tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah sendirian. Perlu adanya kerja sama antar Negara di bidang lingkungan hidup untuk
mengatasi pencemaran dari kapal-kapal minyak di perairan interasional.
Selain kerja sama, Indonesia belum mempunyai alat untuk mendeteksi kapal-kapal
yang melintas di laut termasuk aktivitasnya. Sehingga jika ada kapal yang membuang limbah,
tidak dapat diketahui. Negara tetangga yaitu Singapura sudah mempunyai alat untuk
mendeteksi aktivitas semua kapal yang melewati perairan mereka. Sehingga tidak ada yang
berani membuang limbah di wilayah tersebut. Singapura, juga telah memiliki cara
menanggulangi limbah yang terlanjur mencemari laut. Sehingga tidak menyebabkan
pencemaran yang dapat menyebabkan biota laut mati.
Penjelasan di atas menyebutkan bahwa Indonesia masih kurang dalam pengawasan
mengenai pengaturan pembuangan limbah ke laut. Ada aspek oknum yang mengatur
mudahnya kapal minyak melakukan pembuangan limbah. Selain oknum, ada perilaku yang
melihat bahwa ketika limbah dibuang ke laut, sudah ada pihak lain yang dapat membersihkan
limbah tersebut. Pernyataan ini termasuk pernyataan yang salah. Tidak dapat menyelesaikan
masalah, melainkan menimbulkan masalah baru. Biota laut semakin berkurang, berakibat
penghasilan nelayan semakin menurun.
Pencemaran limbah yang dilakukan oleh kapal minyak ini perlu diatasi. Bukan diatasi
dengan membersihkan limbah setiap tahunnya. Tetapi dengan adanya pencegahan
1
01

dari

1
11

pembuangan limbah tersebut. Serta tindakan tegas kepada perusahaan kapal minyak tersebut
yang telah mencemari laut dengan pembuangan limbah. Solusi yang ditawarkan harus
bersifat berkelanjutan, bukan bersifat sementara.

3.3

Proses Berkelanjutan
Proses berkelanjutan yang diberikan dalam mengatasi Pencemaran Limbah Kapal

Minyak di Batam terdiri dari tiga proses. Pertama, penyediaan alat untuk mendeteksi kapalkapal yang akan membuang limbah di perairan Batam maupun daerah lain di Indonesia.
Alat ini sudah digunakan oleh Negara tetangga, yaitu Singapura. Biaya yang dikeluarkan
mungkin tidak sedikit. Tetapi ketika alat ini sudah digunakan di perairan Indonesia,
kualitas air Indonesia semakin terjaga. Serta kondisi biota laut terutama terumbu karang
menjadi terjaga.
Kedua, penegakan hukum yang tegas. Indonesia sampai saat ini belum ada tindakan
tegas, tidak hanya pencemaran air dari limbah kapal minyak, tetapi masalah-masalah
lain. Seperti penebangan hutan mangrove di kawasan konservasi yang terdapat di
Kalimantan Timur, penebangan hutan mangrove untuk lahan tambak di Sumatera Utara, dan
kasus-kasus lingkungan

lainnya.

Kepentingan

ekonomi

lebih ditingkatkan

daripada

kepentingan lingkungan. Lingkungan semakin terkikis akibat kekuasaan ekonomi yang


meluas atas lingkungan.
Ketiga, pengontrolan dari peraturan yang ada. Seringkali terjadi, peraturan dijalankan
hanya pada tahap awal untuk membuktikan bahwa perusahaan tersebut peduli terhadap
lingkungan. Kemudian, mereka melakukan kerusakan lingkungan kembali. Pengontrolan
bertugas untuk penjagaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan dapat berjalan secara
terus menerus. Ketiga proses ini, akan mendapatkan suatu pembangunan berkelanjutan, yang
tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi mempertahankan penghasilan nelayan dalam melaut.

1
21

4.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kondisi biota laut terutama terumbu karang di Batam akibat pembuangan limbah dari
Kapal Minyak semakin menurun. Diakibatkan adanya minyak hitam yang terkandung
dari pembuangan limbah tersebut. Tidak hanya kondisi biota laut yaitu terumbu karang
yang menurun, tetapi hasil dari mata pencaharian nelayan juga semakin menurun. Karena
ikan- ikan menjadi mati.
Tingkat pengawasan yang dilakukan Pemerintah Daerah semakin berkurang. Adanya
oknum yang melakukan praktek dalam kegiatan ini. Kepentingan ekonomi lebih diutamakan
daripada kepentingan lingkungan. Tidak tersedianya alat-alat yang dimiliki Indonesia untuk
mendeteksi kapal-kapal yang akan melakukan pembuangan limbah di perairan Batam dan
wilayah Indonesia lainnya.
Program berkelanjutan yang harus dilakukan ada tiga cara. Pertama, penyediaan
alat- alat pendeteksi kapal-kapal yang akan membuang limbah di perairan Batam dan
wilayah Indonesia

lainnya.

Kedua, penegasan

dalam

pengakan

hukum

lingkungan

mengenai pencemaran limbah oleh kapal minyak. Ketiga, pengontrolan dari pelaksanaan
hukum lingkungan tersebut. Agar tidak terjadi pentaatan hanya pada awal pelaksanaan, tetapi
harus berlanjut terus menerus.
Saran

yang dapat diberikan

untuk masalah ini adalah

perlu

diberikan

pengetahuan mengenai pentingnya biota laut terutama terumbu karang bagi masyarakat.
Pengetahuan ini diberikan tidak hanya kepada pihak perusahaan dari Kapal Minyak, tetapi
diberikan juga kepada masyarakat yang berada di lokasi terkena pencemaran limbah.
Agar semua pihak dapat berpartisipasi untuk menyelamatkan lingkungan di laut.
Proses

berkelanjutan

yang

sudah

diberikan

harus

segera

dilakukan.

Proses berkelanjutan tidak menjadi sesuatu yang tertulis. Perlu ada pengawasan lebih
lanjut untuk menjalani proses berkelanjutan ini. Agar kondisi biota laut di Indonesia,
terutama di Batam menjadi lebih baik. Serta hasil mata pencaharian yang dilakukan
nelayan tidak semakin menurun.

1
31

Anda mungkin juga menyukai