Anda di halaman 1dari 23

Indri

Cerpen: Asa Jatmiko


Indri masih diam memaku di depanku. Saya pun sesaat diam untuk memberi
kesempatan ia berkata-kata. Atau minimal membiarkannya menghela napas
dalam dengan rasa bebas. Tapi Indri tidak melakukan apa-apa. Tatapannya
kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya
yang sedikit ikal tersisir rapi dalam dua belahan ke belakang. Lalu Indri
menunduk membenarkan baju ungu yang dikenakannya, kembali menatapku.
Dan masih tanpa suara.
"Kartu Kesehatan kamu terpaksa dikembalikan oleh perusahaan," kata saya
sekali lagi. "Kalau kamu masih berharap bahwa cuti kehamilanmu disetujui
untuk mendapatkan biaya ganti, mestinya kamu mau mendengarkan saranku."
Indri hamil. Sebagaimana biasanya, setiap buruh wanita yang hamil akan
mendapatkan uang dan kesempatan cuti hingga masa persalinannya. Ia sudah
mengajukan sekitar dua minggu yang lalu, tetapi hari ini Kartu Kesehatan yang
disertakan dalam pengajuan cutinya kembali. Alasannya, tidak tercantum nama
suaminya.
"Saya harus mengisi siapa?" tanya Indri. Saya sudah menduga ia akan
mempertanyakan hal itu. "Itulah maksud saya, sedikit direkayasa kan tidak apaapa. Untuk sementara saja, daripada kamu malah tidak mendapatkan hakmu!"
jawab saya, karena saya pikir itu akan ikut membantunya.
"Iya, saya tahu maksud Bapak. Saya harus mencatut sebuah nama agar saya bisa
mendapat santunan, begitu kan?! Saya harus memanggilnya sebagai suami yang
tidak pernah menikahi saya, semata-mata demi santunan itu?!" kata Indri
setengah parau.
"He, bukan santunan! Itu hakmu sebagai buruh! Perusahaan berkewajiban
memberikan uang untuk biaya kehamilanmu!" Saya mengingatkan. Bahkan saya
katakan kepada Indri untuk tidak berterima kasih kepada perusahaan, karena
memang sebaliknya, itu bentuk terima kasih dari perusahaan, bentuk perhatian.

Dan sekali lagi hal itu adalah wajib hukumnya! Indri tidak perlu merasa
disantuni atau dibantu, kalau nyatanya memang mampu, tetapi perusahaan tetap
akan memberikan uang itu kepadanya.
"Makanya, karena ini hakmu, penuhi dulu syaratnya. Tidak sulit kan kalau hanya
sekedar menuliskan sebuah nama laki-laki di sini. Okelah kalau lelaki itu belum
menikahimu saat ini, tapi nantinya toh tetap akan menjadi suami." Saya
menjelaskan lebih luas lagi, demi dia sendiri. "Kau pun sebenarnya agak keliru,
kenapa terjadi hamil sebelum kalian menikah!"
"Saya tidak pernah menikah! Saya diperkosa! Dan saya tidak memiliki lelaki yang
saya cintai!!" Indri menjerit, dan menangis.
"Kamu diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?"
"Mereka bukan pacar saya! Saya tidak mencintai siapa pun!"
"Mereka? Artinya lebih dari seorang." Tapi saya tak tega mempertanyakannya.
Sudah cukup jelas, Indri diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Buru-buru, demi
melihat penderitaannya, saya meminta Indri untuk datang kembali besok pagi
sebelum saya pergi ke kantor pusat.
"Dia memang perempuan nakal, Pak! Biarkan saja, ia layak mendapatkan
risikonya sendiri. Kita ikut susah, tapi kesia-siaan yang akan kita dapat," celetuk
pembantu kantor saya.
Tapi saya membiarkan pendapatnya menguap di udara. Semestinya bagi saya
untuk memperjuangkan haknya yang wajar dia dapatkan. Tidak ada yang
istimewa. Soalnya adalah sebuah nama yang mesti saya tulis di Kartu
Kesehatannya, siapa. Indri pun tak menyebut satu nama pun.
Sudah saya niatkan sore itu pergi menemui Indri, perempuan dengan rambut
setengah ikal itu. Saya merasa perlu untuk mengetahui lebih jelas apa duduk
persoalan sebenarnya. Jangan-jangan kehamilannya pun cuma akal-akalan, agar
ia mendapat cuti hamil dan biaya ganti persalinannya. Buruh semacam Indri
sangat mungkin melakukannya. Di samping malas, ia tidak berangkat kerja,
tetapi tetap mendapatkan uang dari perusahaan.

Indri masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar 20-an. Di kota ini, tidak sulit
menemukan perempuan yang menikah pada usia muda. Kebanyakan ukuran
bukan pada usia, tapi pada jaminan telah bekerja. Tidak apa menikah, asal sudah
bekerja. Tapi mungkin perlu untuk memperhatikan ucapan pembantu kantor
saya, siang tadi. Gadis seindah Indri, bukan tidak mungkin telah diperkosa
sungguh-sungguh oleh karena, maaf, profesinya selain menjadi buruh. Indri
seorang pekerja seks jugakah?
Kalau benar ia seorang pekerja seks pula, maka saya memang tak perlu susah
payah mengupayakan cuti hamil dan biaya persalinannya. Biar saja orang akan
mengatakan bahwa saya tidak memperhatikan anak buahnya. Saya lebih
berprinsip, itu bagian dari proses pendidikan SDM di dalam pabrik. Kalau sudah
niat bekerja, ya sebisa mungkin berjalan dengan lurus. Toh bisa semakin jelas
apabila nanti ia diberi kepastian untuk memilih, kerja di pabrik atau keluar saja.
Di tengah ribuan pekerja, apabila soal seperti itu dibiarkan, akan menjadi virus
yang bisa menular. Buruh-buruh yang lain akan ikut-ikutan, karena merasa
pihak perusahaan menutup mata.
Akhirnya, apa yang ingin saya katakan kepada pembantu kantor saya adalah
citra. Ini yang penting. Saya ikut bertanggung jawab terhadap baik dan
tercorengnya citra perusahaan. Oleh karena itulah saya ingin mendapatkan
keterangan lebih jelas dan akurat mengenai Indri.
Dengan sedikit kikuk, Indri mempersilakan saya untuk masuk. Saya sudah bilang
agar jangan menganggap saya sebagai atasannya di rumahnya. Tapi itu mungkin
sulit baginya.
"Kapan kamu melahirkan?" tanyaku.
"Hari Sabtu. Berarti tiga hari yang lalu, Pak."
"Bagaimana, kau sehat saja?"
"Ya, seperti inilah. Bapak melihat sendiri."
Indri tersenyum, tersipu-sipu dengan sepasang bibir merah yang basah. Saya
mencicipi minuman teh yang ia sajikan. Lalu saya menanyakan kembali soal cuti
hamil yang dibahas di kantor. Indri kembali kelihatan serius.
"Ada apa?"

"Tidak, Pak. Saya hanya merasa jenuh kalau harus memikirkan hal itu lagi,"
jawabnya.
"Tapi itu sangat perlu. Apa kamu mau katakan siapa mereka yang telah
memperkosamu sehingga kamu hamil?" Indri menggeleng. "Kenapa kau
menutupi mereka? Mereka telah berbuat sangat jahat kepadamu!"
"Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Pak."
Baiklah. Saya menanyakan bagaimana keluarganya atau saudaranya. Saya
mendapat ide, agar nama suami di Kartu Kesehatan yang masih kosong itu diisi
nama salah seorang familinya. Bisa pamannya atau kakaknya atau siapa pun.
Yang penting ada perjajian sebelumnya, bahwa setelah dana turun nama itu
dilepas. Saya tidak tahu apakah itu sudah menyalahi aturan atau tidak. Tapi
kalau di antara mereka saling percaya, saya kira persoalan tidak menjadi sulit.
Tapi Indri tidak mau. Ia bilang bahwa ia sudah malu dengan keluarga, sehingga
sudah buntu untuk minta tolong. Keluarganya tidak ingin ikut cemar gara-gara
dia, kata Indri.
Siang yang lain saya masih menunggu Indri di kantor. Tetapi ia tidak muncul
juga, sehingga saya terpaksa harus tetap pergi ke pusat tanpa ada kejelasan
sikapnya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak sekedar memberikan Kartu
Kesehatan, tetapi dengan penjelasan bahwa bagaimana pun Indri tetap berhak
atas uang cuti persalinannya.
"Sebagai pribadi, saya sebetulnya kasihan. Tapi keputusan perusahaan yang tetap
memberikan uang cuti hamil kepada buruh yang hamil tanpa suami? Apa kata
dunia?!" kata manajer personalia kepada saya. Saya sudah menyadari hal itu,
pikir saya. Lalu saya disuruh meninggalkan ruangannya tanpa mendapat
kejelasan nasib Kartu Kesehatan Indri. "Lihat nanti sajalah!" katanya.
Sore yang lain lagi, saya kembali mendatangi rumah Indri. Kedatangan saya
disambut tangis bayinya. Saya pun memberanikan diri untuk menggendongnya.
"Indri, kalau boleh, biarkan anak ini menjadi anak saya. Belum terlalu tua aku
punya bayi, kan?"

Indri menangis terharu. "Segeralah kamu cari pacar, dan kawin," kata saya lagi.
"Lupakan masa lalu ini." ***
Kudus, 2003
posted by imponk | 10:24:55 AM

W E D N E S D A Y , A P R I L 0 7, 2 0 0 4

Nyanyian Malaikat
Cerpen: Sunlie Thomas Alexander
MALAIKAT akan senantiasa bernyanyi. Mengiringi orang-orang memetik
sahang(1, kata nenek sembari menghisap kreteknya dalam-dalam. Amir
mencoba membayangkan rupa malaikat itu.
Cantik, berhidung mancung, berbibir tipis yang selalu merekah basah, dan
bermata cemerlang sebiru laut. Mengenakan gaun panjang putih bersih berendarenda yang menjuntai sampai ke tanah. Dengan sepasang sayap putih yang
berpendaran kemilau, mengepak-ngepak lembut. Seperti gambar di buku cerita
yang pernah dilihatnya di perpustakaan sekolah. Dalam bayangannya, malaikat
itu hinggap di pucuk-pucuk junjung(2 sahang, melayang-layang di atas ladang,
sambil bersenandung lirih dan bermain harpa.
Berminggu-minggu sejak itu, ia selalu memasang telinga menunggu nyanyian itu
terdengar, seperti kata nenek, menyelinap di antara gemerisik daun-daun lada,
kicau burung-burung, senda gurau para perempuan memetik sahang, dan suara
riak air sungai yang tersibak dilewati kapal-kapal pengangkut kayu dan biduk
sampan. Setiap pulang sekolah, tanpa berganti pakaian ia sudah berlari-lari ke
ladang. Ikut membantu emak dan ayuk(3 Siti mengumpulkan biji-biji sahang
yang sudah berwarna merah, jingga, dan kuning ke dalam kaleng-kaleng untuk
kemudian dituangkan ke dalam karung-karung goni bekas beras, sebelum dibawa
direndam di pinggiran sungai, sambil membuka telinga lebar-lebar berharap
nyanyian itu akan melintas.
Tetapi sampai masa panenan berakhir dan orang-orang kembali mulai menebang
junjung, menanam bibit-bibit baru, nyanyian itu tak kunjung didengarnya.

Apakah nenek berbohong? Sebagaimana juga cerita tentang peri hutan yang suka
mandi di kolong(4 pada petang hari saat hujan gerimis, kuntilanak-kuntilanak
yang sering begagit(5 di pohon Aro belakang rumah, atau hantu Mawang yang
bisa menyamar sebagai manusia, menyerupai siapa saja yang dikehendakinya.
"Nenek tidak bohong, Cung.(6."
"Lalu kenapa Amir tidak pernah mendengarnya, Nek?"
"Suatu saat Amir pasti akan mendengarnya."
"Apakah suara malaikat itu merdu, Nek?" tanyanya belum puas.
"Ya, merdu. Merdu sekali."
"Semerdu suara emak?"
"Ya, semerdu suara emakmu." Nenek kembali menghisap kreteknya. Amir suka
sekali mendengar emak menyanyi. Dulu sebelum menikah dengan ayah, emak
adalah seorang penyanyi pada organ tunggal milik Mang Jurik. Emak menyanyi
dalam pesta-pesta hajatan orang-orang kampung, bahkan jauh sampai keluar
kampung. Sebagai seorang biduanita, emak memang menjadi primadona. Bukan
hanya karena suara emak yang begitu merdu, sehingga tak tertandingi oleh
penyanyi-penyanyi lainnya, tetapi juga karena emak pintar berjoget. Kata
pakwo(7 Hendi, goyangan emak selalu membuat penonton bertepuk riuh dan tak
tahan untuk tidak ikut berjoget. Setiap kali organ tunggal Mang Jurik tampil,
orang-orang selalu datang berduyun-duyun dari pelbagai kampung. Tua-muda,
laki-perempuan, besar-kecil. Itulah sebabnya setelah menikah dengan ayah dan
memutuskan berhenti menyanyi, Mang Jurik kalang-kabut dan bolak-balik
membujuk emak agar mau kembali manggung. Tentu saja dengan berbagai
tawaran manis. Namun emak tidak bergeming.
Amir jadi merindukan suara emak menyanyi. Nyanyian yang selalu
meninabobokannya dalam mimpi indah tentang bidadari-bidadari yang cantik
dan baik hati, taman-taman bunga yang terbentang luas dengan lembah-lembah
hijau nan sejuk dan sungai-sungai yang mengalir jernih. Tetapi kini Amir telah

kehilangan nyanyian merdu itu. Amir tidak tahu sudah berapa lama emak tidak
pernah lagi bernyanyi dan mengapa emak tidak lagi menyanyi. Padahal betapa
dia ingin mendengar emak menyanyi. Dulu rasanya tidak pernah ada hari yang
dilewati emak tanpa menyanyi. Ketika mandi dan mencuci di kolong, ketika
menemaninya tidur, ketika merajut baju, ketika menisik atap rumbia di beranda,
ketika memetik sahang
Sejak ayah pergi membawa kapal motor pengangkut kayu gelondongan ke
Jakarta lewat sungai besar yang membelah kampung dan tidak pernah kembali,
emak tidak pernah lagi bernyanyi. Kata Oom Taufiq, anak buah ayah yang
membawa pulang kapal, ayah menghilang entah ke mana dan tidak pernah
ditemukan saat kapal bersandar di Kali Baru untuk membongkar muatan. Dia
hanya membawa pulang buntalan pakaian milik ayah. Emak cuma bisa
menangis. Berbulan-bulan, orang-orang yang disuruh mencari ayah selalu
pulang dengan gelengan kepala, yang membuat emak semakin tenggelam dalam
kemuraman wajahnya yang dulu senantiasa berseri-seri. Berbulan-bulan,
berbilang tahun, emak masih menanti, berharap ayah suatu hari akan tiba-tiba
muncul di kampung, tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Tidak ada seorang pun
yang tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan ayah. Sejak itulah, Amir tidak
pernah lagi mendengar emak bersenandung. Pernah suatu hari, Amir meminta
emak menyanyi, tetapi dia malah dibentak dan dicacimaki emak dengan katakata yang kasar. Baru sekali itu emak memarahinya sedemikian rupa.
***
"MALAIKAT itu selalu bergerak seperti cahaya. Sehingga mustahil bagi mata kita
untuk dapat melihatnya." Amir tercenung mendengar kata-kata Pak Haji Faqih,
orang tua yang selalu mengajarinya dan anak-anak kampung lainnya mengaji,
belajar mengeja alif bata di surau.
"Tapi kata nenek, kita bisa mendengar suara malaikat menyanyi, Wak(8?" Amir
langsung mengangkat tangan bertanya. Pak Haji Faqih hanya tersenyum tipis,
disapunya wajah lugu murid kecilnya itu. Anak yang selalu paling banyak
bertanya. Dan ketika berhenti di mata anak itu yang berbinar-binar menunggu
jawabannya, ia seperti melihat sesuatu yang bergejolak. Dia dapat merasakan ada
sesuatu yang lain pada diri anak tersebut. Entah apa.

"Hanya nabi yang pernah mendengar suara malaikat, Nak," tukasnya lembut.
"Tapi" Pak Haji Faqih tidak langsung meneruskan, namun kembali menelusuri
wajah anak di hadapannya dengan agak ragu, "Mungkin saja nenekmu benar."
Amir menyimpan jawaban mengambang itu lekat-lekat dalam benaknya.
Membawanya ke dalam tidur. Tidur yang tak lagi dihantar nyanyian emak yang
membelainya dengan hangat. Tetapi dalam tidurnya malam itu, ia bermimpi
mendengar lagi suara emak menyanyi. Dalam mimpinya, emak menyanyi sambil
memetik sahang di ladang. Merdu sekali. Betapa sudah sekian lama ia tidak
pernah mendengar suara semerdu itu. Betapa rindunya ia pada nyanyian emak.
Tiba-tiba, di tengah suara nyanyian emak yang mendayu-dayu di antara
gemerisik daun-daun lada, ia mendengar suara seperti kelepak sayap burung.
Kelepak yang kemudian menimbulkan angin keras. Menggoyangkan daun-daun
lada, membuat rok emak tersingkap. Disusul suara nyanyian tak kalah merdu,
teramat merdu yang menimpali suara nyanyian emak. Terkejut, ia mendongak.
Seorang malaikat yang cantik jelita dengan rambut terurai kemilau laksana
cahaya sedang hinggap di atas salah satu batang junjung sahang sambil
menyanyi dan memetik harpa. Wajahnya memancarkan tujuh warna pelangi.
Mengenakan gaun panjang putih bersih berenda-renda yang berjuntai hingga ke
tanah, bersayap putih lembut bagaikan salju yang terang-benderang, seperti
dalam bayangannya selama ini. Sepasang mata malaikat itu yang sebiru
samudera menatapnya dengan lembut seperti tatapan nenek.
Dalam tidur, Amir tersenyum bahagia. Sedemikian lelap dalam mimpi yang
indah itu. Sehingga tidak didengarnya sedikit pun suara dengus, rintihan, dan
erang tertahan sampai subuh menjelang dari kamar sebelah, di mana tubuh
emak sedang ditindih sesosok lelaki yang diharuskan oleh emak dipanggilnya
ayah.
***
INI bukan pertama kali ia menyaksikan lelaki itu menempeleng emak. Seperti
yang sudah-sudah, disusul makian kotor dan barang-barang dibanting. Amir
terbelalak di belakang pintu kamar ketika melihat bagaimana lelaki itu meraih
okulele tua kesayangan ayah yang tergantung di dinding ruang tamu lalu

membantingnya ke lantai. Dia ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Okulele mengkilap yang dulu sering dipetik ayah sore-sore mengiringi emak
menyanyi itu pecah berantakan. Emak meraung keras. Tanpa sadar Amir
mencengkeram daun pintu kuat-kuat, mata dan dadanya terasa panas.
Sementara ayuk Siti menangis terisak-isak di atas tempat tidur. Meringkuk
pucat.
"Babi kau Taufiq! Anjing!" emak menangis tersedu-sedu memeluk okulele yang
pecah itu. Lelaki itu menyeringai lebar lalu tertawa terkekeh.
"Pokoknya besok kalau Ko(9 Akhiong datang, ladang itu harus jadi dijual!"
tukasnya sambil melotot besar lalu menyalakan sebatang rokok.
"Sekali aku bilang tidak, tetap tidak, lelaki tak tahu diuntung!" emak balas
melotot tak kalah galak.
"Perempuan bagak(10! Tanah itu mengandung banyak timah, tahu! Harganya
tinggi! Lagi pula buat apa kau mempertahankan lagi ladang itu? Masih mau
nanam sahang?" lelaki itu tersenyum sinis. "Kau pikir harga sahang agik
pacak(11 naik? Ka dak nengok, di mane-mane urang nanam sahang saro bae!
Mane pupuk lah mahal, junjung lah dak tahu agik nek nebang di mane!"(12
"Kalau aku tetap tidak mau jual, kau mau apa?" suara emak melengking.
"Tetap akan kujual."
"Bangsat! Apa hak kau menjualnya? Itu ladang peninggalan Muis, lakiku!" emak
menjerit.
"Hei, yang jadi suamimu sekarang itu aku! Aku!" bentak lelaki itu sambil
memukul-mukul dadanya sendiri.
"Kalau begitu sekarang juga aku minta cerai! Rugi aku mau menikah denganmu!
Aku minta talak tiga!" emak menjadi kalap.
Amir mencengkeram daun pintu semakin keras. Keringat deras membasahi

seragam sekolah yang masih dikenakannya. Sungguh tidak dapat


dibayangkannya ladang itu akan dijual. Terlintas olehnya malaikat jelita yang
bernyanyi dan memetik harpa di atas junjung sahang itu. Masih tergiang olehnya
suara nyanyiannya yang merdu di antara suara nyanyian emak, kicau burungburung Punai, gemerisik daun-daun lada tertiup angin, dan aroma merica yang
begitu harum. Kedua tangannya mengepal. Gemetar. Perlahan ia membuka pintu
kamar. Diliriknya parang bersarung papan yang tergantung di dinding. Parang
yang biasa dibawa emak ke ladang. Lututnya terasa goyah. Lelaki itu kembali
membentak emak. Tangannya menjadi dingin. Secepat kilat ia menyambar
parang itu, mencabutnya dari sarung. Lelaki itu kaget. Emak berseru tertahan.
Creeesss.!! Lelaki itu berteriak meraung. Suaranya memecah kelenggangan
petang. Mata parang itu berubah merah.
***
HUJAN rintik-rintik menjadi deras. Masih terdengar olehnya suara-suara ramai
berseru tegang di belakang, juga suara emak yang menjerit-jerit ketakutan dan
menangis tersedu-sedu. Dengan nafas terengah-engah didayungnya sekuat
tenaga sampan kecil miliknya yang dulu dibuatkan ayah. Menjauhi pinggiran
kampung. Kampung di tepi sungai besar itu, orang-orang lebih senang
menyebutnya Kute, dan konon merupakan kota pertama di pulau Bangka.
Kampung kecil yang selalu ramai disinggahi kapal-kapal pengangkut kayu dan
kelapa sawit dari Sumatera daratan dan pulau Jawa.
Tiba-tiba terdengar olehnya sayup-sayup suara nyanyian itu. Semakin keras
bersamaan dengan semakin jauh sampan yang dikayuhnya bergerak membelah
riak sungai. Sedemikian indah, sehingga ia terpana. Nyanyian itu seperti diiringi
suara semacam tiupan terompet, namun lain. Bunyinya membahana lantang,
bergema di langit petang yang semakin gelap. Kuning keungu-unguan. Suara alat
musik apakah itu? Amir tidak pernah mendengarnya. Tapi seketika ia jadi
teringat pada cerita yang pernah dituturkan nenek, dan terkesima. Apakah itu
bunyi tiupan sangkakala? Dia ingat nenek pernah mengatakan, malaikat Israfil
akan meniup sangkakala pada hari kiamat.***
Yogyakarta, Lebaran 2003

CATATAN :
1. Lada putih (White Muntok Pepper).
2. Kayu/tiang tempat merambat pohon lada, biasa kayu yang digunakan adalah
kayu Seru.
3. Kakak perempuan.
4. Danau yang tercipta akibat pertambangan timah.
5. Bercanda, bersenda gurau.
6. Cucu.
7. Paman, kakak ayah yang paling tua.
8. Paman, panggilan untuk orang lain yang lebih tua dari ayah.
9. Kakak (bahasa Cina), panggilan untuk orang Cina yang lebih tua.
10. Bodoh, goblok.
11. Masih dapat.
12. Kamu tidak lihat, di mana-mana orang yang menanam lada susah semua!
Mana pupuk sudah mahal, junjung lada tidak tahu lagi harus tebang di mana!
posted by imponk | 10:20:55 AM

T U E S D A Y , A P R I L 0 6, 2 0 0 4

Negeri di Balik Bulan


Cerpen Achmad Munjid
Bunga, sayang...
Kutulis surat ini di sebuah kafe, sesaat setelah senja melenyap di kaki langit Kota
Laut yang tenteram. Tahukah kamu, sejak kita memutuskan untuk tidak pernah
lagi saling bertemu, aku segera berkemas mengikuti pelayaran panjang yang tak
akan kembali ini. Sebuah pengembaraan yang akan kutempuh sepanjang waktu,
menuju Negeri di Balik Bulan. Kota Laut yang tua dan megah ini adalah tempat
persinggahan entah yang keberapa sejak keberangkatan kami dari Kepulauan
Halmahera bertahun silam.
Aku bergabung bersama rombongan yang kira-kira terdiri dari dua ribu orang,
dengan dua kapal yang selalu meluncur gagah membelah gelombang. Sebagian
besar mereka adalah para pengungsi korban kerusuhan. Sedang beberapa ratus
orang lainnya merupakan penumpang khusus yang datang dari segala penjuru.
Yakni, para pengemban tugas nenek moyang masing-masing yang telah

mempersiapkan mereka sejak beberapa generasi sebelum mereka lahir. Mungkin


akulah satu-satunya anggota yang bergabung karena alasan yang bersifat hampir
kebetulan.
Kalau saja matamu yang indah bisa ikut menyaksikan pemandangan luar biasa
menakjubkan malam itu, kau pun tentu akan tak kuasa menahan hasrat seperti
setiap orang di antara kami yang tergabung dalam kudus ini. Ialah suatu
dorongan murni yang demikian teguh untuk segera menembus lautan waktu.
Untuk meninggalkan seluruh nestapa dan derita, dan menyongsong kehidupan
baru di negeri penuh pesona, Negeri di Balik Bulan.
Bungaku sayang, entah setelah berapa jam kami menunggu dengan perasaan
hampir-hampir putus asa, menjelang pagi di awal milenium itu akhirnya kami
pun benar-benar menjadi saksi atas munculnya sebuah garis lurus berwarna
putih keperakan yang kilau-kemilau dan kian membiru di kedua ujungnya. Itulah
suatu wujud yang tak sabar telah kami tunggu-tunggu dengan jantung kian
berdebar. Garis itu mula-mula nampak sebagai cahaya tipis yang memantul dari
wajah bulan yang menyembul dari balik menara mercusuar Pelabuhan Teluk
Malina. Di bawah lengkung langit berwarna kesumba, cahaya itu turun
menembus kabut yang mengambang di atas permukaan laut dan seketika
mengubahnya menjadi taburan aneka partikel mutiara yang tak terhitung
jumlahnya.
Karena efeknya yang sangat lembut pada retina, sama sekali tak kami sadari
bahwa dalam beberapa detik berikutnya garis itu sebenarnya telah menjadi
sapuan sinar teramat tajam yang membuat segenap wujud di depan kami tampak
bahkan lebih nyata dari manifestasinya di siang hari. Pahatan indah kulit-kulit
kerang yang berserakan, buih-buih gelombang yang pecah berpendaran, terumbu
karang tak terperikan. Sungguh, semesta wujud di sekeliling kami telah
menjelma begitu sempurna. Segalanya hadir tanpa bayangan. Dalam gelimang
cahaya seperti itu sampai-sampai hampir kami semua lupa bahwa di dunia ini
memang pernah ada malam.
Ketika itu garis cahaya yang telah menyerap segenap ketakjuban kami pun telah
menjadi sebentuk sabuk permata raksasa yang mendekap lautan. Di depan kami,
kini menjelmalah serupa hologram jalan raya maha licin dan terang-benderang

yang siap menghantarkan manusia ke tempat segala tujuan. Entah berapa lama
setiap pasang mata kami yang menyaksikan kenyataan itu sama sekali tak kuasa
mengerjap, sebelum masing-masing akhirnya menitikkan air mata bahagia.
Seperti yang secara rahasia telah diwariskan turun-temurun di antara mereka
yang hidup menderita, itulah peristiwa penuh kemuliaan yang hanya terjadi
selama beberapa saat saja dalam setiap seribu tahun. Ialah munculnya Garis
Milenia, satu-satunya pedoman mengenai arah bagi mereka yang hendak
berlayar menuju Negeri di Balik Bulan.
Maka, gegap-gempitalah puja-puji dan sorak-sorai kami mengawali perjalanan
panjang itu. Diiringi suara mesin kapal yang menderu dan bunyi yang terus
mendengung panjang saling bersahutan, kafilah kami bergegas. Kapal kami
bertolak ke arah barat, dituntun oleh kemilau garis mukjizat yang
membangkitkan segenap gairah bahagia manusia itu. Setelah beberapa mil baru
kami sadari bahwa ternyata bahkan kami tak sempat lagi menengok ke belakang
untuk sekedar mengucapkan "selamat tinggal" pada Pelabuhan Teluk Malina,
tempat di mana seluruh penderitaan telah kami kubur untuk selama-lamanya.
Ketika segenap keajaiban yang telah melenyapkan setiap ingatan dan kata-kata
itu akhirnya mendadak berpendar tanpa bekas, tubuh kami serasa serakan
lembaran-lembaran kapas yang baru saja mendarat setelah melayang-layang
mengarungi nun berlapis langit. Untuk beberapa saat, mata kami hanya bisa
lamat-lamat memandangi guratan-guratan kusam berwarna merah di ufuk timur
yang kemudian kami kenali kembali sebagai pertanda terbitnya fajar. Namun,
bersamaan dengan berhembusnya angin pagi yang pertama dan riak ombak yang
memecah menerpa badan kapal, kini hati kami telah sepenuhnya diliputi rasa
damai dan sentosa. Dan tahukah kamu? Yang perlu kami lakukan selanjutnya
tinggallah berlayar dan terus berlayar mengikuti arah peredaran matahari dan
rembulan.
Kami tak akan pernah kurang suatu apa. Seperti sudah kami buktikan sendiri,
setiap kali berlabuh, masyarakat di mana kami singgah bukan cuma telah
mengenali kami. Mereka selalu menjemput kami dengan segala kebesaran, tepat
di bibir pantai tempat kapal kami merapat.
Selamat datang, para musafir agung.

Serangkaian perjamuan sebagai ungkapan penghormatan paling tulus pun


senantiasa terhidang dalam kelimpahan tiada tara selama persinggahan kami, di
mana saja.
Meski telah kutekan-tekan begitu rupa, keheranan itu sempat terlontar juga.
Kami telah menunggu Anda sejak beratus generasi yang silam, secara turuntemurun, jawab mereka.
Tepatnya, sejak nenek moyang kami menyambut para pendahulu Anda sekalian,
seribu tahun yang lalu.
Tuhan Yang Agung, puji seseorang di antara kami.
Kehadiran Anda adalah isyarat akan terpeliharanya kesejahteraan hidup kami
dan anak cucu kami selanjutnya. Hanya karena nasib telah menentukan bahwa
kami tidak bisa bergabung dengan Anda, maka kami menahan diri untuk tidak
turut serta. Tapi, ijinkanlah kami mengantar Anda sekalian dengan sekadar
perbekalan yang mungkin diperlukan sampai tempat persinggahan berikutnya,
pinta tetua mereka begitu kami berpamitan. Di atas geladak pun termuatlah
segala yang kami butuhkan untuk masa hingga terbitnya sekian bulan purnama
berikutnya.
Bunga, maka seluruh pengalaman pelayaran mengikuti garis takdir itu sungguh
tak terperikan menakjubkannya.
Kadang terlukis juga dalam anganku, seandainya saja aku bisa menempuh
perjalanan kudus ini bersamamu. Memang, ketika hendak berangkat, di
perbatasan kota ada saja orang-orang yang meneriaki kita sebagai dua anak
manusia yang bebal. Sebagian lagi hanya mengurut dada iba, sementara yang
lain berdoa. Tapi ada juga yang bersorak: Bravo... Go west young happy couple;
just go to where God keep his promise.
Lalu, dari Pelabuhan Teluk Malina itu, kapal kita pun melaju, menembus langit
harapan. Kita berpelukan di ujung haluan, menyongsong samudera yang
menggelora. Bintang-bintang berkedipan setengah terpejam karena iri dan ikanikan pun terpaku di balik karang, mengintip betapa setiap helaan nafas dan
aliran darah kita begitu sempurna menyatu. Meski akan ada jutaan peristiwa
yang mengharu-biru, pelukan kita tak akan pernah melemah, hingga para

malaikat terharu dan Tuhan tak lagi mengijinkan kita tersentuh bahaya.
Kita akan terus erat berdekapan sebagai sepasang kekasih yang setiap sel tubuh
masing-masing begitu merindukan pasangannya, yang jiwa masing-masing
selalu telanjang, saling merangkum dan memenuhi lainnya. Cinta adalah hasrat
untuk memberi dan kesediaan untuk menerima seutuh-utuhnya, setulusnya, apa
adanya. Dan kekuatan tak terperikan itulah yang telah mempersatukan kita.
Berdua kita pun tak hendak berhenti menghayati penaklukan puncak-puncak
gelombang paling indah yang bisa dialami sepasang cucu Adam dan Hawa yang
saling mendamba.
Maka di suatu fajar yang cerah, ketika kita begitu tenang saling menatap di
bawah keteduhan sebuah kota tempat kita istirah, lahirlah anak kita yang
pertama. Seorang anak yang kelak akan selalu bertanya dengan mata berbinar
dan kita menjawab segalanya dengan penuh suka-cita. Kita akan menyelimutinya
dengan segenap cinta, membimbingnya dengan seluruh harapan dan
menopangnya dengan berlaksa-laksa doa dan airmata. Kita tak henti
memperhatikan setiap langkah kaki dan gerak bibirnya yang mungil.
Mama, Mama, itu apa, Ma? tanyanya padamu.
Oh, itu bunga, sayang, jawabmu. Indah bukan?
Horeee, bunga, bunga. Indaah sekali, Ma....., ia bersorak riang. Aneka warna
kupu-kupu ikut tertawa-tawa ria mengitarinya.
Kelak kamu juga harus memiliki hati yang indah, seindah hati ibumu, aku
membelainya. Dan ia menari dan bergelayutan manja di pangkuan kita.
Yang itu apa, Pa?
Itulah matahari, sumber kehidupan.
Horee, mataharii..., ia pun menyanyi.
Yang itu?
Itulah bulan, sayang, jawabmu syahdu. Ialah lambang kesetiaan. Siapa pun yang
setia pada prinsip dan keyakinan dirinya, dia akan mempesona seperti bulan.
Betul, Pa? Bisakah kita ke sana?

Kita bahkan sedang menuju Negeri di Balik Bulan.


Horee, horeee..... Jadi kita akan bertemu para bidadari yang cantik-cantik itu,
Pa? Jadi, kita juga akan memetik harpa para dewa, Ma? Sungguh?! Engm,...
kalau yang itu, apa?
Yang biru membentang dan menggelora itu? Laut, Sayang. Ia amat dalam. Tapi,
kamu harus tahu, masih lebih dalam lagi cinta yang telah melahirkanmu. Lagilagi sepasang tangannya yang mungil itu ditepuk-tepukkannya gembira. Kini
ganti tanganmu yang membelainya.
Tapi, itu siapa, Ma?
Ooh, anakku, itulah orang-orang dan anak-anak yang malang, Sayang. Orangorang menyebut mereka kaum gelandangan. Makanya, jadilah anak yang cerdas,
penuhilah hatimu dengan cinta dan kasih sayang, supaya kelak kamu bisa
menolong mereka.
Ya, Mama, matanya berkaca-kaca. Kita pun menciumnya haru dan mesra, kita
berciuman haru dan mesra. Dan dunia pun terkesima. Lalu, kita melanjutkan
perjalanan di bawah naungan langit yang kian luas mengembang. Sementara
kebahagiaan kian penuh mengisi cakrawala.
Betapa pun kini kau tak ada bersamaku. Lagi pula, tanpa pertengkaran dan
perpisahan itu, mustahil pula rasanya kini aku berada di tengah kafilah para
musafir ini. Bungaku, sungguh, sebelum meninggalkan Pelabuhan Teluk Malina
dulu, keadaan seperti ini membuat hatiku demikian pilu. Bahwa akhirnya kita tak
bisa hidup bersama adalah luka yang nyaris tak tertanggungkan pedihnya. Hanya
kekuatan suci cintalah yang telah memberiku tenaga untuk bertahan dan
membiarkan anak panah yang entah telah dibidikkan oleh tangan siapa terus
menghunjam di dadaku. Kuhayati seluruh rasa sakitnya, tanpa merintih, tanpa
mengadu, bahkan kepada Tuhan. Memang, aku tak pernah bisa berhasil dengan
sempurna. Itulah sebabnya, aku terpaksa melukis sebagian cabikan luka itu
dengan darah yang menetes dari sana, kutulis rasa sakitnya menjadi puisi, dan
kusenandungkan rintihan piluku sebagai lagu.
Tapi kini, semua itu telah kutanggalkan di Pelabuhan Teluk Malina, di Kota
Lama, tempat kita bertahun-tahun terus bercumbu diam-diam tanpa mengenal

waktu. Kalau suatu hari kau sempat menemukannya kembali di suatu galeri milik
seorang teman, di toko-toko buku, atau mendengar pengamen bis kota yang
menyanyikan lukaku. Hanya itulah yang bisa kutinggalkan sebagai kenangan
untukmu. Semoga ia pun bisa menjadi hiburan bagi para kekasih yang
mengalami derita sepertiku.
Kini, aku telah tenteram dalam bentangan triliunan mil perjalanan yang akan
terus kutempuh sepanjang waktu, menuju negeri segala kedamaian, Negeri di
Balik Bulan. Beruntung aku masih menyimpan alamat kamu sehingga aku bisa
mengirim surat ini, sebagai bukti bahwa aku tetap mengenangmu. Memang, pada
akhirnya, tak ada lagi yang patut disesali. Juga apa yang telah terjadi di antara
kita.
Meski tak lagi bisa menyentuhmu, dari jauh aku senantiasa bisa mencium
kembali setiap aroma yang dulu kunikmati dari segenap pori-pori tubuhmu.
Bungaku, cinta yang suci memang tetap indah untuk dikenang. Ia abadi. ***
posted by imponk | 10:13:40 AM

MONDAY, APRIL 05, 2004

Kopi Seledri
Cerpen Sandiantoro
Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti
secangkir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan
terompet Miles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah?
Hidup kita memang penuh kenangan. Sebuah kisah sambung-menyambung
dengan kisah lain. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga kita
selalu menginginkan kenangan itu datang lagi. Kadang pula tercabik di sana-sini,
dan meninggalkan perih yang mengiris. Aku ingin menjadi bagian dari kenangan
itu, sepotong scene dalam kehidupanmu tanpa harus tahu akan kau letakkan di
mana intro, reffrain, atau ending? Atau mungkin menjadi bagian interlude yang
bisa timbul-tenggelam?
Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di

saat malam sangat senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas.
Kenangan sering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu
saja. Atau mungkin beringsut, ngendon sekian lama, membentuk sebuah gambar
di bingkai kaca, dan melambai-lambai bak fatamorgana. Kenangan memang
maya, tapi kita sering ditarik dalam alam nyata.
Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang
pernah ada, membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir
mungil kopi seledri. Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih
tertinggal di ujung lidah. Bersama pendar-pendar bola matamu yang kadang
tampil malu-malu. Bersama sekulum senyummu yang selalu dirindukan. Aku
hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena pertemuan sudah menjadi
sesuatu yang asing.
Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu
adalah bening. Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. "Aku
ingin bertemu denganmu besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku.
Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di
mana?"
Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar
pertama setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tmpt
biasanya. Pokoknya sore selepas kerja."
Pertemuanku dengan Maya memang sederhana, bahkan sangat sederhana.
Pertemuan antara dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan
kembali dipertemukan oleh waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat,
tanpa kita pernah merasa kalau kita sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa
yang hanya bisa dikhayalkan, akhirnya bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti
pertemuan dua muka, pertemuan dua telapak tangan, yang selama ini mungkin
hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya
mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak
bisa ditebak dan tak terukur.
Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena

takdir itu sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga
perasaan (yang tersimpan bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu
menghadirkan kembali di saat yang tepat. Sebuah takdir yang mampu membuat
sebentuk pertemuan indah seperti pertemuan mentari dan batas cakarawala yang
selalu menawarkan keindahan berbeda, saat pagi dan senja, dari hari ke hari.
Maya menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan
seorang bankir pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan bankir lebih
terjamin hidupnya, banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa:
dekat wak haji bisa jadi santri, dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di
bank berarti mandi uang. Tak peduli itu uang orang. Busyet!
Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari
langit temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik
merah-jingga di ufuk barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang
melambai dan membentuk kotak-kotak keemasan di atas tanah. Aku pun
membayangkan apa yang kau lakukan di sore yang indah ini? Apakah wajahmu
sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu? Ataukah
masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan berkata-kata?
Aku dan Maya punya tempat favorit. Sebuah kafe taman di kota ini. Tempat
duduknya di ujung kanan, bukan paling pojok tapi nomor dua dari ujung, di
bawah pohon jambu air yang satu-satunya tumbuh di taman itu. Dari tempat ini
kami serasa mendapat ruang tersendiri meski jarak kursi lain tak jauh.
Di bawah pohon jambu yang tak juga tinggi, kini aku menunggu Maya,
menunggu kenangan, dengan cemas dan penuh harap. Aku hendak menelepon,
aku ingin memastikan pertemuan ini. Nomor ponselnya sudah tertera di layar.
Namun dalam batin terjadi perang antara ya dan tidak. Akhirnya aku pencet
tombol merah, aku tak jadi meneleponnya. Aku hanya ingin dengar suaranya
langsung dengan melihat bibirnya terbuka.
Sebuah pesan singkat masuk lagi: "Aku agak telat, ada rapat kecil evaluasi.
Tunggu dulu." Menunggu sebenarnya membosankan, tetapi menunggu
kenangan adalah sebuah keasyikan. Aku segera me-replay: "Tak apa, selesaikan
dulu pekerjaanmu."

Di ujung jalan terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai
kisah hari ini. Mega-mega kuning memecah cakrawala. Sinar-sinarnya mulai
membuncah, bergelora menyergap barisan para pekerja yang menyemut di
jalanan. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin saja sedang
bergegas menjemput istrinya. Mereka tampak sekali "bernafsu" ingin
menaklukkan waktu. Mungkin mereka termasuk orang-orang yang mengkeret di
sudut mata istrinya. Mungkin pula mereka takut karena istrinya baru saja lulus
ujian sabuk hitam karate kyokushinkai. Yang jelas, mereka begitu takut dengan
waktu (dan istrinya). Semua terlihat bergegas, berburu waktu. Itulah kota ini,
ketika waktu sudah tak lagi cukup 24 jam.
Aku merasa tak pernah seperti mereka. Belum pernah aku bekerja seperti mesin
waktu, berjalan normal dari pukul 09.00-17.00 WIB. Aku tak bisa seperti mereka
ketika waktu bergerak selalu sama dari hari ke hari. Aku punya putaran waktu
sendiri.
Waktu terus beringsut hingga berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya
mentari mulai meredup digantikan sinar-sinar elektronik. Udara sedikit sejuk.
Aku mulai resah. Sudah hampir satu jam aku menunggu tetapi tubuh semampai
dengan balutan rok tiga perempat tak juga muncul. Aku masih ingat baunya. Ia
suka wangi Obsession. Tetapi hingga detik ini ujung hidungku belum terbetik
wangi itu. Aku tetap bertahan, sebuah pertemuan setelah tujuh tahun belum
tentu kembali terulang. Jangankan pertemuan, bertukar suara saja tidak. Kurun
sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga
dengan hidup ini, selalu berjalan antara kejutan dan kenangan.
Jantungku berdegup semakin kencang. Pantatku mulai panas. Benakku terus
dipenuhi pertanyaan: pertemuan ini jadi atau tidak? Apakah aku harus
meninggalkan tempat ini?
Aku masih bertahan, dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa
penggal telah mengabur seiring langkah yang kian menjauh. Namun tetap
menyilaukan, hingga aku tahu ke mana harus mencari titik-titik dirimu, antara
senja dan malam berbintang.

Panggung kecil di tengah resto kebun itu mulai terang. Itu tanda pemusik yang
memainkan nada-nada lembut siap beraksi. Hari itu Selasa, sebuah hari yang
sebenarnya tak begitu pas untuk membuat kenangan tujuh tahun itu menjadi
kenyataan. Tapi aku tak peduli. Aku terus menunggu, menunggu datangnya
sebuah kenangan.
Aku dan Maya punya bayangan yang sama tentang masa lalu. Memendam
kekaguman tanpa harus banyak bicara. Menyimpan rasa tanpa harus tahu ke
mana jejaknya akan pergi. Tetapi apakah sebuah kekaguman itu harus
dibicarakan? Aku rasa tidak. Rasa akan dijawab dengan rasa, jiwa akan dibalas
dengan jiwa. Aku tak ingin orang lain menjadi elemen ketiga dari rasa kita, jiwa
kita. Bukankah ini adalah rasa kita berdua? Bukankah ini jiwa kita berdua?
Sebuah kekaguman, keinginan, rasa, dan jiwa yang kemudian dipertemukan. Aku
ingin menikmati semuanya ini berdua, dengan rasa, dengan jiwa. Tanpa curiga,
dan tanpa orang lain yang kadang tak paham dengan dunia kita.
Aku memesan kopi seledri, minuman kesukaan Maya. Selama ini bayangku
tentang Maya hanya tertumpah dalam satu bentuk: kopi seledri. Aneh memang,
tapi itulah kopi yang membuatku ingat padanya. Juga dengan kejap matanya
ketika menghirup kepul uapnya. Sebenarnya itu adalah coffee mint. Tetapi ia
lebih suka menyebutnya kopi seledri. Mungkin karena bentuk daun mint lebih
mirip daun seledri.
Aku mulai tak sabar. Sayup-sayup terdengar intro Kenangan, lagu Bebi Romeo
ketika ditinggal kekasihnya. Aku kirim SMS padanya: "Sudah sampai mana? Brp
lama lagi aku harus menunggu?" Tak ada sepotong pun jawaban.
Mungkinkah dia terjebak macet hingga dua jam? Apakah rapat kantornya terlalu
serius untuk diakhiri? Atau dia ditimpa kecelakaan lalu lintas? Dengan cepat aku
menghapus bayangan buruk itu. Aku sahut cangkir, dan aku minum tiga teguk
sekaligus.
Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari
balik awan hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu
kuning benar meski bukan saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih
yang mengikuti ke mana pun dia pergi. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan

sebuah keindahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku
pun bertanya-tanya, apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Aku pun
kembali bertanya, apakah di sana juga ada dua insan yang menyimpan kenangan
dan memendam rindu?
Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan
membuka games di ponsel. Aku memilih snake, aku ingin memperbaiki rekor
yang masih 710. Tetapi pikiranku sudah telanjur kacau. Angka yang tercatat tak
pernah lebih dari 400 sebelum game over.
Aku sudah benar-benar tak sabar. Penat dan gerah sudah semakin tak mampu
kutahan. Batinku seakan mau marah. Ingin sekali aku meneleponnya dan
memakinya sekalian. Tapi selalu tertahan. Haruskah aku marah pada sebuah
kenangan yang indah? Amarah itu surut diterpa kelebat bayangmu, dengan
rambut tersibak bak iklan shampo.
Kopi seledri di hadapanku tinggal separo. Aku semakin gelisah, ditingkahi
amarah. Apakah dia akan mempermainkanku sekali lagi? Aku pandangi lekatlekat keramik broken white dengan garis hijau di sampingnya. Masih sama persis
dengan tujuh tahun lalu. Bentuknya manis, tapi aku tak yakin itu bikinan FX
Wijayanto.
Darahku kembali naik ke otak. Hatiku mulai panas, tak seperti sisa kopi ini yang
semakin dingin. Crazy milik Julio Iglesias yang mengalun lembut tak mampu
melunakkan hatiku. Akhirnya aku kirim SMS lebih keras: "Kita jadi bertemu atau
tidak?" Aku tunggu beberapa saat. Tak ada jawaban. Batinku menjadi hening,
pikiranku melayang-layang. Semua panca inderaku seperti dikepung bayangan
Maya. Muncul kerlip sesaat, dengan cepat kubuka, ternyata hasil report dari
pesan yang lalu.
Aku masih menunggu dengan rona muka yang tak lagi secerah sore tadi. Waktu
terus berputar. Tak juga ada jawaban.
Anganku buyar. Aku memandang sesaat kursi kayu di depanku, tempat duduk
Maya tujuh tahun lalu, juga kopi seledri yang tinggal seteguk lagi.

Ponselku kembali bergetar. Aku tahu itu dari dia, mungkin tinggal beberapa
langkah lagi ia akan di depanku. Dengan sigap aku buka inbox. Betul dari dia.
Dunia benar-benar gelap. Aliran darah seakan berbalik arah. Seribu tanya yang
berkubang di kepala berubah menjadi beku. Ia menulis singkat: "Aku tak jadi
bertemu, itu selingkuh." (*)

Anda mungkin juga menyukai