Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Dalam contoh kasus tindak pidana, seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya,
tentunya pihak penyidik tidak akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi barang bukti yang
salah satu atau beberapa diantaranya dapat dijadikan sebagai alat bukti, yang selanjutnya akan
diperiksa dalam sidang pengadilan. Akan tetapi, apabila kasus tindak pidana tersebut berkaitan
dengan timbulnya luka, terganggunya kesehatan maupun kematian, maka persoalannya tidak
sesederhana seperti pada contoh kasus diatas.
Oleh karena luka, terganggunya kesehatan pada suatu saat akan sembuh atau bahkan kemungkinan
menjadi lebih parah. Demikian halnya dengan korban yang meninggal, juga harus selekasnya dikubur.
Untuk mengungkap secara hukum, tentang benarkah telah terjadi tindak pidana serta apa
sesungguhnya penyebabnya dan dengan alat apa perbuatan pidana itu dilakukan, diperlukan alat bukti
yang konkrit pada saat terjadinya tindak pidana yang bisa dipertanggung jawabkan secara yuridis.
Contohnya adalah dalam tindak pidana abortus provokatus kriminalis.
Dalam tindak pidana abortus provokatus kriminalis, jelas Hukum Pidana maupun Hukum Acara Pidana
sebagai disipilin ilmu tentang hukum, akan mengalami kesulitan dalam memecahkan kasus tersebut.
Hal ini dikarenakan, perbuatanabortus provokatus kriminalis tidak hanya terkandung aspek yuridis
semata, melainkan juga aspek teknis dan aspek manusia.
Abortus provokatus kriminalis sebagai suatu persoalan teknis, tentunya membutuhkan peran disiplin
ilmu lain, yang mampu membuktikan secara teknis hubungan kausalitas antara perbuatan dengan
akibat yang ditimbulkan dalam kaitannya dengan bukti-bukti yang lain. Adapun disiplin ilmu yang
dimaksud adalah Ilmu Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik merupakan cabang ilmu
kedokteran yang memanfaatkan Ilmu Kedokteran dan ilmu lain yang terkait untuk kepentingan
penegakan hukum.
VISUM ET REPERTUM
Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada
tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan
pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum. Oleh karena pembuktian merupakan bagian
dari proses peradilan pidana, maka tata cara pembuktian tersebut terikat pada Hukum Acara Pidana
yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun 1981. Dalam pasal 183 Undang-Undang nomor 8
tahun 1981 dinyatakan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dari bunyi pasal 183
Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 kiranya dapat dipahami bahwa pemidanaan baru boleh
dijatuhkan oleh hakim apabila : Terdapat sedikitnya dua alat bukti yang sah.
Dua alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang telah terjadinya perbuatan pidana.
Dan perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa. Alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat
1, Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 adalah : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,
Petunjuk, dan Keterangan terdakwa.
PENGERTIAN

Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai laporan tertulis yang dibuat dokter
berdasarkan sumpah atas permintaan yang berwajib untuk kepentingan peradilan tentang segala hal
yang dilihat dan ditemukan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah
meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan
atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang
kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik.
Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang
melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang menegaskan dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. selanjutnya dalam ayat (2)
Permintaan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu
disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat. Ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan (2) ini biasa dikenal dengan permintaan keterangan
ahli yang dituangkan dalam laporan atau visum et repertum yang meskipun dalam ketentuan KUHAP
tidak menjelaskan tentang kata visum et repertum hanya didalam Lembaran Negara tahun
1973 No.350Pasal 1 dan Pasal 2 yang menyatakan bahwa Visum et Repertum adalah suatu
keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada
benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.
Meskipun tidak ada keseragaman format, namun pada umumnya Visum et Repertum memuat hal-hal
sebagai berikut:
Visum et Repertum terbagi dalam 5 bagian:
1. Pembukaan : Kata Pro justisia untuk peradilan, Tidak dikenakan materai, Kerahasiaan
2. Pendahuluan: berisi landasan operasional ialah obyektif administrasi:
Identitas penyidik (peminta Visum et Repertum, minimal berpangkat LETNAN DUA atau INSPEKTUR
DUA)
Identitas korban yang diperiksa, kasus dan barang bukti
Identitas TKP dan saat/sifat peristiwa
Identitas pemeriksa (Tim Kedokteran Forensik)
Identitas saat/waktu dan tempat pemeriksaan
3. Pelaporan/inti isi:
Dasarnya obyektif medis (tanpa disertai pendapat pemeriksa)
Semua pemeriksaan medis segala sesuatu/setiap bentuk kelainan yang terlihat dan diketahui
langsung ditulis apa adanya (A-Z)
4. Kesimpulan: landasannya subyektif medis (memuat pendapat pemeriksa sesuai dengan
pengetahuannya) dan hasil pemeriksaan medis (poin 3)
Ilmu kedokteran forensik
Tanggung jawab medis
5. Penutup: landasannya Undang-Undang/Peraturan yaitu UU no.8 tahun 1981 dan LN no.350 tahun
1937 serta Sumpah Jabatan/Dokter yang berisi kesungguhan dan kejujuran tentang apa yang
diuraikan pemeriksa dalam Visum et Repertum tersebut.
VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang

berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana).
Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah
dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.
Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-rendahnya
Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat permintaan
itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan catatan atas nama.
Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan
untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam
bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).
Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukakan isi
VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak
polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada
khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan
untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detaildetailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang
diotopsi).
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam
sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini
sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai
dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai
benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.
Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka rahasia
mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah
jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah
yang diperiksanya.
Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah diambil
sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan
sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan
sumpah.
Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya
media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang
dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan
rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan
forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.
Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi kepentingan
umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila diperlukan kepada media
massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?).
CONTOH KASUS

Suatu contoh bagaimana akibat pengungkapan rahasia kedokteran dalam kedokteran forensik yang
berakibat buruk pernah benar-benar terjadi lebih kurang 10 tahun yang lalu. Sesosok jenazah tanpa
kepala akhirnya berhasil diidentifikasi positif oleh dokter forensik sebelum kepalanya ditemukan,
bahwa memang benar ia adalah, sebut saja, Tuti. Ketika ibunya dipanggil oleh dokter tersebut, ia pun
mengiakan berdasarkan ciri-cirinya bahwa ia adalah si Tuti, putrinya.
Ternyata kemudian ada seorang dokter forensik lain yang membocorkan kepada media massa suatu
rahasia kedokteran sensitif yang seharusnya ia pegang teguh, yang terbukti kemudian karena media
massa lalu mengungkapkan kepada publik bahwa si Tuti adalah pelaku anal seks alias sodomi.
Akibatnya sangat fatal.
Pada hari itu juga ibu si Tuti datang kembali dan menyatakan bahwa jenazah itu bukan anaknya dan
akibatnya ternyata ia tidak bersedia mengambil jenazah itu untuk memakamkannya. Beruntung,
akhirnya dengan menggunakan teknik radiografi (pemeriksaan kerangka dengan membuat foto-foto
rontgen) dengan melibatkan bantuan seorang guru besar di bidang radiologi (ilmu pemeriksaan
dengan sinar-x) maka hasil pemeriksaan kerangka secara radiografis dapat dibandingkan dengan foto
rontgen yang pernah dibuat di suatu rumah sakit sewaktu si Tuti masih hidup. Ternyata foto rontgen
kerangka jenazah sama benar dengan foto rontgen si Tuti semasa masih hidup. Hal ini membuktikan
dan memastikan secara positif bahwa jenazah itu memang si Tuti, maka akhirnya ibu tersebut tidak
dapat menyangkal lagi bahwa jenazah itu bukan putrinya. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa pembocoran rahasia kedokteran dalam pemeriksaan jenazah bukan saja merugikan nama baik
jenazah dan ang-gota-anggota keluarganya, tetapi juga dapat menimbulkan masalah berat lain seperti
yang terjadi pada kasus jenazah si Tuti tersebut.
Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang telah
dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang bernyawa, yang
mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan tertentu,
seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum kerabat
lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat
mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang
masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik.
Sesuatu yang memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan
berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.
Apalagi informasi yang sensitif dalam suatu kasus sudah sempat dikemukakan kepada pers oleh
dokter forensik, insan pers tidak dapat dipersalahkan karena menyebarluaskan suatu berita, sebab
sudah menjadi naluri atau kebiasaan untuk menulis apa yang dianggapnya akan sangat menarik
perhatian khalayak pembaca.
Oleh karena itu, perlu dijelaskan bahwa dalam setiap pemeriksaan jenazah/ otopsi, dokter yang
bersangkutan selalu mencatat semua temuannya dalam apa yang lazim disebut Laporan Obduksi
(Laporan Otopsi Medikolegal) yang berisi keseluruhan temuan yang diperoleh dari pemeriksaan
jenazah. Hampir seluruh Laporan Obduksi dimasukkan dalam VER, kecuali keadaan yang bersifat
sangat pribadi, misalnya keadaan alat kelamin jenazah yang tidak ada relevansinya, kecuali dalam
kasus-kasus tertentu, misalnya perkosaan. (sumber : Koran Kompas, 27 Oktober 1997)
AUTOPSI (bedah mayat) terbagi menjadi dua jenis, yaitu autopsi medikolegal dan autopsi klinik.
autopsi yang dilakukan pada A adalah autopsi medikolegal, yaitu dilakukan dalam rangka penyidikan
pihak kepolisian untuk mencari penyebab kematian serta mencari segala informasi mengenai hal-hal
yang terjadi pada korban di sekitar waktu kematian, misalnya untuk memastikan apakah korban
meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, dianiaya atau dibunuh. Jadi meskipun ada dugaan

overdosis, kepastian baru diperoleh setelah autopsi dan pemeriksaan toksikologi (mendeteksi adanya
racun atau obat-obatan dalam tubuh), serta harus ditentukan apakah overdosis terjadi akibat tindakan
korban sendiri atau ada orang lain yang melakukannya. Pemeriksaan luar saja, tanpa bedah mayat,
biasanya tidak cukup untuk memperoleh informasi yang lengkap.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 133-134, pihak kepolisian
adalah yang berwenang menentukan jenis pemeriksaan apa yang harus dilakukan terhadap mayat dan
meminta dokter forensik untuk melaksanakannya melalui Surat Permintaan Visum et Repertum. Oleh
karena itu dokter forensik dan rumah sakit tidak dapat menolak permintaan dari kepolisian hanya
berdasarkan keberatan dari pihak keluarga. Kepolisian memang memiliki kewajiban untuk
memberitahukan perlunya autopsi dan memberi penjelasan sejelas-jelasnya kepada keluarga. Jika
keluarga merasa keberatan dan kepolisian menganggap autopsi tidak diperlukan maka akan dibuat
Surat Pencabutan Permintaan Visum et Repertum. Namun demikian, jika kepolisian menganggap perlu
dan tidak dapat dihindari lagi, autopsi tetap dilakukan meskipun ada keberatan dari keluarga.
Dokter forensik yang menerima permintaan dari kepolisian untuk melakukan pemeriksaan dan
menjadi saksi ahli dalam perkara. Kesaksian ahli diberikan dalam bentuk laporan hasil autopsi
(Laporan Visum et Repertum) dan jika perlu kesaksian ahli di pengadilan. Hasil autopsi akan
diserahkan oleh dokter/rumah sakit kepada pihak kepolisian. Jika penyidikan masih berlangsung
biasanya masih berstatus rahasia, namun jika perkara sudah sampai ke pengadilan maka informasi
tersebut bisa diakses oleh pihak lain, termasuk pihak tersangka (jika ada) atau keluarga.
Oleh : Fanny Raharjo Arianto, S.H. (Alumni Fakultas Hukum Universitas Surabaya, angkatan 2004,
sedang mengikuti Program PKPA Pendidikan Khusus Profesi Advokat angkatan ke -2 di Universitas
Surabaya, kerjasama dengan Fakultas Hukum Ubaya dan AAI DPC Sidoarjo)

Anda mungkin juga menyukai