Anda di halaman 1dari 4

Apa yang Sesungguhnya Terjadi?

Posted on Oktober 19, 2012 by Reza A.A Wattimena

blogspot.com
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar
di Bonn, Jerman
Sekitar dua ratus tahun yang lalu, dunia berada di bawah telapak kaki
Eropa Barat. Hampir semua bangsa masuk ke dalam genggaman
kolonialisme, atau penjajahan, bangsa-bangsa Eropa Barat. Kekayaan
alam dikeruk habis, dibeli dengan harga murah, bahkan dirampas, lalu di
bawa ke negara-negara Eropa Barat. Di dalam proses itu, bangsa yang
menjadi korban kolonialisme tenggelam dalam kemiskinan, perang
saudara, dan penderitaan yang panjang serta dalam.
Kerajaan Inggris pada masa itu memiliki jajahan di lima benua. Di
belakangnya menyusul Prancis, Spanyol, Portugal, Belanda, dan Jerman.
Apa yang baik dan beradab dibuat berdasarkan nilai-nilai mereka. Segala
hal yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka dianggap barbar, tidak
beradab, maka perlu untuk ditaklukkan. Semboyan yang berkibar kencang
pada masa itu adalah gold (emas), gospel (Injil Kristiani),
dan glory (kejayaan).

Kolonialisme, yakni proses untuk menjadikan bangsa lain sebagai budak


ekonomi, politik, dan kultural dari bangsa lain yang merasa diri lebih
perkasa, rontok pada awal abad 20. Dua perang dunia menghantam
Eropa, melenyapkan ratusan juta nyawa, dan memberi kesempatan bagi
bangsa-bangsa terjajah untuk bangkit merdeka. Indonesia adalah salah
satunya.
Abad 20
Banyak bangsa yang menemukan kemerdekaan politiknya pada
pertengahan abad 20. Secara politik institusional, mereka lepas dari Eropa
Barat. Namun, ada yang tersisa di situ, yakni mentalitas bangsa terjajah
yang masih mengendap di dalam cara berpikir dan pola perilaku bangsabangsa eks koloni tersebut. Hal ini paling tampak dalam soal pendidikan.
Kurikulum pendidikan, terutama di Indonesia, masih mengikuti pola
pendidikan kolonial yang mengedepankan pendidikan tukang, yakni
pendidikan teknis, yang hampa dalam soal kemampuan berpikir kritis
(mempertanyakan secara logis dan rasional apa yang sedang terjadi) dan
analitis (memecah masalah ke dalam bagian-bagian kecilnya, lalu
menyelesaikannya satu per satu). Sastra, filsafat, dan humaniora, yang
justru mengembangkan pola berpikir kritis, kreatif, dan analitis, dianggap
sampingan dari kurikulum pendidikan bangsa-bangsa eks koloni, termasuk
Indonesia. Penyakit pendidikan ini masih ada, sampai sekarang.
Setelah nyaris hancur total pada akhir perang dunia kedua, Eropa
berusaha berbenah diri. Namun, mereka kecolongan. Amerika Serikat
bangkit sebagai kekuatan ekonomi, politik, dan militer dunia yang baru.
Hal ini terjadi pada pertengahan abad 20, sampai sekarang. Saya
tergelitik untuk menyebut fenomena bangkitnya Amerika Serikat ini
sebagai Eropa yang Baru (The New Europe).
Di negara-negara eks koloni, pada pertengahan abad 20, termasuk
Indonesia, ada kesan, bahwa kemerdekaan sudah ada di tangan mereka.
Namun, kesan itu salah, karena dalam banyak hal, seperti ekonomi,
pendidikan, bahkan politik, campur tangan negara-negara Eropa Barat,
kali ini ditambah dengan Amerika Serikat, masih amat kuat
mencengkram. Dalam konteks ini, kemerdekaan hanya keseolah-olahan.

Kolonialisme Baru?
Dalam soal tata nilai kehidupan, hal yang sama pun terjadi. Apa yang
baik, ilmiah, dan benar selalu tetap mengacu pada Eropa Barat dan AS.
Apa yang indah dan apa yang beradab juga tak luput dari kriteria yang
seringkali dibuat secara sewenang-wenang oleh Eropa Barat dan AS. Ini
terjadi di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, seni, arsitektur, bahkan
cara berpakaian sehari-hari. Pengaruh ini tertanam begitu dalam, sampai
tak lagi menjadi bagian dari kesadaran masyarakat umum.
Sebenarnya, cukup banyak orang menyadari hal ini. Namun, mereka tak
berdaya, karena segala perlawanan berarti menentang kultur dominan,
dan dengan mudah dicap sebagai tak beradab, atau bahkan lebih
parah, yakni diktator. Para penguasa politis yang mencoba untuk
mendapatkan pembagian kapital yang adil dari kerja sama dengan
perusahaan-perusahaan asing asal Eropa dan AS, sebagai pengelola
sumber daya alam mereka, seringkali dicap sebagai anti-investasi. Jika
sebuah negara sudah dicap diktator dan anti investasi, maka yang
berikutnya adalah kebijakan embargo ekonomi, isolasi politik, dan
akhirnya keruntuhan negara tersebut. Ini pola penaklukan politik yang
banyak terjadi dari pertengahan abad 20, sampai sekarang.
Di dalam teori-teori neo-Marxisme, pola semacam ini disebut sebagai
hegemoni, yakni penguasaan tidak hanya dengan senjata, tetapi juga
dengan jalan-jalan penaklukan kultural. AS dan Eropa Barat tidak hanya
bangga mempertontonkan keunggulan militer mereka, tetapi juga
keunggulan kultur mereka melalui pendidikan, film, seni, dan musik,
misalnya melalui Hollywood sebagai sarana penyebaran nilai-nilai AS. Ini
semua terjadi untuk memberikan pembenaran kultural sekaligus militer
atas apa yang terjadi, yakni kolonialisme dalam bentuknya yang baru,
atau kolonialisme global abad 21.
Polanya tetap sama, yakni kesejahteraan negara-negara maju di abad 21
dibayar dengan kemiskinan, pembodohan, serta penderitaan negaranegara lainnya di dunia. Memang, kolonialisme yang dulu tak lagi tampak,
karena negara-negara eks koloni terlihat sudah merdeka. Namun,

kolonialisme global abad 21 ini bermain dengan hegemoni, sehingga tak


terlihat mata, namun terasa sekali dampak-dampak merusaknya. Di
tengah situasi ini, masih adakah jalan untuk melakukan perubahan, untuk
memperbaiki keadaan?
Kontra Hegemoni
Tentu saja, hegemoni haruslah dilawan dengan kontra hegemoni. Langkah
pertama adalah dengan menyadari, bahwa pola pikir dan perilaku kita
masuk dalam hegemoni dari negara-negara dengan kekuatan politik
dominan di dunia. Setelah itu, kita perlu membangun ideologi yang utuh
untuk menyatukan negara-negara eks koloni. Dalam arti ini, ideologi
bukanlah kesadaran palsu, sebagaimana dinyatakan oleh para pemikir
Marxisme, melainkan sebagai suatu sistem berpikir dan cara pandang
yang utuh tentang dunia, yang membebaskan bangsa-bangsa eks koloni
dari kolonialisme global abad 21.
Ideologi tersebut perlu untuk disuarakan oleh seluruh pemimpin bangsabangsa di dunia. Tujuan dasar dari ideologi tersebut adalah untuk
membangun kekuatan serta kesadaran bersama, guna menciptakan tata
dunia global yang lebih adil, yang tidak semata hanya menguntungkan
sebagian kelompok, sambil merugikan kelompok lainnya, tetapi mampu
sedapat mungkin memberikan kesejahteraan yang merata untuk
seluruh dunia. Ideologi tersebut diikuti dengan pendekatan politis yang
bersahabat, dan tidak dengan kampanye politik agresif.
Saya pikir, sudah waktunya kita membangun ideologi alternatif semacam
itu.

Anda mungkin juga menyukai