blogspot.com
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar
di Bonn, Jerman
Sekitar dua ratus tahun yang lalu, dunia berada di bawah telapak kaki
Eropa Barat. Hampir semua bangsa masuk ke dalam genggaman
kolonialisme, atau penjajahan, bangsa-bangsa Eropa Barat. Kekayaan
alam dikeruk habis, dibeli dengan harga murah, bahkan dirampas, lalu di
bawa ke negara-negara Eropa Barat. Di dalam proses itu, bangsa yang
menjadi korban kolonialisme tenggelam dalam kemiskinan, perang
saudara, dan penderitaan yang panjang serta dalam.
Kerajaan Inggris pada masa itu memiliki jajahan di lima benua. Di
belakangnya menyusul Prancis, Spanyol, Portugal, Belanda, dan Jerman.
Apa yang baik dan beradab dibuat berdasarkan nilai-nilai mereka. Segala
hal yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka dianggap barbar, tidak
beradab, maka perlu untuk ditaklukkan. Semboyan yang berkibar kencang
pada masa itu adalah gold (emas), gospel (Injil Kristiani),
dan glory (kejayaan).
Kolonialisme Baru?
Dalam soal tata nilai kehidupan, hal yang sama pun terjadi. Apa yang
baik, ilmiah, dan benar selalu tetap mengacu pada Eropa Barat dan AS.
Apa yang indah dan apa yang beradab juga tak luput dari kriteria yang
seringkali dibuat secara sewenang-wenang oleh Eropa Barat dan AS. Ini
terjadi di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, seni, arsitektur, bahkan
cara berpakaian sehari-hari. Pengaruh ini tertanam begitu dalam, sampai
tak lagi menjadi bagian dari kesadaran masyarakat umum.
Sebenarnya, cukup banyak orang menyadari hal ini. Namun, mereka tak
berdaya, karena segala perlawanan berarti menentang kultur dominan,
dan dengan mudah dicap sebagai tak beradab, atau bahkan lebih
parah, yakni diktator. Para penguasa politis yang mencoba untuk
mendapatkan pembagian kapital yang adil dari kerja sama dengan
perusahaan-perusahaan asing asal Eropa dan AS, sebagai pengelola
sumber daya alam mereka, seringkali dicap sebagai anti-investasi. Jika
sebuah negara sudah dicap diktator dan anti investasi, maka yang
berikutnya adalah kebijakan embargo ekonomi, isolasi politik, dan
akhirnya keruntuhan negara tersebut. Ini pola penaklukan politik yang
banyak terjadi dari pertengahan abad 20, sampai sekarang.
Di dalam teori-teori neo-Marxisme, pola semacam ini disebut sebagai
hegemoni, yakni penguasaan tidak hanya dengan senjata, tetapi juga
dengan jalan-jalan penaklukan kultural. AS dan Eropa Barat tidak hanya
bangga mempertontonkan keunggulan militer mereka, tetapi juga
keunggulan kultur mereka melalui pendidikan, film, seni, dan musik,
misalnya melalui Hollywood sebagai sarana penyebaran nilai-nilai AS. Ini
semua terjadi untuk memberikan pembenaran kultural sekaligus militer
atas apa yang terjadi, yakni kolonialisme dalam bentuknya yang baru,
atau kolonialisme global abad 21.
Polanya tetap sama, yakni kesejahteraan negara-negara maju di abad 21
dibayar dengan kemiskinan, pembodohan, serta penderitaan negaranegara lainnya di dunia. Memang, kolonialisme yang dulu tak lagi tampak,
karena negara-negara eks koloni terlihat sudah merdeka. Namun,