Anda di halaman 1dari 12

POKOK-POKOK PEMIKIRAN JOHN LOCKE DALAM TWO

TREATISES OF GOVERNMENT
Maret 17, 2009ilham76Tinggalkan komentarGo to comments

Pokok-Pokok Pemikiran John Locke Dalam Two Treatises Of


Government[1]
A.
Perseteruan
Intelektual
Locke
dan
Filmer
Sebelum Locke menulis Two Treatises of Government kehidupan politik Inggris dan
Perancis Abad XVII didominasi oleh wacana doktrin monarki absolut. Dalam konteks
sejarah Inggris, kelahiran doktrin monarki absolut itu merupakan jawaban terhadap
kekacauan sosial politik akibat perang saudara dan perang-perang agama yang
terjadi pada saat itu.[2]
Monarki absolut didasarkan pada kepercayaan bahwa kekuasaan mutlak raja
bersifat ilahiah dan karena itu suci. Tuhanlah yang telah menganugerahkan
kekuasaan itu kepada seorang raja. Kepercayaan ini kemudian terkenal dengan
sebutan hak-hak ketuhanan raja.[3] Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa
monarkhi absolut merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat
hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi
otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut merupakan copy
Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan cerminan
kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini.[4]
Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki absolut di
negaranya. Locke menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan
prinsip civil society yang diyakininya.[5] Dari sinilah sebenarnya letak permusuhan
intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham absolutisme
kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya Patriarcha.
[6]
Pandangan Filmer ini sangat mengunggulkan wewenang politis raja karena alasan
auctoritas paterna (wewenang selaku ayah) dari Nabi Adam yang diterimanya dari
Tuhan dan kemudian diteruskan kepada para raja.[7] Jadi, menurut Filmer, raja,
seperti Adam, menerima wewenangnya langsung dari Tuhan dan oleh karena itu
tidak bertanggung jawab kepada masyarakat atau parlemen. Apabila disimpulkan,
filsafat negara Filmer tersebut berpuncak pada dua tesis penting, yaitu (1) setiap
kekuasaan bersifat monarki mutlak, dan (2) tidak ada orang yang lahir bebas.[8]
Dua hal ini kelak ditolak oleh Locke.[9]

B.
Perjanjian
Masyarakat
Ajaran Locke tentang negara mempunyai pengaruh yang sangat besar di berbagai
belahan dunia. Konsep government by consent of the people (pemerintahan
berdasarkan persetujuan rakyat) dan paham kepercayaan (trust) rakyat kepada
pemerintah sebagai dasar legitimasinya termasuk paham-paham dasar ilmu politik
modern. Kekuasaan tidak lagi dapat menghindari pertanggungjawaban dengan
menggunakan argumen bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan
demikian, Locke mengaitkan kembali wewenang pemerintahan pada delegation,
pada penyerahan pemerintahan itu oleh mereka yang diperintah. Locke
membongkar dasar dari klaim raja bahwa kekuasaan mutlak dan tidak terbatas.
Kekuasaan politik, menurut Locke, adalah suatu keadaan alamiah (state of nature)
yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang
mengatur keadaan alamiah.[10] Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara.
Dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua
memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka.[11] Manusia
secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai
a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation.[12] Hak dasar
terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak untuk mempertahankan diri.
Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal
hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat positif dalam
memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan pendahulunya,
yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature manusia.[13]
Gagasan state of nature yang ditawarkan Locke tersebut sebenarnya tidak lebih
orisinil dibanding gagasan state of nature yang ditawarkan Hobbes yang
menggambarkan keadaan mula manusia sebagai homo homini lupus dan bellum
omnium contra omnes. State of nature dalam konsep Locke diambil dari pemikir
sebelumnya yang penuh nuansa teologis. Oleh karena itu, menurut Bertrand
Russell, state of nature dalam konsep Locke ini tidak lebih dari sekedar
pengulangan doktrin skolastik abad pertengahan.[14] Pelukisannya tentang
keadaan alamiah yang bahagia, masih menurut Russel, tidak lain merupakan suatu
pengulangan mitos klasik Alkitab mengenai kejayaan masa lampau. Dari
pandangan Locke tentang state of nature ini yang kemudian melahirkan konsep
perjanjian negara.
Sebagaimana disebut di atas, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi
hak milik pribadi.[15] Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau
untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru
untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda
besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah
milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke

menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing)
dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.[16]
Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya,
terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara.[17] Oleh karena itu, kewajibankewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan hak milik para
warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara meninggalkan
kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan itu.[18] Oleh
karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk memelihara lahir batin
kepentingan masyarakat.[19]
Dari penjelasan di atas, Locke tampak sekali telah melakukan desakralisasi
terhadap kekuasaan politik. Ia menjadikan kekuasaan politik sepenuhnya bersifat
sekuler. Artinya, kekuasaan bersifat duniawi dan sama sekali tidak berkaitan
dengan transendensi ketuhanan atau gereja. Ini merupakan perbedaan penting
gagasan kekuasaan politik Locke dengan Santo Aquinas, Thomas Aquinas, dan lainlain.
Pada tingkat ini, gagasan kekuasaan politik Locke memiliki kemiripan dengan
gagasan kekuasaan politik Hobbes. Akan tetapi, gagasan Locke banyak dinilai lebih
rasional dalam memandang hubungan kekuasaan antara rakyat dan penguasa.[20]
Menurut Locke, konstruksi membentuk negara (body Politic), sebagaimana Hobbes,
melalui perjanjian masyarakat. Perbedaannya dengan Hobbes adalah kalau dalam
perjanjian masyarakat Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian, yaitu
pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam perjanjian masyarakat
Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk
negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan).[21]
Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara),
yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara.
Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic
tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan
hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan
ini disebut pactum subjectionis (perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau
negara).
Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu
kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi
melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara
diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan
lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama, dll.[22] Hal ini boleh jadi juga
menjadi salah satu pendapat Locke yang sulit untuk dijelaskan dalam dunia
modern.

C.
Konstitusi
Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society,
Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan
negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting
sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara.[23]
Dalam
membahas
konstitusionalisme,
yang
terpenting
adalah
usaha
mempertahankan hak-hak individu untuk terus-menerus menumpuk kekayaan
pribadi sejauh tidak merampas hak-hak serupa orang lain. Jadi, konstitusionalisme
Locke tidak selalu diartikan sebagai usaha perlindungan terhadap hak-hak individu
berhadapan dengan kekuasaan (penindasan) negara.[24]
Terlepas dari perbedaan penafsiran paham konstitusionalisme, gagasan Locke ini
telah menempatkan dirinya sebagai pelopor gagasan negara konstitusional dalam
sejarah politik Barat. Pada dasarnya, gagasan konstitusionalisme ini didasarkan
pada keperluan untuk membatasi kesewenang-wenangan negara.[25]
Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara,
karena di dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hakhak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh
penguasa negara.
D.
Pemisahan
Kekuasaan
Menurut Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter[26] juga bisa dihindari
dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi
dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga.
Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke
dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif
(executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).[27]
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturanperaturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang
melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh
kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang
berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,
perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara
asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik
mengenai tugas atau fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang
menyelenggarakannya.[28] Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh
diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini dimaksudkan agar
hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.[29]
Kekuasaan legislatif, menurut Locke, tidak boleh dialihkan kepada siapa pun atau
lembaga manapun, karena pada hakikatnya kekuasaan legislatif adalah menifestasi

pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara.[30] Undang-undang yang dibuat


oleh kekuasaan legislatif bersifat mengikat kekuasaan aksekutif. Pelaksanaan
kekuasaan eksekutif tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang telah
digariskan oleh parlemen. Hal ini berarti, Locke menempatkan kekuasaan legislatif
lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif.[31]
Kemudian timbul pertanyaan, siapakah yang mengontrol kekuasaan legislatif?
Locke berpendapat bahwa yang mengontrol kekuasaan legislatif adalah hukum
kodrat yang diciptakan Tuhan demi kebajikan seluruh rakyat, menentukan apa yang
seharusnya dan tidak dilakukan legislatif misalnya tidak boleh merumuskan
undang-undang yang membatasi kebebasan, melanggar hak-hak asasi individu
atau bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh mayoritas rakyat.
Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam konsep Locke diperlukan untuk membatasi
kekuasaan legislatif. Raja merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif ini.[32]
Pembatasan ini penting untuk menghindari kekuasaan legislatif mempunyai fungsi
kekuasaan eksekutif yang berarti terjadi pemusatan kekuasaan. Eksekutif berhak
mengambil tindakan yang melampaui batas wewenang legalnya apabila hal itu
dirasakan perlu demi preservation of all dan kebajikan rakyat.[33]
Kekuasaan eksekutif juga berhak memanggil kekuasaan legislatif untuk bersidang.
Meskipun demikian, Locke juga menegaskan bahwa apabila eksekutif menyalahi
kedudukannya itu, maka hal sama artinya dengan pernyataan perang kepada
rakyat. Rakyat diperbolehkan untuk melawannya, bahkan menggunakan kekerasan
sekalipun.[34]
Penggunaan kekerasan oleh rakyat yang dibenarkan dalam konsep Locke tersebut
cukup mengherankan, mengingat kekerasan ini justru akan membawa pada sikap
barbarian yang bertentangan dengan keadaan alamiah manusia. Sebagaimana
disebut di atas, dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa
semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka.[35]
Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak
sebagai a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation.[36]
Akan tetapi, menurut Bertrand Russel, Locke sangat trauma dengan peristiwa
politik di Inggris pada tahun 1628-1640, yaitu pada masa Raja Charles memerintah
Inggris tanpa mengikutsertakan parlemen. Peristiwa politik ini, menurut Locke,
tidak boleh terulang lagi.[37]
Berkaitan dengan kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu
berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menetukan perang,
perdamaian, liga, dan aliansi antarnegara. Demi alasan praktis, Locke memasukkan
kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif.[38] Kekuasaan seorang raja
dalam konsep Locke ini masih sangat besar. Oleh karena itu, Locke menyebutnya
dengan monarki moderat (moderated monarchy).[39]

Ajaran pemisahan kekuasaan, terutama setelah dikembangkan oleh Montesquieu,


ini kemudian terkenal dengan sebutan Trias Politica. Dari waktu ke waktu, ajaran ini
tidak berlangsung secara statis tanpa perkembangan apa pun, tetapi justru
bergerak sangat dinamis dan banyak melahirkan ide-ide baru. Secara empiris,
sebenarnya tidak ada lagi negara yang secara absolut menerapkan Trias Politica.
Dalam negara abad XX apalagi di negara-negara dalam kategori developing
countries di mana kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial telah menjadi
sedemikian kompleksnya serta kekuasaan eksekutif diserahi tanggung jawab yang
semakin besar untuk mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, Trias
Politica dalam arti pemisahan kekuasaan sebenarnya tidak dapat lagi
dipertahankan.[40]
E.
Relasi
Pemikiran
Hobbes,
Locke,
dan
Rosseau
Ada baiknya menelaah hasil-hasil pemikiran Locke dengan membandingkannya
dengan pemikir sebelum dan sesudahnya untuk mengetahui dinamika berpikir
konsep tentang negara dan manusia. Hobbes seringkali dianggap orang yang
berjasa memperkenalkan teori kontrak sosialnya yang kemudian diikuti oleh dua
penerusnya, Locke, dan Rosseau. Walaupun di antara ketiganya ada juga
perbedaan-perbedaan yang cukup tajam.
Hobbes memulai pendapatnya dengan memandang secara negatif terhadap
manusia. Hobbes berpendapat bahwa individu-individu itu bersifat egois dan saling
mencurigai satu sama lain. Karena kebutuhan-kebutuhan mereka harus dipenuhi
dalam wilayah dan dari persediaan alamiah yang sama, mereka tidak dapat saling
menganggap sepi. Mereka berada dalam situasi persaingan. Individu satu
merupakan pesaing bagi individu lainnya, dan karena itu harus dimusuhi. Akhirnya,
terpaksa masing-masing mengambil tindakan untuk saling melindungi. Dari
pandangan inilah kemudian muncul catchword dari Hobbes yang sangat terkenal,
yakni homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dan bellum
omnium contra omnes (perang semua lawan semua).[41]
Keadaan inilah yang akhirnya memaksa individu-individu itu untuk mengambil
tindakan bersama. Mereka mengadakan perjanjian di antara mereka sendiri dan
saling memberi janji untuk mendirikan satu lembaga dengan wewenang mutlak
untuk menata mereka melalui undang-undang dan untuk memaksa semua agar
taat terhadap undang-undang itu.[42] Mereka menyerahkan semua hak alamiahnya
kepada lembaga itu, kecuali tentu hak untuk melindungi diri. Hal ini disebabkan hak
itulah yang mendasarkan kerelaan mereka untuk tunduk terhadap lembaga itu.
Dari perjanjian bersama ini lahirlah negara.[43]
Perjanjian itu tidak diadakan antara individu-individu dengan negara (karena pada
waktu mereka mengadakan perjanjian, negara belum ada), tapi antara individuindividu saja. Isi perjanjian itu adalah untuk manciptakan negara. Jadi, negara

bukanlah patner dalam perjanjian itu, tetapi hasil buahnya. Hobbes menarik
kesimpulan bahwa negara karena tidak ikut mengadakan perjanjian itu- tidak
terikat olehnya dan tidak dapat juga melanggarnya.[44]
Artinya, dalam perjanjian itu individu-individu menyerahkan semua hak mereka
kepada negara, tetapi negara tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap
mereka. Begitu mereka selesai menciptakan negara, negara akan berdiri tegak
dengan segala hak, tetapi tanpa kewajiban apa pun.[45]
Sebagaimana disebutkan di atas, perbedaan pandangan Locke dan Hobbes dalam
perjanjian masyarakat adalah kalau Hobbes lebih menonjolkan satu macam
perjanjian, yaitu pactum subjectionis (perjanjian penyerahan), maka dalam
perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis dan
pactum subjectionis.[46]
Menurut R.S. Downie, teori perjanjian negara ini didasarkan pada gagasan bahwa
suatu tatanan politis hanya sah sejauh semua yang hidup di dalamnya sebagai
orang yang bebas dan sama, dapat menyetujuinya dalam sebuah perjanjian. Ada
yang menganggap teori itu sebagai penjelasan tentang asal usul negara secara
historis. Artinya, semua negara pernah berdasarkan suatu perjanjian seperti itu
(suatu gagasan yang secara historis tidak dapat dipertahankan), dan ada yang
menganggapnya sebagai gagasan hipotesis yang mau menjelaskan legitimitas
negara. Hobbes termasuk orang yang mempunyai pandangan hipotesis ini.[47]
Sementara itu, Jean-Jacques Rosseau bertolak dari adanya kehendak individual
masing-masing orang (volont particulire). Dari sini, muncullah kehendak semua
(volont de tous). Kemudian, muncullah kehendak umum (volont gnrale), yaitu
kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada kepentingan bersama,
kepentingan umum.[48] Kehendak umum itu dapat disaring dari kehendak semua
melalui pemungutan suara. Dalam pemungutan suara kepentingan-kepentingan
khusus yang bertentangan satu sama lain- saling meniadakan, sehingga akhirnya
tinggal kepentingan umum yang dikehendaki oleh semua.[49]
Dengan demikian, Hobbes dan Locke bertolak dari pengandaian yang sama, yakni
mendirikan negara berarti melepaskan beberapa hak kepada negara. Keduanya
berbeda pendapat tentang banyaknya hak yang harus dilepaskan oleh individu dan
hak yang mana yang tetap dimilikinya berhadapan dengan negara. Keduanya juga
membatasi kekuasaan negara walaupun pembatasan Hobbes tidak efektif.[50]
Sebaliknya, Locke mengembangkan konstitusi negara untuk menjamin kekuasaan
negara tidak melampaui batas yang wajar.[51] Sedangakan Rosseau bertolak dari
identitas antara negara dan rakyat. Oleh karena itu, individu melepaskan diri
seluruhnya ke dalam negara. Tidak ada apa pun yang tinggal di luar wewenang
negara itu. Negara itu total karena identik total dengan rakyat. Di lain pihak,
individu tidak melepaskan hak apa pun, karena dengan melepaskan diri ke dalam

negara, individu tidak melepaskan diri. Negara bukanlah lembaga yang berhadapan
dengan individu-individu sehingga dapat merampas hak-haknya dan perlu dibatasi
wewenangnya.
Oleh karena itu, masalah penjaminan hak-hak asasi dan pembatasan kekuasaan
hilang bagi Rosseau.[52] Sarana-saran yang dalam pandangan Locke merupakan
jaminan itu tidak mempunyai fungsi dalam negara yang dibayangkan Rosseau.
Dengan demikian, secara de facto Rosseau sama sekali tidak membatasi kekuasaan
negara.[53] Hal ini berbeda dengan Locke yang sangat tegas mengatakan bahwa
kekuasaan
harus
dibatasi.
_______________
[1] Tulisan ini merupakan pemikiran A. Ahsin Tohari untuk tugas Mata Kuliah Teori
Hukum dan Demokrasi, yang kemudiah diringkas menjadi sebuah lutisan pendek
tanpa
merubah
ensesi
tulisan
aslinya.
[2]G.E. Aylmer, Rebellion or Revolution: England from Civil War to Restoration,
(Oxford:
Oxfor
Universiry
Press,
1986),
hal.
34.
[3]John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman,
1993),
hal.
9.
[4]John Plamenatz, Man and Society, Vol. II, (London: Longmans, 1965), hal. 172.
[5]Robert A. Dahl berpendapat, Locke memberikan kepada manusia sejenis
persamaan intrinsik, yang meskipun jelas tidak ada relevansinya bagi banyak
keadaan, namun pasti sangat menentukan untuk tujuan-tujuan tertentu, terutama
sekali untuk tujuan pemerintahan. Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya
[Democracy and its Critics], diterjemahkan A. Rahman Zainuddin, Edisi I, Cet. I,
(Jakarta:
Yayasan
Obor
Indonesia,
1992),
hal.
122.
[6]Patriarcha adalah peran-peran utama dalam Injil yang dianggap merupakan
nenek moyang umat manusia, yaitu mulai dari Adam sampai Nuh. Patriarcha
diartikan juga sebagai kepala keluarga atau suku. Deliar Noer, Pemikiran Politik di
Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 118. Wilson H. Coates dan Hayden V.
White berkomentar lebih jauh tentang Filmer bahwa, Filmer no only presented The
Theory of Divine Right of Kings in a version which combined a biblical with
naturalistic, patriarchal polemic, but he seems also to have finally won The Long
English Argument of battling with historical precedents. Wilson H. Coates dan
Hayden V. White, The Emergence of Liberal Humanism, (New Graw Hill), hal. 110
sebagaimana
dikutip
Ahmad
Suhelmi,
op.
cit.,
hal.
186.
[7]Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern,
Cet.
IV,
(Jakarta:
Gramedia,
1994)hal.
219.
[8]Dari pernyataan tersebut sangat jelas bahwa pandangan Locke ini terutama
ditujukan
untuk
menyerang
Filmer,
bukan
Thomas
Hobbes.
[9]Menurut G.H. Sabine, Locke gagal dalam usahanya untuk membawahkan

kebodohan Filmer dengan argumen-argumen kuat yang sebagian besar diambil dari
Hobbes.
G.H.
Sabine,
Teori-teori
Politik:
Sejarah
Pertumbuhan
dan
Perkembangannya,
Cet
IV,
(Bandung:
Binacipta,
1992)
hal.
174.
[10]Locke,
op.
cit.,
hal.
116-117.
[11]Men being,by nature, all free, equal and independent, no one can be put out
of this estate, and subjected to the political power of another, without his own
consent,
demikian
tulis
Locke.
Ibid.,
hal.
163.
[12]Menurut Locke, keadaan alamiah (state of nature) adalah keadaan di mana
manusia hidup bersama sesuai dengan kehendak akal tanpa ada seorang yang
memimpin masyarakat di dunia dengan kewenangan memutus suatu perkara di
antara
manusia.
Ibid.,
hal.
124.
[13] Thomas Hobbes, Leviathan, (Middleessex England: Penguin Books, 1985), Bab
13.
[14]Bertrand Russell, History of Western Philosophy, (London: Macmillan, 1992),
hal. 601. Secara historis, Skolastik digunakan untuk merujuk pada (1) seluruh
gerakan Kristiani abad pertengahan dalam filsafat Barat yang dimulai sejak abad
ke-5 dan berakhir hingga pertengahan abad ke-17; atau (2) filasat Kristen abad
pertengahan antara 1000 M dan sekitar 1300 M. Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat,
Cet.
I,
(Bandung:
Remaja
Rosda
Karya,
1995),
hal.
294.
[15]Locke, op. cit., hal. 178. Hak milik pribadi ini harus dilindungi. Perlindungan ini
diperlukan karena problem utama dari masyarakat manusia dimanapun juga adalah
pertikaian antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan kelompok.
MacIver, The Web of Government, (Chicago: Free Press, 1965), hal.69.
[16]Ibid.,
hal.
163
dan
183.
[17]Segala kekuasaan yang dimiliki negara adalah karena alasan adanya
pendelegasian oleh para warga negara. Wewenang negara adalah seluas hak-hak
yang telah diserahkan kepadanya oleh para warga negara. Franz Maginis-Suseno,
Etika Politik, op. cit., hal. 222. Fukuyama menjelaskan bahwa Lockean
mengartikan negara sebagai suatu sistem perlindungan seperangkat hak-hak
individu. Francis Fukuyama, The End of History and the Las Man, (New York: Avon
Books,
1992),
hal.
203.
[18]Locke,
op.
cit.,
hal.
178.
[19]Azhary, Sejarah Type Pokok Negara, (Jakarta: Permata Publishing Company,
1979),
hal.
5.
[20]Apabila dibandingkan dengan Hobbes, Locke dinilai lebih rasional karena
pendapat Hobbes masih mengandung pendapat yang tidak rasional, misalnya
negara bisa berbuat apa saja sesuai dengan apa yang dikehendakinya tanpa perlu
mempertimbangkan apakah tindakan dan logika kekuasaannya sesuai atau tidak
dengan kehendak dan aspirasi rakyat. Suhelmi, op. cit., hal. 197.

[21]Jadi, para individu tidak menyerahkan seluruh haknya dan kebebasannya


kepada body politic atau kepada seseorang (monarki) atau sekelompok orang atau
diserahkan kepada masyarakat. Azhary, op. cit., hal. 26; Samidjo, op. cit., hal. 9495.
[22]Suhelmi, op. cit., hal. 199. Power held on trust to secure freedom, demikian
menurut
Plamenatz.
Plamenatz,
op.
cit.,
hal.
251.
[23]Tentang konstitusi ini Locke mengatakan, The constitution of the legislative is
the first and fundamental act of society, whereby provision is made for the
continuation of their union, under the direction of persons. Locke, op. cit., hal.
223.
[24]C.B. Machperson, The Political Theory of Possesive Individualism, Hobbes to
Locke,
(Oxford:
Oxford
University
Press,
1962),
hal.
257.
[25]Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XVII, (Jakarta:Gramedia,
1996),
hal.
58
[26]Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari
demokrasi. Sidney Hook, Democracy [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum],
diterjemahkan Stya Arinanto dan Endriyo Soeprastiyo dalam Denny J.A., Jominofri,
Rahardjo, (eds.), Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum
Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia
bekerja
sama
dengan
The
Asia
Foundation,
1989),
hal.
33.
[27] Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang
[The Spirit of the Laws], (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 44-55.
[28]Locke,
op.
cit.,
hal.
182-188.
[29]C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidwick & Jackson, 1973),
hal.
245-247.
[30]Legislatif tidak dapat mengalihkan kekuasaan membuat undang-undang ke
tangan orang lain. karena kekuasaan tersebut tidak lain adalah kekuasaan yang
didelegasikan dari rakyat, mereka yang memilikinya tidak dapat dialihkan ke orang
lain.
Locke,
op.
cit.,
hal.
182-188.
[31]Suhelmi,
op.
cit.,
hal.
201-200.
[32]Suhelmi,
op.
cit.,
hal.
202.
[33]Ini merupakan hak prerogatif kekuasaan eksekutif. Hak ini sangat diperlukan
karena dalam banyak pemerintahan, kekuasaan membuat undang-undang tidak
selalu dilakukan, dan biasanya terlalu banyak dan terlalu lambat. Kekuasaan
eksekutif harus diberi ruang gerak untuk melakukan banyak hal dari berbagai
pilihan yang tidak ditentukan oleh hukum atau undang-undang yang dibuat oleh
kekuasaan
legislatif.
Locke,
op.
cit.,
hal.
197.
[34]Tentang hal ini, Locke secara eksplisit mengakui hak perlawanan rakyat,
misalnya kalau pemerintah berniat untuk mencampuri kehidupan dan milik individu.

Oleh karena itu, kalau pemerintah berusaha menjadikan kehendaknya tersebut


menjadi undang-undang tanpa melalui legislatif, maka rakyat boleh melawannya,
bahkan dengan kekerasan sekalipun. Locke, op. cit., hal. 191 dan 194. Lihat
catatan
kaki
nomor
29.
[35]Men being,by nature, all free, equal and independent, no one can be put out
of this estate, and subjected to the political power of another, without his own
consent,
demikian
tulis
Locke.
Ibid.,
hal.
163.
[36]Keadaan alamiah (state of nature) adalah keadaan di mana manusia hidup
bersama sesuai dengan kehendak akal tanpa ada seorang yang memimpin
masyarakat di dunia dengan kewenangan memutus suatu perkara di antara
manusia.
Ibid.,
hal.
124.
[37]Russel,
op.
cit.,
hal
614.
[38]Tiga kekuasaan yang diperkenalkan Locke kelihatan sekali belum sempurna.
Kekuasaan federatif sekarang ini dianggap satu dengan kekuasaan eksekutif,
sedangkan kekuasaan yudikatf belum disebut. Akan tetapi, gagasan dasar negara
modern sudah mulai ditemukan, karena kekuatan-kekuatan sosial sudah saling
mengimbangi.
Suseno,
Etika
Politik,
op.
cit.,
hal.
224.
[39]Locke,
op.
cit.,
hal.
197.
[40]Sejalan dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state) di mana kekuasan
eksekutif bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat dan karenanya
harus merencanakan pembangunan ekonomi dan sosial secara sistematis dan
menyeluruh, maka fungsi kekuasaan negara sudah jauh melampaui Trias Politica.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1973),
hal.
269-272.
[41]Thomas Hobbes, Leviathan, (Middlesex England: Penguin Books, 1985), Bab
13.
[42]Apabila mereka mempunyai kehendak untuk bersatu (le desir detre ensemble),
maka kumpulan orang tersebut disebut bengsa. Satya Arinanto, Hukum dan
Demokrasi,
Cet.
I,
(Jakarta:
Ind-Hill-Co.,
1991),
hal.
59.
[43]Ibid.
[44]Ibid.,
Bab
XIII.
[45]Suseno,
Etika
Politik,
hal.
207.
[46]Locke berpandangan bahwa para individu tidak menyerahkan seluruh hak dan
kebebasannya kepada body politic atau kepada seseorang (monarki) atau
sekelompok orang atau diserahkan kepada masyarakat. Azhary, op. cit., hal. 26;
Samidjo,
op.
cit.,
hal.
94-95.
[47]R.S. Downie, Roles and Values: an Introduction to Social Ethics, (London:
Methuen
&
Co.,
1971),
hal.
25.
[48]Suseno,
op.
cit.,
hal.
240.

[49] Rosseau berpandangan bahwa negara yang diidealkan adalah negara yang
betul-betul menjadi res publica, republik, urusan umum. Negara tidak lagi
menjadi sesuatu yang asing, karena tidak lagi merupakan milik raja atau milik
sekelompok
orang,
tetapi
milik
semua.
Ibid.
[50]Suseno, op. cit., hal. 243; Samidjo, op. cit., hal. 92-93; Suhelmi, op. cit., hal.
212.
[51]Menurut Suseno, Baik Hobbes maupun Locke pada dasarnya mempunyai
pandangan yang sama tentang negara, yakni negara merupakan lembaga yang
berhadapan dengan para warga negara yang pernah mendirikannya. Oleh karena
itu, negara perlu dikontrol dan batas wewenangnya perlu ditetapkan. Suseno, op.
cit.,
hal.
243.
[52]Ibid.,
hal.
243.
[53]Negara yang dibayangkan Rosseau sama kekuasaannya dengan negara yang
dibayangkan Hobbes. Padahal mereka bertolak dari pengandaian-pengandaian yang
sama sekali berlainan. Hobbes mengartikan negara sebagai Leviathan yang
menakutkan. Sedangkan bagi Rosseau, negara adalah kehendak rakyat sendiri
yang pantas dicintai. Teori dasar keduanya bertolak belakang, tetapi keduanya
merancang konsep negara yang sama dengan kekuasaan yang tidak terbatas dan
tanpa jaminan nyata apa pun bagi hak-hak rakyat. Ibid., hal. 224.

Anda mungkin juga menyukai