Anda di halaman 1dari 9

Tonsilofaringitis et causa Difteri dengan Obstruksi Laring

Stadium 2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510. Telepone (021)56942061, Fax (021)5631731

Abstrak
Tonsilofaringitis adalah radang pada tenggorokan yang terletak dibagian faring
dan tonsil. Radang faring pada anak hampir selalu melibatkan organ sekitarnya
sehingga infeksi pada faring juga mengenai tonsil sehingga disebut sebagai
tonsilofaringitis dan kadang dikenal dengan sebutan radang tenggorokan, disertai
adanya pseudomembran. Tonsilofaringitis akut dan tonsilitis akut yang ditemukan
bersama-sama. Tonsilofaringitis difteri ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan sering menyerang saluran napas
bagian atas, seperti hidung, faring dan laring.
Kata kunci: tonsilofaringitis, difteri, pseudomembran
Abstract
Tonsilofaringitis is an inflammation of the throat which is located at the
pharynx and tonsils. Pharyngitis in children is almost always involve the surrounding
organs so that the infection of the pharynx is also the so-called tonsilofaringitis
tonsils and sometimes known as strep throat there is pseudomembranous in it.
Tonsilofaringitis acute and acute tonsillitis were found together. Tonsilofaringitis
diphtheria is caused by the bacteria Corynebacterium diphteriae, which include
gram-positive bacteria and often affects the upper respiratory tract, such as the nose,
pharynx and larynx.
Keywords: tonsilofaringitis , diphtheria , pseudomembranous
Pendahuluan
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tongsil, faring,
laring, hidung, adalah menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva dan atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin
1

specific yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik
keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit pada
diphteriae faucial atau pada diptheriae faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe
yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan dan edema di leher dengan pembentukan membran pada trakea secara
ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Penyebab penyakit difteri adalah
Corynebacterium diphteriae, berbentuk batang gram positif, tidak berspora,
bercampak atau kapsul.
Anamnesis
Sebelum melakukan anamnesis, terlebih dahulu mencatat identitas pasien,
alamat tempat tinggsal dan pekerjaan pasien. Anamnesis keluhan utama merupakan
bagian terpenting dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis ini biasanya
memberikan informasi terpenting untuk mencapai diagnosis banding, dan
memberikan wawasan vital mengenai gambaran keluhan yang menurut pasien paling
penting. Anamnesis ini sebaiknya mencakup sebagian besar waktu konsultasi.
Anamnesis yang didapat harus dicatat dan disajikan dengan kata-kata pasien sendiri,
dan tidak boleh di samarkan dengan istilah medis misalnya seperti dispnea yang bisa
mengaburkan sifat asli keluhan dan nuansa yang penting. Jika tidak bisa didapatkan
anamnesis yang jelas dari pasien, maka anamnesis harus ditanyakan pada kerabat,
teman, atau saksi lain. Keluhan utama didapat dengan cara membiarkan pasien
berbicara tanpa dipotong. Ini bisa dimulai dengan menanyakan pertanyaan terbuka.1
Riwaya Penyakit Dahulu (RPD) adalah bagian penting dari anamnesis.
Penting untuk mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul
sebelumnya dan terapi yang pernah diberikan. Mencatat informasi ini secara
kronologis juga bisa bermanfaat. Bisa ditanyakan penyakit apa yang pernah dialami
sebelumnya, pernah dirawat di rumah sakit atau tidak, tanyakan juga kapan merasa
sehat sepenuhnya. Tanyakan juga apakah pasien memiliki alergi terhadap sesuatu atau
tidak. Harus ditanyakan secara spesifik apakah pasien alergi terhadap antibiotika
termasuk penisilin. Penting pula untuk menggali sifat alergi yang pernah dialami.
Apakah terdapat alergi dengan disertai syok anafilaktik berat, ruam erimatosa, ruam
urtikaria, atau apakah pasien hanya merasakan mual atau mengalami efek samping
yang lain dari obat.1 Alergi yang penting juga terhadap makanan, atau terhadap
sengatan lebah atau tawon. Pastikan bahwa keterangan alergi tertulis lengkap dalam
catatan.1

Riwayat Keluarga, penting untuk mencari penyakit yang pernah diderita oleh
kerabat pasien karena terdapat kontribusi genetik yang kuat pada berbagai penyakit.
Tanyakan berapa banyak kerabat yang dimiliki, apakah orang tua masih hidup atau
tidak, jika tidak tanyakan apa penyebab kematiannya apakah karena suatu penyakit
yang berat, tanyakan apakah pasien memiliki saudara kandung, anak atau cucu.
Jangan lupa tanyakan adakah penyakit yang menurun dalm keluarga.1
Riwayat Pengobatan, tanyakan adakah obat-obatan yang sedang dikonsumsi
oleh pasien saat ini, jika ada obat apa yg diresepkan atau mengkonsumsi obat sendiri
tanpa resep (obat warung). Tanyakan apakah penggunaannya di awasi atau tidak.1
Riwayat Sosial, penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh
penyakit yang mereka derita terhadap hidup dan keluarga mereka. Pekerjaan tertentu
berisiko menimbulkan penyakit tertentu, jadi penting untuk mendapatkan riwayat
pekerjaan yang lengkap. Tanyakan apakah pekerjaan pasien, adakah pekerjaan lain
yang pernah dilakukan sebelumnya. Tanyakan juga pasien tinggal serumah dengan
siapa,seperti apa tempat tinggalnya, bagaimana lingkungan sekitar tempat tinggalnya,
apakah bersih atau tidak.1
Dalam kasus ini pasien merupakan anak laki-laki usia 4 tahun dengan keluhan
menangis lemah dan sesak sejak 3 hari yang lalu. Untuk anamnesis dapat dilakukan
kepada ibunya, sejak kapan keluhan ini muncul, apa faktor yang memperberat atau
memperingan, tanyakan riwayat penyakit yang sebelumnya pernah dialami, tanyakan
apakah sudah dicoba untuk diobati atau belum. Pada anamnesa didapatkan riwayat
imunisasi yang tidak jelas.
Pemeriksaan Fisik
Jelaskan pada pasien apa yang akan anda lakukan. Pastikan pasien merasa
nyaman, hangat dan ada privasi. Gunakan semua indera yang anda miliki diantaranya
pengliatan, pendengaran, penciuman dan perabaan.
Inspeksi, pastikan pasien terlihat jelas dan berada dalam posisi yang tepat untuk
memungkinkan dilakukannya pemeriksaan fisik lengkap. Lihat dengan teliti dan
menyeluruh.

Adakah

kelainan

yang

nampak

jelas

(misalnya

benjolan,

ketidaksadaran), adakah kelainan yang tersembunyi.


Palpasi, mintalah izin pada pasien dan jelaskan apa yang akan anda lakukan.
Tanyakan adanya nyeri atau nyeri tekan. Mulailah pemeriksaan dengan ringan dan
lembut, kemudian tekan lebih kuat. Deskripsikan setiap kelainan dengan teliti.1

Perkusi, lakukan perkusi dengan membandingkan kedua sisi. Dengarkan dan


rasakan adanya perbedaan. Pastikan hal ini tidak menimbulkan nyeri atau rasa tidak
nyaman.
Auskultasi, pastikan stetoskop anda berfungsi dan gunakan waktu untuk
mendengarkan.

Pertimbangan

untuk

mengubah

posisi

pasien

agar

bisa

mengoptimalkan suara yang terdengar, misalnya duduk tegak dan mendengarkan sat
ekspirasi untuk mengurangi regurgutasi aorta. Jika ditemukan kelainan pada tahap
pemeriksaan mana mpun, cobalah membandingkannya dengan yang normal
misalnya membandingakan suara perkusi pada area ekivalen di dada.1
Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan, didapatkan suhu subfebril, nadi
lambat, anak sedikit gelisah, sesak, stridor inspirasi, retraksi suprasternal dan
epigastrium. Tonsil dan faring diliputi selaput putih keabu-abuan, mudah berdarah
bila diangkat. Bullneck +.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis
tonsilofaringitis adalah pemeriksaan laboratorium dimana terjadi peningkatan
leukosit, penurunan hemoglobin. Dapat dilakukan juga usap tonsil untuk pemeriksaan
kultur bakteri dan tes sensitifitas obat.2
Diagnosis ditegakkan atas dasar penemuan klinik dan untuk diagnosis pasti
diperlukan pemeriksaan kuman lewat sediaan langsung dari biakan kuman.
Corynebacterium diphteriae dibiakkan pada media loeffler atau agar telurit selama 18
jam.3
Schick tes adalah intradermal, tes ini menginjeksikan 0,2 ml toksin difteri
Diagnosis Kerja
Tonsilofaringitis et causa Difteri dengan obstrusi laring stadium 2.
Tonsilofaringitis adalah radang pada tenggorokan yang terletak dibagian faring dan
tonsil. Radang faring pada anak hampir selalu melibatkan organ sekitarnya sehingga
infeksi pada faring juga mengenai tonsil sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis dan
kadang dikenal dengan sebutan radang tenggorokan. Tonsilofaringitis akut dan
tonsilitis akut yang ditemukan bersama-sama. Tonsilofaringitis difteri ini disebabkan
oleh kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan
sering menyerang saluran napas bagian atas, seperti hidung, faring dan laring. Jika
kuman ini sudah menyebar sampai ke laring, maka akan mudah sekali menyebabkan
obstruksi jalan napas. Sumbatan jalan napas yang terjadi pada pasien ini sudah
4

termasuk stadium 2 karena adanya retraksi suprasternal yang lebih dalam ditambah
cekungan di daerah epigastrium, dan pasien mulai tampak lemah (gelisah). Terdegar
stridor pada waktu inspirasi.4
Diagnosis Banding
a) Tonsilofaringitis et causa Difteri dengan obstrusi laring stadium 1
Pada stadium 1 ini akan didapatkan pasien dengan retraksi ringan supresternal
dan biasanya keadaan ini tidak menganggu pasien, terdapat stridor pada waktu
inspirasi. Pasien tampak tenang. Tidak ada sianosis.4
b) Tonsilofaringitis et causa Difteri dengan obstrusi laring stadium 3
Stadium 3 didapatkan retraksi suprasternal, supraklavikula, infraklavikula,
epigastrium, dan intercostal. Pasien akan tampak sangat gelisah dan tampak
sukar untuk bernapas (dispnea). Stridor terdengar saat inspirasi dan ekspirasi.4
c) Tonsilofaringitis et causa Difteri dengan obstrusi laring stadium 4
Stadium 4, gejala akan menjadi semakin berat. Pasien tampak sangat gelisah
dan berusaha sekuat tenaga untuk bernapas. Pasien tampak seperti ketakutan
dan pucat (sianosis). Jika keadaan ini terus berlangsung terus maka pasien
akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien
lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.4
Etiologi
Menurut Suardi, berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis,
baik faringitis sebai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain.
Virus merupakan etiologi terbanyak terjadinya faringitis akut, terutama pada anak
berusia kurang dari 3 tahun (prasekolah). Streptococcus beta hemolitikus grup A
adalah bakteri penyebab terbanyak faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut
mencakup 15-30% dari penyebab faringitis akut pada anak. Mikroorganisme
penyebab tonsilofaringitis adalah bakteri streptococcus, sering merupakan komplikasi
dari penyakit virus lainnya seperti morbili dan varisella atau komplikasi penyakit
kuman lain seperti pertusis atau pneumonia dan pneumococcus. Streptococcus lebih
banyak pada anak-anak dan bersifat progresif resistensi terhadap pengobatan dan
sering menimbulkan komplikasi seperti abses paru, empiema, tension pneumotoraks.
Selain bakteri, virus juga merupakan salah satu penyebab infeksi pada saluran
pernapasan bagian atas, diantaranya adalah rhinovirus, salah satu virus yang paling
sering menjadi penyebab infeksi pada saluran pernapasan bagian atas.2
Epidemiologi

Difteri faring tonsil adalah infeksi akut pada mukosa faring-tonsil yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini tergolong penyakit
menular yang akut dan spesifik. Di negara maju hampir tidak dijumpai kasus ini
karena vaksinasi preventif dilakukan dengan baik. Di Indonesia meskipun program
imunisasi telah berjalan lancar, kasus difteri kadang-kadang masih ditemukan.3
Patofisiologi
Penularan terjadi lewat kontak dengan carrier atau pembawa basil yaitu orang
yang dalam tonsil-faringnya mengandung kuman difteri yang tidak merugikan bagi
dirinya sendiri tetapi dapat menularkan pada orang lain. Biasanya carrier ini adalah
orang yang pernah menderita difteri faring-tonsil, tetapi ada juga yang belum pernah
menunjukkan adanya gejala klinis difteri.3
Kuman pada umumnya masuk lewat mukosa faring, tonsil, juga dapat di
hidung dan faring. Kuman tersebut berkembang biak pada permukaan saluran napas
bagian atas dan memproduksi toksin yang meresap ke sekelilingnya. Toksin
disebarkan keseluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin dapat merusak
epitel dan menyebabkan nekrosis. Selanjutnya terjadi eksudasi serum yang
mengumpul berbentuk pseudomembran (beslag) tebal, putih, kotor, berwarna keabuabuan melekat erat pad ajaringan dan mudah berdarah jika diangkat. Pseudomembran
dapat meluas keluar tonsil yaitu ke faring, palatum mole, uvula dan laring sehingga
menyumbat rima glotis dan timbul obstruksi jalan napas bagian atas, menyebabkan
penderita sesak napas.
Pada tonsilitis akut, detritus yang terkumpul banyak kadang-kadang mirip
beslag pada tonsil difteri. Perbedaanya adalah detritus hanya terbatas tonsil dan tidak
melekat sehingga mudah dibersihkan.3
Manifestasi Klinis
Difteri faring-tonsil menimbulkan gejala klinis yang bersifat lokal dan umum.
Keluhan yang dirasakan adalah badan lesu (general malise), sakit kepala, nyeri telan
tak begitu hebat dan panas badan tetapi tak begitu tinggi. Pada pemeriksaan terlihat
keadaan umum yang jelek, penderita tampak sakit keras, lesu dan pucat.3
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu geja umum, gejala lokal dan gejala
akibat eksotosin.
a) Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.4

b) Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea,
dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat
erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi
(bull neck) atau disebut juga Burgermeesters hals.4
c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dpat terjadi
miokarditis

sampai

decompensatio

cordis,

mengenai

saraf

kranial

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada


ginjal menimbulkan albuminuria.4
Penatalaksanaan
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Untuk
kasus berat (sudah disertai komplikasi) diberikan dosis tunggal 60.000-100.000 unit.
Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3
dosis selama 14 hari untuk memusnahkan kumannya. Kortikosteroid 1,2 mg per kg
berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit sangat menular,
pasien harus diidolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.4,5
Untuk sumbatan pada laringnya bisa dilakukan intubasi endotrakea ataupun
trakeostomi. Indikasi intubasi endotrakea adalah untuk mengatasi sumbatan saluran
napas bagian atas, membantu ventilasi, memudahkan menghisap sekret dari traktus
trakeo bronkia, dan mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang
berasal dari lambung. Ukuran pipa endotrakea disesuaikan.
Pencegahan
Pencegahan yang paling baik adalah dengan vaksinasi sesuai dengan anjuran
inisiatif global Pertusis (dibentuk pada tahun 2001) yaitu kelompok kerja yang
mempunyai tugas menjalankan imunisasi global dan pencegahan penyakit pada bayi,
remaja, dan dewasa untuk difteri, pertusis dan tetanus. Bentuk toksoid difteri ada 4
macam yaitu : DTaP, Tdap, DT, dan Td. Untuk vaksinasi pada anak digunakan DTaP
dan dewasa digunakan Tdap. Vaksin ini merupakan difteri dalam bentuk toksoid yang
dikombinasikan dengan pertusis dan vaksin tetanus. DTaP diberikan pada umur 2, 4,

6, 15-18 bulan dan 4-6 tahun. DT adalah vaksin difteri dan tetanus diberikan anakanak remaja dan orang dewasa diberikan sebagai booster setiap 10 tahun atau ketika
telah terjadi paparan. D huruf kecil menunjukkan kekuatan toksoid difteri (2,0-2,5
unit Lf), diberikan pada usia diatas 7 tahun Td diberikan pada remaja berusia 11 atau
12 tahun.5
Komplikasi
Komplikasi difteri faring-tonsil merupakan penyakit yang sangat berbahaya,
karena penanganan yang tidak baik dapat menimbulkan kematian, atau komplikasi
yang berbahaya. Komplikasi yang terjadi dapat bersifat lokal maupun sistemik.
Komplikasi lokal berupa pseudomembran yang meluas ke hipofaring-laring
menutup rima glotis sehingga terjadi obstruksi jalan napas. Jika sudah demikian
diperlukan tindakan trakeostomi (membuat lubang jalan napas di trakea).
Komplikasi sitemik adalah akibat efek toksin. Terjadi miokarditis (4-6
minggu), pembuluh darah mengalami kolaps, kerusakan saraf perifer yang bersifat
reversibel dan albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
Kelumpuhan saraf terjadi di palatum mole, menyebabkan keluhan suara
sengau, penderita sering tersedak, minuman keluar lewat hidung. Jika di periksa
tampak palatum mole tidak bergerak, terjadi kelumpuhan otot palatum mole;
kelumpuhan otot-otot mata menyebabkan kerusakan akomodasi dan oftalmoplegia
sehingga teradi strabismus; kelumpuahn otot ekstremitas dan kelumpuhan otot
pernapasan.3
Prognosis
Prognosis bergantung pada virulensi basil difteri, lokasi dan luas membran
yang terbentuk, status kekebalan penderita, cepat lambatnya pengobatan, dan
pengobatan yang diberikan. Jika pada kasus ini pasien mendapatkan penanganan yang
baik dan segera maka prognosis yang didapatkan baik.
Kesimpulan
Anak laki-laki berusia 4 tahun dengan keluhan menangis lemah, dan sesak
sejak 3 hari, menderita tonsilofaringitis et causa difteri dengan obstruksi laring
stadium 2. Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, kuman batang gram positif,
yang di transmisikan melalui droplet udara atau kontak kulit-kulit. 6 Prognosis baik
jika diberi tatalaksana yang benar dan tepat waktu. Lakukan pencegahan dengan
memberi vaksin DPT secara tepat dan benar.

Daftar Pustaka
1. Gleadle J. At a Glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga;2007.h.12-21.
2. http://karyatulisilmiah.com/ Di unduh pada Minggu, 20 maret 2016 pukul
22.00 WIB.
3. Herawati S, Rukmini S. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok
untuk mahasiswa kedokteran gigi. Jakarta: EGC;2006.h.52-3.
4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Nyeri tenggorok: dalam
buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi
Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2015.h.200,221.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et all. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta:
Interna Publishing;2014.h.643
6. Tanton C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed
iv. Jakarta: Media Aesculapius;2014.h.1068.

Anda mungkin juga menyukai