Anda di halaman 1dari 7

ADMINISTRASI KEBIJAKAN KESEHATAN

Terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata di


kalimantan timur

DI SUSUN OLEH
Nama

: Alifida Rahma Fanani

NIM

: 1511015108

Tingkat

: Semester 2 kelas B 2015

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS MULAWARMAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

LATAR BELAKANG
Indonesia mengalami kekurangan pada hampir semua jenis tenaga kesehatan yang
diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan per 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7,7
dokter umum, 2,7 dokter gigi, 3,0 dokter spesialis, dan 8,0 bidan. Untuk tenaga kesehatan
masyarakat, per 100.000 penduduk baru dilayani oleh 0,5 Sarjana Kesehatan Masyarakat, 1,7
apoteker, 6,6 ahli gizi, 0,1 tenaga epidemiologi dan 4,7 tenaga sanitasi (sanitarian). Banyak
puskesmas belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini
diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per
tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali. Disparitas rasio dokter umum per 100.000
penduduk antar wilayah juga masih tinggi dan berkisar dari 2,3 di Lampung hingga 28,0 di
DI Yogyakarta.
Dari data diatas dapat dikatakan bahwa jumlah tenaga kesehatan yang ada tidak sesuai
dengan jumlah kebutuhan masyarakat indonesia saat ini. Hal ini jika mengacu pada wilayah
indonesia yang sangat luas dan memiliki banyak pulau. Faktor lain yaitu jumlah penduduk
indonesia yang sangat besar dan tersebar menyebabkan kebutuhan tenaga kesehatan semakin
tinggi. Meskipun pihak Depkes telah melakukan penambahan tenaga kesehatan, akan tetapi
jumlah tersebut belum sebanding dengan kebutuhan masyarakat indonesia. Hal ini
dipengaruhi juga oleh sebagian besar tenaga kesehatan hanya berfokus di pulau jawa dan
daerah perkotaan sehingga menyulitkan masyarakat di daerah terpencil dan pedesaan untuk
mengakses layanan kesehatan.
Terkait fenomena kurang meratanya distribusi tenaga kesehatan di daerah-daerah
Indonesia, keputusan distribusi tenaga kesehatan sering diambil tanpa mendasarkan bukti,
sehingga distribusinya tidak merata. Faktor penentu distribusi tenaga kesehatan dipengaruhi
antara lain oleh gaji, insentif serta mutu manajemen lembaga kesehatan. Rata-rata dokter
lebih banyak berada di wilayah kota daripada kabupaten. Semakin besar ekonomi di suatu
wilayah, semakin banyak tenaga dokter spesialis.
Salah satu provinsi di wilayah Indonesia Bagian Tengah yang mengalami masalah
kurang meratanya distribusi tenaga kesehatan adalah Kalimantan timur. Kalimantan Timur
yang merupakan provinsi terluas ketiga setelah Papua dan Kalimantan Tengah, dibagi
menjadi 7 (tujuh) kabupaten, 3 (tiga) Kota, 103 kecamatan dan 1.026 desa/kelurahan. Daerah
yang juga dikenal sebagai gudang kayu dan hasil pertambangan ini mempunyai ratusan
sungai yang tersebar pada hampir semua kabupaten/kota dan merupakan sarana angkutan
utama di samping angkutan darat, dengan sungai yang terpanjang Sungai Mahakam. Daratan
Kalimantan Timur tidak terlepas dari perbukitan yang terdapat hampir di seluruh kabupaten.
Jumlah danau di provinsi ini juga cukup banyak yaitu sekitar 18 buah. Sebagian besar danaudanau tersebut berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan danau yang paling luas yaitu
Danau Semayang dan Melintang yang masing-masing mempunyai luas area 13.000 ha dan
11.000 ha. Transportasi ke tiap kabupaten menggunakan alat transportasi darat yang jauhnya
sekitar lebih dari 200 km dengan kondisi permukaan tanah yang naik turun dan berkelokkelok. Namun, ada juga daerah yang harus menggunakan alat transportasi air, seperti
speedboad, longboad dan kapal tempel, dengan biaya relatif sangat mahal. Hal ini

menunjukkan bahwa di provinsi ini masih banyak daerah yang berjauhan dan terpisah oleh
kondisi geografis yang sulit dijangkau.
TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbatasnya dan maldistribusi di
kalimantan timur
2. Mengetahui solusi untuk menambah jumlah tenaga kesehatan dan mengurangi
maldsitribusi tenaga kesehatan di daerah- daerah yang sulit dijangkau
PEMBAHASAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbatasnya tenaga kesehatan di kalimantan timur
1. Biaya di institusi kesehatan terlalu tinggi
kalimantan timur memiliki banyak sekali sekolah kesehatan. Mulai dari perguruan tinggi
yang memiliki jurusan kesehatan baik itu negeri ataupun swasta, politeknik kesehatan,
akademi kesehatan baik itu negeri atau swasta, sekolah tinggi ilmu kesehatan dan lain
sebagainya. Namun, dari berbagai sarana pendidikan kesehatan tersebut sebagian besar
membutuhkan banyak biaya hanya untuk proses registrasi. Kebutuhan mulai dari seragam,
buku, alat-alat kesehatan, dan tempat kost jika calon mahasiswa berasal dari luar daerah dan
lain sebagainya. Kebutuhan biaya yang harus dipenuhi bisa mencapai 30 juta per tahun untuk
kedokteran dan 10-14 juta per tahun untuk kebidanan dan keperawatan. Hal ini sependapat
dengan persepsi masyarakat bahwa harus menjual ladang atau tanah jika ingin berpendidikan
tinggi. Faktor inilah yang menyebabkan minat masyarakat berkurang untuk menjadi tenaga
kesehatan.
2. Kurangnya kuota beasiswa bagi institusi kesehatan untuk calon tenaga
kesehatan
Beberapa institusi kesehatan telah menyediakan program beasiswa bagi para mahasiswa yang
kurang mampu namun berprestasi. Namun, jumlah dana beasiswa yang tersedia tidak
seimbang dibandingkan dengan kebutuhan. Selain itu, kuota yang terbatas untuk
mendapatkan beasiswa tidak sebanding dengan pendaftar. Padahal beasiswa ini dapat
membantu dalam peningkatan karir bagi tenaga kesehatan. Beasiswa yang diberikan
seharusnya bukan hanya dalam bentuk finansial namun bisa dalam bentuk akomodasi.
Beasiswa yang berbentuk akomodasi berupa pertukaran tenaga kesehatan ke luar daerah atau
ke luar negeri yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan. Beasiswa lain
yang dapat diberikan yaitu beasiswa untuk penilitian, dessertasi, afirmasi dan lain sebagainya.
3. Tenaga pengajar kesehatan yang kurang kompeten
Kualitas tenaga kesehatan berawal dari kompetensi yang dimiliki. Jika, kompetensi yang
dimiliki oleh tenaga kesehatan kurang, maka tidak berkualitas. Hal inilah yang dapat
mempengaruhi kurangnya tenaga kesehatan yang kompeten di kaltim. Kompetensi tenaga
kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan

apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya,


menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali
menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh
rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan
dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik.
Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam
meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik.
4. Jumlah lulusan pada jurusan kedokteran di perguruan tinggi kurang
Kaltim memiliki universitas mulawarman sebagai pencetak calon dokter. Namun, mayoritas
masyarakat menempuh pendidikan kedokteran di luar kalimantan timur karena lebih
berkualitas dan kompeten. Setelah menyandang gelar dokter, banyak yang kurang berminat
untuk bekerja kembali pada daerahnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi geografis dari
kalimantan timur. Mereka lebih suka tinggal di perkotaan dengan fasilitas yang serba ada
dibandingkan dengan ibukota kalimantan timur yang memiliki minim fasilitas seperti air
bersih. Lulusan kedokteran universitas mulawarman selama pertahunnya berjumlah kurang
dari 50 dokter muda. Selain itu, kedokteran spesialis tidak ada di universitas mulawarman.
Kriterianya 1 dokter dapat menangani 10 pasien per hari. Sedangkan jumlah penduduk di
kalimantan timur tahun 2013 yaitu sebesar 3.300.517 jiwa (BPS kaltim 2013). Jika dirataratakan kaltim membutuhkan sekitar 330.052 dokter umum dan spesialis untuk memenuhi
kebutuhan masyarakatnya.
5. Banyaknya akademi kebidanan yang tidak sebanding dengan kebutuhan
Kaltim memiliki 5 akademi kebidanan yang tersebar di samarinda, balikpapan dan kutai
kartanegara belum termasuk di sekolah tinggi kesehatan. lulusan per tahunnya pun juga tidak
sebanding dengan kebutuhan di masyarakat. Kampus-kampus yang memiliki jurusan
kebidanan terus menjamur, sehingga jumlah bidan yang dihasilkan juga semakin bertambah.
Diperkirakan pada tahun 2015 indonesia akan mengalami surplus bidan dan sebagian harus
dikirim ke luar negeri, perkiraan ini disampaikan oleh ketua umum PP IBI Dr. Harni Koesno
MKM. Kebutuhan bidan idealnya 1 bidan untuk 3-4 pasien per hari. tugas bidan hanya untuk
membantu proses persalinan dan sebagai asisten dokter. Jika banyak lulusan kebidanan yang
tidak memperoleh lapangan pekerjaan, maka bidan akan semakin menjamur khususnya di
perkotaan sebagai tempat menempuh pendidikannya. Minimnya minat untuk bekerja di
daerah terpencil, bidan akan terus menjamur jika tidak diimbangi dengan distribusinya ke
daerah lain.
6. Kurangnya insentif atau reward yang diberikan pemerintah untuk tenaga
kesehatan yang berada di daerah terpencil
Dalam program dokter terbang yang diadakan oleh dinas kesehatan telah disediakan
fasilitas berupa rumah dinas, gaji pokok, insentif dll. Biaya insentif yang dihitung untuk 30%
dari total kebutuhan tenaga kesehatan di DTPK sebesar: Dokter Spesialis sebesar
Rp.7.500.000,- per bulan, Dokter dan tenaga kesehatan setara S1 lainnya sebesar Rp.
5.000.000,- per bulan, Tenaga kesehatan setara D3 sebesar Rp. 2.500.000,- per bulan.

Namun, semua itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang tenaga
kesehatan yang hidup di daerah terpencil. Mengingat kondisi geografis dan ekonomi daerah
yang membutuhkan banyak biaya karena terlalu sulit untuk mendapatkan barang-barang atau
kebutuhan sehari-hari. Tidak adanya reward atau refreshing yang dilakukan juga
mempengaruhi kurangnya minat bekerja di daerah terpencil yang dapat menyebabkan
maldistribusi tenaga kesehatan.
7. Adanya nepotisme saat recruitment tenaga kesehatan pada layanan kesehatan
Adanya budaya orang bawaan dan orang dalam pada penerimaan tenaga kesehatan juga
mempengaruhi terbatasnya tenaga kesehatan di kaltim. Mayoritas orang yang bekerja pada
layanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit dan klinik merupakan orang yang dekat
seperti saudara, keponakan, menantu dengan orang yang sudah lama bekerja pada institusi
tersebut. Hal itu mengakibatkan kurangnya kualitas tenaga kesehatan karena idealnya
penerimaan karyawan dilihat berdasarkan soft skill yang ia miliki bukan karena orang
terdekat.
8. Fasilitas kesehatan kurang di daerah terpencil dan perbatasan
Dari 224 Puskesmas yang ada di Kalimantan Timur, terdapat 16 Puskesmas yang berada di
Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan ( DTPK ), dimana 16 Puskesmas tersebut
merupakan puskesmas rawat inap yang dapat memberikan pelayanan kesehatan pada
masyarakat yang berada di daerah DTPK. Namun, perjalanan untuk menempuh puskesmas
tersebut tidak dekat. Perjalanan yang jauh dan menggunakan speed boat sepertinya sangat
menyulitkan bagi warga yang tinggal di pedalaman apalagi dengan biaya yang sangat mahal.
Oleh karena itu, untuk mendekatkan akses masyarakat di daerah terpencil kepada fasilitas
kesehatan, perlu dipertimbangkan upaya untuk meningkatkan jumlah pustu atau polindes
di daerah seperti ini, tentunya dengan mempertimbangkan ketersediaan tenaga kesehatan
yang tersedia.
9. Sistem pengawasan dan sanksi yang kurang ketat bagi tenaga kesehatan yang
kurang kompeten
Registrasi merupakan proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap tenaga
kesehatan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan
minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek
profesinya. Sebagai bagian dari tahapan registrasi dan pengakuan kompetensi diberlakukan
uji kompetensi yang yang dilaksanakan oleh organisasi profesi itu sendiri dan difasilitasi
oleh Dinas Kesehatan. Namun, masih diperlukan berbagai upaya dan langkah langkah untuk
lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan praktek profesi yang dilakukan melalui
sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Pemberian sanksi dengan
menempatkan tenaga kesehatan yang tidak kompeten dan bermalas-malasan bisa jadi way out
untuk meengurangi maldistribusi tenaga kesehatan di kaltim.
10. Tenaga kesehatan di daerah terpencil rawan jauh dari keluarga dan minim
pengembangan karir

Dua alasan utama rencana kepindahan adalah kedekatan dengan keluarga dan
pengembangan karir, baik bagi tenaga di kecamatan terpencil maupun tidak terpencil.
Sedangkan insentif yang lebih menarik hanya menjadi alasan bagi 10,9% bagi tenaga di
kecamatan tidak terpencil dan 5,9% di kecamatan tidak terpencil. Yang menarik
diperhatikan adalah kenyataan walaupun hampir semua tenaga kesehatan mengharapkan
peningkatakan insentif finansial, namun insentif bukan menjadi alasan utama rencana
kepindahan. Hal terjadi kemungkinan karena pindah ke daerah baru tidak menjamin adanya
peningkatan insentif yang lebih baik. Akan tetapi justru kedekatan keluarga dan
pengembangan karir menjadi lebih penting bagi tenaga kesehatan baik di daerah terpencil
maupun tidak terpencil. Di kecamatan terpencil, masalah keamanan masih menjadi kendala
yang cukup besar dan menjadi alasan tenaga kesehatan Puskesmas untuk pindah ke lokasi
lain.
Solusi untuk menambah tenaga kesehatan dan mengurangi maldistribusi tenaga
kesehatan di kaltim
1. Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah
pusat dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan
kapasitas perencana dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu
melakukan pembagian tugas yang jelas, dan menyediakan pendanaan.
2. Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar
tercapai keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga,
misalnya dengan menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu
terbatasnya formasi dan terbatasnya dana.
3. Untuk peningkatan akses masyarakat kepada tenaga dan fasilitas kesehatan di daerah
terpencil, perlu dipetimbangkan kemungkinan untuk memperbanyak pustu dan polindes.
4. Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga
kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan
tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan
dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas.
5. Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil,
perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di
kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.
6. Perlu dikembangkan sistem informasi tenaga kesehatan secara terpadu dan menyeluruh
dalam rangka memanfaatkan data ketenagaan untuk perencanaan kebutuhan dan
penyediaan tenaga kesehatan.
7. Dalam rangka menjamin mutu tenaga kesehatan perlu dikembangkan upaya peningkatan
mutu institusi pendidikan dan peran serta organisasi profesi serta masyarakat lainnya,
terutama dalam sertifikasi, registrasi dan lisensi tenaga kesehatan
8. Ketanggapan pelayanan Puskesmas terhadap masyarakat perlu ditingkatkan melalui
pemberian informasi yang baik, pelibatan pasien untuk pengambilan keputusan,
kebebasan memilih fasilitas kesehatan dan mempercepat waktu tunggu.
9. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), domisili,
tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian
10. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti

11. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum
terpenuhi
12. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah terpencil
dan daerah pemekaran.
KESIMPULAN
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi
tidak merata di kalimantan timur yaitu : biaya di institusi kesehatan terlalu tinggi, kurangnya
kuota beasiswa bagi tenaga kesehatan untuk pengembangan karir, tenaga pengajar kesehatan
yang kurang kompeten, jumlah lulusan kedokteran di perguruan tinggi yang kurang,
banyaknya akademi kebidanan yang tak seimbang dengan kebutuhan, kurangnya insentif atau
reward kepada tenaga kesehatan di daerah terpencil, adanya nepotisme saat proses perekrutan
tenaga kesehatan pada layanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama yang kurang di
daerah terpencil, sistem pengawasan dan sanksi yang kurang ketat terhadap tenaga kesehatan
yang kurang kompeten dan bermalas-malasan, tenaga kesehatan di daerah terpencil rawan
jauh dari keluarga dan minim pengembangan karir. Untuk mengatasi berbagai kendala dalam
perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah pusat dan propinsi dapat membantu dalam
sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas perencana dan pengumpulan data dan
informasi.
SARAN
Program-program pemerintah untuk mengatasi terbatasnya tenaga kesehatan dan
distribusi tidak merata seharusnya dapat dijalankan dengan serius dan bertanggung jawab.
Para pelaksana dan penyelenggara program sebaiknya diberikan sanksi apabila ada program
yang tidak berhasil. Sistem pengawasan untuk laporan evaluasi tiap tahun terhadap program
seharusnya lebih ditingkatkan untuk menghindari kegagalan program. Dibutuhkan sumber
daya manusia yang memiliki mental yang sangat baik dan kepribadian sebagai pemimpin
untuk menyukseskan program yang telah dicanangkan. Revolusi mental sebagai salah satu
program untuk memperbaiki sumber daya manusia di Indonesia khususnya di kaltim harus
menjadi pedoman dan prinsip setiap orang.
REFERENSI
1. Profil kesehatan provinsi kalimantan timur tahun 2013
2. Pungkas, Dadang, Sularsono, 2005, kajian kebijakan perencanaan
kesehatan,jakarta : bappenas
3. Rencana pengembangan tenaga kesehatan tahun 2011-2025 tahun 2011

tenaga

Anda mungkin juga menyukai