Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih
mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan
timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan
benda asing, misalnya kontak lensa.1
Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini,
mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis
bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata
dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga
mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan
terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga
berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis papiler raksasa adalah
konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak.
Umumnya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata
berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus
biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari.
Walaupun demikian, beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen
agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi
dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata.2

Pada neonatus, infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan
kelahiran, sedang pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang
menderita penyakit tersebut.
Keluhannya berupa fotofobia, palpebra edem, konjungtiva hiperemis dan
keluar eksudat mukopurulen. Bila tidak di obati dapat berakibat terjadinya ulkus
kornea, panoftalmitis sampai timbul kebutaan.
Diagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan segmen anterior dimana dilakukan
inspeksi ke seluruh penampang mata dan dapat dilakukan biakan bakteri untuk
mengetahui bakteri penyebab infeksi.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, gambaran klinis, pemeriksaan, diagnosis dan diagnosis banding,
penatalaksanaan serta prognosis dari Konjungtivitis Neonatorum.

1.2.2

Tujuan Khusus
Untuk memenuhi salah satu tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata
di RSUD Dr. Drajat Prawiranegara Serang dan sebagai salah satu persyaratan
dalam mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata di RSUD Dr.
Drajat Prawiranegara Serang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Konjungtivits merupakan proses inflamasi pada selaput konjungtiva yang


sering terjadi diseluruh dunia. Konjungtivitis dapat berupa inflamasi ringan
dengan hyperemia dan produksi air mata yang berlebihan, sampai pada inflmasi
yang menyebabkan produksi secret purulent dari mata.
Klasifikasi konjungtivitis berdasarkan American Academy of Ophthalmology
dapat dibagi berdasarkan penyebab yaitu bakteri, virus, jamur dan alergi.
Konjungtivitis dapat terjadi pada semua usia. Termasuk pada bayi baru lahir atau
yang disebut dengan konjungtivitis neonatorum
Sari kepustakaan ini akan membahas tentang Konjungtivitis Neonatorum.
1.

Konjungtiva

1.1.

Anantomi Konjungtiva
Anatomi Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang

transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata


(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat
erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera

menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum


orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini
memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik.1

Gambar 2.1. Anatomi konjungtiva


Dikutip dari : Conjungtival anatomy. [diakses 10 agustus 2015] 24.32WIB
Tersedia dari : www.eoptha.com

1.2. Histologi Konjungtiva


Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan
sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel- sel
epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen.1

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu
lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa
tersusun

dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan

tersusun longgar pada mata.1

1.3. Perdarahan dan Persarafan Konjungtiva


Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
banyak . Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan pertama nervus
V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit3

2.2

. Konjungtivitis Neonatorum

2.2.1.

Definisi Kongjungtivitis Neonatorum

Konjungtivitis Neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada konjungtiva bayi


baru lahir, dengan waktu pajanan 1 28 hari setelah kelahiran. Infeksi yang
terjadi sebagian besar diakibatkan oleh infeksi bakteri gonococal, yang mengacu
pada kebersihan jalan lahir atau infeksi yang terjadi selama periode pasca
kelahiran. Konjungtivitis Neonatorum dapat mengacu pada kebutaan penderita,
maka dari itu di butuhkan adanya pemeriksaan terhadap eksudat, tes kerok epitel,
kultur bakteri dan rapid test terhadap bakteri gonokokal.1

2.2.2.1.

Etiologi Konjungtivitis Neonatorum

Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis neonatorum dapat dibagi menjadi


dua tipe yaitu tipe septik dan aseptik . Berbagai mikroorganisme yang
berhubungan dengan proses persalinan dapat menyebabkan infeksi mata pada bayi
baru lahir, potensi paling besar ditunjukan oleh bakteri Neisseria gonnorhae dan
Chlamidya trachomatis. Namun kejadian infeksi juga tidak luput dari peran virus
sebagai penyebab konjungtivitis neonatorum, organisme tersebut terdapat pada
ibu hamil dengan penyakit menular seksual seperti Herpes Simplex Virus.1

2.2.2.2.

Epidemiologi Konjungtivitis Neonatorum

Insiden konjungtivitis infeksi neonatal berkisar dari 1-2%, tergantung pada


karakter sosial ekonomi daerah. Epidemiologi konjungtivitis neonatorum telah
berubah sejak perak nitrat solusi diperkenalkan untuk mencegah oftalmia
gonokokal. Chlamydia telah dilaporkan sebagai agen menular yang paling umum
yang menyebabkan oftalmia neonatorum di Amerika Serikat (insiden 6.2 kasus
per 1000 kelahiran hidup). Sebaliknya, kejadian oftalmia neonatorum gonokokal
telah berkurang secara dramatis, kejadian oftalmia neonatorum di banyak negara
lain menurun setelah larutan perak nitrat mulai digunakan.4
Insiden yang lebih tinggi oftalmia neonatorum ada di negara-negara
berkembang, hal ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kebersihan dari
masyarakat. Serta kurangnya pengetahuan tentang bahaya melahirkan dengan
keadaan terjangkin penyakit menular seksual.4

2.2.2.3.
Patofisiologi Konjungtivitis Neonatorum
Perjalanan penyakit dari konjungtivitis Neonatorum sangat mengutamakan
masa inkubasi untuk memudahkan dalam mendiagnosa penyebab infeksi. Pada
infeksi gonokokal memiliki masa inkubasi 2 3 hari sementara pada infeksi
klamidya memiliki masa inkubasi 12 hari pada penyebab lain seperti pada Herpes
simplex virus memiliki masa inkubasi 2- 3 hari.1
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi tipe aseptik adalah lapisan
epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya
adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan
imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh
lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme
pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva.2
Sementara pada mekanisme infeksi tipe septik sangat dipengaruhi oleh
kebersihan jalan lahir serta penyakit menular seksual yang dimiliki sang ibu
dimana infeksi dapat terjadi akibat berpindahnya bakteri yang ada dari vagina dan
cerviks ibu ke mata bayi pada saat proses kelahiran.1

2.2.3. Manifestasi Klinis Konjungtivitis Neonatorum


Konjungtivitis gonore neonatorum biasanya menyerang kedua mata secara
serentak. Penyakit gonoblenore dapat terjadi secara mendadak dengan masa
inkubasi beberapa jam sampai 3 hari. Dibedakan dalam 3 stadium.
Stadium Infiltratif berlangsung 1-3 hari, dimana palpebra bengkak, hiperemi,
tegang, blefarospasme, konjungtiva palpebra hiperemi, bengkak, infiltratif,

mungkin terdapat pseudomembran di atasnya. Pada konjungtiva bulbi terdapat


injeksi konjungtival yang hebat, kemotik, sekret, serous, kadang-kadang berdarah.
Stadium Supurativa atau Purulenta berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala
tidak begitu hebat lagi. Palpebra masih bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu
tegang. Blefarospasme masih ada. Sekret campur darah, keluar terus-menerus.
Kalau palpebra dibuka, yang khas adalah sekret yang akan keluar dengan
mendadak (memancar;muncrat), oleh karenanya harus hati-hati bila membuka
palpebra, jangan sampai sekret mengenai mata pemeriksa.
Stadium Konvalesen (Penyembuhan) Berlangsung 2-3 minggu. Gejala-gejala
tidak begitu hebat lagi. Palpebra sedikit bangkak, konjungtiva BurulentB
hiperemi, tidak BurulentBBve. Konjungtiva bulbi : injeksi konjungtiva masih
nyata, tidak kemotik. Sekret jauh berkurang.
Jadi gejala klinis yang ditemukan adalah hipermi konjungtiva hebat, getah
mata atau Burule seoerti nanah yang banyak sekali kelopak mata edema karena
konjungtiva BurulentB dan konjungtiva bulbi, pendarahan karena edema
konjungtiva hebat akan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah konjungtiva
dan timbul pendarahan.
Ditemukan kelainan bilateral dengan Burule kuning kental, Burule dapat
bersifat serous tetapi kemudian menjadi kuning kental dan Burulent. Kelopak
mata membengkak, sukar dibuka dan terdapat pseudomembran pada konjungtiva
tarsal. Konjungtiva bulbi merah, kemotik dan tebal.
2.6 Pemeriksaan Penunjang Konjungtivitis Neonatorum

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan Sediaan langsung Kerokan


konjungtiva atau getah mata yang purulen dicat dengan pengecatan Gram dan
diperiksa di bawah mikroskop. Didapatkan sel-sel polimorfonuklear dalam jumlah
yang banyak sekali.
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Konjungtivitis Neonatorum
Diagnosis ditegakkan berdasarkan dengan permeriksaan klinik dan
laboratorium. Pada pemeriksaan klinik, didapatkan keradangan konjungtiva yang
hiperakut dengan getah mata seperti nanah yang terkadang bercampur darah pada
bayi baru lahir

Gambar 2.2. Konjungtivitis Neonatorum


Dikutip dari : Vaughan & Asburys General Ophthalmology, 17th Edition

2.8 Penatalaksanaan Konjungtivitis Neonatorum


Pengobatan untuk neonatal konjungtivitis gonokokal adalah dengan
ceftriaxone, 125 mg sebagai dosis intramuskular tunggal; pilihan kedua adalah
kanamisin, 75 mg intramuskular. Untuk mengobati konjungtivitis klamidia pada
bayi baru lahir, suspensi oral eritromisin efektif dengan dosis 50 mg / kg / d dalam

10

empat dosis terbagi selama 2 minggu. Baik

konjungtivitis gonokokal dan

klamidia, orang tua juga perlu diobati. Herpes simpleks keratoconjunctivitis


diobati dengan asiklovir, 30 mg / kg / d dalam tiga dosis terbagi selama 14 hari.
Penyakit neonatal dari HSV memerlukan rawat inap karena berpotensi kepada
defek neurologis maupun sistemik. Jenis lain dari konjungtivitis neonatal
diperlakukan dengan eritromisin, gentamisin, atau tobramisin mata salep empat
kali sehari.1
2.9 Prognosis Konjungtivitis Neonatorum
Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis cukup, konjungtivitis
gonore akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan lebih lambat atau kurang
intensif, maka kesembuhannya mungkin disertai sikatrik kornea, penurunan tajam
penglihatan yang menetap atau kebutaan.

11

BAB III
SIMPULAN

Konjungtivitis Neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada konjungtiva bayi


baru lahir, dengan waktu pajanan 1 28 hari setelah kelahiran. Infeksi yang
terjadi sebagian besar diakibatkan oleh infeksi bakteri gonococal, yang mengacu
pada kebersihan jalan lahir atau infeksi yang terjadi selama periode pasca
kelahiran.
Gejala dari konjungtivitis neonatorum dapat dilihat dari pemeriksaan fisik
segmen anterior dimana didapatkan dari pemeriksaan mata bengkak, terdapat
sekret yang purulent pada mata bayi yang baru lahir.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan segmen anterior untuk
mengidentifikasi gejala dan manifestasi klinis yang muncul serta melakukan
biakan terhadap sekret untuk melihat kuman penyebab.

12

Tatalaksana dari konjungtivitis neonatorum berupa pemberian antibiotik dan


antivirus yang bisa disesuaikan dengan hasil biakan yang muncul sebagai terapi
kausatif. Penatalaksaan secara simptomatik dilakukan untuk mengurangi gejala
yang muncul dan mengurangi kesakitan.
Konjungtivitis Neonatorum memiliki prognosis yang baik apabila penanganan
dilakukan dengan cepat sehingga belum terjadi kerusakan pada organ yang dapat
mengacu pada kebutaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas Sidarta, Yulianti Sri R. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta; 2014. hal 222.
2. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General
ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. p. 29-34
3. Kansky JJ, Bowling B. Clinical Opthalmology A systematic Approach. Edisi ke-7,
Edinburgh: Elsevier Butterworth-Heinemann; 2011. h.391-397.
4. American Academy of Opthalmology (AAO) Galucoma Panel, Hoskin Center for
Quality Eye Care. Primary angle closure. San francisco, 2010.
5. Junqueira LC, Jose C. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC;
2007.
6. Gul, S Syeda and Jamal, Mahmood et al.Opthalmia Neonatorum.2011.P : 595
597
7. Ghahramani M, Ghahramani AA. Epidemiological study of ophthalmia
neonatorum and impact of prophylaxis on itsincidence. Acta Medica Iranica 2007;
45:361-4.
8. Prentice MJ, Hutchinson GR, Taylor-Robinson D. A microbiologicalstudy of
neonatal conjunctivitae andconjunctivitis. Br J Ophthalmol 1977; 61:601-7.
9. Amini E, Ghasemi M, Daneshjou K. A five-year study in Iran ofophthalmia
neonatorum: prevalence and etiology. Med Sci Monit 2008; 14:CR90-6.

Anda mungkin juga menyukai